Emma melihat Jake ketika pintu terbuka. “Hei, kamu di sini?” kata Jaka. “I…iya,” kata Emma, “bajukku kena tumpahan minuman jadi aku membersihkannya. Maaf, aku akan keluar.” Emma lalu berjalan melewati Jake. “Buru-buru banget,” kata Jake. Dia melepaskan pintu lalu menoleh untuk melihat Emma yang sudah berjalan beberapa langkah. “Kita belum bicara.” Emma berhenti berjalan. Sepertinya dia tidak ingin mengobrol dengan Jake. Dia merasa tidak nyaman berada di dekat laki-laki itu. Dia hanya merasa tidak sopan meninggalkan tuan rumah begitu saja saat anak laki-laki itu sedang berbicara. Jake lalu menghampiri Emma. Dia menghentikan langkahnya tepat di depan Emma. "Kamu cantik banget," kata Jake, "Aku nggak percaya kamu sama Tony cuma temenan dari kecil. Apa kalian beneran nggak pernah pacaran?" “Bukannya kamu mau ke toilet?” ucap Emma mencoba mengalihkan pembicaraan. “Nggak lagi setelah ketemu sama kamu,” kata Jake. "T... tapi, aku
“Akhir-akhir ini, dia gangguin temn-temenku di sekolah,” kata Emma, “dan itu sangat merugikanku.”Robin dan Lily saling berpandangan. "Maksudmu akhir-akhir ini kamu jadi murid yang suka membuat onar di sekolah karena hantu itu?” tanya Lily.Emma menggelengkan kepalanya. "Nggak," jawabnya, "Dia merasukiku cuma kalau ada yang menggangguku."“Bukannya itu bagus?” kata Robin, “dengan begitu mereka nggak akan ganggu kamu lagi.”Emma menarik napas dalam-dalam. “Semuanya nggak kayak yang Ayah pikirin,” katanya, “dulu aku selalu diem dan cenderung menghindar kalau ada yang menyerang. Itu membuatku aman. Kalau pada akhirnya ada yang dihukum, pastinya yang dihukum adalah orang yang nyerang aku itu. Tapi sekarang nggak lagi. Karena aku melawan dan seranganku bisa dikatakan lebih parah, jadi kalau ada yang dihukum, aku juga bisa ikut dihukum.”Robin dan Lily tak membantah lagi. Keduanya bingung. Kalau dipikir-pikir keberadaan mahluk astral itu di dalam tubuh Emma tidak ada positifnya sama seka
“Kita akan paksa Tony buat nyuruh Emma kencan saama kamu," kata Ethan. Jake menjauhkan kepalanya dari Ethan. Dia kemudian duduk di tempat tidur. “Gimana kalau Tony nggak mau?" tanyanya. "Kita jangan temenin dia," kata Ethan, "kita nggak bisa biarin dia hidup tenang di kampus gitu aja. Kita akan musuhin dia biar dia nyerah dan akhirnya mau.” Sejujurnya, Jake tidak yakin dengan ide Ethan. Dia sangat mengenal Tony. Anak laki-laki itu tidak suka dipaksa melakukan sesuatu yang tidak disukainya. Dia tidak suka dipaksa melakukan sesuatu yang bertentangan dengan pendiriannya. Namun meski begitu, Jake harus mencobanya. *** Tony menepati janjinya ketika hari Minggu tiba. Dia datang ke rumah Emma. Dia kemudian membawa gadis itu ke sebuah lapangan. Dengan sabar, ia kemudian mulai mengajari Emma mengemudi. “Apa aku perlu jelasin ke kamu bagian-bagian mobil?” tanya Tony. Emma menggelengkan kepalanya. “Nggak sih,” katanya. Tony mengangguk, "Oke," katanya, "kamu udah tahu yang mana setir, kun
