"Sudah siap menghadapi quarter-life-crisis?" Narendra melemparkan tatapan serius ke arah Calya yang sedang bersantai di sofa sambil menonton serial TV kesukaannya.
"Oh, please, aku belum setua itu, ya!" Gadis itu langsung memberengutkan pipi dan melemparkan tatapan kesal ke arah kakaknya yang sedang terbahak karena mendengar jawaban yang diberikan oleh adiknya.
"Tapi beberapa hari lagi kamu akan wisuda," Narendra menyeringai, "Sudah tahu apa yang ingin kamu lakukan?"
"Memangnya aku harus langsung tahu?" Calya balik bertanya.
"Tentu saja! Malah seharusnya kamu sudah tahu jauh sebelum dinyatakan lulus kuliah."
"Aku belum tahu," Calya kembali memberengut, "Mungkin mau langsung ambil master aja."
"Kamu mau ambil master karena kamu tidak tahu ingin melakukan apa?" Narendra mengernyitkan dahi, "Ajaib."
"Yaa ... dari pada aku nggak ngapa-ngapain, kan?" Calya berujar kesal, "Nanti kalau aku nggak ngapa-ngapain dibilang aku b
"Mana pacar kamu?"Rajasena bertanya sambil tersenyum penuh arti kepada Calya yang baru memasuki ruangan sambil melepas toganya. Begitu juga dengan yang lain. Siang ini mereka berkumpul di salah satu restoran mewah yang berada di pusat kota Melbourne untuk merayakan wisudanya Calya. Hampir seluruh anggota keluarga utama Widjaja berada di sini saat ini."Apa, sih, Kak," Calya langsung memberengut kesal. Walau begitu gadis itu masih memeluk dan mencium ringan pipi ibu dan para kakak iparnya sambil memeluk sayang, "Masih belum puas ngerjain Ardiansyah?"Kakak pertamanya menanggapi keluhan gadis itu dengan kekehan. Tentu saja dia masih jauh dari kata puas. Rajasena tidak akan berhenti merundung pacar adik bungsunya sampai Calya berteriak penuh kekesalan atau pacar sang adik menjadi sangat salah tingkah. Dalam kasus ini itu akan sulit karena Ardiansyah bukan seorang yang manja. Pria itu sudah terbiasa menghadapi kerasnya kehidupan."Ada yang mencariku?" Ardian
"Kamu sudah punya calon?"Pertanyaan Rheinya membuat Narendra langsung menatap sang ibu dengan tidak percaya. Dia sama sekali tidak menyangkan pertanyaan itu akan keluar dari mulut Rheinya. Sang Ibu memang selalu mengingatkan untuk menjalin hubungan romantis dan menikah tetapi dia tidak pernah menyangka kalau Rheinya akan mengeluarkan pertanyaan itu. Setidaknya, tidak sekarang. Dia bahkan belum berusia tiga puluh tahun."Ma, apa itu harus dibahas sekarang? Ini harinya Calya."Rheinya tersenyum dengan anggun. Sama sekali tidak terlihat terganggu dengan jawaban yang diberikan oleh anak sulungnya."Lalu menurutmu kapan sebaiknya kita membahas hal ini?"Narendra mengendikkan bahu, "Entahlah. Yang pasti tidak kali ini."Rheinya tertawa pelan. Hanya Rheinya yang dapat melakukan ini tetapi entah bagaimana tawanya selalu terdengar merdu padahal wanita itu tidak mengaturnya sama sekali."Ayolah, Ma. Aku belum tiga puluh. Kita sudah pernah memb
Badi baru terbangun menjelang siang.Tidak aneh mengingat dia baru tidur setelah subuh. Tadi malam dia ikut siskamling dan begdang di pos ronda bersama pada penduduk pria kampung tempat tinggal keluarganya. Tidak ada yang memintanya mengingat dia hanya datang berkunjung. Pria itu hanya merasa kalau ini merupakan salah satu cara terbaik untuk mengakrabkan diri dengan penduduk kampung. Badi nyaris tidak pernah menghabiskan waktu cukup lama di kampung sejak dia keluar untuk menyelesaikan SMA kemudian kuliah dan bekerja.Sambil menguap pria itu berjalan keluar kamar dan mulai mencari keberadaan ibu juga dua wanita lain yang ada di rumah ini. Antari dan Hanny. Sejak mereka tiba, Hanny dan Antari dengan segera menjadi tidak terpisahkan. Mereka melakukan apapun bersama-sama. Setelah menjelajah hampir seluruh ruangan rumah dan tidak menemukan keberadaan mereka, Badi memutuskan untuk duduk di teras sambil menyapa beberapa tetangga yang kebetulan lewat dan dikenal olehnya."Badi,
