Narendra menghela napas panjang dan berusaha untuk mengendalikan dirinya. Dia tahu kalau Agnia akan memintanya untuk berjanji. Tentu saja. Tidak ada yang aneh dengan permintaan Agnia. Semua orang pasti akan melakukan hal yang sama. Masalahnya terletak pada dirinya.
"Nia, boleh pinjam HPmu sebentar?" Narendra mengulurkan tangannya.
"Untuk apa?" Walau dia mengernyitkan kening dan menatap Narendra dengan penuh kebingungan, gadis itu tetap mengambil ponselnya dan memberikannya kepada Narendra.
"Nomor pribadiku," Narendra menerima ponsel yang diberikan Agnia dan mengetiknya cepat, "Selama ini aku hanya punya satu nomor. Aku gunakan baik untuk urusan pribadi maupun pekerjaan. Tapi aku memutuskan sudah saatnya mempunyai nomor pribadi."
Narendra mengembalikan ponsel Agnia sambil tersenyum lebar, "Nomor itu hanya aku berikan kepada keluarga dekatku dan kamu. Kamu dapat menghubungiku kapan saja. Aku akan langsung mengangkatnya. Tidak peduli sesibuk apa aku saat itu
"Pagi, Dra," Rajasena masuk ke penthouse Narendra sambil membawa kantong kertas berisi sarapan mereka."Itu apa?" Narendra yang sedang menikmati kopinya langsung bertanya penasaran."Titipan dari ipar lo. Dia takut kalau lo mati kelaparan," Rajasena meletakan kantong kertas itu di samping Narendra sebelum menarik kursi makan lain dan mendudukinya, "Kamu kelihatan senang banget. Semalam berjalan lancar?""Apanya?" Narendra dengan hati-hati meletakkan cangkir kopinya di pisin."Nggak usah belagak bodoh," Rajasena terkekeh, "Aku tahu kamu semalam nemuin Agnia.""Astaga ..." Narendra bergumam pelan, "Abimana atau Badi?""Sepupu lo. Mana berani Badi ngaduin apa-apa ke aku? Badi itu orang yang paling bisa lo percaya. Kalau lo bilang itu rahasia, maka itu rahasia buatnya. Bahkan jika nyawa taruhannya.""Papa memilihkan bodyguard yang tepat untukku.""Papa selalu memilihkan bodyguard yang tepat untuk kita," Rajasena bangkit untuk menga
"Tumben lo jam segini baru sampai. Keasyikan semalam? Berapa ronde?"Tentu saja hanya Abimana yang berani menggoda Narendra seperti ini. Ketika Narendra tiba di ruang kerjanya di gedung Widjaja Group, sepupunya sudah menunggu dengan setumpuk berkas dan jadwal yang rasanya semakin hari semakin padat hingga entah berapa kali pria itu berpikir untuk kembali kabur ke kontrakan petak walau dia tahu itu tidak mungkin dilakukannya."Sial. Aku tidak semesum kamu," Narendra terkekeh, "Tadi Kak Raja ke penthouse.""Ada yang penting? Jarang banget Kak Raja mampir ke penthouse lo pagi-pagi.""Nggak ada yang penting. Cuma nganterin omelet aja," pria itu menepuk tumpukan berkas yang sepertinya bermutasi dalam semalam hingga jumlahnya bertambah berkali lipat, "Ini harus selesai semua?"Abimana tertawa geli melihat ekspresi ngeri sepupunya, "Nggak semua. Yang aku tandain merah aja harus selesai hari ini. Sisanya itu yang lo minta revisi.""Gila, semua divis
"Berhenti menatapku seperti itu, Sayang."Ucapan itu terdengar lembut di telinga Abimana. Walau begitu, dia tahu kalau tunangannya sedang merajuk. Selalu ada nada khas setiap kali Rhania merajuk dan entah bagaimana dia menyukai hal itu. Mungkin karena hanya dia, lelaki dewasa, yang pernah mendengar nada itu digunakan oleh Rhania."Seperti itu kayak gimana?" Abimana malah menatap Rhania dengan semakin intens, "Memangnya aku ngelihatin kamu kayak gimana, sih?""Gitu!" Rhania memanyunkan bibirnya, "Biasa aja natap akunya. Iya, kita lagi prewed tapi nggak harus gitu juga, kan, ngelihatinnya?""Gitu gimana?" Kali ini pria itu tersenyum untuk menenangkan tunangannya tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Pipi gadis itu bersemu merah dan tidak membutuhkan waktu lama hingga seluruh wajahnya merah padam, "Kamu kenapa?""Tau ah!" Rhania menjawab kesal.Abimana tergelak dan refleks mencubit pipi tunangannya, "Ayolah. Masa ngambeknya sekarang? Kamu mau
Narendra menepati janjinya. Setelah seluruh masalah internal Widjaja Group selesai, pria itu memberikan cuti panjang untuk Bang Ucok. Hal ini juga sebagai bayaran atas kerja keras pria berbadan besar itu. Narendra tidak menutup mata atas apa yang sudah dilakukan Bang Ucok untuknya dan untuk keluarga Widjaja. Tanpa kerja keras pria itu rencananya tidak akan mungkin berjalan dengan sempurna.Bang Ucok tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia menghabiskan satu minggu di kampung halaman sebelum bertolak ke London. Awalnya dia hanya berencana untuk menghabiskan liburnya di kampung halaman kemudian membereskan apartemen dan kontrakan petaknya. Tetapi percakapan dengan Narendra membuatnya berubah pikiran.Dan ... di sini dia sekarang. London.Di depan pintu apartemen Amelia.Pria itu menarik napas panjang dan berdoa sebelum membunyikan bel apartemen gadis itu. Ketika dia berada di depan gedung, ada seorang penghuni apartemen yang keluar sehingga dia dapat
