"You look stunning," Antari yang baru saja memasuki ruangan langsung berdiri di belakang Agnia yang masih duduk di hadapan cermin di kelilingi oleh lampu.
Malam ini merupakan malam premier film terbaru Agnia. Rumah produksi sepertinya memutuskan untuk melakukan promosi sebaik dan sebesar mungkin. Mereka menyewa seluruh layar di salah satu bioskop terbesar di pusat kota. Beberapa ruangan yang berada di lantai atas juga disewa dan dialih fungsikan menjadi ruang ganti serta ruang istirahat bagi beberapa artis dan khusus bagi pemeran utama mendapatkan ruang ganti pribadi. Salah satunya tentu saja Agnia.
"Beneran?" Agnia sediki berbalik sebelum bangkit dan memeluk pacar tetangga kontrakan petaknya, "Makasih udah datang. Kamu bareng Badi?"
"Ya," Antari balas memeluk sebelum melepaskan pelukan, "Tadi Kak Badi jemput aku dan kita langsung ke sini."
"Berdua aja?" Pertanyaan itu diajukan dengan ragu oleh Agnia. Dia tidak yakin apakah harus bertanya atau ti
"Siapa?"Agnia yang sedang membersihkan sisa make up bergegas membuang kapas sebelum berpaling ke arah pintu. Dia tidak sedang menunggu siapa pun. Sepanjang ingatan gadis itu, dia sudah berpamitan dengan seluruh undangan dan kru bahkan ayahnya. Dia juga tidak sedang menunggu siapa pun. Hanya tersisa dirinya dan kesedihan karena seseorang yang paling diharapkan untuk hadir tidak datang bahkan sampai detik terakhir.Walau ada sebuket bunga yang begitu cantik dengan ukuran yang mengundang decak kagum seluruh undangan dan kenalannya. Agnia kira itu cukup. Tetapi ternyata tidak. Dia masih berharap Narendra tiba-tiba hadir, entah dari mana, dan memeluknya dengan erat.Badi dan Antari berusaha membantu untuk mengembalikan suasana hati Agnia dengan mengatakan kalau tentu ada alasan kenapa pria itu tidak hadir. Dugaan mereka karena Narendra tidak ingin mencuri lampu sorot dari acara ini. Sudah sepantasnya Agnia dan para kru yang menjadi pusat perhatian bukan dia atau ora
"Kamu masih marah?"Narendra memainkan rambut Agnia yang sedang duduk di pangkuannya. Sesekali dia akan memilin seuntai rambut gadis itu di sepanjang jarinya lalu melepaskan. Tidak ada tujuan, dia hanya senang melakukannya."Kamu hilang gitu aja tanpa kabar berminggu-minggu dan aku tahu dari TV kalau kamu anggota keluarga Widjaja terus kamu bikin sedih dengan nggak datang di premier film aku sebelum tiba-tiba, puff! Kamu muncul gitu aja di ruang ganti aku. Itu, menurut kamu cukup dengan aku mukul kamu ... dua? Tiga kali?"Narendra tertawa mendengar ucapan kekasihnya. Agnia mengucapkan kalimat panjang itu dalam satu tarikan napas sambil berusaha menjaga ekspresinya agar tetap terlihat marah."I got it. Kamu masih marah," Narendra membelai rambutnya.Bersama Agnia semuanya terasa lebih mudah. Dia lebih mudah untuk tertawa. Bahkan terkadang tanpa alasan dia mendapati dirinya sedang tersenyum, terkekeh, bahkan tertawa. Narendra juga merasa kalau dia se
Narendra menghela napas panjang dan berusaha untuk mengendalikan dirinya. Dia tahu kalau Agnia akan memintanya untuk berjanji. Tentu saja. Tidak ada yang aneh dengan permintaan Agnia. Semua orang pasti akan melakukan hal yang sama. Masalahnya terletak pada dirinya."Nia, boleh pinjam HPmu sebentar?" Narendra mengulurkan tangannya."Untuk apa?" Walau dia mengernyitkan kening dan menatap Narendra dengan penuh kebingungan, gadis itu tetap mengambil ponselnya dan memberikannya kepada Narendra."Nomor pribadiku," Narendra menerima ponsel yang diberikan Agnia dan mengetiknya cepat, "Selama ini aku hanya punya satu nomor. Aku gunakan baik untuk urusan pribadi maupun pekerjaan. Tapi aku memutuskan sudah saatnya mempunyai nomor pribadi."Narendra mengembalikan ponsel Agnia sambil tersenyum lebar, "Nomor itu hanya aku berikan kepada keluarga dekatku dan kamu. Kamu dapat menghubungiku kapan saja. Aku akan langsung mengangkatnya. Tidak peduli sesibuk apa aku saat itu
