"Tidak ada yang lebih kental di dunia ini dibandingkan darah, benar?" Narendra menyeringai ketika mengucapkan kalimat yang beberapa saat lalu juga diucapkan oleh Bira.
"Apa maksud kamu?! Apa-apaan ini, Abimana?!" Bira menatap tidak percaya ketika Abimana dengan perlahan berjalan menghampiri Narendra dan berdiri di sisi pria itu sebelum menatap sang ayah dengan tatapan yang sulit untuk dijelaskan.
"Aku tidak pernah membenci Papa. Aku anak Papa," Abimana tersenyum tetapi ekspresinya penuh dengan kesedihan, "Maaf tapi aku harus melakukan ini, Pa."
"Bajingan! Sebenarnya kamu berpihak di siapa?!" Pria itu maju dan berusaha menyarangkan pukulan di perut Abimana tetapi tangannya berhasil ditangkap oleh Narendra.
Narendra menahan kemudian mendorong tangan Bira hingga pria itu hampir terjungkal, "Abimana sudah bukan anak kecil, Om. Abimana sudah menjadi seorang pria yang dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Jangan memperlakukan diri Om lebih dari ini."
"Ana
-Malam sebelum keberangkatan Rajasena-"Gue percaya sama lo," Rajasena tersenyum ketika mengucapkan itu."Tapi Kak Raja tetap menyiapkan surat wasiat," Narendra menatap kakaknya tidak percaya, "Untuk apa?""Hanya persiapan, Dra," pria itu duduk dengan santai di sofa yang memenuhi ruang tengah penthouse adiknya, "Seandainya sesuatu yang buruk terjadi keluargaku akan baik-baik saja.""Mereka nggak akan pernah baik-baik aja, Kak," tatapan sang adik penuh dengan kecamuk berbagai perasaan, Tidak ada yang baik-baik saja jika ditinggal oleh orang yang mereka sayang.""Gue tahu. Gue juga percaya kalau lo nggak akan mungkin bikin keponakan lo kehilangan orang tua mereka.""Ya," Narendra mengangguk yakin, "Kamu pikir kenapa aku melakukan ini?"Rajasena tertawa kecil, "Udahlah. Itu cuma masalah kecil. Kenapa harus dipermasalahin? Cuma surat wasiat. Cepat atau lambat gue juga harus bikin, kan? Anggap aja gue mendadak dapat inspir
- Setelah berita hilangnya Rajasena -"Pa, kita harus bicara," Narendra memasuki ruang kerja ayahnya.Ibu dan Kak Ishya sudah cukup tenang. Membutuhkan waktu yang cukup lama tetapi akhirnya kedua wanita itu berhasil menenangkan emosi mereka. Tidak aneh dan sangat wajar. Ibu mana yang kuat mendengar berita tentang kehilangan anak sekalipun itu adalah anak tiru. Begitu juga dengan Isyha. Seorang istri pasti akan hancur hatinya jika mendapat kabar suaminya hilang. Tidak hanya hilang tetapi juga hilang setelah mengalami kecelakaan."Penting sekali?" Asija masih fokus memperhatikan layar ponsel.Sejak tadi dia sedang mempertimbangkan siapa yang harus dihubunginya untuk meminta bantuan. Dia sedang mengingat. Tidak hanya mengingat sebaik apa hubungan mereka, pria itu juga sedang mengingat sebesar apa hutang budi mereka kepada keluarga Widjaja. Ini adalah poin terpenting. Dengan hutang budi seseorang tidak memiliki pilihan lain selain memenuhi pe
- Sesaat setelah berita diculiknya Asija dan Allen -"Apa itu benar, Dra?" Pertanyaan itu yang pertama kali keluar dari mulut Isyha ketika wanita itu melihat sosok adik iparnya tergopoh memasuk rumah utama keluarga Widjaja."Allen ... Allen sama Papa, mereka ... astaga," tangis wanita itu pecah, "Tolong bilang kalau kabar yang baru aja aku dengar nggak bener. Tolong, Dra. Aku nggak bisa, nggak bisa bayangin kalau Allen ... kalau Allen ..." suaranya tenggelam dalam isak tangis."Tenang dulu, Mbak," Narendra merangkul bahu Kakak iparnya dengan lembut sambil menyapu seluruh ruangan dengan pandangannya.Walau mereka saat ini berada di rumah utama keluarga Widjaja tetapi tidak pernah ada yang salah dengan berhati-hati. Akan selalu ada pengkhianat dan yang dapat dilakukan hanya selalu waspada."Gimana aku bisa tenang, Dra?" Suara wanita itu begitu menyayat hati siapa pun yang mendengarnya."Kita berbicara di ruang kerja Papa, ya?