Pria itu berjalan dengan santai di samping Miranti. Dia bahkan tidak sungkan membawa belanjaan Miranti. Setelah mengikuti pertemuan di balai desa, Miranti memang memutuskan untuk berbelanja sayur mayur di pasar. Wanita itu ingat kalau anak sulungnya sempat berkata kalau dia ingin rawon yang dimasak oleh Miranti. Tidak hanya membeli rawon serta bumbu dan pelengkapnya, wanita itu juga membeli bahan-bahan untuk capcay, sayuran kesukaan Antari."Ibu kelihatan semringah," pria muda itu bertanya sambil tersenyum ramah, "Apa karena Badi sedang ada di rumah?""Ya iya, tho," Miranti tertawa kecil, "Ibu mana yang nggak seneng kalau anaknya ada di rumah. Apalagi ini udah lama nggak pulang, lho!""Ibu lebih suka kalau Badi sering pulang?" Walau pertanyaannya terdengar penuh selidik tetapi Miranti tanpa beban menjawab pertanyaan itu."Ndak juga. Selama Badi seneng, mau jarang balik juga nggak apa-apa.""Untuk Hanny juga begitu?"Wanita paruh baya itu ter
"Ini enak. Aku belum pernah makan pecal yang seenak ini!" Narendra terlihat lahap menghabiskan makan malamnya.Saat ini mereka sedang berada di salah satu warung makan yang terkenal dengan pecalnya. Sepanjang siang mereka membujuk Miranti untuk beristirahat bukannya memasak apapun yang direncanakannya untuk makan malam mereka. Akhirnya, walau dengan berat hati, Miranti setuju untuk beristirahat."Iya, kan? Kak Bos harus percaya kalau aku bilang enak pasti enak," Hanny bahkan sudah menambah untuk kedua kalinya. Gadis itu memang memiliki nafsu makan yang besar dan dia tidak malu untuk menunjukkannya."Aku percaya," Narendra tersenyum lebar."Tentu aja Bos percaya. Kalau nggak percaya nggak mungkin mau ikut nongkrong di sini.""Kak Narendra udah terlatih kali! Aku ingat waktu masih di kontrakan petak Kak Narendra sering makan nasi bungkus.""Itu lauknya nggak pernah berubah tahu! Aku sampai bingung, kok, nggak bosan-bosan Bos makannya," Badi te
"Seminggu? Bos yakin?"Dalam perjalanan pulang Badi masih bertanya. Entah mengapa rasanya sulit untuk mempercayai Narendra dengan senang hati menghabiskan satu minggu di kota kecil seperti tempat tinggal keluarga Badi. Pasti ada sesuatu. Badi hanya harus mencari tahu apa alasan Narednra sebenarnya."Tentu saja aku yakin," Narendra memasukan tangan ke dalam saku jaket yang dikenakannya.Tadi sore begitu tas dan kopernya diantar oleh salah seorang pegawai keluarga Widjaja, pria itu langsung berganti pakaian. Dia tidak ingin diolok-olok oleh Hanny lebih lama lagi hanya karena pakaian."Liburan?" Badi masih berusaha mengejar dengan terus bertanya."Ya," majikannya menjawab dengan yakin, "Coba kamu ingat kapan terakhir kali aku berlibur ke tempat seperti kota ini?"Badi bergumam selama beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, "Nggak pernah.""Menurutmu aku akan melewatkan kesempatan ini?"Bodyguard itu menatap Narendra, "Nggak akan.
"Ada rame-rame apa, Buk?" Pagi ini Badi terbangun karena ada banyak suara di sekitar rumah mereka.Sangat jarang pagi dimulai dengan keriuhan. Biasanya ini hanya terjadi saat mereka mengadakan gotong royong atau ada yang mengadakan hajatan. Seingat Badi, Miranti tidak mengatakan apa-apa terkait adanya kegiatan di desa mereka."Ibuk juga nggak tahu. Mendadak aja itu, lho," Miranti yang sedang menyiapkan meja makan menatap bingung ke arah pintu rumah yang terbuka, "Coba kamu lihat. Cari tahu ada apa. Ibuk, ya, juga penasaran.""Aku ke depan dulu," Badi berjalan keluar rumah. Dengan cepat dia berbaur dengan para tetangga dan berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi."Itu, lho, ada truk di depan desa. Buanyak!""Iya, saya juga lihat," penduduk yang lain menimpali."Logonya itu, lho, kayak nggak asing.""Ada apa, ya?"Semakin Badi mendengar percakapan para penduduk yang berkumpul di sekitar mereka semakin pria itu bingung.
Selesai sarapan, Narendra dan Badi memilih untuk duduk di teras rumah Miranti sambil memperhatikan para penduduk yang masih berkerumun dan membicarakan tentang truk-truk berlogo Widjaja Group. Mereka sudah tidak sepanik tadi pagi tetapi masih penasaran. Kepala dan perangkat desa sudah menemui mereka dan menyampaikan apa yang sebenarnya sudah mereka bicarakan kemarin di balai desa.Pertemuan kemarin diadakan untuk membicarakan apa yang terjadi hari ini. Sayangnya sebagian besar penduduk tidak mendengarkan karena sudah terlalu sering mendengar janji-janji kosong yang diberikan kepada mereka terkait perbaikan infrastruktur. Sebagian yang lain mendengarkan tetapi tidak pernah membayangkan kalau akan dilakukan secepat ini sehingga ketika terjadi mereka sama sekali tidak berpikir kalau ini berkaitan dengan pertemuan tersebut."Sejak kapan?" Badi bertanya sambil memindahkan beberapa pot tanaman sesuai yang diperintahkan oleh Miranti."Apanya?" Narendra sedang menatap s