"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Seorang resepsionis muda berpenampilan menarik menyapa Ariyanto Sabian yang terlihat kebingungan di dalam lift.
"Saya ingin bertemu dengan Pak Sabda," dia menjawab dengan nada sombong sambil menegakkan dagu. Walau saat ini dia sedang bingung tetapi tidak boleh ada seorangpun yang menyadarinya.
"Maaf, apakah Bapak sudah memiliki janji?" resepsionis muda itu menahan pintu lift agar tidak tertutup, "Beberapa lantai hanya dapat diakses dengan menggunakan kartu khusus."
"Janji? Kamu tidak tahu saya siapa?" Harga dirinya sedikit tergores mendengar ucapan yang dilontarkan oleh sang resepsionis.
"Tentu saya tahu Bapak siapa," sesuai dengan pelatihann yang didapatkannya, resepsionis itu masih tersenyum dengan ramah, "Anda Pak Ariyanto Sabian, benar?"
"Kalau begitu kenapa kamu berani-beraninya bertanya apakah saya memiliki janji atau tidak?!"
"Saya bertanya karena menurut catatan hari ini Pak sabda tidak memiliki janji
"Masih terlalu pagi untuk sebuah kunjungan, bukan?" Narendra tersenyum ketika melihat sosok Ariyanto Sabian memasuki ruang meeting disusul oleh tangan kanannya, Abimana."Menurut saya tidak," sepertinya kearoganan masih tersisa dalam diri pria itu."Begitu," Narendra bahkan tidak merasa perlu untuk bangun dari duduknya, "Mungkin karena saya bukan morning person sehingga ini masih terlalu pagi. Kamu setuju Abimana?"Abimana tersenyum sambil menaik kursi di samping sepupunya kemudian duduk dengan nyaman, "Terlalu pagi. Kopi aku bahkan belum habis."Narendra tertawa kecil, "Tapi karena Anda sudah di sini," Narendra menunjuk kursi kosong di hadapannya, "Saya tidak punya pilihan lain selain menerima Anda.""Bagus," Ariyanto Sabian menatap lawan bicaranya, "Karena saya bukan orang yang mudah menerima penolakan."Tawa Narendra kembali pecah, "Begitu? Tapi sebagian besar orang memang sulit menerima penolakan," dia tersenyum geli, "Kopi?""Ya,
"Gimana meetingnya, Bos?" Badi mengisi kembali reuseable tumblernya dengan es kopi susu gula aren.Salah satu keuntungan menjadi pegawai Widjaja Group adalah mendapatkan asupan kopi sebanyak apapun yang mereka inginkan dan butuhkan secara gratis. Kabar baik lainnya, kopi yang disediakan berasal dari salah satu merk terkenal jadi tidak ada yang namanya kopi tidak enak."Meeting? Oh, maksud kamu yang tadi pagi?" Narendra berjalan mendului Badi setelah memastikan bodyguardnya selesai mengisi ulang kopinya.Mereka baru saja selesai makan siang dan Narendra ingin menghabiskan waktu di rooftop gedung Widjaja Group sebelum kembali bekerja. Dia membutuhkan penyegaran dan taman di rooftop merupakan pilihan terbaik yang dimiliki saat ini."Ya. Bos nggak punya jadwal meeting lain hari ini," Badi terkekeh, "Bahkan sebenarnya Bos nggak punya jadwal meeting hari ini. Aku ingat Bos kelihatan agak santai di mobil tadi, dalam perjalanan ke sini.""Benar," Narendra
"Waktu makan siang akan segera berakhir, Badi," Narendra menatap bodyguardnya dengan tidak sabar.Badi menghela napas panjang. Seharusnya dia tidak mengatakan kepada Narendra kalau ada yang ingin dibicarakannya. Seharusnya dia langsung saja membicarakan masalah ini jika dia melihat majikannya dalam situasi yang memungkinkan untuk mengobrol. Tapi sekarang sudah terlambat."Seingatku kamu mengatakan ini sesuatu yang penting," pria itu kembali bersuara sambil menepuk daun kering yang tidak sengaja menempel di kemejanya."Ya," detik ini Badi menyesal kenapa dia menyetujui permintaan Bang Ucok. Seharusnya dia membiarkan pria itu yang melakukannya sendiri. Bang Ucok jauh lebih blak-blakan cocok untuk menyampaikan apa yang akan disampaikan Badi saat ini."Apa?" Narendra mengambil ponsel dari saku celana hanya untuk memastikan kalau tidak ada pesan atau email yang membutuhkan perhatiannya.Sambil menarik napas panjang akhirnya bodyguard itu mengeluarkan am
Beberapa hari setelah Ariyanto Sabian menemui Narendra di gedung Widjaja Group, pria itu sempat kembali dan memaksa untuk kembali bertemu dengan Narendra. Sayangnya, saat itu kebetulan Narendra tidak ada di gedung Widjaja Group. Walaupun ada, jelas salah satu dari penerus keluarga Widjaja itu tidak bersedia menemuinya Ariyanto Sabian. Untuk alasan apapun.Setelah pembicaran dengan Badi, Narendra langsung menyiapkan rencana dan tanpa menunggu lebih lama dia segera menjalankan rencana itu setelah matang. Hasilnya dapat dilihat hari ini pada seluruh headline media cetak juga media online.Sudah hampir seminggu headline tidak pernah jauh dari nama Ariyanto Sabian. Itu merupakan bagian dari rencana Narendra. Setiap hari orang suruhannya akan membisikkan informasi tentang Ariyanto Sabian kepada media. Tentu saja informasi tersebut terlalu menggoda untuk dilewatkan oleh media di negara ini. Hampir semua informasi itu berkaitan dengan aliran uang, pajak, penyuapan dan berbagai
