Pria muda itu menyadari dibuntuti. Karena saat kini ia berada di Bayshore Freeway, mobil itu tetap berada di belakangnya.Alex kian memacu kendaraan roda empat itu di sepanjang jalan bebas hambatan yang berada di pesisir pantai hingga berbelok dan masuk ke Harney Way. Tepat di suatu belokan, mobil di belakang Alex tiba-tiba melesat cepat lalu menubruk dari belakang.Alex tersentak ke depan dan semakin panik menginjak pedal gas-nya.Namun tidak peduli seberapa dalam ia menginjak gas dan seberapa cepat mobil Alex melaju, mobil di belakang itu kembali menubruk --bahkan lebih keras, sebelum kemudian menyusul di samping dan memepetkan bodi mobilnya ke mobil Alex.Alex kehilangan kendali atas mobil dan membanting setir.Mobil Alex berdecit akibat rem dadakan yang refleks ia lakukan tanpa memperhitungkan akibatnya.Mobil Alex menabrak pembatas jalan dengan sangat kencang dan terguling.Mobil memang berhenti, namun dalam kondisi terbalik. Kaca pecah dan penyok di sana-sini.Alex yang masih set
Keluarga White tengah diliputi duka mendalam.Tina terus menangis dan meraung di sisi peti mati yang tertutup. Ian Palmer terus mencoba menenangkan istrinya --memeluk bahu sang istri dengan erat.Terlihat Nyonya Besar White yang juga duduk lemas dengan ditemani Dianne.Tidak banyak tamu yang hadir, hanya kerabat jauh itupun hanya sebentar memberikan penghormatan terakhir, lalu bergegas keluar ruangan.“Keluarga White sedang tertimpa kesialan beruntun. Entah apa yang mereka lakukan, sehingga Tuhan murka dan menghukum mereka seperti ini.”“Ya, kau benar. Karena itu, kita tidak perlu berlama-lama di sini. Aku tidak ingin tertular kesialan mereka.”Elara melirik kedua tamu yang berpapasan dengannya saat masuk ke rumah duka.Jeanne di sisi Elara mendengkus kesal. “Apakah orang-orang itu tidak memiliki sopan santun? Ya Tuhan! Ada apa dengan dunia ini!”Elara tidak menanggapi omelan Jeanne dan melan
Elara mengikuti arah yang ditunjuk Jeanne dan mendapati sosok tinggi dan proporsional yang sedang berdiri bersandar di badan mobil dengan kaki bersilang.Pria itu mengenakan kacamata hitam --sama sekali tidak mengurangi kadar ketampanan dirinya, justru mempertegas figur gagah pria itu.“Ouch… Dia sungguh perhatian sampai menjemputmu ke sini,” ledek Jeanne menggoda Elara.“Perhatian apa.”“Ah ayolah, tidak perlu merendah seperti itu. Tidakkah kau bisa melihat dia khawatir terhadapmu?”“Khawatir?”“Kurasa ia khawatir kau menangis tersedu-sedu setelah keluar dari rumah keluarga yang banyak membuatmu sengsara ini!” Jeanne meledek lebih gencar lagi.“Kau terlalu banyak berkhayal.” Elara menggelengkan kepala.“Sudah sana!” Jeanne mendorong bahu Elara. “Aku tidak akan mengganggu kalian.”“Biar aku mengantarmu, J.”
Beberapa bulan berlalu dengan sangat tenang, hingga hari kelulusan tiba.Setelah semua prosesi sakral yang dilakukan di lapangan terbuka itu, akhirnya Elara lulus.Gadis itu terdiam sesaat dengan mata mengelilingi sekitarnya.Pemandangan di luar gedung kampus begitu indah. Elara tersenyum dalam diam nya, ketika menangkap berbagai tingkah serta seruan dari sekian ratus orang yang ada di sana.Semua teman-temannya --kecuali dirinya, tengah dipeluk bangga dan berbincang gembira oleh keluarga mereka.Entah itu kedua orangtua yang lengkap, atau hanya ibu saja, ayah saja, bahkan ada pasangan paman dan bibi yang memberikan selamat kepada keponakan mereka.Wajah-wajah bahagia dan gembira yang menguar kuat, menularkan senyum di diri Elara.Gadis bersurai cokelat madu itu pun ikut tersenyum --mungkin tidak selebar mereka semua, namun ia secara tulus ikut berbahagia bersama mereka.Kaki Elara bergerak menapaki anak tangga setelah melewati
