Agnia benci datang ke pesta.
Terutama ketika dia seorang diri. Seperti saat ini. Keadaan itu diperburuk dengan hanya mengenal segelintir tamu undangan lainnya. Tentu dia dapat berusaha berbaur dengan menyapa beberapa wajah yang dikenalnya tetapi sebagian besar yang menyadari kehadirannya memberi tatapan bertanya-tanya mengapa dia berada di pesta ini.
"Seharusnya aku nggak datang," Agnia menghela napas panjang sambil mengusap bagian perut gaunnya.
Malam ini dia mengenakan strapless dress berwarna hitam dengan aksen daun berwarna hijau di bagian dada. Gaun yang dikenakannya sebatas lutut dengan potongan yang klasik. Gadis itu sengaja memamerkan kaki jenjangnya dengan melengkapi penampilannya dengan heels berwarna hijau senada dengan aksen di bagian dada dan anting bebatuan alami yang dikenakannya.
"Awas aja Ayah! Kalau Ayah nggak mendadak ada kerjaan aku nggak bakalan segabut ini di sini," lagi-lagi gadis itu menghela napas panjang sambil berbisik kesal.
"Tante mau aku bantuin cari mereka?" Aruna menawarkan bantuan dengan tulus, "Mereka pasti lagi mingle dan aku yakin Kak Raja atau Kak Narendra pasti sekarang lagi close deal. Aku masih nggak habis pikir, kok, bisa cuma ngobrol berujung close deal?"Rheinya tertawa dengan anggun, "Boleh. Tapi itu bukan alasan kamu saja biar bisa leluasa memotret, kan?""Tante!" gadis itu tertawa, "Eh, itu Calya," dia melambai ke arah Calya yang sepertinya sedang mengobrol dengan beberapa temannya.Seakan mengerti kalau lambaian itu berarti panggilan, Calya langsung pamit ke teman-temannya dan berjalan menghampiri Aruna bersama dengan seorang pria.Ketika Calya berjalan ke arah mereka, ada perasaan lega yang memenuhi hati Agnia. Kekasihnya tidak berbohong ketika memperkenalkan Calya kepadanya. Gadis itu benar merupakan adiknya. Ini membuat keyakinan Agnia tentang keseriusan Narendra bertambah. Tidak ada lagi alasan untuk tidak mempercayai pria itu. Narendra bukan berbohong.
"Malam, Ma," Narendra menghampiri Rheinya bersama dengan Calya. Walau dengan bersungut-sungut gadis itu akhirnya tetap saja menuruti permintaan ibunya untuk memanggil Narendra, "Maaf, Narendra terlambat. Ada yang harus diselesaikan.""Kamu ini bagaimana, sih? Abimana itu sepupu terdekatmu, lho! Mama nggak mau tahu kamu harus minta maaf, ya?""Ma, aku hanya terlambat sebentar. Yang terpenting aku hadir saat prosesi pernikahan dan juga resepsi keluarga. Pesta malam ini bukan untuk kita."Prosesi penikahan juga resepsi privat sudah dilaksanakan kemarin. Ini permintaan Rhania. Gadis itu ingin pernikahannya sakral dan intim. Abimana juga setuju sehingga mereka mengadakan beberapa kali resepsi. Malam ini merupakan resepsi terakhir yang diperuntukkan bagi kenalan dan kolega mereka."Walau begitu tetap saja, ya. Terlambat berarti tidak menghargai yang mengadakan acara.""Iya, Ma," Narendra memilih untuk mengalah, "Setelah acara selesai aku akan langsung mi
"Kita ke mana?" Agnia bertanya ketika menyadari kalau bukannya mendekat ke pelaminan mereka malah semakin menjauh.Bukannya menjawab pertanyaan Agnia, pria itu terus melangkah dengan yakin sambil sesekali membalas sapaan ramah beberapa tamu yang cukup mengenalnya atau cukup memiliki keberanian. Akhirnya Agnia memilih untuk mengikuti kekasihnya tanpa bertanya atau mengeluarkan protes. Dia mempercayai Narendra untuk hal-hal besar, sudah terlambat mempertanyakan kepercayaannya saat ini."Di dalam terlalu ramai dan berisik," Narendra baru buka suara ketika mereka sudah berada di lift. Tidak hanya itu, dia langsung menarik pinggul Agnia kemudian memeluk kekasihnya dari belakang, "Terlalu banyak mata berujung pada terlalu banyak pertanyaan.""Ya," Agnia menjawab singkat, "Kamu tahu, waktu aku datang semua tamu kayak ngasih tatapan bingung dan ... entahlah, seakan aku belum cukup pantas berada di sini.""Benarkah?" Narendra meletakann
"Pagi, Bos," Badi memasuki ruangan Narendra dengan membawa berkas milik pria itu yang tertinggal di mobil, "Kelupaan.""Terima kasih," Narendra mengambil berkas yang diberikan oleh bodyguard-nya, "Untung Abi masih honeymoon. Kalau tidak aku akan diceramahi sepanjang hari karena teledor. terkadang dia bisa lebih parah dari Mama."Badi tertawa mendengar ucapan majikannya. Apa yang diucapkan oleh Narendra benar. Jika berurusan dengan Narendra, Abimana dapat berubah menjadi seorang kakak bahkan orang tua yang protektif sekaligus menginginkan anaknya mandiri. Badi sudah menyaksikan itu berulang kali selama menjadi bodyguar pria itu."Ada lagi?" Pria itu bertanya karena bukannya keluar dari ruang kerjanya, Badi masih berdiri dengan kikuk di hadapannya."Bos," Badi berdeham sambil mengusap tengkuknya beberapa kali. Dia terlihat ingin mengucapkan sesuatu tetapi cukup ragu."Ada apa? Katakan saja," Narendra terkekeh, "Aneh melihat kamu seperti sekarang."