"Apa yang kamu lihat?" Tony bertanya, tidak sabar.“Aku ngeliat seseorang berjubah hitam lewat di depan mobil waktu aku belok,” kata Emma.Tony menarik napas dalam-dalam. “Hantu sialan itu,” katanya, “dia harus dihentikan, Emma.”Emma mengangguk. Makhluk astral ini hanya memiliki sisi positif dalam membantu Emma ketika Emma sedang di-bully. Sisanya semuanya negatif. Dari apa yang baru saja terjadi, Emma benar-benar menyadari bahwa hantu itu sangat menginginkan nyawanya."Ayo pulang," ajak Tony membuyarkan lamunan Emma.Emma mengangguk. "Boleh aku minum lagi dulu?" tanya Ema.“Iya,” kata Tony, “apa kamu mau makan dulu juga?”Emma menggeleng, "Nggak," katanya setelah selesai minum.Biarkan aku mengemudi, kata Tony. Dia kemudian menggantikan Emma di kursi pengemudi. Sementara itu, Emma bergeser ke kursi di sebelahnya.***Emma tiba di rumah ketika Robin dan Lily sedang makan malam. Mereka berdua tampak sibuk membicarakan sesuatu hingga tidak menyadari kedatangan Emma. Mereka berdua baru
Emma menempelkan bagian runcing pecahan keramik itu ke pergelangan tangannya. Perlahan dia terus menekan. Akibat goresan tersebut, kulit Emma terluka. Ada sedikit darah yang keluar. Namun Emma tidak berhenti. Dia terus memotong pergelangan tangannya dengan pecahan keramik.Beruntungnya, sebelum Emma terluka lebih parah, Robin dan Lily berhasil menemukannya di kamar mandi. Kedua orang itu tampak panik."Apa yang kamu lakukan, Sayang?" Lily bertanya.Emma tidak menjawab. Dia malah tersenyum dan tatapannya tajam.“Biarkan aku bawa dia ke tempat tidur,” kata Robin, “ambilkan alkohol, obat merah dan perban.Lily mengangguk. Ia kemudian mengambil apa yang diminta Robin dari laci lemari pakaian Emma. Wanita itu kemudian segera berjalan cepat menuju tempat tidur. "Ini alkoholnya, perbannya dan obat merahnya," ucapnya sambil menyerahkan ketiga benda itu pada Robin.Robin membersihkan luka Emma sambil menatap wajah putrinya. penglihatannya normal.“Apa yang terjadi, Emma?” Robin bertanya.Emma
Jake menoleh saat mendengar suara berbisik itu. Dia terbelalak. Teriaknya karena melihat seorang wanita berpakaian putih dengan wajah datar. Pada wajah wanita tersebut terdapat beberapa bintik merah kering seperti bekas darah.“Apa yang kamu lakukan, Nak?” kata wanita itu. Suaranya berat dan mengerikan.Jake berteriak lagi. Dia kemudian melompat menjauh dari wanita itu. Dengan cepat, ia kemudian berlari keluar dari halaman rumah Emma. Dia melemparkan kotak yang dibawanya ke jok dan segera menyalakan mesin mobil. Dia mengemudi dengan sangat cepat.Jake mengira dia akan segera melarikan diri dari makhluk aneh itu. Namun ternyata tidak. Hantu itu ternyata sedang mengejarnya. Dia melihat pantulan makhluk itu di kaca spion. Bayangan itu semakin besar dan besar. Karena tidak fokus, mobil Jake menabrak pohon di pinggir jalan. Dampaknya begitu keras hingga Jake tidak sadarkan diri.***Emma duduk di kursi yang ada di taman kota. Gadis itu baru saja selesai jogging di pagi hari. Dia baru memul
Emma meraih telepon dari tangan Robin pelan-pelan. “Halo,” katanya setelah menempelkan telepon di telinga.“Emma, kamu dan keluargamu harus bertanggung jawab,” terdengar suara seorang peremmmpuan dari seberang.“Dengan siapa aku bicara?” tanya Emma memastikan. Walaupun sebenarnya dia sudah tahu kemungkinan besar yang meneleponnya adalah orangtua Anne.“Aku ibunya Anne,” sahut wanita itu, “kamu dan orangtuamu kami tunggu di rumah sakit Kasih Bunda.”Sambungan lalu terputus.“Siapa yang menelepon?” tanya Robin.Emma tak menjawab. Dia berpaling pada Lily. “Bu, orangtua Anne minta kita datang ke rumah sakit Kasih Bunda,” katanya.“Ayo kita pergi,” kata Lily pada Robin.“Hei, ada apa?” tanya Roobin, “siapa yang sakit?”“Aku jelaskan nanti,” kata Lily, “sekarang cepat keluarkan mobilnya dari garasi.”***Mereka sampai di rumah sakit setengah jam kemudian. Dengan cekatan, Robin memarkirkan mobil. Setelah itu, mereka bertiga lalu keluar dari mobil dan berjalan menuju lobi rumah sakit.Di lobi
