"INI YANG KAMU BILANG LAPORAN?!" Narendra membuang setumpuk berkas yang baru diberikan oleh petinggi perusahaan keamanan yang dimiliki oleh Widjaja Group.
"SUDAH DUA HARI RAJASENA HILANG DAN KALIAN MASIH BELUM DAPAT INFORMASI APA-APA?! C'MON! JANGAN MEMPERLALUKAN DIRI KALIAN SENDIRI," tatapan Narendra penuh dengan kemarahan, "Kalian selalu mengaku sebagai yang terbaik. MANA BUKTINYA?!"
"Ma-Maaf Pak Sabda tapi ..."
Narendra mengangkat tangan, "Aku tidak butuh alasan. Simpan sampah itu. Berikan aku bukti!"
"Baik, baik, Pak Sabda. Kami akan segera mengupayakan yang terbaik."
"Bukan mengupayakan! Kalian harus memberikan yang terbaik. Demi Tuhan! Ini Rajasena yang hilang. Pemimpin kalian. Sejak kapan kalian jadi tidak becus seperti ini?!"
"Maaf ... tapi ..."
"Mana laporan tentang penculikan Papa dan keponakanku? Jangan bilang kalian belum berhasil menemukan siapa yang menculik mereka!"
Kali ini suara Narendra tidak menggelegar tetap
"Selamat siang."Sapaan itu mengejutkan Ariyanto Sabian yang baru tiba di ruang kerjanya. Tergopoh sekretarisnya mengejar dan dengan takut-takut mendekat sebelum membisikkan informasi kalau dia sudah berusaha untuk menahan tamu itu tetapi pria itu bersikeras untuk menunggu di ruang kerja Ariyanto Sabian."Selamat siang Pak Sabda," pria itu bersuara setelah menyuruh sekretarisnya meninggalkan ruangan kerjannya.Narendra dengan santai memutar kursi kerja Ariyanto Sabian yang dengan lancang didudukinya, "Kursi Anda empuk sekali. Nyamana. Boleh saya tahu brand-nya?""Aku tahu Anda ke sini bukan untuk bertanya tentang hal remeh temeh seperti ini.""Tentu saja," Narendra tersenyum, "Hanya hal penting yang bisa membawa saya ke sini. Kita bukan teman, benar, Pak Ariyanto Sabian?""Apa tujuan Anda?""Sebelum saya menyampaikan tujuan saya," Narendra menatap langsung ke arah pria itu, "Saya cukup salut dengan upaya Anda meminimalisir mengendalik
WHISTLEBLOWER! POLISI MENDAPATKAN INFORMASI TERKAIT ALIRAN DANA PERUSAHAAN ARIYANTO SABIAN!!Dini hari tadi mendadak pengguna media sosial dikagetkan dengan sebuah akun yang memberikan informasi terkait Arbiyanto Sabian. Calon pemimpin negara yang didukung oleh banyak pihak itu ternyata tidak sebersih yang digembar-gemborkan pendukungnya. Ada aliran dana yang saat ini masih dalam penyelidikan oleh polisi di perusahaan milik Ariyanto Sabian. Besar kemungkinan itu merupakan aliran dana untuk menyuap beberapa nama besar di peta perpolitikan negara... <klik untuk membaca halaman selanjutnya>ANGKA DUKUNGAN KEPADA ARIYANTO SABIAN MENDADAK DROP!Seiring dengan informasi mengenai aliran dana di perusahaan Ariyanto Sabian sejumlah tokoh dan organisasi masyarakat yang selama ini dengan lantang meneriakkan dukugan terhadap salah satu calom pemimpin negara ini memutuskan untuk menarik dukungan. Mereka mengatakan tidak i
"BAJINGAN!!! ANAK BAU KENCUR ITU BERANI-BERANINYA!!" Ariyanto Sabian mengamuk ketika membaca koran paginya.Seharusnya ini merupakan acara sarapan pagi yang menyenangkan. Sudah seperti ritual, dia akan memulai pagi dengan secangkir kopi dan setangkup roti bakar dengan selai marmalade serta setumpuk surat kabar. Sarapannya harus selalu ditemani oleh surat kabar. Seperti pagi ini.Sayangnya ritual paginya rusak karena berbagai headline berita yang tidak pernah diduga olehnya. Seluruh surat kabar menjadinya sebagai headline. Tetapi tidak seperti yang diharapkannya. Seharusnya headline berita hari ini dipenuhi dengan donasi yang dilakukannya kemarin terhadap korban bencana alam. Tentu saja dia melakukan itu untuk meningkatkan dukungan publik. Walau dia selalu menduduki peringkat teratas dalam polling memberikan jarak sejauh mungkin dengan kandidat lainnya adalah salah satu cara untuk memastikan kemenangannya."Kenapa Pa?" Anak tertuanya yang baru saja bergabung deng
