"BAJINGAN!!! ANAK BAU KENCUR ITU BERANI-BERANINYA!!" Ariyanto Sabian mengamuk ketika membaca koran paginya.
Seharusnya ini merupakan acara sarapan pagi yang menyenangkan. Sudah seperti ritual, dia akan memulai pagi dengan secangkir kopi dan setangkup roti bakar dengan selai marmalade serta setumpuk surat kabar. Sarapannya harus selalu ditemani oleh surat kabar. Seperti pagi ini.
Sayangnya ritual paginya rusak karena berbagai headline berita yang tidak pernah diduga olehnya. Seluruh surat kabar menjadinya sebagai headline. Tetapi tidak seperti yang diharapkannya. Seharusnya headline berita hari ini dipenuhi dengan donasi yang dilakukannya kemarin terhadap korban bencana alam. Tentu saja dia melakukan itu untuk meningkatkan dukungan publik. Walau dia selalu menduduki peringkat teratas dalam polling memberikan jarak sejauh mungkin dengan kandidat lainnya adalah salah satu cara untuk memastikan kemenangannya.
"Kenapa Pa?" Anak tertuanya yang baru saja bergabung deng
Narendra mengembalikan ponsel Badi yanng dia gunakan untuk menghubungi Ariyanto Sabian. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun bodyguard itu menerima ponsel sebelum kembali fokus menyetir. Lalu lintas pagi ini cukup padat sehingga membutuhkan konsentrasi ekstra untuk memastikan mereka tiba tepat waktu. Terlebih mengingat emosi Narendra yang tidak stabil saat ini. Satu hentakan tiba-tiba dapat membuat amarahnya pecah."Langsung ke kantor," Narendra berujar sambil memperhatikan pemandangan yang ditawarkan jendela mobilnya."Baik," Badi menjawab sambil memeriksa kondisi lalu lintas melalui GPS yang terpasang di mobil."Ada kabar baik?" Dia hampir tidak mendengar pertanyaan yang diajukan oleh majikannya."Belum ada. Setahuku orang suruhan Bos juga lagi nyari. Mereka sampai nggak tidur."Narendra memijat pelipisnya berulang, "Rencana yang lain bagaimana?""Aman, Bos. Semuanya berjalan lancar," Badi kembali memperhatikan lalu lintas yang tiba-tiba ram
"Wah, ada apa sampai Sabda Narendra Widjaja menemui Om?" Bira bangkit dari duduk dan berjalan menghampiri Narendra yang memasuki kantor Bira dengan ekspresi sulit untuk dijelaskan."Apa lagi yang akan Om lakukan?" Pertanyaan itu diucapkan dengan tenang tetapi mengandung ancaman."Melakukan apa? Ini masih pagi, Narendra. Om belum sempat melakukan apa-apa," Bira terkekeh seakan tidak memahami maksud pertanyaan keponakannya.Narendra, walau dikuasai oleh emosi masih dapat berpikir jernih. dengan cepat dia segera membaca ekspresi Bira. Ada yang aneh. Seharusnya Bira tidak setenang ini. Tentu Ariyanto Sabian sudah sepat menghubungi pria paruh baya yang berdiri di hadapannya saat ini. Lantas, kenapa Bira setenang ini?"Atau kamu ke sini mau ngajak Om sarapan tapi malu, ya?"Lagi, Narendra menatap lekat pria yang merupakan adik dari ayahnya, "Tidak. Aku sudah sarapan.""Terus kenapa? Tumben banget, lho kamu ke sini. Ada apa?""Tidak apa-apa,
"Ada kabar tentang Kak Bima?""Lo dari mana?" Bukannya menjawab pertanyaan yang diajukan oleh sepupunya yang baru memasuki ruang kerja, Abimana malah balik bertanya, "Ada kali setengah jam gue nungguiin lo.""Kantor Bira," pria itu menjawab singkat sambil menyambar kopi yang dibawakan oleh sepupunya, "Kopi apa ini? Dingin."Abimana terkekeh, "Makanya jangan asal minum. Ditanya dulu. Itu kopi udah dari tadi gue bawain pastilah udah nggak panas.""Sial," dia berusaha menelan kopi itu dan meletakkan kembali cangkir itu secara asal di meja, "Ada kabar apa?""Belum ada. Kabar terakhir yang gue dapat petugas keamanan pantai sedang menuju titik terakhir posisi yatch itu berada.""Dan itu sudah berapa lama?" Narendra bertanya dengan tidak sabar."Lima belas menit yang lalu," Abimana melihat sesuatu di tabletnya, "Kemungkinan setengah jam lagi baru mereka tiba di sana. Paling cepat.""Terlalu lama," pria itu bergumam, "Tidak bisa lebih
"Semua baik-baik aja, Agnia?" Badi bertanya khawatir ketika menerima panggilan telepon dari tetangga kontrakan petaknya."Baik," Agnia refleks mengangguk walau dia tahu kalau lawan bicaranya tidak dapat melihat anggukannya, "Aku ganggu, ya?""Nggak, nggak ganggu sama sekali," Badi tertawa kecil, "Cuma aneh aja kamu telepon aku.""Biasanya aku telepon Rendra, ya?" Terdengar helaan napas, "Aku nggak bisa ngehubungi HPnya Rendra.""Kenapa?" Badi tahu kalau itu pertanyaan bodoh. Dia tahu majikannya sudah mematahkan nomor ponsel yang digunakannya selama tinggal di kontrakan petak. Pria itu mengatakan kalau nanti, ketika sudah tiba waktunya, dia akan menemui kekasihnya itu dan menceritakan semuanya. Badi tidak memiliki keberanian untuk bertanya kapan waktu itu tiba."Nggak tahu," ada kesedihan yang memenuhi nada suara Agnia, "Aku nggak tahu. Tiba-tiba aja aku nggak bisa ngehubungi HP dia. Apa HPnya rusak, ya?""Aku nggak tahu juga," bodyguard itu