Tony kemudian melihat ke belakang dan berbalik. Yang menyentuh bahu Ethan. Di belakang Ethan ada Jake. Ada kain kasa dan plester di dahi kanan Jake."Hei, kalian nggak pulang?" tanya Tony.“Jake, dahimu kenapa?” kata Tony lagi, “kamu terjatuh? Atau berkelahi?”"Kenapa kamu nggak ngasih tahu aku kalo ada ada hantu di rumah Emma?" kata Jake. Dia mencengkeram kerah baju Tony.Tony menepis tangan Jake. "Apa maksudmu?" dia bertanya, "Aku belum pernah ngeliat hantu setiap aku dateng ke rumah Emma."“Aku mengalami kecelakaan karena dikejar hantu dari halaman rumah Emma,” kata Jake, “hantu itu bertubuh besar dan warnanya hitam.Tony terdiam. Hantu yang dimaksud Jake pastinya adalah hantu yang sama yang mengganggu Emma."Hei Tony, kamu bisu ya?" kata Jake, “kenapa kamu nggak jawab?”“Aku minta maaf sebelumnya,” kata Tony, “Aku nggak pernah diganggu sama hantu kalau aku datang ke rumah Emma, tapi Emma sendiri yang pernah. Aku nggak nyangka hantu itu juga ganggu kamu.”"Hantu sialan itu mer
Hari pertama menjalani kegiatan di kampus Emma merasa sangat tidak nyaman. Dia tidak mudah berkenalan dengan orang baru karena tidak semua orang bisa memahaminya. Akibatnya, Emma jadi sering menyendiri. Baik di kelas, perpustakaan atau di kantin, dia jarang terlihat berbaur dan mengobrol dengan mahasiswa lain. Keadaan itu membuat banyak mahasiswa di kampus yang menganggap Emma sombong. Sehingga akhirnya ada banyak mahasiswa di kampus yang membenci Emma. Banyak yang memusuhi Emma secara diam-diam. Tapi tak sedikit juga yang memusuhi Emma secara terang-terangan. Akibatnya, hampir setiap hari ada saja yang membuat Emma marah dan mengamuk karena selalu ada yang mengganggunya. Puncaknya adalah saat ada yang menganggu Emma saat gadis itu makan siang sendirian di kantin.“Sombong banget sih ke mana-mana sendiri terus,” kata seorang gadis berambut sebahu.“Mungkin dia ngerasa paling cantik kali di sekolah ini. Atau dia kayak gini biar banyak yang ngedeketin. Ala-ala misterius,” kata gadis y
Karena tak ada respon setelah mengetuk pintu beberapa kali, Anne memutuskan untuk menelepon Desy. Setelah panggilan keempat baru teleponnya direspon.“Ada apa, Anne?” tanya Desy dari seberang. Suaranya terdengar sangat pelan.“Kamu ada di rumah?” tanya Anne.“Iya,” sahut Desy.“Kok ...,” Anne menghentikan kalimatnya karena dia melihat seorang bapak-bapak keluar dari rumah Desy. Sebatas yang dia ingat, itu bukan Ayah Desy. Apakah orang itu kerabatnya Desy yang dia tidak kenal sebelumnya?“Kamu masuk aja,” kata Desy.Anne seketika memutuskan sambungan telepon dan masuk ke melewati pintu yang terbuka. Setelah menutup pintu, dia berjalan ke tengah bagian rumah. Tempat yang dia tuju tentu saja kamar Desy.Anne mengerutkan kening saat masuk ke kamar Desy dan melihat ranjang gadis itu berantakan. Dia takut terjadi apa-apa dengan Desy.“Desy, kamu di mana?” tanya Anne. Dia menghembuskan napas lega saat mendegar suara keran dari kamar mandi.“Orang laki-laki yang tadi keluar dari rumah kamu si