Arion sungguh tidak mengira dirinya akan terjebak berada di dalam angkutan umum seperti ini.Pria itu melirik gadis di sebelahnya yang terlihat santai memandang ke arah luar jendela.Demi apa, dirinya telah mengenakan pakaian formal --meskipun ia memesan setelan jas paling murah dan paling sederhana.Itu hanya seperempat harga dari yang biasa Arion miliki. Tidak kurang dari empat puluh ribu dolar untuk setiap set jas yang ia miliki dalam koleksinya.Dan kini, ia ada dalam satu bus, dengan hunjaman tatapan dari berpasang mata pada dirinya.Arion memang sangat menarik perhatian. Tubuh tinggi tegap itu benar-benar pencuri kekaguman. Terbalut sempurna di tubuh proporsionalnya serta ditunjang wajah tegas nan tampan.Pria bermanik kelabu itu mengembus napas. Merasa risih dengan sekeliling yang tidak biasa ini.Elara pun menyadari keresahan Arion lalu menoleh pada pria tampan itu.“Mengapa kau terlihat begitu gugup? Apa ini pertama kali bagimu naik bus?”Arion mengangguk spontan dan itu menge
Arion ingin dengan leluasa mengatakan pada gadis itu bahwa dirinya bebas meminta apapun yang ada di dunia ini.Jika Elara terpesona dengan kerlip cahaya dari kapal-kapal di kejauhan sana, ia akan membelikannya kapal-kapal itu.Jika Elara menyukai tempat yang berada di tepi pantai, maka ia akan membangun istana untuknya di pulau yang dikelilingi lautan.Jika Elara mengatakan gaun yang dikenakan wanita lain itu indah, maka ia akan mendatangkan semua designer ternama hanya untuk mengukur langsung dan membuatkan gaun haute couture untuknya.Ia akan melakukan semuanya.Semua, untuk gadis bernetra zamrud dan bersurai madu itu. Karena gadis itu adalah istrinya.Ya. Istrinya.Bukan dengan alasan lain.Menjadi istri seorang Arion Ellworth dan menyandang nama Ellworth di belakangnya, sudah menjadi satu-satunya alasan paling tepat ia akan melakukan semua itu untuk Elara.Arion berdeham.Mungkin ini waktu yang tepat untuk men
“Oh, my Dear! Betapa kebetulan!”Arion yang terhenti dari perkataannya karena panggilan itu, mengangkat wajah dan mendapati seorang perempuan menatapnya takjub dan kaget.Pandangan pria tampan itu bergeser dan melihat Isabelle di sana --bersama perempuan itu. Seketika air muka tampan itu berubah. “Nona Goldwin…” Elara berujar lirih.“Kau mengenalnya?” Arion langsung mengernyit mendengar Elara menyebut nama Isabelle.“Ah iya,” Elara mengangguk. “Aku bertemu dengan Nona Goldwin di pesta Nona May Shalya.”“Ini benar-benar kebetulan yang luar biasa, Tuan Mu--”“Apa kalian hendak makan? Atau akan keluar?” Arion memotong ucapan perempuan di samping Isabelle dengan tatapan tajam.Perempuan itu tentu tidak sanggup melawan tatapan Arion lalu beralih pada Isabelle. “Ini… aku… datang bersama Nona Goldwin dan kami baru mau
“Aku perlu bicara padamu.” Suara Arion membuat Elara menghentikan sejenak kegiatannya membuat adonan pancake untuk sarapan mereka pagi ini. Lebih seperti ‘brunch’ (breakfast lunch). Karena bukan benar-benar sarapan, saat ini hampir jam sebelas siang.“Bicaralah,” balas Elara lalu langsung melanjutkan lagi kegiatannya yang tadi sempat terhenti.“Tinggalkan dulu itu,” Arion lalu berbalik meninggalkan area pantri dan menuju ruang depan.Elara menoleh dan menatap punggung Arion sebelum ia kemudian meletakkan spatula dan melepas apron dari tubuhnya.“Apa yang ingin kau bicarakan? Tampaknya penting?” Elara bertanya dengan nada sedikit menggoda.Arion sebelumnya memang tidak pernah mengajaknya bicara serius. Pria itu --dalam pandangan Elara, selalu melakukan apapun sesukanya.Namun pria itu kini mengajaknya bicara. Mungkin ini benar-benar hal serius dan penting.Elara mengambil temp
Aveline menjerit keras, suaranya memenuhi lorong sempit yang hanya diterangi lampu jalanan buram.Tubuhnya gemetar saat sebuah tangan kuat tiba-tiba meraih pinggangnya."Apa maksudnya ini?!" Aveline berteriak lagi, mencoba melawan, tapi tak ada yang mendengarnya.Udara malam yang dingin membuatnya semakin waspada, namun pria di depannya begitu cepat.Sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, bibirnya langsung tertutup oleh sesuatu yang hangat dan mendesak—bibir pria yang kini mencengkeramnya erat.Aveline meronta-ronta, hatinya dipenuhi kepanikan.Tubuhnya kaku saat pria itu memeluknya dengan kuat, membuka jaket kulit hitamnya seolah bersiap melakukan sesuatu yang lebih buruk.Mata Aveline melebar ketakutan.‘Tidak mungkin,’ pikirnya, ‘Apakah dia akan memperkosaku?’Ia semakin panik, berusaha membebaskan diri dari genggaman pria itu.Namun, pria itu begitu kuat.Semua tenaga Aveline seolah menguap, terjebak dalam dekapannya yang erat.Lalu, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan.Sekelo
