"Yaudah pada mandi sana, kalian berdua udah kaya gembel aja," suruh Anita dengan mengejek."Kalau udah mandi, makan! Udah mama siapin di meja makan," perintah Anita lalu berlalu pergi masuk ke kamarnya di ikuti Dimas.Alex memperhatikan orang tuanya sampai masuk ke dalam kamar, "Yuk Ra mandi," ajak Alex sambil bangkit dari duduknya."Ogah, mandi bareng sama lo," tolak Laura mentah-mentah, matanya mendelik menatap Alex."Eh emang gue ngajak mandi bareng-bareng?" ucap Alex tersenyum jahil."Apa jangan-jangan lo ngarep mandi bareng gue," lanjutnya lagi."Gak, siapa juga yang mau mandi bareng lo," elak Laura, pipinya tersemu merah malu."Alah tapi itu pipi merah," ejek Alex."Apaan sih lo," ketus Laura."Apa jangan-jangan lo mau liat...," Laura memperhatikan tangan Alex yang perlahan turun menuju selangkangannya."Alex lo mesum," teriak Laura, membuat Alex tertawa terbahak-bahak karena berhasil membuat Laura kesal.Lalu pergi ke kamarnya sambil membawa kucing dan tawanya yang masih belum
Pov Alex.Matahari belum terbit, tapi Alex sudah terbangun dari tidurnya jam 4 subuh, ia berjalan ke luar balkon, sambil membawa sebungkus rokok dan juga korek api di tangannya.Wajahnya gusar, pikirannya terus di penuhi oleh Laura.Alex membuka bungkus rokok, mengambil sebatang dan menyalakannya, hembusan asap rokok seolah menemani keresahan Alex pagi ini."Andai aja lo tau Ra, dari dulu sampah hari ini, detik ini juga perasaan gue masih sama ke lo malah makin bertambah setiap harinya, gua akan selalu jagain lo dari cowok brengsek seperti Ezra meskipun nyawa gue taruhannnya," ucap Alex sungguh-sungguh sambil melihat langit yang gelap gulita tanpa ada bintang atau bulan yang menyinari.Alex menundukan kepalanya ke bawah, karena kamar Alex ada di lantai dua jadi dia bisa melihat keadaan bawah halaman rumahnya.Alex memincingkan mata saat tak sengaja melihat seorang yang berpakaian serba hitam ia berdiri di bawah lampu taman sambil melihat ke kanan dan ke kiri, dan di sampingnya ada seb
Laura sejak tadi terus berjalan tak menentu, pandangannya ia edarkan berharap menemukan seseorang yang tengah ia cari, tapi batang hidungnya saja tak terlihat.Laura berada di lorong ips, Ezra memang anak IPS sementara Laura anak ipa, ia sekarang berada di depan pintu kelas Ezra, melihat ke arah dalam kelas tapi Ezra tak ada di sana juga."Amira," panggil Laura Pada teman sekelas Ezra yang Laura kenal.Amira yang merasa di panggil, mengalihkan tatapan dari buku yang sedang ia baca, lalu menatap ke arah depan di mana ada Laura yang sedang berdiri kikuk.Amira berdiri dan berjalan menghampiri Laura."Ada apa?" tanyanya Dingin."Ada Ezra gak?" tanya Laura."Kata temennya sih dia gak masuk,""Gue denger lo pacaran sama Alex, terus ngapain lo nyariin cowok lain, kegatelan amat jadi cewek," ucapannya sarkas lalu pergi menuju mejanya lagi."Enak aja bilang gue kegatelan," dumel Laura sambil pergi dari lorong ips."Kalau gue gatal tinggal garuk aja," ucapnya lagi sambil tangannya mengaruk tang
