Emma meraih telepon dari tangan Robin pelan-pelan. “Halo,” katanya setelah menempelkan telepon di telinga.“Emma, kamu dan keluargamu harus bertanggung jawab,” terdengar suara seorang peremmmpuan dari seberang.“Dengan siapa aku bicara?” tanya Emma memastikan. Walaupun sebenarnya dia sudah tahu kemungkinan besar yang meneleponnya adalah orangtua Anne.“Aku ibunya Anne,” sahut wanita itu, “kamu dan orangtuamu kami tunggu di rumah sakit Kasih Bunda.”Sambungan lalu terputus.“Siapa yang menelepon?” tanya Robin.Emma tak menjawab. Dia berpaling pada Lily. “Bu, orangtua Anne minta kita datang ke rumah sakit Kasih Bunda,” katanya.“Ayo kita pergi,” kata Lily pada Robin.“Hei, ada apa?” tanya Roobin, “siapa yang sakit?”“Aku jelaskan nanti,” kata Lily, “sekarang cepat keluarkan mobilnya dari garasi.”***Mereka sampai di rumah sakit setengah jam kemudian. Dengan cekatan, Robin memarkirkan mobil. Setelah itu, mereka bertiga lalu keluar dari mobil dan berjalan menuju lobi rumah sakit.Di lobi
Tony kemudian melihat ke belakang dan berbalik. Yang menyentuh bahu Ethan. Di belakang Ethan ada Jake. Ada kain kasa dan plester di dahi kanan Jake."Hei, kalian nggak pulang?" tanya Tony.“Jake, dahimu kenapa?” kata Tony lagi, “kamu terjatuh? Atau berkelahi?”"Kenapa kamu nggak ngasih tahu aku kalo ada ada hantu di rumah Emma?" kata Jake. Dia mencengkeram kerah baju Tony.Tony menepis tangan Jake. "Apa maksudmu?" dia bertanya, "Aku belum pernah ngeliat hantu setiap aku dateng ke rumah Emma."“Aku mengalami kecelakaan karena dikejar hantu dari halaman rumah Emma,” kata Jake, “hantu itu bertubuh besar dan warnanya hitam.Tony terdiam. Hantu yang dimaksud Jake pastinya adalah hantu yang sama yang mengganggu Emma."Hei Tony, kamu bisu ya?" kata Jake, “kenapa kamu nggak jawab?”“Aku minta maaf sebelumnya,” kata Tony, “Aku nggak pernah diganggu sama hantu kalau aku datang ke rumah Emma, tapi Emma sendiri yang pernah. Aku nggak nyangka hantu itu juga ganggu kamu.”"Hantu sialan itu mer
Desy memandang Emma dengan cermat. “Kamu harus bersiap-siap,” katanya, “ini akan sangat mengejutkan.”"Cepet kasih tahu aku, Desy," kata Sabrina tidak sabar, "jangan bikin aku penasaran.""Aku denger Jake ngedeketin Emma," kata Desy."Apa?!" kata Sabrina."Kamu bercanda kan?" Jawab Anne. Dia kemudian mencoba untuk bangun. Namun sebelum dia sempat duduk, dia kembali berbaring, "Sial, kepalaku masih pusing.""Aku nggak bercanda," kata Desy, "dalam perjalanan ke rumahmu ada yang ngasih tau aku tentang itu.""Gimana bisa?" kata Sabrina. Dia tidak bisa berhenti berpikir. Sekalipun Jake jatuh cinta, laki-laki itu harusnya jatuh cinta padanya. Bukan Emma yang culun."Aku juga nggak percaya, Sabrina," kata Desy, "Kukira Jake bakalan suka cewek kayak kamu. Cantik, modis dan berasal dari keluarga kaya raya. Bukan gadis culun yang nggak pernah memperhatikan penampilannya seperti Emma.""Aku curiga Emma menggunakan ilmu hitam buat narik perhatian Jake, Sabrina," kata Anne, "kayaknya nggak mungkin