Langit sore yang kemerahan menyelimuti San Francisco Bay, tempat di mana sebagian besar kehidupan cinta sepasang insan berkisah.Suara ombak yang berdeburan pelan di pantai menciptakan melodi yang damai, selaras dengan angin sepoi-sepoi yang menyapu lembut permukaan laut.Elara berdiri di ujung dermaga kayu, menatap cakrawala yang tampak tanpa batas, tempat di mana langit bertemu lautan.Matanya menerawang, namun wajahnya kini memancarkan ketenangan yang baru.Dalam dekapan hangatnya, bayi kecil mereka terlelap, wajahnya damai seperti ibunya.Sudah lama sejak pertarungan hidup dan mati di acara peresmian Imera Sky Tower, dan sejak saat itu, kehidupan Elara dan Arion berubah drastis.Banyak hal yang telah dilalui—pengkhianatan, luka, cinta yang terlupakan dan kemudian dipulihkan.Namun hari ini, di bawah cahaya senja yang lembut, semuanya terasa sempurna.Tiba-tiba, langkah kaki yang berat namun mantap terdengar dari belakangnya.Elara tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.A
Arion duduk di ujung ranjang, pandangannya terpaku pada sosok mungil yang ada dalam dekapannya.Bayi perempuan itu terlelap dengan tenang, tubuhnya begitu kecil dan lembut seperti boneka porselen.Pipinya yang kemerahan tampak menggemaskan, kulitnya sehalus sutra dengan bulu-bulu halus yang masih tersisa di atas kepalanya.Mata bayi itu masih tertutup, namun ketika sempat terbuka sesaat, Arion melihat dengan jelas iris matanya yang kelabu, warna yang sama seperti miliknya—sebuah tanda tak terbantahkan bahwa bayi itu adalah darah dagingnya.Bibir kecilnya bergerak perlahan, seakan sedang menghisap udara, dan tangannya yang mungil mengepal erat, menggenggam sepotong kain selimut.Arion tersenyum kecil, hatinya penuh dengan rasa takjub yang tak pernah ia sanggup perkirakan sebelumnya.Di dalam ruangan itu, hanya suara napas lembut bayi perempuannya yang terdengar, membuatnya seperti terhanyut dalam keajaiban kecil yang ia pegang.Sudah lebih dari setengah jam, namun Arion tak bisa melepa
Arion mengangguk pelan, melanjutkan penjelasannya. “Selama aku menjalankan peranku sebagai The Draven, orang itu mengambil peran menjadi diriku, Arion Ellworth. Sehingga tidak ada yang curiga. Kecelakaan di Sunol itu terjadi pada doppelganger-ku.”Elara terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. “Jadi... orang itu? Apakah dia tewas dalam kecelakaan itu? Bagaimana aku bisa membedakan kalian? Bagaimana jika suatu saat aku salah mengenali orang itu sebagai dirimu?”Arion tersenyum melihat kepanikan sang istri. “Jangan khawatir, Honey. Orang itu berhasil selamat oleh orang-orangku. Wajahnya tidak sepenuhnya mirip denganku. Hanya postur tubuh dan perilakunya yang serupa. Aku membuatnya menjalani operasi plastik untuk mengubah beberapa bagian, seperti rahang dan hidung saja. Namun, saat dia menjalankan peran sebagai aku, dia menggunakan prosthetic mask yang dibuat menyerupai wajahku.”Elara memandang Arion, dengan sorot kompleks. “Astaga… sampai seperti itu kau m
Elara dan Arion berdiri di tengah keheningan, menghadap sebuah makam dengan batu nisan marmer yang megah. Di atasnya terukir dengan indah: Imelda Ellworth. Satu buket mawar putih mewah yang segar ditempatkan rapi di atas pusara, memberikan sentuhan penuh penghormatan. Pemakaman ini, yang terletak di Cypress Lawn Memorial Park, San Francisco—tempat peristirahatan terakhir para keluarga kaya dan terpandang—dikelilingi oleh pohon-pohon ek yang menjulang tinggi. Jalanan berkerikil putih menghubungkan setiap makam, dan di kejauhan terlihat pemandangan laut yang tenang, menambah suasana damai nan elegan. Udara pagi terasa sejuk, disertai suara angin yang membelai lembut pepohonan. Elara memandang ke sekeliling area pemakaman yang tampak megah, penuh dengan nisan-nisan yang terbuat dari batu marmer putih dan hitam. Di antara semua itu, nisan Imelda berdiri sebagai salah satu yang paling indah, seperti sebuah karya seni yang mencerminkan kehidupan seseorang yang telah meninggalkan jejak
