"Kapan kau pulang?" pria itu mendekat dengan hati-hati sambil mengamati kondisi tetangganya itu.
"Ngapain pula kau di sini? Kenapa tak ke kontrakan kau sendiri?" pelan Bang Ucok merangkul bahu Agnia, "kubantu kau, ya?"
"Bang ... Rendra mana?" di sela isakan terdengar suara parau Agnia bertanya, "Rendra mana, Bang?"
"Pindah dulu lah kita, ya?" Pria berbadan besar itu membantu Agnia bangkit dan menuntunnya kelular dari kontrakan petak Narendra. Dia tahu berlama-lama di kontrakan petak Narednra hanya akan membuat Agnia semakin sedih, "Nanti kuceritakan ke mana si Rendra itu."
"Dia ninggalin aku, Bang?"
"Jangan mikir macam-macam kau ini," Bang Ucok menghela napas, "Kontrakan kau pasti kotor kali. Ke kontrakan aku ajalah kita, ya?"
Tanpa menunggu persetujuan gadis itu, Bang Ucok sudah menuntun Agnia ke kontrakan petaknya. Kontrakan petak pria itu terlihat berbeda. Tanaman yang memenuhi terasnya tidak sebanyak biasanya. Pelan-pelan Agnia memang su
"Kenapa kamu ada di sini, Abimana?""Memangnya ada yang salah kalau Abi ke sini? Kamu lupa siapa aku? Aku ini orang tuanya Abimana!""Ayolah, Om, tidak perlu berpura-pura. Aku bukan orang lain. Aku tahu seperti apa hubungan Om dan Abimana," walau dia dilanda kebingungan tetapi Narendra berusaha untuk mengendalikan diri."Seperti kata bokap, gue ke sini ngunjungin dia.""Aku tahu kemungkinan kamu mengunjungi dia sama seperti kemungkinan salju turun di ibukota. Tidak mungkin. Aku tahu dengan pasti hubungan kalian seperti apa. Dia orang yang paling ingin kamu hindari. Kamu bahkan membencinya.""Gue nggak pernah benci bokap gue," Abimana menjawab dengan datar. Seakan itu adalah jawaban yang sudah dipersiapkannya. Sama sekali tidak ada emosi dalam suaranya."Bi, please ... ini sama sekali tidak lucu."Tawa Bira tiba-tiba pecah. Pria itu tergelak sambil menatap puas ke arah Narendra. Selama beberapa saat hanya tawa Bira yang terdengar.
Sepanjang perjalanan tidak ada yang bersuara. Abimana yang berada di belakang kemudi karena hanya dia mengetahui tempat Bimasakti disekap. Bira duduk dengan angkuhnya di jok tengah sementara Narendra duduk di samping sepupunya. Semuanya terjadi begitu cepat hingga dia tidak merasa memiliki pilihan lain. Selain itu Narendra bersedia mengikuti keinginan Bira dan Abimana karena dia ingin menemukan Bimasakti. Saat ini dia yang bertanggung jawab untuk seluruh anggota keluarga Widjaja dan Narendra bersedia melakukan apapun untuk memastikan keselamatan mereka.Nyaris satu jam berlalu ketika akhirnya mereka memasuki kawasan pelabuhan dan mobil yang dikemudikan Abimana melambat. Narendra sempat mengutuk pelan karena tidak terpikir untuk memeriksa pelabuhan. Seharusnya dia tahu kalau Abimana akan membawanya ke sini. Pelabuhan adalah tempat mereka menyimpan rahasia."Papa dan Allen, Kak Rajasena juga, di mana mereka?""Satu-satu, Narendra. Kamu harus sabar," Bira terkekeh,
"Tidak ada yang lebih kental di dunia ini dibandingkan darah, benar?" Narendra menyeringai ketika mengucapkan kalimat yang beberapa saat lalu juga diucapkan oleh Bira."Apa maksud kamu?! Apa-apaan ini, Abimana?!" Bira menatap tidak percaya ketika Abimana dengan perlahan berjalan menghampiri Narendra dan berdiri di sisi pria itu sebelum menatap sang ayah dengan tatapan yang sulit untuk dijelaskan."Aku tidak pernah membenci Papa. Aku anak Papa," Abimana tersenyum tetapi ekspresinya penuh dengan kesedihan, "Maaf tapi aku harus melakukan ini, Pa.""Bajingan! Sebenarnya kamu berpihak di siapa?!" Pria itu maju dan berusaha menyarangkan pukulan di perut Abimana tetapi tangannya berhasil ditangkap oleh Narendra.Narendra menahan kemudian mendorong tangan Bira hingga pria itu hampir terjungkal, "Abimana sudah bukan anak kecil, Om. Abimana sudah menjadi seorang pria yang dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Jangan memperlakukan diri Om lebih dari ini.""Ana