"Bos, beneran nggak mau nelepon Agnia?"Seharusnya setelah mengantarkan berkas penting dan rahasia milik majikannya, Badi langsung keluar dari ruang kerja Narendra. Majikannya sejak tadi sedang sibuk di hadapan laptop. Entah apa yang dikerjakannya tetapi yang pasti itu sesuatu yang penting. Badi menebak itu dari dalamnya kernyitan yang ada di dahi Narendra. Tetapi dia tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya."Hm?" Narendra mengangkat wajah dari layar laptop, "Kamu tanya apa?""Nggak jadi," Badi menggeleng. Dia yakin Narendra mendengar pertanyaannya. Pria itu hanya berpura-pura tidak mendengar. Memberi ruang baginya untuk melarikan diri.Narendra tidak berkomentar. Pria itu hanya mengangguk sebelum pelan berucap, "Terima kasih.""Astaga, Bos. Cuma nganterin berkas, doang. Makasihnya kayak udah apaan," bodyguard itu sengaja bercanda untuk memancing tawa majikannya. Harus ada yang melonggarkan ikatannya sebelum Narendra tenggelam terlalu dalam d
"Selamat siang, Om Bira," berbeda dengan kemarin pagi ketika Narendra masuk dengan ekspresi serius seakan ingin mengamuk, kali ini pria itu memasuki ruang kerja Bira dengan tersenyum seakan tidak ada masalah yang membebaninya."Siang, Narendra," Bira langsung bangkit dari duduk dan menyambut keponakannya dengan ekspresi bingung, "Ini benar-benar mengejutkan. Baru kemarin kamu mengunjungi ruang kerja Om!" Dia tergelak, "Padahal sebelum-sebelumnya setahun juga belum tentu sekali kamu berkunjung."Narendra yang masih terlihat santai dan sama sekali tidak terganggu dengan ucapan Bira. Dia langsung menduduki sofa yang ada di ruang kerja pamannya, "Aku hanya berkunjung jika ada yang ingin aku bicarakan. Om tahu kalau aku tidak pernah suka basa-basi, benar?""Ah, benar. Om lupa," pria paruh baya itu kembali tergelak, "Jadi apa tujuan kamu ke sini?""Kembalikan Papa, Kakak dan keponakanku," dia berucap seakan hanya sedang mengabarkan cuaca hari ini."Apa m
Agnia menyeret kopernya dengan riang. Jantungnya berdetak semakin kencang setiap langkah yang diambilnya. Dia semakin dekat dengan kontrakan petak dan itu artinya dia akan segera bertemu dengan kekasihnya. Bertemu dengan Narendra.Saat membuka pintu halaman kontrakan petak, pandangan gadis itu tidak lepas dari kontrakan petak yang dihuni oleh kekasihnya. Dia membutuhkan beberapa saat sebelum menyadari ada sesuatu yang aneh. Motor sang kekasih tidak terlihat. Ah, mungkin Narendra sedang keluar sebentar. Itu yang pertama terlitas di benaknya hingga dia melihat lampu teras menyala. Kekasihnya memang tidak terlalu apik tetapi dia tidak pernah membiarkan lampu teras menyala sepanjang hari. Pria itu sangat memperhatikan penggunaan listri. Bukan karena hemat tetapi karena dia tahu sebanyak apa sumber daya yang dibutuhkan untuk menghasilkan listrik.Apakah Narendra sedang kembali ke rumah orang tuanya?Ya, mungkin karena itu. Narendra bukan lupa tetapi dia tidak dapat m
"Kapan kau pulang?" pria itu mendekat dengan hati-hati sambil mengamati kondisi tetangganya itu."Ngapain pula kau di sini? Kenapa tak ke kontrakan kau sendiri?" pelan Bang Ucok merangkul bahu Agnia, "kubantu kau, ya?""Bang ... Rendra mana?" di sela isakan terdengar suara parau Agnia bertanya, "Rendra mana, Bang?""Pindah dulu lah kita, ya?" Pria berbadan besar itu membantu Agnia bangkit dan menuntunnya kelular dari kontrakan petak Narendra. Dia tahu berlama-lama di kontrakan petak Narednra hanya akan membuat Agnia semakin sedih, "Nanti kuceritakan ke mana si Rendra itu.""Dia ninggalin aku, Bang?""Jangan mikir macam-macam kau ini," Bang Ucok menghela napas, "Kontrakan kau pasti kotor kali. Ke kontrakan aku ajalah kita, ya?"Tanpa menunggu persetujuan gadis itu, Bang Ucok sudah menuntun Agnia ke kontrakan petaknya. Kontrakan petak pria itu terlihat berbeda. Tanaman yang memenuhi terasnya tidak sebanyak biasanya. Pelan-pelan Agnia memang su