“Lho? Kak Agnia belum tidur?” Calya yang pertama kali buka suara sementara Narendra masih mematung.
“Belum. Aku baru selesai ngeringin rambut,” Agnia masuk dengan santai kemudian langsung menepuk kaki Narendra yang sedang selonjoran di sofa. Seakan menegrti maksud Agnia, pria itu langsung melipat kaki, memberikan ruang bagi gadis itu untuk duduk. Tidak hanya itu, Narendra bahkan berputas dan mengubah posisi dengan menyandarkan kepala di pangkuan kekasihnya.
“Kalian belum mandi, ya?”
“Aku sudah. Calya katanya selesai makan baru mandi,” Narendra menatap Agnia. Ekspresi gadis itu terlihat biasa saja.
Apa dia tidak mendengar percakapan mereka?
“Nanggung, sih, ya, kalau mandi dulu baru makan. Jadi harus bolak-balik buat sikat gigi, kan?” Agnia tertawa kecil, “Kamu senang di sini, Calya?”
Calya yang sedang menghabiskan nasi gorengnya langsung mengangguk, “Seneng
“Kakak ngajak aku nginap di sini karena ada yang mau Kakak tanyain, kan?” Itu pertanyaan pertama yang diajukan Calya ketika mereka sudah bersiap tidur di kamar Agnia.Setengah jam lalu, selesai Calya mandi dan bersiap, mereka kembali ke kontrakan petak milik Agnia. Setelah memastikan pintu kontrakan petaknya terkunci dan seluruh jendela tertutup rapat mereka pindah ke kamar Agnia. Sambil menunggu Agnia menyelesaikan rangkaian skincare-nya, Calya memperhatikan interior kamar kekasih kakanya.Dia suka dengan apa yang dilihatnya. Kamar Agnia sangat Agnia sekali. Rapi dengan beberapa dekorasi menarik dan artsy menghias sudut ruangan. Di nakas samping tempat tidur Calya menemukan foto masa kecil Agnia. Kekasih kakaknya ketika berusia lima tahu berpose dengan seorang wanita yang jika diperhatikan memiliki garis wajah yang sama dengan Agnia sekarang. Mungkin ibunya. Calya ingin bertanya tetapi karena dia ingat cerita keluarga Agnia yang pernah di
“Mau berangkat bersama?”Agnia terkejut ketika dia keluar dari kontrakan petak pagi ini, Narendra sudah menunggu di teras. Pria itu juga sudah terlihat rapi dan siap untuk berangkat meski Agnia tidak tahu ke mana tujuan pria itu.“Kamu mau jalan juga?” Agnia duduk dan mengenakan sneaker-nya.“Iya,” Narendra tersenyum, “Ada kerjaan yang harus aku selesaikan. Tadi malam Papa menghubungiku.”“Oh,” gadis itu mengangguk. Ingin rasanya dia bertanya pekerjaan apa tetapi entah mengapa sulit sekali rasanya menanyakan hal tersebut hingga dia memilih untuk tersenyum sambil bangkit dari duduk, “Bareng sama Badi?”“Iya. Badi sudah menunggu di depan jalan.”“Di depan?”“Aku pinjam mobil Papa jadi bisa sekalian mengantarmu ke lokasi syuting,” Narendra ikut berdiri dari duduknya, “Sudah mau berangkat sekarang?”Agnia
“Saya bilang pukul berapa meeting di mulai?”Narendra bangkit dan berdiri sambil mengetuk jari ke meja berulang. Siapa pun yang melihatnya saat ini, tidak peduli pegawai senior atau pegawai baru akan merasa sangat terintimidasi. Terlebih Narendra menatap seluruh orang yang ada di ruang pertemuan dengan tatapan tajam.“Pukul sepuluh,” seorang pegawai memberanikan diri untuk menjawab.“Sekarang pukul berapa?” Diucapkan dengan nada datar tetapi seorang orang di ruangan ini tahu kalau mereka harus bersiaga. Sesuatu akan terjadi.“Pukul sepuluh lewat lima menit.”“Lalu?” Suara Narendra kembali terdengar.“Maaf, Pak Sabda,” pegawai yang sama kembali bersuara. Sepertinya dia satu-satunya yang masih memiliki sedikit keberanian di ruangan pertemuan itu, “Tetapi Bu Celia belum bergabung bersama kita.”“Urusannya apa? Kalian harus mempresentasikan
“Narendra, tumben sekali kamu mengantor?”Tanpa direncanakan, Narendra yang baru kembali dari kafetaria bertemu dengan Bira. Sudah terlambat ketika pria itu ingin berbalik arah agar tidak terpaksa harus berbasa-basi dengan pria paruh baya itu. Abimana yang saat itu bersama Narendra juga terlambat menyadari kehadiran ayahnya karena terlalu asyik mengobrol dengan sepupunya.“Biasa, Om,” Narendra memasang senyum palsunya, “Harus setor muka kalau tidak uang saku saya akan diberhentikan oleh Papa.”“Ck,” pria baruh baya itu langsung berdecak merendahkan, “Ingat umur kamu. Mau sampai kapan kamu main-main seperti sekarang? Masih belum puas kamu bertahun-tahun tinggal nyaman di luar negeri dan nggak peduli dengan perusahaan?”Bira selalu menganggap Narendra memilih untuk tinggal di luar negeri karena ingin menghindar dari tanggung jawab untuk mengelola perusahaan. Pria itu sama sekali menutup mata dari k
