Agnia dan Kenny sudah lama meninggalkan makam Gayatri. Berbeda dengan Rheinya. Wanita itu masih berdiri di sana. Menatap makam sahabatnya sambil sesekali mengenang masa lalu. Saat masih bersama dengan Gayatri. Saat mereka masih menjadi aktris dan berjuang bersama. Pilihan hidup mereka yang membuat jalan mereka terpisah.
"Aku minta maaf," Rheinya berbisik, "Agnia mengatakan aku tidak perlu meminta maaf tetapi aku merasa kalau aku harus melakukan ini, Tri."
"Aku minta maaf," dia mengulangi ucapannya.
Tidak ada jawaban. Tentu saja tidak ada jawaban. Hanya desau angin yang terdengar berbisik lembut di telinganya.
"Aku benar-benar minta maaf. Seharusnya aku tahu kalau saat itu kamu sedang tidak baik-baik saja. Andai saja aku sedikit lebih peka. Andai saja ..."
Suaranya menghilang dan berganti dengan isak tangis. Akhirnya tangis itu pecah juga. Tangis yang sjak tadi ditahannya. Entah berapa lama hingga akhirnya tangis itu mereda dengan sendirinya.
Entah berapa kali Ardiansyah membenarkan posisi duduknya. Tidak ada yang salah. Bukan juga karena tidak nyaman. Ardiansyah melakukan itu tanpa sadar karena dia sangat gugup. Bagaimana tidak, dia baru kembali ke ibukota beberapa hari lalu dan kemarin Calya mengatakan kalau orang tuanya ingin bertemu dengannya. Kejutan yang sungguh berhasil membuat perutnya melilit sejak mendengar kabar itu dari pacarnya."Kamu kenapa, sih?" Calya tersenyum geli melihat tindak tanduk Ardiansyah sejak beberapa menit lalu."Masih pelu kamu tanya aku kenapa?" Ardiansyah tidak bermaksud menjawab ketus. Dia hanya terlalu gugup.Tawa Calya pecah, "Berapa kali aku harus bilang kalau santai aja? Ini cuma makan malam, Di.""Aku tahu ... tapi tetap saja," pria itu menghela napas panjang, "Ketemu orang tua kamu.""Nggak ada yang perlu ditakutin, kan? Mereka nggak akan tiba-tiba nodong kamu buat nikahin aku atau apa," Calya kembali tertawa geli, "Mereka cuma pengin tahu karena k
"Belum tidur, Calya?" Rheinya yang sudah berganti pakaian dengan piyama dilapis bedrobe berbahan sutra memasuki kamar anak bungsunya setelah mengetuk pintu.Calya yang sedang asyik menonton TV series favoritnya ditemani satu pint es krim rasa chocomint langsung menoleh ke sumber suara, "Hei, Ma. Belum, aku masih pengin nonton satu atau dua episode lagi.""Nonton apa, kok, kayaknya seru sekali?" Rheinya menduduki ruang kosong di samping Calya."Drama Korea. Konfliknya menarik," Calya sudah kembali serius nonton sambil menikmati sesendok es krim."Hm ..." Rheinya bergumam pelan sambil mengambil sendok yang tersedia di atas meja dan ikut menikmati es krim di pangkuan Calya.Setelah beberapa menit baru Calya kembali bersuara, "Mama mau nanya apa?""Tanya apa? Mama diam aja, lho, dari tadi."Calya tertawa kecil, "Ayolah, Ma. Aku hapal sama kelakuan Mama. Nggak mungkin nggak ada apa-apa kalau Mama malam-malam gini main ke kamarku. Mama, kan
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Seorang resepsionis muda berpenampilan menarik menyapa Ariyanto Sabian yang terlihat kebingungan di dalam lift."Saya ingin bertemu dengan Pak Sabda," dia menjawab dengan nada sombong sambil menegakkan dagu. Walau saat ini dia sedang bingung tetapi tidak boleh ada seorangpun yang menyadarinya."Maaf, apakah Bapak sudah memiliki janji?" resepsionis muda itu menahan pintu lift agar tidak tertutup, "Beberapa lantai hanya dapat diakses dengan menggunakan kartu khusus.""Janji? Kamu tidak tahu saya siapa?" Harga dirinya sedikit tergores mendengar ucapan yang dilontarkan oleh sang resepsionis."Tentu saya tahu Bapak siapa," sesuai dengan pelatihann yang didapatkannya, resepsionis itu masih tersenyum dengan ramah, "Anda Pak Ariyanto Sabian, benar?""Kalau begitu kenapa kamu berani-beraninya bertanya apakah saya memiliki janji atau tidak?!""Saya bertanya karena menurut catatan hari ini Pak sabda tidak memiliki janji
"Masih terlalu pagi untuk sebuah kunjungan, bukan?" Narendra tersenyum ketika melihat sosok Ariyanto Sabian memasuki ruang meeting disusul oleh tangan kanannya, Abimana."Menurut saya tidak," sepertinya kearoganan masih tersisa dalam diri pria itu."Begitu," Narendra bahkan tidak merasa perlu untuk bangun dari duduknya, "Mungkin karena saya bukan morning person sehingga ini masih terlalu pagi. Kamu setuju Abimana?"Abimana tersenyum sambil menaik kursi di samping sepupunya kemudian duduk dengan nyaman, "Terlalu pagi. Kopi aku bahkan belum habis."Narendra tertawa kecil, "Tapi karena Anda sudah di sini," Narendra menunjuk kursi kosong di hadapannya, "Saya tidak punya pilihan lain selain menerima Anda.""Bagus," Ariyanto Sabian menatap lawan bicaranya, "Karena saya bukan orang yang mudah menerima penolakan."Tawa Narendra kembali pecah, "Begitu? Tapi sebagian besar orang memang sulit menerima penolakan," dia tersenyum geli, "Kopi?""Ya,