-Malam sebelum keberangkatan Rajasena-"Gue percaya sama lo," Rajasena tersenyum ketika mengucapkan itu."Tapi Kak Raja tetap menyiapkan surat wasiat," Narendra menatap kakaknya tidak percaya, "Untuk apa?""Hanya persiapan, Dra," pria itu duduk dengan santai di sofa yang memenuhi ruang tengah penthouse adiknya, "Seandainya sesuatu yang buruk terjadi keluargaku akan baik-baik saja.""Mereka nggak akan pernah baik-baik aja, Kak," tatapan sang adik penuh dengan kecamuk berbagai perasaan, Tidak ada yang baik-baik saja jika ditinggal oleh orang yang mereka sayang.""Gue tahu. Gue juga percaya kalau lo nggak akan mungkin bikin keponakan lo kehilangan orang tua mereka.""Ya," Narendra mengangguk yakin, "Kamu pikir kenapa aku melakukan ini?"Rajasena tertawa kecil, "Udahlah. Itu cuma masalah kecil. Kenapa harus dipermasalahin? Cuma surat wasiat. Cepat atau lambat gue juga harus bikin, kan? Anggap aja gue mendadak dapat inspir
- Setelah berita hilangnya Rajasena -"Pa, kita harus bicara," Narendra memasuki ruang kerja ayahnya.Ibu dan Kak Ishya sudah cukup tenang. Membutuhkan waktu yang cukup lama tetapi akhirnya kedua wanita itu berhasil menenangkan emosi mereka. Tidak aneh dan sangat wajar. Ibu mana yang kuat mendengar berita tentang kehilangan anak sekalipun itu adalah anak tiru. Begitu juga dengan Isyha. Seorang istri pasti akan hancur hatinya jika mendapat kabar suaminya hilang. Tidak hanya hilang tetapi juga hilang setelah mengalami kecelakaan."Penting sekali?" Asija masih fokus memperhatikan layar ponsel.Sejak tadi dia sedang mempertimbangkan siapa yang harus dihubunginya untuk meminta bantuan. Dia sedang mengingat. Tidak hanya mengingat sebaik apa hubungan mereka, pria itu juga sedang mengingat sebesar apa hutang budi mereka kepada keluarga Widjaja. Ini adalah poin terpenting. Dengan hutang budi seseorang tidak memiliki pilihan lain selain memenuhi pe
- Sesaat setelah berita diculiknya Asija dan Allen -"Apa itu benar, Dra?" Pertanyaan itu yang pertama kali keluar dari mulut Isyha ketika wanita itu melihat sosok adik iparnya tergopoh memasuk rumah utama keluarga Widjaja."Allen ... Allen sama Papa, mereka ... astaga," tangis wanita itu pecah, "Tolong bilang kalau kabar yang baru aja aku dengar nggak bener. Tolong, Dra. Aku nggak bisa, nggak bisa bayangin kalau Allen ... kalau Allen ..." suaranya tenggelam dalam isak tangis."Tenang dulu, Mbak," Narendra merangkul bahu Kakak iparnya dengan lembut sambil menyapu seluruh ruangan dengan pandangannya.Walau mereka saat ini berada di rumah utama keluarga Widjaja tetapi tidak pernah ada yang salah dengan berhati-hati. Akan selalu ada pengkhianat dan yang dapat dilakukan hanya selalu waspada."Gimana aku bisa tenang, Dra?" Suara wanita itu begitu menyayat hati siapa pun yang mendengarnya."Kita berbicara di ruang kerja Papa, ya?
- Tidak lama setelah Asija dan Allen diculik -"Tidak nyaman berpindah-pindah hotel hanya demi dipuaskan oleh seorang wanita, ya, Sumitra?"Pria yang dipanggil Sumitra berjengit karena terkejut. Sabuk pengaman yang nyaris terpasang sempat terlepas sebelum dia refleks menangkapnya kembali. Dia baru saja duduk nyaman di balik kemudi mobilnya. sama sekali tidak menyangka kalau ada seseorang yang sejak tadi duduk di jok belakang dan tertutup bayangan."Pa-Pak sabda," dia berucap setelah berhasil menenangkan diri, "Selamat malam.""Kamu belum menjawab pertanyaanku," derit sama jok mobil menandakan Narendra sedikit mengubah posisi duduknya, "Kenapa tidak menggunakan penthouse mahalmu lagi?""Hanya ... sedang tidak ingin," pria itu menjawab pelan dan berusaha menutupi alasan sesungguhnya.Dia terlalu takut untuk menggunakan penthouse itu. Narendra dapat muncul di sana kapan saja. Tetapi dia salah, ternyata Narendra dapat muncul di mana saja. Seinga
"Lo beneran nggak percaya sama gue?"Biasanya Abimana akan langsung masuk ke penthouse sepupunya. Kali ini tidak. Pria itu memilih untuk menunggu di foyer walau dia mengetahui kode akses untuk masuk ke penthouse Narendra. Dia melakukan itu dengan sengaja."Kenapa tidak langsung masuk?" Bukannya menanggapi pertanyaan Abimana, Narendra malah menanyakan hal lain, "Sudah lama?""Dra, jawab pertanyaan gue."Narendra terkekeh, "Masuk. Kamu tidak ingin kita bertengkar di sini dan dilihat oleh petugas melalui CCTV, bukan?"Seluruh penthouse Narendra bersih dari CCTV milih gedung apartemen mewah ini. Dia hanya mengizinkan manajemen gedung untuk memasang satu CCTV di foyer. Tidak lebih. Secara berkala, Badi akan memeriksa seluruh sudut penthouse untuk memastikan tidak ada kamera pengintau atau penyadap suara. Sebagai seorang penerus Widjaja Group, Narendra dengan jelas tahu konsekuensi yang harus dihadapinya.Dengan satu helaan napas panjang Abimana m