#Tujuh (Baru kali ini sehari nulis 7 Bab!) Thanks again to you all, Author disuntik semangat terus!!
Dianne membelalakkan mata.Nyaris ia terlonjak saking gembira, begitu mobil yang ditumpanginya memasuki gerbang besar yang terbuka secara otomatis.Ibarat ia memasuki dunia baru yang belum pernah bisa dibayangkan oleh Dianne.Ya, memang Dianne acap kali melihat gaya hidup kalangan miliarder serta foto-foto mansion megah di internet.Namun baru kali ini dia melihat dengan mata kepala secara langsung, satu kediaman orang terkaya di negara bagian Wisconsin.Kediaman keluarga Wayne.Bahkan –setelah Dianne menghitung dengan melihat jam di ponsel, mereka membutuhkan sekitar lima menit untuk mencapai pelataran depan mansion.Itu jalur yang panjang dari gerbang depan dengan semua pemandangan indah yang bisa Dianne nikmati sepanjang jalan.‘Astaga! Aku putri keluarga Wayne!!’ Dianne bersorak dalam hati.Keputusannya untuk tidak memberikan barang peninggalan mendiang Annie pada Elara, memang benar-benar tepat.Setelah beberapa saat berikutnya, gadis berambut pirang itu turun dari mobil mewah yan
"Si-siapa--” Lelaki itu urung melontarkan kata-kata.Bukan tak mau, namun tetiba ia merasa kehilangan kemampuannya bicara.Sosok yang duduk di kursi itu --dengan jarak hanya terpaut dua meter darinya, terlihat begitu menakutkan.Sosok itu tidak berbicara, namun diamnya sosok itu memasung seluruh persendian si lelaki dan membekukannya dengan seketika.Jari telunjuk sosok bermanik kelabu itu bergerak, dengan isyarat agar si lelaki mendekat.Max yang masih berdiri di sisi si lelaki, langsung mengulurkan tangan, mencengkeram sejumput rambut cukup tebal si lelaki dan menariknya ke arah sosok bermanik kelabu.“Aaagghh!!” Si lelaki memekik kesakitan menopang bobot tubuhnya sendiri yang terseret dengan satu tarikan kuat di rambutnya oleh Max.Dengan kasar, Max mengempas dan melepaskan cengkeraman tangannya di rambut si lelaki yang tersungkur tepat di depan kaki bertumpang milik sosok itu --Arion.Si lelaki mendongak dan langsung mereguk ludah pahit. Tatapannya bertemu dengan sorot bengis yang
“Bagaimana bisa ia gagal? Brengsek!” Isabelle memaki dengan geram.‘Kau harus membayar sisa uangku, Ella.’“Apa kau bilang?! Kau bahkan gagal melukai seujung rambut wanita sialan itu! Dan sekarang kau meminta sisa uangnya? Apakah kau benar-benar tidak punya rasa malu, Byron?!” Isabelle memaki keras, meski kemudian ia langsung melirik ke arah pintu kamar --tetap khawatir salah satu pelayannya mendengarkan.‘Aku harus segera menghilang, Sweetheart. Kau tidak ingin aku tertangkap mantan tunanganmu, kan? Apa aku salah?’“Kau--!!”‘Kirimkan uangku segera, kau tentu tidak mau dia mendapat petunjuk yang sangat jelas tentang semuanya kan?’“Byron, kau--”‘Ah, tambahkan lagi seratus grand untuk memastikan aku pergi tanpa jejak. Oke Sweetheart?’Isabelle mengepalkan tangannya kuat-kuat, dengan hati yang bergemuruh marah.‘Aku tunggu uangmu.’Demikian akhirnya sambungan telepon itu terputus.Tubuh Isabelle bergetar me
“Jangan bergerak, atau nanti dia lepas kendali lagi,” perintah Arion dengan setengah berbisik di dekat telinga Elara.Elara menggigit bibirnya dan diam mematung.“Rileks. Aku hanya ingin menggosok punggungmu.” Demikian kemudian Arion mengambil spons lembut dan menuangkan shower gel dengan aroma yang begitu harum.Tangan pria itu lalu mengusap punggung Elara dengan gerakan pelan dan telaten.Gemericik air yang mulai memenuhi bathtub terus terdengar, hingga air hangat hampir mencapai pinggang mereka.Keheningan yang berselimut tabir hasrat sukses membuat Arion mengumpat dalam hati berkali-kali.Elara memang teramat menggoda, namun ia hanya bisa mengekang dirinya saat ini. Lagi pula, memang ia yang bodoh menantang ‘maut’ dengan cara mandi bersama seperti ini.“Kau sudah membuktikannya kan?” Arion berkata tiba-tiba.“Huh?”“Ucapan Lucas. Itu tidak benar.”Elara mereguk saliva. “Ucapan yang mana?”Wajah tampan Arion tersemat seringai kecil. Ia merunduk di sisi kepala Elara sambil menekan t