Tiga hari setelah demo terakhir dilakukan, kedua orang tua Emma dipanggil ke kampus. Mereka berdua diminta untuk bertemu dengan Bu Marta langsung di ruangannya. “Selamat pagi,” kata Tony sambil mengetuk pintu ruangan Bu Marta ketika langkahnya terhenti di depan ruangan kepala sekolah itu.Bu Marta menatap ke arah pintu. “Selamat pagi,” katanya, “silakan masuk.”Bu Marta mengambil napas dalam sebelum berbicara dengan Robin dan Lily. “Sebelumnya saya mewakili pihak sekolah ingin mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya,” kata Bu Marta.“Apa tidak bisa dinegosiasikan lagi, Bu?” tanya Robin, “kita semua sama-sama tahu kan kalau semua kekacauan yang Emma perbuat bukan murni keinginan Emma. Ada mahluk astral yang mengendalikannya.”Bu Marta mengangguk. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin menjelaskan kepada para orangtua mahasiswa itu. Tapi mereka tak ada yang mau peduli. Alasan mereka, mereka tidak mau kekacauan itu terulang terus. Mereka tidak mau kalau nanti anak mereka dan yang lainny
Orang tua Yosi dan Burhan kompak mengajak puluhan orang tua mahasiswa lain untuk melakukan demo ke kampus. Mereka semua menuntut agar Emma dikeluarkan karena tingkahnya yang sangat meresahkan. Mereka tak hanya melakukan demo sekali, tetapi sebanyak tiga kali dalam seminggu.Fakta itu tentu saja membuat pihak sekolah bimbang. Di satu sisi, mereka tidak bisa mengabaikan permintaan wali murid. Tapi, di sisi lain, mengeluarkan Emma dari kampu begitu saja juga bukan pilihan yang paling tepat. Bagaimana pun juga, Emma adalah salah satu mahasiswa yang cukup berprestasi. Mereka bahkan mempunya beberapa rencana untuk mengikuti lomba dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan. Dan salah satu mahasiswa yang akan mereka ikutkan untuk lomba itu adalah Emma.Tak hanya pihak sekolah yang dibuat pusing oleh demo yang dilakukan para orang tua mahasiswa itu. Emma dan orang tuanya juga dibuat pusing. Yang paling tertekan dengan kedaan itu tentu saja Emma. Hampir setiap hari dia menangis karena lelah meng
Sabrina tak peduli jika pada akhirnya Desy muak dengan sikapnya dan gadis itu meninggalkannya. Dia tetap fokus pada niatnya untuk membuat Emma dikeluarkan dari sekolah. Maka dia mencari tahu dua mahasiswa yang kemarin menjadi korban amukan Emma di kantin. Dari informasi yang berhasil Sabrina himpun dari orang-orang suruhannya. Dia menemukan nama dan kelas dua mahasiswa itu. Bahkan Sabrina juga tahu alamat rumah mereka. Tapi sebelum memutuskan untuk mendatangi orang tua mereka di rumah mereka, Sabrina memutuskan untuk menghampiri mereka di kelasnya terlebih dahulu. Yang pertama Sabrina datangi adalah Yosi. Laki-laki berpostur jangkung itu tengah duduk di kursi yang ada di depan kelas ketika Sabrina datang. “Hei, gimana kabarnya?” kata Sabrina. Dia duduk di samping Yosi, “luka kamu yang kena amukan Emma kemarin masih sakit?” “Lumayan sih. Ada beberapa luka gosong kebiruan dan luka goresan karena kena lantai dan bangku kantin,” kata Yosi, “ini masih mendingan. Si Burhan malah hari ini
Emma pikir, Sabrina memang akan benar-benar berubah. Dia pikir gadis itu akan menepati janjinya. Tapi ternyata tidak. Pada akhirnya gadis itu berulang lagi. Entah disengaja atau tidak, saat berad di kantin, tiba-tiba saja Sabrina menjatuhkan minuman yang masih agak panas dari belakang. Cairan kopi itu mengenai punggung Emma, mengenai kemejanya dan tembus hingga ke kulitnya.Emma merasakan rasa skit dan panas doi punggungnya. Seharusnya dia pergi ke toilet. Dan memang sebenarnya dia berniat pergi ke toilet. Namun, Emosinya lebih dulu meledak. Seperti biasa, mahluk astral itu menguasainya lagi. Membuatnya lepas kendali.Sadar berhasil memancing Emma, Sabrina pun tersenyum-senyum. Tetapi sebisa mungkin dia berusaha meminta maaf agar segalanya tak terlihat mencolok.“Maaf ya, Emma,” katanya kepada Emma.Emma tak menyahut. Dia mengerang dan mencengkeram pergelangan tangan Sabrina. Matanya melotot dan bola matanya berputar-putar. Dia mengerang. Lalu kuku-kukunya yang panjang mencakar kulit