Narendra mengembalikan ponsel Badi yanng dia gunakan untuk menghubungi Ariyanto Sabian. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun bodyguard itu menerima ponsel sebelum kembali fokus menyetir. Lalu lintas pagi ini cukup padat sehingga membutuhkan konsentrasi ekstra untuk memastikan mereka tiba tepat waktu. Terlebih mengingat emosi Narendra yang tidak stabil saat ini. Satu hentakan tiba-tiba dapat membuat amarahnya pecah."Langsung ke kantor," Narendra berujar sambil memperhatikan pemandangan yang ditawarkan jendela mobilnya."Baik," Badi menjawab sambil memeriksa kondisi lalu lintas melalui GPS yang terpasang di mobil."Ada kabar baik?" Dia hampir tidak mendengar pertanyaan yang diajukan oleh majikannya."Belum ada. Setahuku orang suruhan Bos juga lagi nyari. Mereka sampai nggak tidur."Narendra memijat pelipisnya berulang, "Rencana yang lain bagaimana?""Aman, Bos. Semuanya berjalan lancar," Badi kembali memperhatikan lalu lintas yang tiba-tiba ram
"Wah, ada apa sampai Sabda Narendra Widjaja menemui Om?" Bira bangkit dari duduk dan berjalan menghampiri Narendra yang memasuki kantor Bira dengan ekspresi sulit untuk dijelaskan."Apa lagi yang akan Om lakukan?" Pertanyaan itu diucapkan dengan tenang tetapi mengandung ancaman."Melakukan apa? Ini masih pagi, Narendra. Om belum sempat melakukan apa-apa," Bira terkekeh seakan tidak memahami maksud pertanyaan keponakannya.Narendra, walau dikuasai oleh emosi masih dapat berpikir jernih. dengan cepat dia segera membaca ekspresi Bira. Ada yang aneh. Seharusnya Bira tidak setenang ini. Tentu Ariyanto Sabian sudah sepat menghubungi pria paruh baya yang berdiri di hadapannya saat ini. Lantas, kenapa Bira setenang ini?"Atau kamu ke sini mau ngajak Om sarapan tapi malu, ya?"Lagi, Narendra menatap lekat pria yang merupakan adik dari ayahnya, "Tidak. Aku sudah sarapan.""Terus kenapa? Tumben banget, lho kamu ke sini. Ada apa?""Tidak apa-apa,
"Ada kabar tentang Kak Bima?""Lo dari mana?" Bukannya menjawab pertanyaan yang diajukan oleh sepupunya yang baru memasuki ruang kerja, Abimana malah balik bertanya, "Ada kali setengah jam gue nungguiin lo.""Kantor Bira," pria itu menjawab singkat sambil menyambar kopi yang dibawakan oleh sepupunya, "Kopi apa ini? Dingin."Abimana terkekeh, "Makanya jangan asal minum. Ditanya dulu. Itu kopi udah dari tadi gue bawain pastilah udah nggak panas.""Sial," dia berusaha menelan kopi itu dan meletakkan kembali cangkir itu secara asal di meja, "Ada kabar apa?""Belum ada. Kabar terakhir yang gue dapat petugas keamanan pantai sedang menuju titik terakhir posisi yatch itu berada.""Dan itu sudah berapa lama?" Narendra bertanya dengan tidak sabar."Lima belas menit yang lalu," Abimana melihat sesuatu di tabletnya, "Kemungkinan setengah jam lagi baru mereka tiba di sana. Paling cepat.""Terlalu lama," pria itu bergumam, "Tidak bisa lebih