“Apa.. maksud Nyonya?” Dianne mereguk ludahnya.Ingin sekali ia menantang sorot mata Liliana Wayne di hadapannya, namun ia kalah.Itu adalah tatapan angkuh seorang wanita bangsawan, terhormat dan tak akan tunduk pada siapa pun yang dianggap berada di bawahnya.Dianne melarikan pandangannya ke bawah, sebelum ia menarik napas dan memberanikan diri menantang sorot anggun dan angkuh di hadapannya itu.“Berapa? Kau bisa sebutkan harga mu. Tidak perlu repot-repot untuk berpikir kau akan jadi bagian dari keluarga Wayne di sini.”“Nyonya, Anda salah paham. Aku tidak--”“Kau ingin kaya secara instan? Aku bisa mengabulkannya, tapi tidak dengan berada di sini,” tegas Liliana lagi. “Berapa?”Dianne terdiam untuk sekian saat.Ia menilik wanita paruh baya cantik di depannya itu dan mendapati wanita itu sungguh-sungguh.Sebersit ketamakan mulai menyeruak dalam pikiran Dianne. Ia awalnya memang takut pada wanita di depan itu.Namun membayangkan uang dan kekayaan yang tak terhitung jumlahnya, keberania
Sesekali kepalanya menoleh ke belakang dengan waspada.Sayang, ia tidak bisa memarkir mobilnya lebih dekat dengan pondok, karena terhalang dengan pohon dan semak tinggi. Serta pagar kayu yang juga telah terlihat usang dan lapuk.Bip.Byron mengeluarkan ponsel dan menunduk membaca pesan masuk di layar ponselnya.[Aku di dalam. Masuk saja. Uangnya sudah siap.]Membaca kata-kata ‘uang’, seringai lebar segera tercetak di wajah Byron.Dengan langkah lebih cepat dan ringan, serta kewaspadaan yang mengendur, ia bergegas menuju pondok itu.Kreekk!Pintu pondok mengeluarkan suara cukup nyaring saat dibuka.Namun ketika pandangannya beredar ke seluruh sudut di dalam pondok itu, Byron tidak menemukan apapun.Keningnya berkerut saat ia masuk lebih ke dalam dengan terus mengedarkan pandangannya hingga ke balik sebuah rak buku tua.“Fuck!” Seketika ia menjadi waspada dan hendak berbalik.Na
‘Yes Honey?’Elara melipat bibir ke dalam setelah tertegun beberapa detik.Dadanya baru saja berdesir --sedikit menggelitik namun juga ada guyuran hangat saat gendang telinganya menangkap dua kata ajaib dari sang suami di telepon.Elara berdeham lalu setelah desiran itu mereda, ia pun membuka suara. “Apakah kita jadi ke Sacramento?”‘Ya. Tentu saja Ara. Kita jadi.’ Suara Arion sedikit menggoda di seberang sana. ‘Apa kau tak sabar untuk menemui mereka?’Bibir istri Arion itu tersungging senyum kecil. “Ya… aku memang tak sabar, Rion.” Ia terjeda lalu melanjutkan dengan suara pelan. “Kau tahu aku selalu antusias ketika itu berhubungan dengan keluargamu.”Di suatu tempat, Arion duduk dan menghentikan gerakannya.Memori yang masih cukup segar mengulang perkataan Elara tentang menjadi suami istri sesungguhnya.Bukan tentang hubungan intim antara mereka saja, namun mengenal keluarga masing-masing.Ya, benar.Arion mengingatnya dengan jelas.Pria itu tersenyum sendu. Istrinya begitu mendambak
Suara ketukan di pintu kamar, membuat Elara menoleh.Ia baru saja selesai berendam dan mengoleskan krim untuk sesuatu yang lecet di area intimnya.Istri Arion itu melangkah ke pintu dan mendapati seorang perempuan berseragam pelayan membungkuk padanya.“Maaf Nyonya. Ada tamu.”“Tamu?” Elara membeo bingung.Di San Francisco ini dia tidak memiliki teman atau kenalan. Apalagi di area Pacific Heights seperti keberadaan vila milik Arion ini.Ini wilayah atau blok miliuner yang tersohor satu benua Amerika, di mana vila-vila mewah dan megah berdiri di atasnya.Elara sendiri masih merasa bagaikan mimpi. Sampai sangat enggan keluar dari area kamar --meski itu sangat disayangkan. Namun bagi Elara, keluar dan berdiam di balkon kamar tidur mewah Arion dengan pemandangan luar biasa cantik laut yang terhampar, sudah melebihi ekspektasi seorang Elara.Ia bahkan belum memberitahu Jeanne bahwa dirinya kini berada di vila Arion di Pacific Heights --ia masih ingin menikmati keheningan yang syahdu. Betap