"You look stunning," Antari yang baru saja memasuki ruangan langsung berdiri di belakang Agnia yang masih duduk di hadapan cermin di kelilingi oleh lampu.Malam ini merupakan malam premier film terbaru Agnia. Rumah produksi sepertinya memutuskan untuk melakukan promosi sebaik dan sebesar mungkin. Mereka menyewa seluruh layar di salah satu bioskop terbesar di pusat kota. Beberapa ruangan yang berada di lantai atas juga disewa dan dialih fungsikan menjadi ruang ganti serta ruang istirahat bagi beberapa artis dan khusus bagi pemeran utama mendapatkan ruang ganti pribadi. Salah satunya tentu saja Agnia."Beneran?" Agnia sediki berbalik sebelum bangkit dan memeluk pacar tetangga kontrakan petaknya, "Makasih udah datang. Kamu bareng Badi?""Ya," Antari balas memeluk sebelum melepaskan pelukan, "Tadi Kak Badi jemput aku dan kita langsung ke sini.""Berdua aja?" Pertanyaan itu diajukan dengan ragu oleh Agnia. Dia tidak yakin apakah harus bertanya atau ti
"Siapa?"Agnia yang sedang membersihkan sisa make up bergegas membuang kapas sebelum berpaling ke arah pintu. Dia tidak sedang menunggu siapa pun. Sepanjang ingatan gadis itu, dia sudah berpamitan dengan seluruh undangan dan kru bahkan ayahnya. Dia juga tidak sedang menunggu siapa pun. Hanya tersisa dirinya dan kesedihan karena seseorang yang paling diharapkan untuk hadir tidak datang bahkan sampai detik terakhir.Walau ada sebuket bunga yang begitu cantik dengan ukuran yang mengundang decak kagum seluruh undangan dan kenalannya. Agnia kira itu cukup. Tetapi ternyata tidak. Dia masih berharap Narendra tiba-tiba hadir, entah dari mana, dan memeluknya dengan erat.Badi dan Antari berusaha membantu untuk mengembalikan suasana hati Agnia dengan mengatakan kalau tentu ada alasan kenapa pria itu tidak hadir. Dugaan mereka karena Narendra tidak ingin mencuri lampu sorot dari acara ini. Sudah sepantasnya Agnia dan para kru yang menjadi pusat perhatian bukan dia atau ora
"Kamu masih marah?"Narendra memainkan rambut Agnia yang sedang duduk di pangkuannya. Sesekali dia akan memilin seuntai rambut gadis itu di sepanjang jarinya lalu melepaskan. Tidak ada tujuan, dia hanya senang melakukannya."Kamu hilang gitu aja tanpa kabar berminggu-minggu dan aku tahu dari TV kalau kamu anggota keluarga Widjaja terus kamu bikin sedih dengan nggak datang di premier film aku sebelum tiba-tiba, puff! Kamu muncul gitu aja di ruang ganti aku. Itu, menurut kamu cukup dengan aku mukul kamu ... dua? Tiga kali?"Narendra tertawa mendengar ucapan kekasihnya. Agnia mengucapkan kalimat panjang itu dalam satu tarikan napas sambil berusaha menjaga ekspresinya agar tetap terlihat marah."I got it. Kamu masih marah," Narendra membelai rambutnya.Bersama Agnia semuanya terasa lebih mudah. Dia lebih mudah untuk tertawa. Bahkan terkadang tanpa alasan dia mendapati dirinya sedang tersenyum, terkekeh, bahkan tertawa. Narendra juga merasa kalau dia se
Narendra menghela napas panjang dan berusaha untuk mengendalikan dirinya. Dia tahu kalau Agnia akan memintanya untuk berjanji. Tentu saja. Tidak ada yang aneh dengan permintaan Agnia. Semua orang pasti akan melakukan hal yang sama. Masalahnya terletak pada dirinya."Nia, boleh pinjam HPmu sebentar?" Narendra mengulurkan tangannya."Untuk apa?" Walau dia mengernyitkan kening dan menatap Narendra dengan penuh kebingungan, gadis itu tetap mengambil ponselnya dan memberikannya kepada Narendra."Nomor pribadiku," Narendra menerima ponsel yang diberikan Agnia dan mengetiknya cepat, "Selama ini aku hanya punya satu nomor. Aku gunakan baik untuk urusan pribadi maupun pekerjaan. Tapi aku memutuskan sudah saatnya mempunyai nomor pribadi."Narendra mengembalikan ponsel Agnia sambil tersenyum lebar, "Nomor itu hanya aku berikan kepada keluarga dekatku dan kamu. Kamu dapat menghubungiku kapan saja. Aku akan langsung mengangkatnya. Tidak peduli sesibuk apa aku saat itu