Jari-jari tangannya berwarna hitam dan memiliki kuku yang sangat panjang dan tajam. Sebelum tangan itu berhasil mencekik lehernya, Tony berusaha menahannya. Namun usaha Tony gagal. Kekuatan tangan itu sangat kuat.Jeremy panik saat melihat Tony tampak sesak napas. Ia berusaha membangunkan putranya dengan menggoyangkan tubuh Tony. Ia semakin panik ketika usahanya tidak berhasil. Tubuh Tony justru mengeluarkan keringat dingin.“Tony, bangun, Nak,” kata Jeremy. Dia menepuk wajah Tony beberapa kali. Dia menghela nafas lega saat melihat Tony perlahan membuka matanya."Apa yang terjadi?" Jeremy bertanya ketika Tony sudah membuka matanya sepenuhnya."Hantu itu...," kata Tony. Dia menggelengkan kepalanya, tampak frustrasi.“Kenapa dengan hantu itu?” Jeremy bertanya.Dia Nyerang aku,” kata Tony.Jeremy membelalakkan matanya. “yang benar?” dia berkata, "mana yang terluka?""Nggak apa-apa," kata Tony, "Aku baik-baik aja.""Kamu yakin, Nak?" Jeremy meminta konfirmasi.Tony mengangguk. "Ayo pergi
“Kalau nggak, aku nggak akan nganggep kamu sebagai temen lagi,” kata Jake. Dia menepuk bahu Tony.Tony tertawa. “Ancaman yang bagus,” katanya, “tapi aku nggak takut. Kalo kamu nggak nganggep aku temen, aku bisa berteman dengan tumbuhan, hewan dan bahkan hantu.”Jake menatap Tony selama beberapa detik. Dia kemudian tertawa. “Leluconmu cukup lucu,” katanya.***Sebenarnya Emma lapar, namun karena tidak ingin pergi ke kantin dan bertemu geng Sabrina, ia memilih pergi ke studio musik. Di sana ia bisa bersantai sambil memainkan alat musik.Awalnya Emma ragu ketika langkahnya terhenti di depan gedung. Dari luar ruangan terlihat sedikit menakutkan karena sepi dan selalu tertutup. Namun Emma mengesampingkan rasa takutnya dan membuka pintu. Perlahan, dia masuk.Studio musiknya sangat luas. Luasnya sekitar empat kali luas ruang tamu Emma. Di pojok kanan ruangan terdapat lemari besar dan tinggi. Setahu Emma, lemari ini biasanya digunakan untuk menyimpan alat-alat musik kecil seperti terompet
Rupanya suara langkah itu adalah langkah kaki Tony. Bocah itu memasuki studio musik sambil membawa burger di tangan kanannya."Apa yang terjadi?" tanya Tony. Dia melangkah mendekati Emma.Emma menggelengkan kepalanya. “Nggak ada apa-apa,” kata Emma, “kita Cuma mau belajar memainin alat musik.”"Eh ... aku pergi dulu," kata Veronica, "Ngeelihat burgernya, aku jadi lapar."Tony mengangguk, "oke," katanya, "hati-hati."Setelah Veronica pergi, Emma kembali duduk di bangku piano. Tony juga duduk di sampingnya. Ia lalu menyerahkan burger itu pada Emma."Berapaan?" Emma bertanya kapan dia menerima burger itu."Aku nggak jualan burger," kata Tony.Emma tertawa. Dia kemudian mulai makan burgernya.“Ngomong-ngomong, kamu kenal cewek tadi?” tanya Tony.“Aku baru saja tau namanya tadi pas dia dateng ke sini,” kata Emma. Pipinya menggembung karena mengunyah burger."Jadi, kamu baru Kenal dia beberapa menit?" tanya Tony."Ya," kata Emma. Dia mengangguk, “kenapa emangnya?”"Menurutku itu aneh," ka
Veronica menoleh. Dia membelalakkan matanya saat melihat Emma di belakangnya dan pintu studio musik terbuka.“Usaha yang bagus, Nak,” kata Emma. Suaranya dalam dan aneh. Tidak seperti suara Emma biasanya."Siapa kamu?" Veronika bertanya. Dia merinding dan sangat ketakutan.Emma mengerang. Wajahnya menjadi jelek dan ada beberapa bintik merah seperti darah kering."Aku Emma," kata Emma. Dia menyeringai lalu berlari mengejar Veronica. Larinya sangat cepat. Nyaris seperti terbang.Veronika berlari dengan sangat cepat juga. Emma mengejarnya. Tak mau menyerah, Veronica berlari semakin kencang. Namun, semakin cepat ia berlari, semakin cepat pula Emma mengikutinya. Usaha Veronica mempercepat langkahnya sepertinya sia-sia. Karena kelelahan dan kaki lemah, ia terjatuh saat berlari melewati halaman luas depan fakultas kedokteran. Saat itulah Emma meraih pergelangan kakinya."Mau kemana, Nak?" tanya Ema.teriak Veronika. "Jangan ganggu aku?" katanya, “pergi!”Emma tertawa keras dan melengking. “K
