Badi baru terbangun menjelang siang.Tidak aneh mengingat dia baru tidur setelah subuh. Tadi malam dia ikut siskamling dan begdang di pos ronda bersama pada penduduk pria kampung tempat tinggal keluarganya. Tidak ada yang memintanya mengingat dia hanya datang berkunjung. Pria itu hanya merasa kalau ini merupakan salah satu cara terbaik untuk mengakrabkan diri dengan penduduk kampung. Badi nyaris tidak pernah menghabiskan waktu cukup lama di kampung sejak dia keluar untuk menyelesaikan SMA kemudian kuliah dan bekerja.
Sambil menguap pria itu berjalan keluar kamar dan mulai mencari keberadaan ibu juga dua wanita lain yang ada di rumah ini. Antari dan Hanny. Sejak mereka tiba, Hanny dan Antari dengan segera menjadi tidak terpisahkan. Mereka melakukan apapun bersama-sama. Setelah menjelajah hampir seluruh ruangan rumah dan tidak menemukan keberadaan mereka, Badi memutuskan untuk duduk di teras sambil menyapa beberapa tetangga yang kebetulan lewat dan dikenal olehnya.
"Badi,
Pria itu berjalan dengan santai di samping Miranti. Dia bahkan tidak sungkan membawa belanjaan Miranti. Setelah mengikuti pertemuan di balai desa, Miranti memang memutuskan untuk berbelanja sayur mayur di pasar. Wanita itu ingat kalau anak sulungnya sempat berkata kalau dia ingin rawon yang dimasak oleh Miranti. Tidak hanya membeli rawon serta bumbu dan pelengkapnya, wanita itu juga membeli bahan-bahan untuk capcay, sayuran kesukaan Antari."Ibu kelihatan semringah," pria muda itu bertanya sambil tersenyum ramah, "Apa karena Badi sedang ada di rumah?""Ya iya, tho," Miranti tertawa kecil, "Ibu mana yang nggak seneng kalau anaknya ada di rumah. Apalagi ini udah lama nggak pulang, lho!""Ibu lebih suka kalau Badi sering pulang?" Walau pertanyaannya terdengar penuh selidik tetapi Miranti tanpa beban menjawab pertanyaan itu."Ndak juga. Selama Badi seneng, mau jarang balik juga nggak apa-apa.""Untuk Hanny juga begitu?"Wanita paruh baya itu ter
"Ini enak. Aku belum pernah makan pecal yang seenak ini!" Narendra terlihat lahap menghabiskan makan malamnya.Saat ini mereka sedang berada di salah satu warung makan yang terkenal dengan pecalnya. Sepanjang siang mereka membujuk Miranti untuk beristirahat bukannya memasak apapun yang direncanakannya untuk makan malam mereka. Akhirnya, walau dengan berat hati, Miranti setuju untuk beristirahat."Iya, kan? Kak Bos harus percaya kalau aku bilang enak pasti enak," Hanny bahkan sudah menambah untuk kedua kalinya. Gadis itu memang memiliki nafsu makan yang besar dan dia tidak malu untuk menunjukkannya."Aku percaya," Narendra tersenyum lebar."Tentu aja Bos percaya. Kalau nggak percaya nggak mungkin mau ikut nongkrong di sini.""Kak Narendra udah terlatih kali! Aku ingat waktu masih di kontrakan petak Kak Narendra sering makan nasi bungkus.""Itu lauknya nggak pernah berubah tahu! Aku sampai bingung, kok, nggak bosan-bosan Bos makannya," Badi te
"Seminggu? Bos yakin?"Dalam perjalanan pulang Badi masih bertanya. Entah mengapa rasanya sulit untuk mempercayai Narendra dengan senang hati menghabiskan satu minggu di kota kecil seperti tempat tinggal keluarga Badi. Pasti ada sesuatu. Badi hanya harus mencari tahu apa alasan Narednra sebenarnya."Tentu saja aku yakin," Narendra memasukan tangan ke dalam saku jaket yang dikenakannya.Tadi sore begitu tas dan kopernya diantar oleh salah seorang pegawai keluarga Widjaja, pria itu langsung berganti pakaian. Dia tidak ingin diolok-olok oleh Hanny lebih lama lagi hanya karena pakaian."Liburan?" Badi masih berusaha mengejar dengan terus bertanya."Ya," majikannya menjawab dengan yakin, "Coba kamu ingat kapan terakhir kali aku berlibur ke tempat seperti kota ini?"Badi bergumam selama beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, "Nggak pernah.""Menurutmu aku akan melewatkan kesempatan ini?"Bodyguard itu menatap Narendra, "Nggak akan.