Pov AlexAlex menunggu dengan gelisah, ia sekarang berada di kantor polisi bersama Dimas, kotak merah yang tadi Alex bawa sedang di lakukan pengecekan sidik jari.Tak lama Dimas keluar menghampiri Alex dengan raut wajah kecewa."Gimana pa? Hasilnya udah keluar?" tanya Alex tak sabaran."Cuman ada sidik jari kamu sama papa! Kayanya orang itu pake sarung tangan," ucap Dimas lesu."Terus sekarang Gimana pa?" tanya Alex, yang juga di buat bingung oleh masalah ini."Sebenarnya kamu sama Laura punya masalah sama siapa sampai di teror seperti ini?" ucap Dimas yang malah balik bertanya."Gak ada! Seinget Alex, Alex gak pernah buat masalah sama siapapun," ucapnya meskipun ragu."Gak mungkin dong! Orang lain teror kalau kalian gak punya salah?" tuduh Dimas."Kok papa kaya nuduh aku gitu sih," ucap Alex tak terima matanya menatap tajam Dimas."Bukan nuduh Lex tapi....," ucap Dimas menggantung."Udahlah papa juga bingung," desah Dimas.Alex hanya diam tak berniat meladeni ucapan Dimas karena dia
Pov Laura Sekolah terlihat sepi hanya ada Laura yang berdiri di depan gerbang sekolah sambil menunggu angkot yang ia tuju datang tapi sejak 1 jam ia menunggu tak ada satu angkot pun lewat.Padahal sudah pukul 5 sore.Anita sudah memberinya uang pagi tadi untuk jajan dan ongkos pulang sekolah, jadi Laura tak perlu bingung ketika akan pulang.Sejak tadi Laura terus gelisah, karena di sebrang sana di sebuah warung yang sudah tutup di depannya ada sebuah motor, lelaki misterius memakai helm tengah memperhatikan sejak sejam yang lalu.Laura pikir ia tengah melihat ke arah lain, tapi saat helmnya di buka sebentar dan mekainya lagi, lelaki itu memakai masker dan matanya menatap Laura intens, meskipun Laura agak familiar dengan matanya yang tak terhalang apapun! Tapi untuk apa orang tersebut terus memperhatikannya sejak tadi seperti tak ada kerjaan lain saja.Laura memilih berjalan kaki sambil menunggu angkot atau ojeg lewat, tapi saat yang bersamaan motor tersebut mengikuti dari belakang de
Dengan tertatih-tatih Laura berjalan, Anita yang sedang berjalan akan ke kamarnya melihat Alex dan Laura yang datang dengan keadaan basah kuyup segera menghampiri mereka berdua."Kalian kehujanan?" tanya Anita.Padahal jelas-jelas mereka basah kuyup dan di luar hujan deras masih aja di tanya."Tunggu mama ambilin handuk kering buat kalian," ucap Anita, berjalan cepat ke arah kamar.Tak lama Anita keluar dengan dua handuk di tangannya."Ini handuknya," Anita memberikan handuk pada Laura dan Anita yang langsung mereka keringkan rambut mereka."Kenapa kehujanan sih Lex?" tanya Anita pada mereka berdua yang masih mengeringkan rambut."Emang gak neduh dulu? Nanti kalau Laura demam gimana? Kamu ini di suruh jagain Laura gak suka bener jagainnya," ucap Anita yang bertanya terus menerus, membuat Alex jengah."Laura, Laura, Laura! Laura terus Alex gak di tanyain ma," kesalnya dari kemarin Laura terus yang di khawatirin, bukannya Alex tak senang tapi ia seperti anak tiri, selalu Laura yang di u
Pov AlexAlex terus mengusap tanganya yang terasa dingin, dia baru sadar ketika ke luar tak memakai jaket atau celana panjang yang bisa menghangatkan tubuhnya.Apalagi hujan rintii-rimtik membuat dirinya seperti akan mati kedinginan, ia membayangkan Laura yang duduk di ruang tamu sambil menonton film kesukaannya juga beberapa cemilan dan teh hangat, sungguh beruntungnya Laura, sementara Alex yang anaknya sendiri malah di biarkan sendirian kedinginan.Alex menghentikan motornya ketika suda sampai di depan pintu rumah Mbok Doh"Permisi," teriak Alex sambil mengetuk pintu rumah yang bercat putih."Permisi," teriak Alex lagi ketika tak mendapat jawaban pun dari dalam rumah.Tak lama seorang wanita paruh baya ke luar, "Iya cari siapa?" tanya wanita paruh baya tersebut."Cari Mbok Doh nya ada?" "Saya sendiri, kamu siapa?" tanya Mbok Doh memperhatikan penampilan Alex, apa tak kedinginan dia memakai baju sependek itu?"Saya Alex," jawab Alex sambil tersenyum."Oh Alex, anaknya Anita, mau jem
