Emma menghentikan langkahnya ketika melihat mobil Sabrina sudah jauh meninggalkan kawasan kampus.“Ada apa?” tanya Tony. Laki-laki itu nafasnya tak beraturan karena kewalahan mengikuti Emma berlari.“Kamu ngeliat Sabrina dan dua temennya luka nggak?” tanya Emma.“Kenapa juga kamu jadi ngawatirin mereka?” tanya Tony, “bukannya selama ini mereka selalu jahat ke kamu?”Emma menghambuskan nafas. “Aku baru ingat kalo mahluk astral itu tadi ngerasukin aku,” balas Emma, “dan aku nggak inget apa aku menyerang mereka atau nggak. Aku harap nggak terjadi apa-apa sehingga mereka tak lapor ke orangtuanya dan orangtuaku nggak perlu menganggung perbuatanku lagi.”***Sabrina dan dua temannya duduk di salah satu meja kantin. Mereka sedang menikmati makan siang.“Apa di antara kita harus ada yang belajar bela diri atau tinju sekalian?” tanya Sabrina sambil memotong steak.“Itu ide bagus,” sahut Desy. Dia mengunyah spaghetti dengan cepat lalu menelannya, “tapi siapa yang mau melakukannya?”“Yang pasti
“Apa itu?” tanya Tony.“Mengalahkan mahluk astral itu,” kata Jeremy.“Kayaknya aku nggak bisa kalau sendirian,” kata Tony. Dia menghembuskan napas panjang, “bagaimana kalau kita bermeditasi bersama?”Jeremy tak menjawab. Dia tidak yakin mahluk astral itu akan kalah bahkan jika dilawan dua orang. Lagi pula dia sudah tidak pernah melakukan ritual meditasi itu bertahun-tahun. Dia tak sekuat dulu.“Seharusnya aku nggak mengajak Ayah,” kata Tony. Dia menghembuskan napas lemah, “Ibu pasti nggak akan ngizinin Ayah. Dia takut kehilangan kekasihnya.”Jeremy tertawa. “Bukan gitu, Nak,” sahutnya, “hanya saja, Ayah tidak yakin bisa sekuat dulu. Tapi tidak masalah kalau kita coba. Kalau sering dilakukan pasti Ayah akan terbiasa lagi.”***Sabrina, Desy dan Anne sama-sama berbaring di atas kasur kamar Sabrina yang luas. Mereka bertiga kelelahan sehabis berlatih taekwondo. Tubuh mereka pegal-pegal semua.“Aku nggak mau balik ke tempat itu lagi,” kata Desy.“Aku juga nggak mau,” sahut Anne.“Kalian c
Sarah tersenyum. “Kumohon maafkan dia,” katanya pada Dahlan.Dahlan mengangguk. “Tidak masalah,” katanya, “anak zaman sekarang memang banyak yang tidak bisa mengontrol mulutnya saat berbicara.”“Sampai di mana kita tadi?” kata Sarah, mengalihkan pembicaraan.“Oh iya, lemparkan bawang-bawang ini ke badan anak itu kalau dia menganggumu,” kata Dahlan pada Sabrina.“Apa aku harus pakai keduanya atau salah satu saja?” tanya Sabrina.“Salah satu saja,” kata Dahlan.Setelah berterima kasih dan memberikan sebuah amplop berisi uang tunai kepada Dahlan, Sarah pun berpamitan.“Maafkan aku, Tante Sarah,” kata Desy saat sudah berada di dalam mobil, “aku benar-benar tidak pernah datang ke tempat seperti ini dan aku tidak tahu bawang yang terlihat seperti bawang biasa itu punya kekuatan.”“Sebenarnya itu memang bawang biasa,” kata Sarah sambil mulai mengendalikan kemudi, “hanya saja dia memberi mantra di bawang itu. Mantra itulah kekuatannya. Kekuatan yang bisa dipakai untuk melawan temanmu. Tepatny
Tony dan Jeremy refleks melompat mundur ketika melihat anak kecil laki-laki dengan wajah gosong. Bersamaan dengan itu, anak kecil itu tertawa. Dia tertawa puas sekali karena berhasil membuat Tony dan Jeremy kaget.“Mahluk astral sialan,” kata Tony, “berhenti gangguin temanku.”Anak kecil itu tertawa lagi. Dia menatap Tony dan Jeremy bergantian. Matanya melotot seperti mau lepas.Kesal Tony lalu mendorong anak kecil itu hingga jatuh terduduk. Beberapa detik kemudian, anak kecil itu menangis. Sepersekian detik setelahnya, tubuh Tony ditarik ke belakang.“Ayah!” seru Tony.Jeremy berlari mengejar Tony. “Lepaskan anakku!” kata Tony pada sosok wanita bergaun putih yang terus menyeret Tony ke belakang.“Aku bilang lepaskan anakku!” kata Jeremy. Dia terus berlari mengejar hantu wanita itu.Bukannya mengindahkan pekataan Jeremy, hantu wanita itu malah tertawa keras. Suranya melengking, seperti meremehkan. Menyadari itu, Jeremy kesal. Dia berlari lebih cepat untuk bisa meraih Tony. Saat tangan