"Gimana meetingnya, Bos?" Badi mengisi kembali reuseable tumblernya dengan es kopi susu gula aren.Salah satu keuntungan menjadi pegawai Widjaja Group adalah mendapatkan asupan kopi sebanyak apapun yang mereka inginkan dan butuhkan secara gratis. Kabar baik lainnya, kopi yang disediakan berasal dari salah satu merk terkenal jadi tidak ada yang namanya kopi tidak enak."Meeting? Oh, maksud kamu yang tadi pagi?" Narendra berjalan mendului Badi setelah memastikan bodyguardnya selesai mengisi ulang kopinya.Mereka baru saja selesai makan siang dan Narendra ingin menghabiskan waktu di rooftop gedung Widjaja Group sebelum kembali bekerja. Dia membutuhkan penyegaran dan taman di rooftop merupakan pilihan terbaik yang dimiliki saat ini."Ya. Bos nggak punya jadwal meeting lain hari ini," Badi terkekeh, "Bahkan sebenarnya Bos nggak punya jadwal meeting hari ini. Aku ingat Bos kelihatan agak santai di mobil tadi, dalam perjalanan ke sini.""Benar," Narendra
"Waktu makan siang akan segera berakhir, Badi," Narendra menatap bodyguardnya dengan tidak sabar.Badi menghela napas panjang. Seharusnya dia tidak mengatakan kepada Narendra kalau ada yang ingin dibicarakannya. Seharusnya dia langsung saja membicarakan masalah ini jika dia melihat majikannya dalam situasi yang memungkinkan untuk mengobrol. Tapi sekarang sudah terlambat."Seingatku kamu mengatakan ini sesuatu yang penting," pria itu kembali bersuara sambil menepuk daun kering yang tidak sengaja menempel di kemejanya."Ya," detik ini Badi menyesal kenapa dia menyetujui permintaan Bang Ucok. Seharusnya dia membiarkan pria itu yang melakukannya sendiri. Bang Ucok jauh lebih blak-blakan cocok untuk menyampaikan apa yang akan disampaikan Badi saat ini."Apa?" Narendra mengambil ponsel dari saku celana hanya untuk memastikan kalau tidak ada pesan atau email yang membutuhkan perhatiannya.Sambil menarik napas panjang akhirnya bodyguard itu mengeluarkan am
Beberapa hari setelah Ariyanto Sabian menemui Narendra di gedung Widjaja Group, pria itu sempat kembali dan memaksa untuk kembali bertemu dengan Narendra. Sayangnya, saat itu kebetulan Narendra tidak ada di gedung Widjaja Group. Walaupun ada, jelas salah satu dari penerus keluarga Widjaja itu tidak bersedia menemuinya Ariyanto Sabian. Untuk alasan apapun.Setelah pembicaran dengan Badi, Narendra langsung menyiapkan rencana dan tanpa menunggu lebih lama dia segera menjalankan rencana itu setelah matang. Hasilnya dapat dilihat hari ini pada seluruh headline media cetak juga media online.Sudah hampir seminggu headline tidak pernah jauh dari nama Ariyanto Sabian. Itu merupakan bagian dari rencana Narendra. Setiap hari orang suruhannya akan membisikkan informasi tentang Ariyanto Sabian kepada media. Tentu saja informasi tersebut terlalu menggoda untuk dilewatkan oleh media di negara ini. Hampir semua informasi itu berkaitan dengan aliran uang, pajak, penyuapan dan berbagai
"You look stunning," Antari yang baru saja memasuki ruangan langsung berdiri di belakang Agnia yang masih duduk di hadapan cermin di kelilingi oleh lampu.Malam ini merupakan malam premier film terbaru Agnia. Rumah produksi sepertinya memutuskan untuk melakukan promosi sebaik dan sebesar mungkin. Mereka menyewa seluruh layar di salah satu bioskop terbesar di pusat kota. Beberapa ruangan yang berada di lantai atas juga disewa dan dialih fungsikan menjadi ruang ganti serta ruang istirahat bagi beberapa artis dan khusus bagi pemeran utama mendapatkan ruang ganti pribadi. Salah satunya tentu saja Agnia."Beneran?" Agnia sediki berbalik sebelum bangkit dan memeluk pacar tetangga kontrakan petaknya, "Makasih udah datang. Kamu bareng Badi?""Ya," Antari balas memeluk sebelum melepaskan pelukan, "Tadi Kak Badi jemput aku dan kita langsung ke sini.""Berdua aja?" Pertanyaan itu diajukan dengan ragu oleh Agnia. Dia tidak yakin apakah harus bertanya atau ti