Setelah kejadian kemarin tentang kaki Laura yang terkilir dan di tambah acara jambak-jambakan sampai teriak-teriakan, kini Laura sudah bisa berjalan meskipun pelan-pelan karena kakinya masih terasa sakit sedikit.Pagi ini Alex duduk di pinggir keranjangnya, perasaan bersalah karena telah membuat kaki Laura terkilir membuat dia terus kepikiran sampai tak bisa tidur.Apalagi tatapan sinis dari Laura membuat Alex bergidik ngeri di tambah Anita yang selalu mengompori.Membuat Alex benar-benar kesal dengan mamanya itu.Belum lagi Dimas yang menyeramahinya panjang lebar ketika sedang makan malam membuat nafsu makan Alex sekitika hilang."Belum jadi apa-apa aja udah bikin Laura celaka, gimana kalau udah jadi istri kamu dia?" ucap Dimas kala itu yang membuat Alex terus kepikiran.Kejam banget!Alex langsung bangkit dari duduknya ketika mendapatkan sebuah ide untuk membuat Laura senang.Ia pun mengambil jaket yang di gantung dan bergegas turun.Lalu pergi menggunakan motor barunya......Kare
Pagi telah berlalu, dan Alex terbangun dari tidurnya karena dering ponsel yang memecah keheningan. Suara itu begitu mengganggu, membuatnya mengerutkan dahi dengan kesal.Dengan mata yang masih berat, Alex meraih ponselnya di meja samping tempat tidur. Tanpa melihat siapa yang menelepon, ia langsung menjawab dengan suara serak, "Halo?"Suara yang tak asing terdengar di seberang, nadanya terdengar tergesa-gesa. "Alex, lo udah liat berita yang lagi viral sekarang?"Alex mengernyit, mencoba memahami maksudnya. "Berita apa?" Ia melirik layar ponsel, baru menyadari nama Rafa tertera di sana."Mendingan lo buka Instagram sekarang," suruh Rafa dengan nada cemas yang sulit disembunyikan.Alex menghela napas berat, bingung sekaligus penasaran. Ia membuka aplikasi Instagram seperti yang diminta. Matanya membelalak saat melihat unggahan yang viral di Instagram. Judulnya jelas: "Terbongkar! Pelaku Kejahatan Terhadap Laura Akhirnya Terungkap."Alex mengusap wajahnya dengan gelisah. Ia memang beren
"Bunda," panggil Alex saat memasuki rumah Laura yang tampak sepi.Ia melihat ke sana kemari, tapi tak menemukan siapa pun di lantai bawah."Oh, kamu, Lex," sahut Sinta sambil keluar dari kamar."Sepi banget, Bun. Om ke mana?" tanya Alex penasaran."Ayah Laura ada pekerjaan mendadak di luar kota. Mungkin satu atau dua hari baru balik," jelas Sinta. "Kalau Laura, paling dia di kamarnya."Alex terkekeh kecil. "Aku tahu kok dia di kamar, tadi aku lihat dari jendela. Lucu banget, dia kelihatan salah tingkah pas ngintip."Kamu pasti jahilin Laura lagi, ya?" tuduh Sinta sambil melangkah mendekati Alex."Ah, Bunda, enggak kok. Cuma manggil doang," jawab Alex sambil terkekeh kecil, mencoba membela diri."Alex ke sini mau ngasih surat buat Bunda, dari sekolah. Ini panggilan untuk orang tua Laura," ucap Alex sambil menyerahkan surat tersebut kepada Sinta.Sinta menerima surat tersebut dan membacanya sekilas. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Alex dengan penuh rasa khawatir. "Ini tentang
