“Nia, ingat, jangan terlalu dekat atau ramah kepada Reizi!”
Sambil tertawa kecil Agnia mengangguk, “Iya, Babe. Kamu udah bilang itu berulang kali dari tadi malam, lho!”
“Kamu harus hati-hati!”
“Iyaaa…” Agnia kembali tertawa sebelum kembali menikmati sarapannya.
Pagi ini mereka memutuskan untuk jogging kemudian sarapan nasi uduk bersama. Tidak hanya berdua, Badu juga ikut bersama mereka. Tetapi Badi hanya ikut sarapan. Pria itu terlalu malas untuk bangun pagi. Dia beralasan kalau kemarin dia sudah berolahraga jadi hari ini adalah hari istirahatnya. Pria itu menunggu Narendra dan Agnia di warung nasi uduk.
“Tapi kalau ngobrol doang boleh, kan?”
Narendra mengangguk, “Tentu. Aku tidak memintamu untuk memutuskan hubungan dengan aktor itu. Aku hanya tidak ingin kamu terlalu akrab.”
“Cuma itu?” Agnia menahan diri untuk tidak tersenyum. Dia suk
Siang hari, setelah Agnia berangkat ke lokasi syuting dan Badi berpamitan entah ke mana, Narendra menghabiskan waktu dengan membaca buku yang ditulis oleh penulis kesukaannya. Dia memilih untuk duduk di teras. Sesekali dia akan bercanda dengan anak-anak tetangga yang asyik bermain di halaman kontrakan petaknya.Tiga bulan yang lalu Narendra tentu tidak pernah membayangkan hidup seperti ini. Berada di sebuah kontrakan petak yang luasnya tidak lebih besar dari kamar kucing peliharaan ibunya. Lingkungan yang tidak pernah tenang karena begitu dekat dengan jalan yang hampir selalu ramai dengan kendaraan berlalu lalang. Belum lagi suara dari para penghuni yang terdengar bahkan ketika pintu kontrakan petaknya tertutup rapat. Membayangkannya saja dia tidak mampu. Tetapi sekarang suara-suara itu secara ajaib terdengar menenangkan.Suara-suara itu adalah kehidupan.“Kak,” seorang anak kecil dengan singlet putih yang kedodoran berlari mendekat sambil membawa bo
Narendra nyaris mati kebosanan. Jadwal syuting Agnia semakin padat. Kemarin gadis itu pulang dini hari dan pagi sudah kembali ke lokasi. Mereka hanya sempat menghabiskan waktu sebentar ketika sarapan. Sedangkan Badi beberapa hari ini selalu ke pusat pelatihan perusahaan keamanan Widjaja Group untuk memberikan pelatihan kepada calon bodyguard. Di kontrakan petak mereka hanya bersisa dirinya.Sejak pagi dia sudah bekerja, membaca buku, bahkan dia berselancar di dunia maya sesuatu yang biasa sangat jarang dilakukannya. Begitu kebosanan hingga Narendra mulai berpikir untuk memulai siaran langsung atau membuat video dan menjadi selebritas di media sosial. Untungnya itu hanya sebatas pikirannya saja.“Maaak…sepi kali kulihat ini kontrakan!”Suara khas yang sangat dikenal oleh Narendra tiba-tiba memecah keheningan kontrakan petak. Dengan segera pria itu berlari keluar kontrakan petak untuk memastikan kalau dia tidak salah dengar.&ldq
Ketika Badi kembali dari tempat pelatihan, bukannya kembali ke kontrakan petaknya, pria itu malah menuju kontrakan petak Narendra. Itu seakan sudah menjadi kebiasaan. Tidak hanya bagi Badi tetapi juga Bang Ucok dan Agnia. Kontrakan petak Narendra seakan menjadi tempat singgah mereka.“Seharian ini ngapain aja, Bos?” Badi masuk setelah melepaskan sepatu dan jaket yang dikenakannya.“Kerja dan mengobrol dengan Bang Ucok.”“Bang Ucok udah pulang?” Mata bodyguard itu membulat sempurna kemudian pria itu langsung keluar dari kontrakan petak majikannya. Di teras dia melongokkan kepala ke teras kontrakan petak Bang Ucok.“Bang, udah pulang?! Gabung ke sini! Aku mau dengar cerita Abang sama Ameli!”Tidak terdengar ada jawaban dan itu membuat Badi kembali berteriak, “Bang! Nggak usah pura-pura tidur! Aku tahu Abang masih bangun! Lampunya masih nyala. Bang Ucok!”“Berisik!&rdquo