"Pagi, Dra," Rajasena masuk ke penthouse Narendra sambil membawa kantong kertas berisi sarapan mereka."Itu apa?" Narendra yang sedang menikmati kopinya langsung bertanya penasaran."Titipan dari ipar lo. Dia takut kalau lo mati kelaparan," Rajasena meletakan kantong kertas itu di samping Narendra sebelum menarik kursi makan lain dan mendudukinya, "Kamu kelihatan senang banget. Semalam berjalan lancar?""Apanya?" Narendra dengan hati-hati meletakkan cangkir kopinya di pisin."Nggak usah belagak bodoh," Rajasena terkekeh, "Aku tahu kamu semalam nemuin Agnia.""Astaga ..." Narendra bergumam pelan, "Abimana atau Badi?""Sepupu lo. Mana berani Badi ngaduin apa-apa ke aku? Badi itu orang yang paling bisa lo percaya. Kalau lo bilang itu rahasia, maka itu rahasia buatnya. Bahkan jika nyawa taruhannya.""Papa memilihkan bodyguard yang tepat untukku.""Papa selalu memilihkan bodyguard yang tepat untuk kita," Rajasena bangkit untuk menga
"Tumben lo jam segini baru sampai. Keasyikan semalam? Berapa ronde?"Tentu saja hanya Abimana yang berani menggoda Narendra seperti ini. Ketika Narendra tiba di ruang kerjanya di gedung Widjaja Group, sepupunya sudah menunggu dengan setumpuk berkas dan jadwal yang rasanya semakin hari semakin padat hingga entah berapa kali pria itu berpikir untuk kembali kabur ke kontrakan petak walau dia tahu itu tidak mungkin dilakukannya."Sial. Aku tidak semesum kamu," Narendra terkekeh, "Tadi Kak Raja ke penthouse.""Ada yang penting? Jarang banget Kak Raja mampir ke penthouse lo pagi-pagi.""Nggak ada yang penting. Cuma nganterin omelet aja," pria itu menepuk tumpukan berkas yang sepertinya bermutasi dalam semalam hingga jumlahnya bertambah berkali lipat, "Ini harus selesai semua?"Abimana tertawa geli melihat ekspresi ngeri sepupunya, "Nggak semua. Yang aku tandain merah aja harus selesai hari ini. Sisanya itu yang lo minta revisi.""Gila, semua divis
"Berhenti menatapku seperti itu, Sayang."Ucapan itu terdengar lembut di telinga Abimana. Walau begitu, dia tahu kalau tunangannya sedang merajuk. Selalu ada nada khas setiap kali Rhania merajuk dan entah bagaimana dia menyukai hal itu. Mungkin karena hanya dia, lelaki dewasa, yang pernah mendengar nada itu digunakan oleh Rhania."Seperti itu kayak gimana?" Abimana malah menatap Rhania dengan semakin intens, "Memangnya aku ngelihatin kamu kayak gimana, sih?""Gitu!" Rhania memanyunkan bibirnya, "Biasa aja natap akunya. Iya, kita lagi prewed tapi nggak harus gitu juga, kan, ngelihatinnya?""Gitu gimana?" Kali ini pria itu tersenyum untuk menenangkan tunangannya tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Pipi gadis itu bersemu merah dan tidak membutuhkan waktu lama hingga seluruh wajahnya merah padam, "Kamu kenapa?""Tau ah!" Rhania menjawab kesal.Abimana tergelak dan refleks mencubit pipi tunangannya, "Ayolah. Masa ngambeknya sekarang? Kamu mau
Narendra menepati janjinya. Setelah seluruh masalah internal Widjaja Group selesai, pria itu memberikan cuti panjang untuk Bang Ucok. Hal ini juga sebagai bayaran atas kerja keras pria berbadan besar itu. Narendra tidak menutup mata atas apa yang sudah dilakukan Bang Ucok untuknya dan untuk keluarga Widjaja. Tanpa kerja keras pria itu rencananya tidak akan mungkin berjalan dengan sempurna.Bang Ucok tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia menghabiskan satu minggu di kampung halaman sebelum bertolak ke London. Awalnya dia hanya berencana untuk menghabiskan liburnya di kampung halaman kemudian membereskan apartemen dan kontrakan petaknya. Tetapi percakapan dengan Narendra membuatnya berubah pikiran.Dan ... di sini dia sekarang. London.Di depan pintu apartemen Amelia.Pria itu menarik napas panjang dan berdoa sebelum membunyikan bel apartemen gadis itu. Ketika dia berada di depan gedung, ada seorang penghuni apartemen yang keluar sehingga dia dapat
"Nggak dinginnya kau?" Bang Ucok bertanya setelah mereka menjelajah Royal Botanical Garden.Amelia yang memutuskan tujuan kencan mereka. Gadis itu sengaja memilih untuk berkunjung ke Royal Botanical Garden karena hobi Bang Ucok. Dia ingin menyenangkan pacarnya yang sudah menempuh ribuan kilometer untuk mengunjunginya."Dingin. Tapi kayaknya lebih kedinginan Abang, deh," Amelia tertawa kecil sambil memasukkan tangannya ke saku mantel Bang Ucok."Nyaman kau tinggal di sini?" Pria itu ikut memasukkan tangan ke dalam saku sebelum meremas tangan gadis itu dengan lembut."Nyaman aja, sih. Nggak yang gimana," gadis itu tersenyum, "Paling kadang ngerasa kesepian aja karena aku belum punya banyak teman di sini.""Jadi kawan dekat kau itu si James sama Angela?""Ya. Awalnya karena kita pernah satu kelompok tugas. Eh, pas ngobrol nyambung banget! Nggak sadar udah dekat dan sering ngabisin waktu bareng.""Bagus, lah. Tenang aku kalau ada yang dek