- Tidak lama setelah Asija dan Allen diculik -"Tidak nyaman berpindah-pindah hotel hanya demi dipuaskan oleh seorang wanita, ya, Sumitra?"Pria yang dipanggil Sumitra berjengit karena terkejut. Sabuk pengaman yang nyaris terpasang sempat terlepas sebelum dia refleks menangkapnya kembali. Dia baru saja duduk nyaman di balik kemudi mobilnya. sama sekali tidak menyangka kalau ada seseorang yang sejak tadi duduk di jok belakang dan tertutup bayangan."Pa-Pak sabda," dia berucap setelah berhasil menenangkan diri, "Selamat malam.""Kamu belum menjawab pertanyaanku," derit sama jok mobil menandakan Narendra sedikit mengubah posisi duduknya, "Kenapa tidak menggunakan penthouse mahalmu lagi?""Hanya ... sedang tidak ingin," pria itu menjawab pelan dan berusaha menutupi alasan sesungguhnya.Dia terlalu takut untuk menggunakan penthouse itu. Narendra dapat muncul di sana kapan saja. Tetapi dia salah, ternyata Narendra dapat muncul di mana saja. Seinga
"Lo beneran nggak percaya sama gue?"Biasanya Abimana akan langsung masuk ke penthouse sepupunya. Kali ini tidak. Pria itu memilih untuk menunggu di foyer walau dia mengetahui kode akses untuk masuk ke penthouse Narendra. Dia melakukan itu dengan sengaja."Kenapa tidak langsung masuk?" Bukannya menanggapi pertanyaan Abimana, Narendra malah menanyakan hal lain, "Sudah lama?""Dra, jawab pertanyaan gue."Narendra terkekeh, "Masuk. Kamu tidak ingin kita bertengkar di sini dan dilihat oleh petugas melalui CCTV, bukan?"Seluruh penthouse Narendra bersih dari CCTV milih gedung apartemen mewah ini. Dia hanya mengizinkan manajemen gedung untuk memasang satu CCTV di foyer. Tidak lebih. Secara berkala, Badi akan memeriksa seluruh sudut penthouse untuk memastikan tidak ada kamera pengintau atau penyadap suara. Sebagai seorang penerus Widjaja Group, Narendra dengan jelas tahu konsekuensi yang harus dihadapinya.Dengan satu helaan napas panjang Abimana m
"Anak setan! Tidak mungkin kamu menggagalkan rencanaku!" Amarah Bira semakin tersulut ketika Narendra selesai bercerita upayanya untuk memastikan rencana pamannya tidak berjalan."Kenyataannya itu sangat mungkin, Om Bira," Narendra tersenyum, "Aku berhasil menggagalkan rencana Om. Semuanya.""Tidak ... ini tidak mungkin ..." Bira menatap kontainer yang kosong itu berulang kali, "Ini tidak mungkin. Seharusnya ... seharusnya saat ini Bimasakti sudah terbunuh dan ... dan ...""Kita tidak perlu berandai-andai, Om. Kenyataannya aku berhasil memenangkan pertempuran ini. Jika Om menyerah dan berjanji tidak akan melakukan hal serupa atau mungkin lebih mengerikan dari ini, aku berjanji Om akan tetap dapat hidup nyaman.""APA MAKSUD KAMU?!"Narendra mendekat beberapa langkah ke arah Bira kemudian menatap pria itu dengan tatapan yang mengintimidasi, "Seharusnya Om bersyukur masih memiliki pilihan ini. Jika aku tidak mempertimbangkan kalau Om adalah adik Papa
"Pa," Abimana memutuskan untuk mengejar sang ayah ketika pria paruh baya itu akan menaiki private jet yang siap mengudara segera setelah penumpang terakhirnya duduk dengan nyaman."Apa lagi?" Suara Bira terdengar ketus dan penuh kemarahan."Aku ingin Papa tahu kalau ... aku nggak pengin ini berakhir seperti ini.""Begitu? Lalu apa yang kamu pikirkan ketika kamu memutuskan untuk mengkhianati Papa?""Aku tidak pernah berkhianat, Pa," Abimana menjawab dengan tegas. Masa-masa ketika suara Bira berhasil membuatnya ketakutan sudah lama berlalu. Dia sudah bukan bocah laki-laki yang dulu dihajar berulang kali hanya untuk meredakan emosi Bira. Abimana harus membayar sangat mahal hanya untuk kesalahan kecil."Papa yang membuatku tidak pernah berada di pihak Papa," tatapan pria itu terlihat penuh kesedihan walau ketegasan masih memenuhi suaranya, "Jangan berpikir aku berkhianat karena Papa yang sejak awal membuangku."Bira menatap anak semata
Narendra sudah berdiri di tempat yang sama selama beberapa menit dan belum ada tanda-tanda dia akan berajak. Malam sudah larut, tidak banyak bahkan nyaris tidak ada orang yang berlalu lalang di sekitar sehingga kehadiran Narendra tidak menarik perhatian.Dia hanya diam memperhatikan sosok bayangan yang terlihat dari jendela kontrakan petak Agnia.Hari ini begitu melelahkan. Tidak aneh mengungat ini merupakan puncak dari rencana yang susah disusunnya dengan hati-hati. Rasanya jauh lebih melelahkan dari apa yang dibayangkannnya. Dan tidak tidak dapat melakukan apa-apa untuk itu.Seharusny dari kantor dia langsung menuju penthouse untuk beristirahat. Itu yang dibutuhkannya saat ini. Bukannya berdiri di tepi luar pagar kontrakan petak dan memperhatikan bayangan kekasihnya yang terlihat dari jendela.Ketika dia tiba, dia melihat Agnia sedang menyiapkan makan malamnya. Gadis itu dengan telaten memindahkan makanan yang baru dibelinya dari bungkusan ke piring. Se