"Kereta!" Antari menduduki kursi sesuai dengan yang tertera di tiket sambil tertawa. Sejak mereka tiba di stasiun gadis itu memang tidak berhenti tersenyum dan wajahnya berseri-seri. Dia sangat jarang berpergian ke luar kota dengan menggunakan kereta api. Kampung halaman kedua orang tuanya masih dapat ditempuh dengan menggunakan mobil. Selain itu dia hampir tidak pernah keluar kota.Beberapa hari yang lalu ketika Badi mengatakan akan mengunjungi ibu dan adiknya, Antari sama sekali tidak memiliki dugaan kalau pria itu akan mengajaknya. Ketika dia tahu tentu gadis itu langsung mengiyakan walau dia mengingatkan pacarnya kalau dia harus meminta izin dari kedua orang tuanya. Di luar dugaan, Badi langsung mengajukan diri agar dia yang berbicara dengan kedua orang tua Antari. Menurut Badi karena dia yang mengajak maka itu artinya dia yang bertanggung jawab terhadap Antari selama perjalanan mereka.Tentu saja proses meminta izin itu tidak mudah. Orang tua Antari masih cukup ko
"Sudah siap menghadapi quarter-life-crisis?" Narendra melemparkan tatapan serius ke arah Calya yang sedang bersantai di sofa sambil menonton serial TV kesukaannya."Oh, please, aku belum setua itu, ya!" Gadis itu langsung memberengutkan pipi dan melemparkan tatapan kesal ke arah kakaknya yang sedang terbahak karena mendengar jawaban yang diberikan oleh adiknya."Tapi beberapa hari lagi kamu akan wisuda," Narendra menyeringai, "Sudah tahu apa yang ingin kamu lakukan?""Memangnya aku harus langsung tahu?" Calya balik bertanya."Tentu saja! Malah seharusnya kamu sudah tahu jauh sebelum dinyatakan lulus kuliah.""Aku belum tahu," Calya kembali memberengut, "Mungkin mau langsung ambil master aja.""Kamu mau ambil master karena kamu tidak tahu ingin melakukan apa?" Narendra mengernyitkan dahi, "Ajaib.""Yaa ... dari pada aku nggak ngapa-ngapain, kan?" Calya berujar kesal, "Nanti kalau aku nggak ngapa-ngapain dibilang aku b
"Mana pacar kamu?"Rajasena bertanya sambil tersenyum penuh arti kepada Calya yang baru memasuki ruangan sambil melepas toganya. Begitu juga dengan yang lain. Siang ini mereka berkumpul di salah satu restoran mewah yang berada di pusat kota Melbourne untuk merayakan wisudanya Calya. Hampir seluruh anggota keluarga utama Widjaja berada di sini saat ini."Apa, sih, Kak," Calya langsung memberengut kesal. Walau begitu gadis itu masih memeluk dan mencium ringan pipi ibu dan para kakak iparnya sambil memeluk sayang, "Masih belum puas ngerjain Ardiansyah?"Kakak pertamanya menanggapi keluhan gadis itu dengan kekehan. Tentu saja dia masih jauh dari kata puas. Rajasena tidak akan berhenti merundung pacar adik bungsunya sampai Calya berteriak penuh kekesalan atau pacar sang adik menjadi sangat salah tingkah. Dalam kasus ini itu akan sulit karena Ardiansyah bukan seorang yang manja. Pria itu sudah terbiasa menghadapi kerasnya kehidupan."Ada yang mencariku?" Ardian
"Kamu sudah punya calon?"Pertanyaan Rheinya membuat Narendra langsung menatap sang ibu dengan tidak percaya. Dia sama sekali tidak menyangkan pertanyaan itu akan keluar dari mulut Rheinya. Sang Ibu memang selalu mengingatkan untuk menjalin hubungan romantis dan menikah tetapi dia tidak pernah menyangka kalau Rheinya akan mengeluarkan pertanyaan itu. Setidaknya, tidak sekarang. Dia bahkan belum berusia tiga puluh tahun."Ma, apa itu harus dibahas sekarang? Ini harinya Calya."Rheinya tersenyum dengan anggun. Sama sekali tidak terlihat terganggu dengan jawaban yang diberikan oleh anak sulungnya."Lalu menurutmu kapan sebaiknya kita membahas hal ini?"Narendra mengendikkan bahu, "Entahlah. Yang pasti tidak kali ini."Rheinya tertawa pelan. Hanya Rheinya yang dapat melakukan ini tetapi entah bagaimana tawanya selalu terdengar merdu padahal wanita itu tidak mengaturnya sama sekali."Ayolah, Ma. Aku belum tiga puluh. Kita sudah pernah memb