“Kamu nggak bisa ngelakuin hal sepele kayak gitu?!” kata Sabrina, “dia mendorong Veronica dengan tangan kanannya.“Maaf,” kata Veronica, “Aku gagal nyampurin obat pencahar ke dalam minumannya. Tapi pas aku pulang dari kampus aku ngajak dia ke studio musik. Aku ngunci dia dari dari luar. Tapi dia bisa keluar. Dia terus berubah jadi sosok yang menakutkan dan membuatku takut.""Kalo gitu pulang sana," kata Sabrina, "Aku nggak akan ngasih kamu apa-apa karena kamu gagal."***Emma duduk di tempat tidur di kamarnya. Dia memikirkan kejadian yang menimpanya sepulang dari kampus. Mengapa Veronica ingin menyakitinya? Apakah gadis itu benar-benar kaki tangan Sabrina?Kalau dipikir-pikir, Emma hampir tidak pernah mengenal satu pun mahasiswa tingkat akhir selain Sabrina dan kedua temannya. Itu karena mereka terlalu sering mengganggunya. Rasanya tidak mungkin tanpa alasan ada orang yang memusuhinya. Kecuali, Sabrina menyuruh Veronica untuk menyakitinya.Emma berhenti melamun ketika mendengar suara
Hari pertama menjalani kegiatan di kampus Emma merasa sangat tidak nyaman. Dia tidak mudah berkenalan dengan orang baru karena tidak semua orang bisa memahaminya. Akibatnya, Emma jadi sering menyendiri. Baik di kelas, perpustakaan atau di kantin, dia jarang terlihat berbaur dan mengobrol dengan mahasiswa lain. Keadaan itu membuat banyak mahasiswa di kampus yang menganggap Emma sombong. Sehingga akhirnya ada banyak mahasiswa di kampus yang membenci Emma. Banyak yang memusuhi Emma secara diam-diam. Tapi tak sedikit juga yang memusuhi Emma secara terang-terangan. Akibatnya, hampir setiap hari ada saja yang membuat Emma marah dan mengamuk karena selalu ada yang mengganggunya. Puncaknya adalah saat ada yang menganggu Emma saat gadis itu makan siang sendirian di kantin.“Sombong banget sih ke mana-mana sendiri terus,” kata seorang gadis berambut sebahu.“Mungkin dia ngerasa paling cantik kali di sekolah ini. Atau dia kayak gini biar banyak yang ngedeketin. Ala-ala misterius,” kata gadis y
Karena tak ada respon setelah mengetuk pintu beberapa kali, Anne memutuskan untuk menelepon Desy. Setelah panggilan keempat baru teleponnya direspon.“Ada apa, Anne?” tanya Desy dari seberang. Suaranya terdengar sangat pelan.“Kamu ada di rumah?” tanya Anne.“Iya,” sahut Desy.“Kok ...,” Anne menghentikan kalimatnya karena dia melihat seorang bapak-bapak keluar dari rumah Desy. Sebatas yang dia ingat, itu bukan Ayah Desy. Apakah orang itu kerabatnya Desy yang dia tidak kenal sebelumnya?“Kamu masuk aja,” kata Desy.Anne seketika memutuskan sambungan telepon dan masuk ke melewati pintu yang terbuka. Setelah menutup pintu, dia berjalan ke tengah bagian rumah. Tempat yang dia tuju tentu saja kamar Desy.Anne mengerutkan kening saat masuk ke kamar Desy dan melihat ranjang gadis itu berantakan. Dia takut terjadi apa-apa dengan Desy.“Desy, kamu di mana?” tanya Anne. Dia menghembuskan napas lega saat mendegar suara keran dari kamar mandi.“Orang laki-laki yang tadi keluar dari rumah kamu si