Aku masuk ke dalam kamar dengan langkah gontai. Pintu kututup perlahan, tapi rasanya seperti ada beban berat yang mengunci semua energi di tubuhku. Aku duduk di sudut ranjang, memeluk lututku sendiri.Meskipun Ayah dan Bunda tadi memberikan dukungan penuh, aku tahu mereka pasti kecewa. Bagaimana tidak? Anak perempuan mereka yang diharapkan bisa menjadi kebanggaan malah menjadi beban. Aku bahkan tidak bisa bicara dengan pengacara tadi. Aku gagal lagi.Aku menunduk, menatap lantai kosong. Hidupku sudah hancur. Semua yang kubangun, semua yang kucita-citakan, rasanya sirna dalam sekejap. Masalah ini bukan hanya menghancurkan masa depanku, tapi juga mencoreng nama baik keluargaku.Air mata mulai jatuh tanpa bisa kuhentikan. Suara isakan kecil memenuhi keheningan kamar. Aku tahu Ayah dan Bunda mencoba menguatkanku, tapi aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Bagaimana mereka bisa bangga pada anak perempuan seperti aku—yang bahkan tidak punya keberanian untuk menghadapi semuanya?Aku merem
Sementara itu, di rumah Laura, suasana terasa canggung. Seorang pria berjas rapi, pengacara yang dipanggil oleh ayah Laura, duduk di ruang tamu bersama mereka. Ia membawa sebuah tas kerja dan setumpuk dokumen yang diletakkannya di atas meja.“Silakan diminum, Pak, tehnya,” ujar Sinta dengan senyum ramah sambil menyodorkan cangkir teh."Terima kasih, Bu," jawab pengacara itu sopan sebelum menyesap teh hangat tersebut.Namun, berbeda dengan kehangatan Sinta, Laura justru duduk di sudut sofa dengan kepala tertunduk. Jemarinya sibuk memainkan ujung sweater yang ia kenakan, mencerminkan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan.Ayah Laura, yang duduk di sebelah pengacara itu, berdehem kecil, mencoba mencairkan suasana. “Jadi, Pak Adrian, bagaimana langkah awal yang bisa kita ambil untuk membantu Laura keluar dari masalah ini?”Adrian meletakkan cangkir tehnya, lalu membuka map di hadapannya. “Saya sudah membaca berkas-berkas yang Bapak kirimkan sebelumnya. Situasinya cukup rumit, tapi tida
“Grettha Cindy, ikut saya ke ruang BK,” ujar Pak Burhan tegas, matanya menatap tajam ke arah Grettha dan Cindy. Ia kemudian beralih menatap Alex, ekspresinya sama sekali tak melunak. “Kamu juga, Alex,” tambahnya, nada suaranya semakin dingin.Kerumunan siswa dan siswi di sekitar mereka mulai gelisah. “Bubar! Bukannya belajar malah nonton orang berkelahi,” seru Pak Burhan dengan suara lantang, membuat suasana di lorong sekolah seketika hening. Para siswa yang tadinya berkerumun perlahan membubarkan diri, beberapa masih melirik penasaran ke arah Grettha, Cindy dan Alex sebelum beranjak pergi. ..... Setiba di ruang BK, Grettha, Cindy, dan Alex berjalan masuk dengan langkah berat. Mereka bertiga duduk di kursi berhadapan langsung dengan Pak Burhan, yang duduk dengan posisi tubuh tegak dan ekspresi wajahnya penuh wibawa.Pak Burhan melipat kedua tangannya di atas meja, matanya bergantian menatap ketiganya dengan tajam. Suasana di ruangan itu terasa begitu menegangkan, hanya terdengar sua
POV Alex Setelah kejadian yang menimpa Laura, Alex akhirnya kembali ke sekolah. Ini adalah pertama kalinya ia melangkahkan kaki ke sana lagi setelah sekian lama. Ia sebenarnya enggan, tapi momy terus memaksa, mengingat tengah semester sudah dekat dan ia sudah terlalu banyak membolos. Dengan langkah lesu, ia memasuki gerbang sekolah, perasaan berat menggelayutinya. Alex tahu, kabar tentang apa yang menimpa Laura sudah pasti tersebar luas. Kemarin, salah satu akun I*******m bahkan dengan terang-terangan mengungkapkan identitas Laura—nama lengkapnya, Laura Varista Safa dan di mana ia bersekolah. Entah siapa yang tega menyebarkan berita itu, tapi Alex tidak akan tinggal diam. "Gue akan menemukan pelakunya," pikirnya. Meskipun kabar itu benar, Alex tak tahan membayangkan bagaimana perasaan Laura jika tahu dirinya menjadi bahan gunjingan publik. Sepanjang jalan menuju kelas, bisik-bisik dan tatapan siswa lain menghantam Alex seperti duri yang menyayat. Mereka membicarakan Laura—buruk-buru