"Semua baik-baik aja, Agnia?" Badi bertanya khawatir ketika menerima panggilan telepon dari tetangga kontrakan petaknya."Baik," Agnia refleks mengangguk walau dia tahu kalau lawan bicaranya tidak dapat melihat anggukannya, "Aku ganggu, ya?""Nggak, nggak ganggu sama sekali," Badi tertawa kecil, "Cuma aneh aja kamu telepon aku.""Biasanya aku telepon Rendra, ya?" Terdengar helaan napas, "Aku nggak bisa ngehubungi HPnya Rendra.""Kenapa?" Badi tahu kalau itu pertanyaan bodoh. Dia tahu majikannya sudah mematahkan nomor ponsel yang digunakannya selama tinggal di kontrakan petak. Pria itu mengatakan kalau nanti, ketika sudah tiba waktunya, dia akan menemui kekasihnya itu dan menceritakan semuanya. Badi tidak memiliki keberanian untuk bertanya kapan waktu itu tiba."Nggak tahu," ada kesedihan yang memenuhi nada suara Agnia, "Aku nggak tahu. Tiba-tiba aja aku nggak bisa ngehubungi HP dia. Apa HPnya rusak, ya?""Aku nggak tahu juga," bodyguard itu
"Bos, beneran nggak mau nelepon Agnia?"Seharusnya setelah mengantarkan berkas penting dan rahasia milik majikannya, Badi langsung keluar dari ruang kerja Narendra. Majikannya sejak tadi sedang sibuk di hadapan laptop. Entah apa yang dikerjakannya tetapi yang pasti itu sesuatu yang penting. Badi menebak itu dari dalamnya kernyitan yang ada di dahi Narendra. Tetapi dia tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya."Hm?" Narendra mengangkat wajah dari layar laptop, "Kamu tanya apa?""Nggak jadi," Badi menggeleng. Dia yakin Narendra mendengar pertanyaannya. Pria itu hanya berpura-pura tidak mendengar. Memberi ruang baginya untuk melarikan diri.Narendra tidak berkomentar. Pria itu hanya mengangguk sebelum pelan berucap, "Terima kasih.""Astaga, Bos. Cuma nganterin berkas, doang. Makasihnya kayak udah apaan," bodyguard itu sengaja bercanda untuk memancing tawa majikannya. Harus ada yang melonggarkan ikatannya sebelum Narendra tenggelam terlalu dalam d
"Nia, kamu sudah selesai berganti pakaian?"Suara Narendra membuat Agnia yang sedang berada di kamar mandi segera melepas kimono sutra yang dikenakan ketika dia membersihkan riasan wajah dengan bantuan seorang asisten MUA yang diminta oleh Reinya untuk tinggal sampai setelah acara selesai. Gadis itu mengambil piyama yang diberikan oleh Calya khusus untuk Agnia dan Narendra. Piyama berbahan sutra itu merupakan salah satu brand mewah dan salah satu yang tertua di Inggris. Kualitasnya sudah tidak perlu dipertanyakan karena sekelas Ratu Elizabeth II saja mempercayakan pakaian tidurnya kepada mereka.Agnia tidak pernah menduga kalau hal tersulit yang harus dilakukannya setelah memutuskan menikah dengan Narendra adalah beradaptasi dengan begitu banyak priviledge yang tiba-tiba dimilikinya. Semua serba dapat dimiliki. Tidak hanya sekadar memiliki tetapi selalu yang terbaik. Apapun itu."Nia?" Terdengar ketukan pelan di pintu kamar mandi."Sebentar," tergesa gadis itu menggelung rambut kemudi
"Macam inilah! Sah udah kalian sekarang," Bang Ucok langsung menyapa ketika seluru prosesi akad nikah selesai. Penampilan pria berbadan besar itu terlihat berbeda hari ini. Seperti seluruh undangan pria, Bang Ucok juga mengenakan three piece suit. Amelia turut hadir juga terlihat menawan dengan whimsical garden-inspired maxi dress. Penampilan disempurnakan dengan rambut tergelung model french twist yang memamerkan leher jenjangnya."Akhirnya, Bang," Agnia tertawa kecil, "Sekarang Bang Ucok udah nggak perlu khawatir lagi sama aku, kan? Aku udah nggak sendiri lagi.""He! Macam manaa... tak mungkin aku tak khawatir sama kau. Adik akunya kau ini," Bang Ucok berpura-pura bersungut kesal, "Jangan sementang kau sudah nikah terus kau anggap tak peduli lagi aku sama kau, ya!"Narendra terkekeh memperhatikan interaksi antara Agnia dan Bang Ucok. Walau mereka sudah tidak lagi di kontrakan petak tetapi tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama seperti dulu."Maaf, Bang," Narendra menyela percak