“Bang, aku mau yang itu,” Badi menunjuk kotak di samping Bang Ucok.“Sudah kubilang, ini punya Agnia. Titipan Amelia. SPESIAL!” Bang Ucok menggeser kotak itu hingga ke punggungnya, “Itu punya kau. Kalau kau tak suka, sebelum buka kau tukar dengan si Rendra.”“Bos, tukar.”“Kenapa? Kamu tidak suka dengan kotak yang itu? Bukannya tadi kamu yang memilihnya sendiri?”Bang Ucok bergabung bersama Narendra dan Badi tidak dengan tangan kosong. Pria itu membawa tiga kotak yang berukuran cukup besar. Ketika tetangganya bertanya, Bang Ucok mengatakan kalau ketiga box tersebut merupakan oleh-oleh darinya. Kecuali punya Agnia yang merupakan titipan dari Amelia.“Macam anak kecil kau ini. Kubilang, tak ada bedanya itu. Cuma beda sedikit tidak yang bagaimana,” Bang Ucok bersuara karena dia kesal melihat Badi yang terus merengek.“Oke,” Narendra mengulurkan kotak miliknya, &
Bang Ucok kembali membaca tiket yang diberikan oleh Narendra untuk memastikan maskapai penerbangan yang akan digunakannya. Dia kembali terhenyak ketika menyadari kalau maskapai penerbangan pilihan Narendra merupakan salah satu maskapai penerbangan termahal.“Selamat siang,” sapaan dari salah satu petugas darat maskapai itu mengembalikan Bang Ucok pada kenyataan. Dengan cepat dia segera mengulurkan tiket dan paspor. Hanya dalam hitungan menit pria itu sudah selesai check in diiringi senyum lebar dari petugas darat. Senyum itu terlihat menyimpan rahasia tetapi dia tidak memiliki waktu untuk menebak alasan di baliknya.Dengan gelisah dia mengantre untuk pemeriksaan imigrasi. Tidak banyak calon penumpang yang terlihat tetapi saja mengantre membutuhkan waktu dan itu membuatnya semakin lama bertemu dengan Amelia.Amelia. Di mana gadis itu saat ini? Apakah dia sudah berada di ruang tunggu atau mungkin mampir ke toko buku di bandara yang merupakan k
“Bang?”Lidah Bang Ucok seketika kelu. Tidak hanya itu, tubuhnya juga mendadak membeku. Kakinya seakan terpatri di lantai. Tidak dapat bergerak. Pikirannya kosong. Benar-benar kosong hingga dia merasa kemampuan berbahasanya sepenuhnya menghilang.“Abang, kok, bisa di sini?” Suara gadis itu penuh dengan kebingungan.“A…aku…”“Gimana caranya Abang bisa ke sini?” Amelia bangkit dan berjalan menghampiri Bang ucok yang masih mematung.“Aku…aku nyusul kau. Iya. Itu. Aku nyusul kau ke sini.”“Kenapa?” Gadis itu menatap Bang Ucok dengan berbagai campuran perasaan yang sulit untuk dijelaskannya.“Tak ada. Aku hanya menyusul kau saja.”“Nggak mungkin. Abang nggak mungkin sampai sengaja beli tiket kalau nggak ada alasan nyusul aku, kan? Atau ini memang rencana Abang?”“Maksud kau?” Bang Ucok semakin bingu
“Udah? Gitu aja?” Badi menatap Bang Ucok tidak percaya.“Ya. Hanya itu. Memangnya apa yang kau harapkan?” Bang Ucok balas menatap bingung.“Pelukan? Ciuman? Apa gitu? Masa terus udahan gitu aja?” Badi terus menyerocos, “Masa udah seumur gini pacaran berhenti di pelukan? Mereka aja ciuaman,” dia menunjuk ke arah Narendra dan Agnia yang langsung tersipu.“Kayak kamu nggak aja! Aku tahu kamu sama Antari juga udah ciuman, kan?!” Agnia berteriak tidak ingin kalah. Entah bagaimana keempat orang dewasa itu berubah menjadi anak kecil yang saling cela dan menggoda satu sama lain.“Lalu di London juga tidak terjadi apa-apa?” Narendra bertanya hanya untuk mengalihkan pembicaraan mereka.“Maaak! Kenapa kalian ini kepo sekali? Harus sedetail apa pula ini aku ceritakan?”“Nggak perlu detail, Bang. Kita cuma penasaran sudah sejauh mana kalian. Beneran pacaran atau ngg
“Bos, ini titipannya,” Badi masuk ke kontrakan petak Narendra sambil membawa sebungkus tas plastik, “Bubur ayam. Lengkap. Dibonusin teh panas tawar sama penjualnya.”“Terima kasih,” Narendra menjawab singkat karena pria itu sedang sibuk dengan vacuum cleaner.“Tumben banget, Bos,” Badi dengan santainya masuk ke kontrakan petak Narendra dan langsung menuju pantry untuk meletakkan sarapan pesanan majikannya di atas meja, “Bos mau aku buatin kopi?”“Tidak usah,” pria itu menggeser sofa di ruang tengah sebelum mengarahkan vacuum cleaner-nya ke belakang sofa, “Teh itu saja.”“Kesambet apa Bos, sampai bersih-bersih segininya?”“Hm?” Pria itu bergumam pelan sambil terus membersihkan setiap sudut rumahnya, “Oh ini, Tadi Kak Bimasakti mengirimkan pesan kalau Calya sudah tiba.”“Hubungannya sama Bos b