Alex turun dari mobilnya, diikuti oleh Rafa dan Agatha. Karena keduanya datang dengan motor, Alex tidak akan mengantar mereka pulang ke rumah masing-masing. Setelah memastikan Rafa dan Agatha sudah pergi, Alex bergegas masuk ke rumahnya." "Kamu sudah pulang, Lex?" tanya Anita yang tampak akan pergi keluar rumah. "Iya. Mau ke mana, Mom?" balas Alex. "Mau ke rumah Laura. Papa juga sudah ada di sana. Ada hal yang mau Papa bicarakan dengan orang tuanya Laura, soal masalah persidangan nanti. Makanya Momy mau ke sana juga, buat nenangin Laura," jelas Anita. "Mom, emang harus, ya? Apa nggak bisa persidangannya tanpa Laura? Momy tahu sendiri kan, kondisi Laura belum pulih sepenuhnya," ujar Alex dengan nada khawatir. "Lex, Momy tahu," Anita menjawab dengan nada lembut tapi tegas. "Tapi Momy juga nggak bisa berbuat apa-apa, termasuk Papa. Ini sudah keputusan hukum. Kamu mau kan, Ezra sama Bianca mendapatkan hukuman yang setimpal?" Alex terdiam, hatinya bergejolak antara rasa kasihan
Di perjalanan menuju Dufan, Laura hanya duduk diam di kursi belakang, mendengarkan candaan Rafa dan Alex yang seperti biasa tak ada habisnya. Sesekali, ia tersenyum kecil saat Agatha memutar lagu-lagu favorit mereka. Namun, senyum itu segera pudar, tergantikan oleh perasaan ragu—apakah ia benar-benar pantas menikmati momen ini?"Lo nggak ikut nyanyi, Ra? Padahal ini lagu kesukaan lo. Meski... suara lo nggak bagus-bagus amat sih," ejek Agatha sambil melirik Laura di kaca spion.Laura mendengus pelan, "Gue lagi nggak mood.""Meskipun suara Laura nggak bagus-bagus amat, tapi dia tetap juara di hati gue," timpal Alex dengan nada menggoda.Rafa tertawa keras. "Aduh, Lex. Jadi mantan aja gombalnya nggak hilang-hilang!"Candaan itu membuat Laura tersenyum kecil lagi, meski ia berusaha menyembunyikannya. Ada kehangatan di antara mereka, sesuatu yang membuatnya merasa sedikit lebih ringan, walau hanya sesaat.---Setibanya di Dufan, suara ramai langsung menyambut mereka. Anak-anak berlari kegi
"Hallo raf, lo di mana?" tanya Alex pada Rafa di seberang telepon sana."Gue lagi jalan-jalan sama Agatha, kenapa, Lex?" tanya Rafa kembali."Gue perlu bicara sama kalian berdua, tentang Laura," jawab Alex dengan nada serius."Kenapa sama Laura?" tanya Rafa, mulai khawatir."Dia kambuh lagi?" lanjut Rafa, menebak keadaan."Bukan. Laura udah pulang, cuma dia masih sedih. Gue butuh bantuan kalian buat ngehibur dia," jelas Alex.Rafa terdiam sejenak, mencerna apa yang baru saja disampaikan oleh Alex. "Oke, gue dan Agatha bakal ke sana, Lex. Tenang aja, kita bantu. Laura nggak sendiri," jawabnya dengan penuh perhatian.Alex menghela napas panjang. "Makasih, Raf. Gue nggak tahu lagi harus gimana, tapi jangan ke sini sekarang, besok pagi aja, Kalau sekarang Laura udah istirahat, "Rafa mengangguk, meskipun Alex tidak bisa melihatnya. "Oke, besok pagi kita datang. Jangan khawatir, kita pasti bantu. Laura nggak akan sendirian," jawabnya dengan yakin."Makasi, Raf. Gue bener-bener nggak tahu h