Tiga hari setelah demo terakhir dilakukan, kedua orang tua Emma dipanggil ke kampus. Mereka berdua diminta untuk bertemu dengan Bu Marta langsung di ruangannya. “Selamat pagi,” kata Tony sambil mengetuk pintu ruangan Bu Marta ketika langkahnya terhenti di depan ruangan kepala sekolah itu.Bu Marta menatap ke arah pintu. “Selamat pagi,” katanya, “silakan masuk.”Bu Marta mengambil napas dalam sebelum berbicara dengan Robin dan Lily. “Sebelumnya saya mewakili pihak sekolah ingin mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya,” kata Bu Marta.“Apa tidak bisa dinegosiasikan lagi, Bu?” tanya Robin, “kita semua sama-sama tahu kan kalau semua kekacauan yang Emma perbuat bukan murni keinginan Emma. Ada mahluk astral yang mengendalikannya.”Bu Marta mengangguk. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin menjelaskan kepada para orangtua mahasiswa itu. Tapi mereka tak ada yang mau peduli. Alasan mereka, mereka tidak mau kekacauan itu terulang terus. Mereka tidak mau kalau nanti anak mereka dan yang lainny
Orang tua Yosi dan Burhan kompak mengajak puluhan orang tua mahasiswa lain untuk melakukan demo ke kampus. Mereka semua menuntut agar Emma dikeluarkan karena tingkahnya yang sangat meresahkan. Mereka tak hanya melakukan demo sekali, tetapi sebanyak tiga kali dalam seminggu.Fakta itu tentu saja membuat pihak sekolah bimbang. Di satu sisi, mereka tidak bisa mengabaikan permintaan wali murid. Tapi, di sisi lain, mengeluarkan Emma dari kampu begitu saja juga bukan pilihan yang paling tepat. Bagaimana pun juga, Emma adalah salah satu mahasiswa yang cukup berprestasi. Mereka bahkan mempunya beberapa rencana untuk mengikuti lomba dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan. Dan salah satu mahasiswa yang akan mereka ikutkan untuk lomba itu adalah Emma.Tak hanya pihak sekolah yang dibuat pusing oleh demo yang dilakukan para orang tua mahasiswa itu. Emma dan orang tuanya juga dibuat pusing. Yang paling tertekan dengan kedaan itu tentu saja Emma. Hampir setiap hari dia menangis karena lelah meng
Sabrina tak peduli jika pada akhirnya Desy muak dengan sikapnya dan gadis itu meninggalkannya. Dia tetap fokus pada niatnya untuk membuat Emma dikeluarkan dari sekolah. Maka dia mencari tahu dua mahasiswa yang kemarin menjadi korban amukan Emma di kantin. Dari informasi yang berhasil Sabrina himpun dari orang-orang suruhannya. Dia menemukan nama dan kelas dua mahasiswa itu. Bahkan Sabrina juga tahu alamat rumah mereka. Tapi sebelum memutuskan untuk mendatangi orang tua mereka di rumah mereka, Sabrina memutuskan untuk menghampiri mereka di kelasnya terlebih dahulu. Yang pertama Sabrina datangi adalah Yosi. Laki-laki berpostur jangkung itu tengah duduk di kursi yang ada di depan kelas ketika Sabrina datang. “Hei, gimana kabarnya?” kata Sabrina. Dia duduk di samping Yosi, “luka kamu yang kena amukan Emma kemarin masih sakit?” “Lumayan sih. Ada beberapa luka gosong kebiruan dan luka goresan karena kena lantai dan bangku kantin,” kata Yosi, “ini masih mendingan. Si Burhan malah hari ini
Emma pikir, Sabrina memang akan benar-benar berubah. Dia pikir gadis itu akan menepati janjinya. Tapi ternyata tidak. Pada akhirnya gadis itu berulang lagi. Entah disengaja atau tidak, saat berad di kantin, tiba-tiba saja Sabrina menjatuhkan minuman yang masih agak panas dari belakang. Cairan kopi itu mengenai punggung Emma, mengenai kemejanya dan tembus hingga ke kulitnya.Emma merasakan rasa skit dan panas doi punggungnya. Seharusnya dia pergi ke toilet. Dan memang sebenarnya dia berniat pergi ke toilet. Namun, Emosinya lebih dulu meledak. Seperti biasa, mahluk astral itu menguasainya lagi. Membuatnya lepas kendali.Sadar berhasil memancing Emma, Sabrina pun tersenyum-senyum. Tetapi sebisa mungkin dia berusaha meminta maaf agar segalanya tak terlihat mencolok.“Maaf ya, Emma,” katanya kepada Emma.Emma tak menyahut. Dia mengerang dan mencengkeram pergelangan tangan Sabrina. Matanya melotot dan bola matanya berputar-putar. Dia mengerang. Lalu kuku-kukunya yang panjang mencakar kulit