“Bagaimana dengan orang suruhan yang mengawasi kontrakan petakku?”Pertanyaan itu terlontar setelah Narendra menyelesaikan seluruh pekerjaannya. Saat ini mereka sedang melepas penat dengan menikmati kopi dan kudapan pilihan Abimana.“Gue masih belum yakin seratus persen. Tapi kemungkinan besar itu orang suruhan bokap gue. Masalahnya gue udah minta Badi untuk ngecek di pusat pelatihan tapi masih belum nemuin data mereka.”“Apa ada kemungkinan kalau Bira menggunakan jasa dari perusahaan lain?”“Kemungkinan itu ada,” Abimana mengangguk, “Salah satu teman dekat bokap punya perusahaan keamanan walau tidak sebaik kita,” pria itu melemparkan tatapan serius ke arah sepupunya, “Kalau benar bokap pakai mereka lo harus ekstra hati-hati. Mereka nggak sebagus tenaga keamanan kita tapi berani untuk main kasar.”“Sial,” Narendra segera menyambar ponselnya, “Calya sendirian d
“Are you okay?” Rania mendongak menatap tunangannya sambil mengeratkan pelukan, “Kamu kayak lagi banyak pikiran, Hon.”Abimana menarik napas panjang. Dia membelai rambut tunangannya dengan lembut sebelum akhirnya menunduk dan mencium bibir tunangannya yang entah bagaimana selalu menyisakan rasa manis, “Maaf, aku bikin kamu khawatir.”“It’s okay,” Rania menyelipkan kakinya diantara kaki Abimana. Dia selalu menikmati kehangatan tubuh kekasihnya setiap kali mereka selesai berhubungan intim, “Aku malah kecewa kalau kamu nyembunyiin perasaan kamu ke aku. Mau cerita?”“Aku bingung,” Abimana memainkan jemari diantara rambut kekasihnya, “Papa mungkin sedang merencanakan hal bodoh.”“Maksud kamu?” Rania kembali menatap kekasihnya. Kali ini dengan penasaran bercampur khawatir.Sudah menjadi rahasia umum kalau Abimana dan Bira tidak
“Will you marry me?”Ketika Abimana mengajaknya berlibur, Rania sama sekali tidak pernah menduga kalau kekasihnya itu akan melamarnya. Mereka memang sudah berpacaran selama beberapa tahun. Tetapi tidak sekalipun mereka pernah membahas tentang pernikahan. Rani juga tidak pernah menuntut.Dia gadis mandiri. Terbiasa hidup dengan kedua kakinya sendiri. Sebagai wanita tentu dia ingin menikah. Dia amakn menikah jika bertemu dengan seorang pria yang membuatnya yakin untuk berbagi kehidupan bersama. Setelah berpacaran selama beberapa waktu dia yakin kalau pria itu adalah Abimana tetapi dia tidak akan pernah mengiba. Jika Abimana tidak menginginkan pernikahan maka hubungan yang mereka miliki sekarang cukup baginya.“Are you…sure? Bi, ini bukan prank, kan?” Entah kenapa pertanyaan itu yang terlontar dari mulut Rania.Abimana menatap kekasihnya tidak percaya, “Sejak kapan…Bae, pleas
“Mau apa kamu ke sini? Masih ingat kalau punya rumah?!”Teriakan itu yang menyapa ketika Abimana memasuki ruang kerja ayahnya. Pria paruh baya itu sedang mendengar musik klasik ditemani segelas wiski. Kebiasaan yang tidak berubah sejak Abimana kecil.Dulu, Abimana paling takut jika dipanggil ke ruang kerja ayahnya. Panggilan itu hanya berarti satu hal, hukuman. Entah benar dia melakukan kesalahan atau ayahnya hanya mencari-cari kesalahan karena membutuhkan seseorang untuk pelampiasan emosi, sampai sekarang Abimana belum menemukan jawabannya. Dia sudah tidak lagi peduli dengan itu.“Aku minta maaf untuk kejadian tadi siang,” Abimana duduk dan berujar dengan tenang walau sesunguhnya begitu banyak kemarahan yang berusaha disembunyikannya.“Minta maaf? Kamu kira setelah kamu memperlakukan aku seperti itu cukup dengan minta maaf?!Abimana tidak langsung menjawab. Dia memperhatikan wajah ayahnya. Wajah pria paruh baya itu me