"Ada rame-rame apa, Buk?" Pagi ini Badi terbangun karena ada banyak suara di sekitar rumah mereka.Sangat jarang pagi dimulai dengan keriuhan. Biasanya ini hanya terjadi saat mereka mengadakan gotong royong atau ada yang mengadakan hajatan. Seingat Badi, Miranti tidak mengatakan apa-apa terkait adanya kegiatan di desa mereka."Ibuk juga nggak tahu. Mendadak aja itu, lho," Miranti yang sedang menyiapkan meja makan menatap bingung ke arah pintu rumah yang terbuka, "Coba kamu lihat. Cari tahu ada apa. Ibuk, ya, juga penasaran.""Aku ke depan dulu," Badi berjalan keluar rumah. Dengan cepat dia berbaur dengan para tetangga dan berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi."Itu, lho, ada truk di depan desa. Buanyak!""Iya, saya juga lihat," penduduk yang lain menimpali."Logonya itu, lho, kayak nggak asing.""Ada apa, ya?"Semakin Badi mendengar percakapan para penduduk yang berkumpul di sekitar mereka semakin pria itu bingung.
Selesai sarapan, Narendra dan Badi memilih untuk duduk di teras rumah Miranti sambil memperhatikan para penduduk yang masih berkerumun dan membicarakan tentang truk-truk berlogo Widjaja Group. Mereka sudah tidak sepanik tadi pagi tetapi masih penasaran. Kepala dan perangkat desa sudah menemui mereka dan menyampaikan apa yang sebenarnya sudah mereka bicarakan kemarin di balai desa.Pertemuan kemarin diadakan untuk membicarakan apa yang terjadi hari ini. Sayangnya sebagian besar penduduk tidak mendengarkan karena sudah terlalu sering mendengar janji-janji kosong yang diberikan kepada mereka terkait perbaikan infrastruktur. Sebagian yang lain mendengarkan tetapi tidak pernah membayangkan kalau akan dilakukan secepat ini sehingga ketika terjadi mereka sama sekali tidak berpikir kalau ini berkaitan dengan pertemuan tersebut."Sejak kapan?" Badi bertanya sambil memindahkan beberapa pot tanaman sesuai yang diperintahkan oleh Miranti."Apanya?" Narendra sedang menatap s
"Tarik! Tarik!""Jangan ditarik terus! Sekarang ulur, iya, ulur, gitu, terus tarik!"Narendra dengan kewalahan mengikuti seruan Pak Man dan Pak Ridwan. Sejak Narendra berteriak kalau umpannya dimakan, kedua pria paruh baya itu tidak berhenti terus berseru sahut-sahutan. Narendra yang memang tidak memiliki pengalaman memancing memilih untuk mengikuti seruan mereka walau semakin lama dia semakin bingung seruan siapa yang harus diikuti. Sementara itu, Badi tertawa puas melihat kelakuan majikannya."Lho, lho, lhooo ... " Pak Man dan Pak Ridwan berteriak karena tiba-tiba senar joran Narendra yang sejak tadi tegang karena tarikan ikan tiba-tiba mengendur bahkan hingga membuat Narendra hampir terpental."Yaaaah ... gagal. Kabur ikannya," Pak Ridwan menarik senar pancing Narendra untuk memastikan."Jadi kita gagal mendapatkan ikan, Pak?" Narendra bertanya polos sambil mengusap peluh di dahinya, "Sia-sia tenaga saya."Pak Ridwan meningkahi ucapan Nar