"Nggak dinginnya kau?" Bang Ucok bertanya setelah mereka menjelajah Royal Botanical Garden.Amelia yang memutuskan tujuan kencan mereka. Gadis itu sengaja memilih untuk berkunjung ke Royal Botanical Garden karena hobi Bang Ucok. Dia ingin menyenangkan pacarnya yang sudah menempuh ribuan kilometer untuk mengunjunginya."Dingin. Tapi kayaknya lebih kedinginan Abang, deh," Amelia tertawa kecil sambil memasukkan tangannya ke saku mantel Bang Ucok."Nyaman kau tinggal di sini?" Pria itu ikut memasukkan tangan ke dalam saku sebelum meremas tangan gadis itu dengan lembut."Nyaman aja, sih. Nggak yang gimana," gadis itu tersenyum, "Paling kadang ngerasa kesepian aja karena aku belum punya banyak teman di sini.""Jadi kawan dekat kau itu si James sama Angela?""Ya. Awalnya karena kita pernah satu kelompok tugas. Eh, pas ngobrol nyambung banget! Nggak sadar udah dekat dan sering ngabisin waktu bareng.""Bagus, lah. Tenang aku kalau ada yang dek
Agnia benci datang ke pesta.Terutama ketika dia seorang diri. Seperti saat ini. Keadaan itu diperburuk dengan hanya mengenal segelintir tamu undangan lainnya. Tentu dia dapat berusaha berbaur dengan menyapa beberapa wajah yang dikenalnya tetapi sebagian besar yang menyadari kehadirannya memberi tatapan bertanya-tanya mengapa dia berada di pesta ini."Seharusnya aku nggak datang," Agnia menghela napas panjang sambil mengusap bagian perut gaunnya.Malam ini dia mengenakan strapless dress berwarna hitam dengan aksen daun berwarna hijau di bagian dada. Gaun yang dikenakannya sebatas lutut dengan potongan yang klasik. Gadis itu sengaja memamerkan kaki jenjangnya dengan melengkapi penampilannya dengan heels berwarna hijau senada dengan aksen di bagian dada dan anting bebatuan alami yang dikenakannya."Awas aja Ayah! Kalau Ayah nggak mendadak ada kerjaan aku nggak bakalan segabut ini di sini," lagi-lagi gadis itu menghela napas panjang sambil berbisik kesal.
"Tante mau aku bantuin cari mereka?" Aruna menawarkan bantuan dengan tulus, "Mereka pasti lagi mingle dan aku yakin Kak Raja atau Kak Narendra pasti sekarang lagi close deal. Aku masih nggak habis pikir, kok, bisa cuma ngobrol berujung close deal?"Rheinya tertawa dengan anggun, "Boleh. Tapi itu bukan alasan kamu saja biar bisa leluasa memotret, kan?""Tante!" gadis itu tertawa, "Eh, itu Calya," dia melambai ke arah Calya yang sepertinya sedang mengobrol dengan beberapa temannya.Seakan mengerti kalau lambaian itu berarti panggilan, Calya langsung pamit ke teman-temannya dan berjalan menghampiri Aruna bersama dengan seorang pria.Ketika Calya berjalan ke arah mereka, ada perasaan lega yang memenuhi hati Agnia. Kekasihnya tidak berbohong ketika memperkenalkan Calya kepadanya. Gadis itu benar merupakan adiknya. Ini membuat keyakinan Agnia tentang keseriusan Narendra bertambah. Tidak ada lagi alasan untuk tidak mempercayai pria itu. Narendra bukan berbohong.
"Malam, Ma," Narendra menghampiri Rheinya bersama dengan Calya. Walau dengan bersungut-sungut gadis itu akhirnya tetap saja menuruti permintaan ibunya untuk memanggil Narendra, "Maaf, Narendra terlambat. Ada yang harus diselesaikan.""Kamu ini bagaimana, sih? Abimana itu sepupu terdekatmu, lho! Mama nggak mau tahu kamu harus minta maaf, ya?""Ma, aku hanya terlambat sebentar. Yang terpenting aku hadir saat prosesi pernikahan dan juga resepsi keluarga. Pesta malam ini bukan untuk kita."Prosesi penikahan juga resepsi privat sudah dilaksanakan kemarin. Ini permintaan Rhania. Gadis itu ingin pernikahannya sakral dan intim. Abimana juga setuju sehingga mereka mengadakan beberapa kali resepsi. Malam ini merupakan resepsi terakhir yang diperuntukkan bagi kenalan dan kolega mereka."Walau begitu tetap saja, ya. Terlambat berarti tidak menghargai yang mengadakan acara.""Iya, Ma," Narendra memilih untuk mengalah, "Setelah acara selesai aku akan langsung mi