Emma masuk kuliah lagi, tiga hari dari hari pertama dia di rumah sakit. Sebelum masuk ke dalam kelas, Ethan dan Jake menyambutnya di ambang pintu. Mereka mengulurkan tangan dan agak sedikit membungkuk seperti mempersilakan otang penting. Emma tersenyum melihatnya.“Kalian ini kayak aku siapa saja,” kata Emma.Baru duduk sebentar, Tony lalu berdiri lagi. Dia lalu mengajak Ethan dan Jake keluar kelas.“Aku nggak diajak nih?” tanya Emma.“Aku mau ngobrol sebentar sama mereka,” kata Tony. Dia lalu tersenyum, “ini urusan laki-laki.”Emma menghembuskan napas kasar. “Males banget deh kalo bawa-bawa gender,” katanya.“Bentar doang kok,” kata Tony.Tony, Ethan dan Jake lalu berjalan keluar kela. Mereka menghentikan langkahnya di taman. Tony lalu memilih bangku yang ada di sudut taman untuk duduk. Tempat itu lumayan jah dari jangkauan orang-orang karena kanan dan kirinya adalah barisan tembok ruang dekan.“Kamu ngapain sih ngajak kita ke sini?” tanya Jake setelah dia duduk.“Aku mau ngomong ser
Saat Sabrina masuk, Jake sedang mengobrol dengan Emma. Laki-laki itu berdiri di dekat ranjang sambil agak membungkuk, mendengarkan suara Emma yang mungkin masih terdengar pelan. Dia membelakangi Sabrina. Di sampingnya ada Ethan. Sementara itu, Tony berdiri di sisi ranjang yang lain sehingga dia menjadi orang yang lebih dulu mengetahui kehadiran Sabrina.Karena menyadari arah pandang Tony, Jake akhirnya menoleh.“S ... sore semua,” kata Sabrina.Tony tak menyahut. Emma juga. Yang menyahut adalah Jake. “Sore,” ujarnya pelan. Dia lalu menghadap Emma lagi.“Emma sakit apa? Habis jatuh kah?” tanya Sabrina karena dia melihat ada bekas jahitan di kening Emma sebelah kanan.“Iya,” sahut Sabrina pelan.“Sekarang udah mendingan apa masih sakit?” tanya Sabrina.“Udah mendingan kok,” sahut Emma.“Maaf ya, aku nggak sempet beliin apa-apa,” kata Sabrina.“Nggak apa-apa,” sahut Emma.Sejujurnya, Emma tidak yakin Sabrina tulus. Dia sebenarnya malas menanggapi gadis itu. Rasanya mustahil seorang Sabri
Saat jam istirahat siang, Jake dan Ethan kelimpungan mencari Tony dan Emma di kelasnya. Mereka bertanya-tanya ke mana perginya dua orang itu. Jake yang paling penasaran. Tentu saja. Setelah duduk di meja kantin, Jake lalu menelfon Emma. Karena tak ada tanggapan dari gadis itu, dia lalu menelfon Tony. “Aku yakin sih ini mereka pasti pergi berdua,” kata Jake selagi menunggu panggilannya mendapat respon dari Tony. “Kayaknya sih,” sahut Ethan sambil menyendok basonya. “Kamu bolos bareng Emma ya?” kata Jake setelah mendengar suara Tony dari seberang. “Bolos ... bolos kepalamu? Aku lagi jenguk Emma di rumah sakit,” sahut Tony. “Rumah sakit?” ulang Tony, “Emangnya Emma sakit apa?” “Ceritanya panjang. Entar juga kamu tahu sendiri kalo ke rumah sakit,” sahut Tony. “Di rumah sakit mana?” tanya Jake. “Biasa. Yang deket sama rumah Emma,” sahut Tony. “Siapa yang sakit?” tanya Ethan setelah Jake meletakan ponselnya di atas meja. “Emma,” jawab Jake. “Sakit apa?” sahut Ethan. Dia membelala