"Nah, udah siap semua. Tinggal makan aja," Pak Man menatap puas nasi dan berbagai lauk di atas selembar daun pisang berukuran cukup lebar.Pria paruh baya itu sudah membagi makanan menjadi empat dengan porsi yang kurang lebih sama dan lauk yang sama. Tidak hanya itu, Pak Ridwan berhasil memetik beberapa kelapa dan ketika temannya menyiapkan makan siang mereka, pria tua itu sudah membuka kelapa agar dapat dinikmati dengan mudah."Wah, mewah banget ini! Aku nggak nyangka bakal dapat makan siang semewah ini," Badi menghampiri kedua pria itu setelah mencuci tangan di aliran air sungai, "Nasi liwet?""Nasi liwet ikan asin, sambal kecombrang dan pepes," Pak Man terlihat begitu bangga, "Kamu pasti kangen dengan masakan istriku, tho? Udah berapa tahun coba kamu nggak makan masakan Bu Man?"Badi terkekeh. Dia tahu kalau tetangganya itu sedang menggodanya. Bukan rahasia kalau Badi kecil sering sekali mengunjungi tetangga untuk menawarkan bantuan kemudian ikut makan
"Bos kelihatan lebih rileks," Badi ikut duduk di teras dengan membawa dua gelas berisi wedang jahe yang baru dibuatkan oleh Miranti."Aku tidak percaya," Narendra terkekeh sambil menerima gelas yang diulurkan oleh bodyguard-nya."Ayolah, Bos," Badi ikut terkekeh, "Aku tahu kalau Bos sebenarnya juga ngerasain, kan? Aku juga yakin kalau ini tujuan Bos ke sini.""Maksud kamu?" pria itu menyesap wedang jahenya. Dia sangat menyukai wedang jahe buatan Miranti. Ringan tetapi menghangatkan."Alasan bos ke sini pasti sama dengan alasan Bos pengin tinggal di kontrakan petak, kan? Nyoba kehidupan yang nggak pernah Bos coba sebelumnya.""Tidak sepenuhnya benar," Narendra menatap jauh ke arah langit malam, "Tapi tidak salah.""Jadi alasan Bos sebenarnya ke sini apa?" Badi kembali bertanya dengan penasaran, "Ayolah, Bos. Aku harus tahu."Narendra diam sambil menarik napas panjang beberapa kali, "Seperti yang aku bilang, aku ingin desa ini menjadi p
"Nia, kamu sudah selesai berganti pakaian?"Suara Narendra membuat Agnia yang sedang berada di kamar mandi segera melepas kimono sutra yang dikenakan ketika dia membersihkan riasan wajah dengan bantuan seorang asisten MUA yang diminta oleh Reinya untuk tinggal sampai setelah acara selesai. Gadis itu mengambil piyama yang diberikan oleh Calya khusus untuk Agnia dan Narendra. Piyama berbahan sutra itu merupakan salah satu brand mewah dan salah satu yang tertua di Inggris. Kualitasnya sudah tidak perlu dipertanyakan karena sekelas Ratu Elizabeth II saja mempercayakan pakaian tidurnya kepada mereka.Agnia tidak pernah menduga kalau hal tersulit yang harus dilakukannya setelah memutuskan menikah dengan Narendra adalah beradaptasi dengan begitu banyak priviledge yang tiba-tiba dimilikinya. Semua serba dapat dimiliki. Tidak hanya sekadar memiliki tetapi selalu yang terbaik. Apapun itu."Nia?" Terdengar ketukan pelan di pintu kamar mandi."Sebentar," tergesa gadis itu menggelung rambut kemudi
"Macam inilah! Sah udah kalian sekarang," Bang Ucok langsung menyapa ketika seluru prosesi akad nikah selesai. Penampilan pria berbadan besar itu terlihat berbeda hari ini. Seperti seluruh undangan pria, Bang Ucok juga mengenakan three piece suit. Amelia turut hadir juga terlihat menawan dengan whimsical garden-inspired maxi dress. Penampilan disempurnakan dengan rambut tergelung model french twist yang memamerkan leher jenjangnya."Akhirnya, Bang," Agnia tertawa kecil, "Sekarang Bang Ucok udah nggak perlu khawatir lagi sama aku, kan? Aku udah nggak sendiri lagi.""He! Macam manaa... tak mungkin aku tak khawatir sama kau. Adik akunya kau ini," Bang Ucok berpura-pura bersungut kesal, "Jangan sementang kau sudah nikah terus kau anggap tak peduli lagi aku sama kau, ya!"Narendra terkekeh memperhatikan interaksi antara Agnia dan Bang Ucok. Walau mereka sudah tidak lagi di kontrakan petak tetapi tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama seperti dulu."Maaf, Bang," Narendra menyela percak