"Kamu yakin?""Ayah," Agnia hanya berpaling karena hiasan kepalanya cukup berat, "Ayah sudah berulang kali nanyain itu, lho. Mau Ayah tanya sampai seratus bahkan ribuan kali, jawaban Agnia tetap sama. Agnia yakin.""Tapi gimana kalau sampai tersebar? Memang pernikahan kamu private tapi tetap aja, di depan venue itu wartawan udah ngumpul kayak mau demo.""Memangnya kenapa kalau sampai nyebar?" Agnia menatap Kenny melalui cermin, "Ayah malu kalau sampai publik tahu aku ini anak ayah?""Bukan gitu," Kenny membalas tatapan Agnia, "Ayah bertanya karena Ayah nggak mau kamu menyesali kepuutusanmu.""Aku nggak akan nyesal, Yah," Agnia menjawab dengan yakin, "Percaya sama aku. Ini bukan keputusan impulsif. Aku udah mikirin ini dari lama. Dan itu keinginan aku. Pertanyaannya sekarang, apa Ayah mau ngelakuinnya atau nggak?""Tentu saja Ayah mau, Nia," Kenny menghampiri anak semata wayangnya dan meletakkan kedua tangan di bahu Agnia yang terbuka karena kebaya pernikahannya memiliki leher yang cuk
Narendra menatap pantulan diri pada cermin sambil menghembuskan napas dengan pelan. Dirinya terlihat sempurna dengann three pieces suit warna kelabu yang dipilihkan Agnia untuk hari istimewa ini. Kekasih yang akan segera menjadi istrinya itu mengatakan kalau kelabu merupakan warna yang hangat, dan itu sesuai dengan apa yang dirasakannya setiap kali berada di dekat Narendra. Sebagai seorang pria, Narendra menyerahkan sepenuhnya kepada Agnia.Ketika gadis itu meminta agar pernikahan mereka dilakukan secara private dan hanya mengundang keluarga dekat serta sahabat, Narendra juga dengan segera menyetujuinya. Beruntung keluarga besar mereka mau berkompromi. Walau pernikahan akan dirayakan secara sederhana tetapi resepsi akan diselenggarakan besar-besaran dan mengundang seluruh kenalan mereka. Agnia yang menyadari posisi mereka, Narendra merupakan pewaris keluarga Widjaja dan dirinya yang merupakan selebritas, setuju dengan itu."Narendra," Asija bersama dengan Reinya memasuki ruangan yang
"Lo gila," Abimana masuk ke ruang kerja Narendra sambil menggulirkan jari di tablet."Ada apa?" Narendra masih sibuk memperhatikan layar ponselnya. Dia sedang memeriksa portofolio saham miliknya sambil beristirahat dari memeriksa berbagai dokumen pekerjaan.Ketika Narendra kembali dari Seoul kemarin, dia disambut dengan tumpukan dokumen di meja kerja. Hanya dua hari tetapi tumpukan dokumen itu seakan Narendra sudah tidak mengantor selama berbulan-bulan. Seandainya bisa, dia ingin mengabaikan dokumen-dokumen itu. Tetapi tentu saja dia tidak dapat melakukannya karena ada tanggung jawab yang dipikul di bahunya.Asija menanggapi keputusan Narendra yang akhirnya setuju untuk menjadi pewaris Widjaja Group dengan serius. Walau pria itu mengatakan akan menggantikan Asija beberapa tahun lagi, pria paruh baya itu dengan cerdik mulai mengalihkan pekerjaan dan tanggung jawabnya kepada Narendra. Tentu saja Narendra tahu apa yang dilakukan oleh ayahnya tetapi dia tidak merasa keberatan dengan itu.