Emma masuk kuliah lagi, tiga hari dari hari pertama dia di rumah sakit. Sebelum masuk ke dalam kelas, Ethan dan Jake menyambutnya di ambang pintu. Mereka mengulurkan tangan dan agak sedikit membungkuk seperti mempersilakan otang penting. Emma tersenyum melihatnya.“Kalian ini kayak aku siapa saja,” kata Emma.Baru duduk sebentar, Tony lalu berdiri lagi. Dia lalu mengajak Ethan dan Jake keluar kelas.“Aku nggak diajak nih?” tanya Emma.“Aku mau ngobrol sebentar sama mereka,” kata Tony. Dia lalu tersenyum, “ini urusan laki-laki.”Emma menghembuskan napas kasar. “Males banget deh kalo bawa-bawa gender,” katanya.“Bentar doang kok,” kata Tony.Tony, Ethan dan Jake lalu berjalan keluar kela. Mereka menghentikan langkahnya di taman. Tony lalu memilih bangku yang ada di sudut taman untuk duduk. Tempat itu lumayan jah dari jangkauan orang-orang karena kanan dan kirinya adalah barisan tembok ruang dekan.“Kamu ngapain sih ngajak kita ke sini?” tanya Jake setelah dia duduk.“Aku mau ngomong ser
Saat Sabrina masuk, Jake sedang mengobrol dengan Emma. Laki-laki itu berdiri di dekat ranjang sambil agak membungkuk, mendengarkan suara Emma yang mungkin masih terdengar pelan. Dia membelakangi Sabrina. Di sampingnya ada Ethan. Sementara itu, Tony berdiri di sisi ranjang yang lain sehingga dia menjadi orang yang lebih dulu mengetahui kehadiran Sabrina.Karena menyadari arah pandang Tony, Jake akhirnya menoleh.“S ... sore semua,” kata Sabrina.Tony tak menyahut. Emma juga. Yang menyahut adalah Jake. “Sore,” ujarnya pelan. Dia lalu menghadap Emma lagi.“Emma sakit apa? Habis jatuh kah?” tanya Sabrina karena dia melihat ada bekas jahitan di kening Emma sebelah kanan.“Iya,” sahut Sabrina pelan.“Sekarang udah mendingan apa masih sakit?” tanya Sabrina.“Udah mendingan kok,” sahut Emma.“Maaf ya, aku nggak sempet beliin apa-apa,” kata Sabrina.“Nggak apa-apa,” sahut Emma.Sejujurnya, Emma tidak yakin Sabrina tulus. Dia sebenarnya malas menanggapi gadis itu. Rasanya mustahil seorang Sabri
Saat jam istirahat siang, Jake dan Ethan kelimpungan mencari Tony dan Emma di kelasnya. Mereka bertanya-tanya ke mana perginya dua orang itu. Jake yang paling penasaran. Tentu saja. Setelah duduk di meja kantin, Jake lalu menelfon Emma. Karena tak ada tanggapan dari gadis itu, dia lalu menelfon Tony. “Aku yakin sih ini mereka pasti pergi berdua,” kata Jake selagi menunggu panggilannya mendapat respon dari Tony. “Kayaknya sih,” sahut Ethan sambil menyendok basonya. “Kamu bolos bareng Emma ya?” kata Jake setelah mendengar suara Tony dari seberang. “Bolos ... bolos kepalamu? Aku lagi jenguk Emma di rumah sakit,” sahut Tony. “Rumah sakit?” ulang Tony, “Emangnya Emma sakit apa?” “Ceritanya panjang. Entar juga kamu tahu sendiri kalo ke rumah sakit,” sahut Tony. “Di rumah sakit mana?” tanya Jake. “Biasa. Yang deket sama rumah Emma,” sahut Tony. “Siapa yang sakit?” tanya Ethan setelah Jake meletakan ponselnya di atas meja. “Emma,” jawab Jake. “Sakit apa?” sahut Ethan. Dia membelala