"Kamu yakin?""Ayah," Agnia hanya berpaling karena hiasan kepalanya cukup berat, "Ayah sudah berulang kali nanyain itu, lho. Mau Ayah tanya sampai seratus bahkan ribuan kali, jawaban Agnia tetap sama. Agnia yakin.""Tapi gimana kalau sampai tersebar? Memang pernikahan kamu private tapi tetap aja, di depan venue itu wartawan udah ngumpul kayak mau demo.""Memangnya kenapa kalau sampai nyebar?" Agnia menatap Kenny melalui cermin, "Ayah malu kalau sampai publik tahu aku ini anak ayah?""Bukan gitu," Kenny membalas tatapan Agnia, "Ayah bertanya karena Ayah nggak mau kamu menyesali kepuutusanmu.""Aku nggak akan nyesal, Yah," Agnia menjawab dengan yakin, "Percaya sama aku. Ini bukan keputusan impulsif. Aku udah mikirin ini dari lama. Dan itu keinginan aku. Pertanyaannya sekarang, apa Ayah mau ngelakuinnya atau nggak?""Tentu saja Ayah mau, Nia," Kenny menghampiri anak semata wayangnya dan meletakkan kedua tangan di bahu Agnia yang terbuka karena kebaya pernikahannya memiliki leher yang cuk
Narendra menatap pantulan diri pada cermin sambil menghembuskan napas dengan pelan. Dirinya terlihat sempurna dengann three pieces suit warna kelabu yang dipilihkan Agnia untuk hari istimewa ini. Kekasih yang akan segera menjadi istrinya itu mengatakan kalau kelabu merupakan warna yang hangat, dan itu sesuai dengan apa yang dirasakannya setiap kali berada di dekat Narendra. Sebagai seorang pria, Narendra menyerahkan sepenuhnya kepada Agnia.Ketika gadis itu meminta agar pernikahan mereka dilakukan secara private dan hanya mengundang keluarga dekat serta sahabat, Narendra juga dengan segera menyetujuinya. Beruntung keluarga besar mereka mau berkompromi. Walau pernikahan akan dirayakan secara sederhana tetapi resepsi akan diselenggarakan besar-besaran dan mengundang seluruh kenalan mereka. Agnia yang menyadari posisi mereka, Narendra merupakan pewaris keluarga Widjaja dan dirinya yang merupakan selebritas, setuju dengan itu."Narendra," Asija bersama dengan Reinya memasuki ruangan yang
"Lo gila," Abimana masuk ke ruang kerja Narendra sambil menggulirkan jari di tablet."Ada apa?" Narendra masih sibuk memperhatikan layar ponselnya. Dia sedang memeriksa portofolio saham miliknya sambil beristirahat dari memeriksa berbagai dokumen pekerjaan.Ketika Narendra kembali dari Seoul kemarin, dia disambut dengan tumpukan dokumen di meja kerja. Hanya dua hari tetapi tumpukan dokumen itu seakan Narendra sudah tidak mengantor selama berbulan-bulan. Seandainya bisa, dia ingin mengabaikan dokumen-dokumen itu. Tetapi tentu saja dia tidak dapat melakukannya karena ada tanggung jawab yang dipikul di bahunya.Asija menanggapi keputusan Narendra yang akhirnya setuju untuk menjadi pewaris Widjaja Group dengan serius. Walau pria itu mengatakan akan menggantikan Asija beberapa tahun lagi, pria paruh baya itu dengan cerdik mulai mengalihkan pekerjaan dan tanggung jawabnya kepada Narendra. Tentu saja Narendra tahu apa yang dilakukan oleh ayahnya tetapi dia tidak merasa keberatan dengan itu.