“Bagaimana caranya?” tanya Jake tak sabar.“Sebenetar,” kata Danu. Laki-laki itu berjalan meninggalkan ruang tamu.Sementara itu, Jake dan Ethan menunggu dengan cemas.“Kira-kira, dia mau ngapain?” tanya Jake pada Ethan.“Udahlah, kita tunggu aja,” kata Ethan.Danu kembali dengan membawa secarik kertas dan sebuah bolpoin. Laki-laki itu lalu duduk lagi di depan Jake dan Ethan. Dia lalu menulis ayat-ayat kitab suci di kertas itu.“Untuk apa surat itu?” tanya Jake setelah Danu selesai menulis.“Ini bukan surat, Nak,” kata Danu, “ini adalah doa. Kamu bisa memberikan ini kepada temanmu. Suruh dia membaca doa-doa ini kalau mahluk astral yang merasukinya mulai berulah.”Jake menerima kertas dari Danu dengan mata berbinar. Dia tak sabar untuk bisa segera membantu Emma.***Sabrina dan kedua temannya duduk di tribun paling bawah. Dengan semangat mereka bersorak menyemangati tim Tony yang sedang bertanding dengan tim sepak bola dari Universitas Adam Malik. Dari awal, mereka fokus menonton perta
Jake, Tony dan Ethan berdiri lemas di depan toilet. Mereka bersandar pada tembok. Perut mereka masih terasa sakit karena habis bolak-balik dari toilet.“Kayaknya minuman kita ada racunnya,” celetuk Ethan.“Bukan racun,” sahut Tony, “kalau ada racunnya, kita udah mati.”“Terus apa?” tanya Ethan.“Semacam obat pencuci perut mungkin,” sahut Jake.“Tapi kita nggak boleh berburuk sangka,” sahut Tony, “gimana kalau minumannya yang memang udah kadaluarsa.”“Aku nggak bisa nggak berburuk sangka kalau yang ngasih minuman itu Sabrina dan teman-temannya,” kata Jake.“Hah!” sahut Tony, “kenapa kamu nggak ngomong dari awal?”“Aku haus dan lagi pengen minuman yang ada rasa-rasanya,” sahut Jake, “mau bagaimana lagi?”Tony mendesah lemah. “Hei, di mana Emma?” katanya. Firasatnya tidak enak.“Oh, iya,” sahut Jake, “ayo kita cari dia!”Mereka bertiga lalu berjalan menyusuri setiap sudut kampus. Tak hanya itu mereka juga bertanya kepada setiap mahasiswa yang mereka jumpai. Namun, tak satu pun dari merek
“Ah, acara ulang tahun pernikahan orangtuaku,” sahut Jake.“Oh, iya,” sahut Emma, “apa banyak anak di kampus yang kamu undang?”Jake mengangguk. “Lumayan,” katanya, “tapi kamu nggak perlu khawatir. Aku nggak ngundang Sabrina dan kedua temannya kok. Aku nggak mau acara ulang tahun pernikahan orang tuaku yang seharusnya sakral jadi kacu karena keberadaan mereka bertiga.”Emma tertawa. “Mereka emang hobi banget membuat masalah di mana aja,” katanya setelah tawanya reda.***Selepas Jake pergi, Emma langsung menuju ke kamarnya. Meski belum jam sembilan malam, dia merasa lelah sekali dan ingin istirahat. Sepertinya dia tak hanya lelah fisik tetapi juga lelah hati da pikiran. Mungkin karena efek dari apa yang Sabrina dan kedua temannya lakukan di sekolah.Namun baru beberama menit Emma berbaring, dia dikagetkan suara Lily. Wanita itu mengetuk pintu kamar sambil memanggil-manggilnya.“Masuk,” kata Emma.“Ada Tony di depan,” kata Lily ketika dia membuka pintu.Emma menghembuskan napas lemah.
Tak ada suara yang menyahut. Emma lalu menoleh ke belakang karena ada yang menarik-narik gaunnya dari belakang. Dia membelalakkan mata dan menjerit saat melihat seorang anak kecil dengan wajah yang gosong dan matanya melotot.Emma refleks menendang anak kecil itu. Dia lalu berlari dengan sangat kencang. Tapi, di depan Emma melihat sosok lain lagi. Sosok itu adalah seorang gadis yang sepertinya lebih tua darinya. Gadis itu memakai gaun berwarna putih agak kumal. Rambut gadis itu panjang dan tak teratur seperti tidak pernah di sisir. Emma berteriak ketika melihat wajah gadis itu yang berkerut-kerut dan ada ada bercak darah.“Pergi!” kata Emma, “jangan ganggu aku.”Gadis itu tidak menggubris Emma. Dia malah tertawa melengking. Dia lalu bergerak mendekati Emma degan sangat cepat. Emma tak sempat menghindar ketika gadis itu mencekiknya.“Ayo ikut aku,” kata gadis itu sambil menyeringai.Emma menangis. Dia berusaha melepaskan tangan gadis itu, tapi tidak bisa. Tenaga gadis itu sangat kuat.