"Woaa!" Lee Jieun, aktris yang menjadi salah seorang lawan main Agnia di serial yang bekerja sama dengan Netflix itu memasuk lobi sambil berseru tidak percaya, "Mereka penasaran sekali sama kalian, ya!"Setelah Agnia, aktris berikutnya yang tidak di red carpet adalah Lee Jieun. Sayangnya, beberapa pewarta masih penasaran mengapa Agnia ditemani oleh Narendra sehingga mereka masih melontarkan pertanyaan itu berulang kali. Berkat pengalaman panjang menjadi aktris dan penyanyi, dengan cepat Lee Jieun dapat mengendalikan suasana dan menarik perhatian para pewarta. Setelah meladeni permintaan untuk berfoto dan menjawab pertanyaan yang dilontarkan serta berbincang dengan MC, gadis itu memasuki lobi gedung tempat acara digelar dan segera menyapa Agnia yang kebetulan masih belum memasuki ruangan tempat acara akan berlangsung."Eonnie," Agnia tertawa penuh rasa bersalah. Seharusnya spotlight hari ini milik Lee Jieun yang merupakan aktris utama di serial yang mereka bintangi. Tetapi karena kehad
"Surprise!" Narendra tertawa kecil sambil menjawil hidung kekasihnya, "May I be you plus one?""Ren... dra?" Agnia masih tidak percaya kalau pria yang sudah menunggu di mobil adalah kekasihnya, "Kamu ngapain di sini?""Jadi plus one kamu. Boleh?" Narendra masih menatap kekasihnya sambil tersenyum, "Shit! I really want to kiss you but it will ruins your lipstick."Sisa kebingungan Agnia menghilang dan berganti dengan tawa, "Kamu udah nggak ketemu aku lama terus itu kalimat pertama kamu?"Narendra masih tersenyum tanpa rasa bersalah sama sekali, "Seaneh itu? Bagian mana yang aneh dari seorang pria yang ingin mencium kekasihnya?""Bukan aneh," Agnia masih tertawa, "Tapi aku nggak nyangka kalau itu yang bakalan kamu ucapin setelah kita nggak ketemu selama beberapa minggu.""Beberapa minggu?" Senyuman masih tersisa walau sekarang pria itu mengernyit bingung, "Bukannya beberapa hari lalu kita baru bertemu, ya?""Beberapa hari?" Agnia berpiki selama beberapa saat, "Aaah! Aku ingat! Astagaa,
Suara ketukan disusul dengan seseorang gadis membuka pintu kamar hotel yang digunakan Agnia sejak beberapa malam lalu. Gadis berheadset dan memeluk clipboard berdiri di ambang pintu."Selamat siang Nona Agnia," senyumnya merekah sempurna, "Kita sesuai dengan jadwal. Lima menit lagi Anda sudah harus turun. Mobil yang akan mengantarkan Anda ke lokasi sudah siap."Agnia yang berdiri di tengah ruangan dan dikelilingi oleh begitu banyak orang dengan kesibukan masing-masing hanya dapat menoleh sambil tersenyum kemudian menganggukkan kepala. Dia tidak dapat melakukan lebih dari itu. Penata busana sedang memastikan seluruh lekuk tubuh artisnya menonjol dengan tepat tanpa ada kerutan atau lipatan yang merusaknya. Asisten penata busana sudah menyodorkan entah pasangan sepatu ke berapa untuk dicobanya. Hairdresser sejak tadi memastikan kalau rambut Agnia sempurna sesuai dengan keinginannya sementara make up artist yang dipercaya oleh artis muda itu sedang melakukan retouch pada beberapa bagian w
"Paman Leo," Narendra tersenyum ketika melihat pria paruh baya yang sudah berpuluh tahun bekerja di tailor yang sudah menjadi langganan keluarga besar Widjaja. "Saya tidak pernah menyangka kalau saya masih diberi kesempatan untuk mengukur dan menyiapkan suits untuk pernikahan Anda," Leo menyapa dengan ramah. "Paman pasti masih menganggapku anak kecil," Narendra terkekeh. "Kebiasaan orang tua," dengan hati-hati Leo mengarahkan Narendra yang ditemani Abimana dan Badi untuk berjalan ke bagian belakang yang lebih tertutup, "Rasanya baru kemarin Anda ke sini untuk pengukuran suits pertama. Bahan wol, warna kelabu. Three pieces dengan celana pendek." "Untuk ulang tahun pernikahan Papa dan Mama," Narendra menyambung, "Saya juga masih mengingatnya dengan baik, Paman." Selama beberapa saat Leo berdiri sambil menatap Narendra. Tatapannya penuh dengan kenangan bercampur kebanggaan. Dia sempat larut sebelum menyadari kalau ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Dengan cepat dia mengeluarkan