"Woaa!" Lee Jieun, aktris yang menjadi salah seorang lawan main Agnia di serial yang bekerja sama dengan Netflix itu memasuk lobi sambil berseru tidak percaya, "Mereka penasaran sekali sama kalian, ya!"Setelah Agnia, aktris berikutnya yang tidak di red carpet adalah Lee Jieun. Sayangnya, beberapa pewarta masih penasaran mengapa Agnia ditemani oleh Narendra sehingga mereka masih melontarkan pertanyaan itu berulang kali. Berkat pengalaman panjang menjadi aktris dan penyanyi, dengan cepat Lee Jieun dapat mengendalikan suasana dan menarik perhatian para pewarta. Setelah meladeni permintaan untuk berfoto dan menjawab pertanyaan yang dilontarkan serta berbincang dengan MC, gadis itu memasuki lobi gedung tempat acara digelar dan segera menyapa Agnia yang kebetulan masih belum memasuki ruangan tempat acara akan berlangsung."Eonnie," Agnia tertawa penuh rasa bersalah. Seharusnya spotlight hari ini milik Lee Jieun yang merupakan aktris utama di serial yang mereka bintangi. Tetapi karena kehad
"Surprise!" Narendra tertawa kecil sambil menjawil hidung kekasihnya, "May I be you plus one?""Ren... dra?" Agnia masih tidak percaya kalau pria yang sudah menunggu di mobil adalah kekasihnya, "Kamu ngapain di sini?""Jadi plus one kamu. Boleh?" Narendra masih menatap kekasihnya sambil tersenyum, "Shit! I really want to kiss you but it will ruins your lipstick."Sisa kebingungan Agnia menghilang dan berganti dengan tawa, "Kamu udah nggak ketemu aku lama terus itu kalimat pertama kamu?"Narendra masih tersenyum tanpa rasa bersalah sama sekali, "Seaneh itu? Bagian mana yang aneh dari seorang pria yang ingin mencium kekasihnya?""Bukan aneh," Agnia masih tertawa, "Tapi aku nggak nyangka kalau itu yang bakalan kamu ucapin setelah kita nggak ketemu selama beberapa minggu.""Beberapa minggu?" Senyuman masih tersisa walau sekarang pria itu mengernyit bingung, "Bukannya beberapa hari lalu kita baru bertemu, ya?""Beberapa hari?" Agnia berpiki selama beberapa saat, "Aaah! Aku ingat! Astagaa,
Suara ketukan disusul dengan seseorang gadis membuka pintu kamar hotel yang digunakan Agnia sejak beberapa malam lalu. Gadis berheadset dan memeluk clipboard berdiri di ambang pintu."Selamat siang Nona Agnia," senyumnya merekah sempurna, "Kita sesuai dengan jadwal. Lima menit lagi Anda sudah harus turun. Mobil yang akan mengantarkan Anda ke lokasi sudah siap."Agnia yang berdiri di tengah ruangan dan dikelilingi oleh begitu banyak orang dengan kesibukan masing-masing hanya dapat menoleh sambil tersenyum kemudian menganggukkan kepala. Dia tidak dapat melakukan lebih dari itu. Penata busana sedang memastikan seluruh lekuk tubuh artisnya menonjol dengan tepat tanpa ada kerutan atau lipatan yang merusaknya. Asisten penata busana sudah menyodorkan entah pasangan sepatu ke berapa untuk dicobanya. Hairdresser sejak tadi memastikan kalau rambut Agnia sempurna sesuai dengan keinginannya sementara make up artist yang dipercaya oleh artis muda itu sedang melakukan retouch pada beberapa bagian w
"Paman Leo," Narendra tersenyum ketika melihat pria paruh baya yang sudah berpuluh tahun bekerja di tailor yang sudah menjadi langganan keluarga besar Widjaja. "Saya tidak pernah menyangka kalau saya masih diberi kesempatan untuk mengukur dan menyiapkan suits untuk pernikahan Anda," Leo menyapa dengan ramah. "Paman pasti masih menganggapku anak kecil," Narendra terkekeh. "Kebiasaan orang tua," dengan hati-hati Leo mengarahkan Narendra yang ditemani Abimana dan Badi untuk berjalan ke bagian belakang yang lebih tertutup, "Rasanya baru kemarin Anda ke sini untuk pengukuran suits pertama. Bahan wol, warna kelabu. Three pieces dengan celana pendek." "Untuk ulang tahun pernikahan Papa dan Mama," Narendra menyambung, "Saya juga masih mengingatnya dengan baik, Paman." Selama beberapa saat Leo berdiri sambil menatap Narendra. Tatapannya penuh dengan kenangan bercampur kebanggaan. Dia sempat larut sebelum menyadari kalau ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Dengan cepat dia mengeluarkan