Arthur Ellworth, atau Clay Mallory, kini duduk di sudut sel gelap penjara federal, matanya kosong menatap dinding dingin yang tak lagi bergema dengan wibawa yang pernah ia miliki.Hanya bayangan suram yang tersisa, menggantung di antara kesadaran dan kehancuran. Di penjara ini, waktu seolah-olah melambat, setiap detik menjadi siksaan yang tidak berujung.Hari ini, seorang penjaga penjara menghampiri pintu selnya.Wajah penjaga itu datar, tidak ada belas kasihan, tidak ada penghormatan.Hanya secarik kertas yang dilempar ke lantai di depan Arthur, yang langsung mengenal lambang Ellworth di atasnya.Tangannya yang dulu perkasa sekarang gemetar ketika meraih kertas itu.Di dalamnya, satu pesan singkat yang menghantamnya dengan kejam: "Semua aset, kekayaan, dan perusahaan yang pernah kau curi telah dikembalikan kepada pemiliknya yang sah—Aiden Ellworth."Arthur meremas kertas itu dengan tangannya yang gemetar, rasa panas menjalar da
Markas utama di San Bernardino tampak penuh ketegangan. Di ruang pertemuan besar, cahaya lampu gantung memantul di atas meja panjang tempat para eksekutif utama The Draven berkumpul. Ketiga Executor—Albert, Isaac, dan Samuel—duduk di posisi masing-masing, menatap sosok Arion Ellworth, pria yang selama ini mereka kenal sebagai The Draven, pemimpin mereka yang tak terbantahkan. Samuel, Executor wilayah San Jose, adalah pria bertubuh tegap dengan garis wajah tegas. Rambutnya mulai memutih, namun sorot matanya masih tajam, mencerminkan kekuatan dan ketenangan yang ia bawa selama bertahun-tahun memimpin wilayahnya. Isaac, Executor wilayah Mount Horeb, Wisconsin, berbeda. Tubuhnya ramping, wajahnya lebih halus, tetapi matanya menyiratkan kejeniusan yang sering kali tersembunyi di balik sikapnya yang tenang. Ia terkenal sebagai ‘otak cadangan’ di balik banyak rencana besar yang berhasil dijalankan The Draven. Albert, Executor wilayah San Bernardino, adalah yang termuda. Dengan rahang pers
Aiden tersenyum tipis, sebuah senyuman yang mengandung ketegasan, bahkan ancaman halus di baliknya.“The Orcus bukan ancaman bagi pemerintah. Kami tidak pernah bergerak melawan kalian, Donovan. Jika ada yang perlu kau pahami, ketahuilah ini: The Orcus hanya berurusan dengan mereka yang mengincar kami atau mereka yang berada dalam wilayah kami. Kami adalah perisai, bukan pedang.”Donovan menatapnya, tak sepenuhnya yakin apakah pernyataan itu adalah bentuk pembelaan atau manipulasi.Aiden melanjutkan, kali ini dengan suara yang lebih dalam dan penuh makna. “The Orcus tidak akan pernah menjadi ancaman bagi pemerintah Amerika Serikat… kecuali, jika pemerintah membuat kami tidak punya pilihan lain.”Kalimat itu menggantung di udara, begitu dingin dan tajam seperti bilah pedang yang tersembunyi di balik kata-kata.Donovan tahu, ini bukan ancaman langsung, tapi sebuah peringatan yang tak bisa diabaikan.Aiden sangat c
Matahari pagi yang hangat menyinari kamar tidur mewah di mana Elara sedang berdiri, merapikan dasi Arion dengan penuh perhatian.Arion Ellworth, dengan tubuh tegapnya dan postur sempurna, tampak gagah dalam setelan formal berwarna gelap yang membingkai fisiknya dengan sempurna.Mata kelabu pria itu berkilauan, menambah kesan misterius sekaligus memikat.Ketampanannya terasa tak terbantahkan, membuat Elara sejenak terpana, seperti kembali mengenang saat pertama kali bertemu dengannya.Arion telah kembali ke wujud lamanya—kuat, berwibawa, dan penuh energi—setelah beberapa bulan melemah akibat Couvade Syndrome.Selama sekitar 4 bulan, pria yang biasanya tegas dan tak tergoyahkan ini harus terkapar karena gejala kehamilan palsu yang dialaminya.Namun, kini di bulan kelima kehamilan Elara, semua gejala itu telah sirna.Tidak ada lagi mual, muntah, atau kelelahan yang membebani Arion. Dia kembali pada dirinya yang dulu, dengan e