"Anak setan! Tidak mungkin kamu menggagalkan rencanaku!" Amarah Bira semakin tersulut ketika Narendra selesai bercerita upayanya untuk memastikan rencana pamannya tidak berjalan.
"Kenyataannya itu sangat mungkin, Om Bira," Narendra tersenyum, "Aku berhasil menggagalkan rencana Om. Semuanya."
"Tidak ... ini tidak mungkin ..." Bira menatap kontainer yang kosong itu berulang kali, "Ini tidak mungkin. Seharusnya ... seharusnya saat ini Bimasakti sudah terbunuh dan ... dan ..."
"Kita tidak perlu berandai-andai, Om. Kenyataannya aku berhasil memenangkan pertempuran ini. Jika Om menyerah dan berjanji tidak akan melakukan hal serupa atau mungkin lebih mengerikan dari ini, aku berjanji Om akan tetap dapat hidup nyaman."
"APA MAKSUD KAMU?!"
Narendra mendekat beberapa langkah ke arah Bira kemudian menatap pria itu dengan tatapan yang mengintimidasi, "Seharusnya Om bersyukur masih memiliki pilihan ini. Jika aku tidak mempertimbangkan kalau Om adalah adik Papa
"Pa," Abimana memutuskan untuk mengejar sang ayah ketika pria paruh baya itu akan menaiki private jet yang siap mengudara segera setelah penumpang terakhirnya duduk dengan nyaman."Apa lagi?" Suara Bira terdengar ketus dan penuh kemarahan."Aku ingin Papa tahu kalau ... aku nggak pengin ini berakhir seperti ini.""Begitu? Lalu apa yang kamu pikirkan ketika kamu memutuskan untuk mengkhianati Papa?""Aku tidak pernah berkhianat, Pa," Abimana menjawab dengan tegas. Masa-masa ketika suara Bira berhasil membuatnya ketakutan sudah lama berlalu. Dia sudah bukan bocah laki-laki yang dulu dihajar berulang kali hanya untuk meredakan emosi Bira. Abimana harus membayar sangat mahal hanya untuk kesalahan kecil."Papa yang membuatku tidak pernah berada di pihak Papa," tatapan pria itu terlihat penuh kesedihan walau ketegasan masih memenuhi suaranya, "Jangan berpikir aku berkhianat karena Papa yang sejak awal membuangku."Bira menatap anak semata
Narendra sudah berdiri di tempat yang sama selama beberapa menit dan belum ada tanda-tanda dia akan berajak. Malam sudah larut, tidak banyak bahkan nyaris tidak ada orang yang berlalu lalang di sekitar sehingga kehadiran Narendra tidak menarik perhatian.Dia hanya diam memperhatikan sosok bayangan yang terlihat dari jendela kontrakan petak Agnia.Hari ini begitu melelahkan. Tidak aneh mengungat ini merupakan puncak dari rencana yang susah disusunnya dengan hati-hati. Rasanya jauh lebih melelahkan dari apa yang dibayangkannnya. Dan tidak tidak dapat melakukan apa-apa untuk itu.Seharusny dari kantor dia langsung menuju penthouse untuk beristirahat. Itu yang dibutuhkannya saat ini. Bukannya berdiri di tepi luar pagar kontrakan petak dan memperhatikan bayangan kekasihnya yang terlihat dari jendela.Ketika dia tiba, dia melihat Agnia sedang menyiapkan makan malamnya. Gadis itu dengan telaten memindahkan makanan yang baru dibelinya dari bungkusan ke piring. Se
"Sampai, Bos," Badi memastikan mobil yang dikendarainya berhenti tepat di depan pintu masuk menuju lobbu gedung Widjaja Group sebelum menoleh ke arah majikannya."Terima kasih," Narendra menarik napas panjang, "Hari ini akan menjadi hari yang panjang dan melelahkan.""Sepertinya begitu," dia melirik untuk memeriksa keadaan di lobby.Selain aktivitas yang sudah menjadi keseharian di Widjaja Group terlihat beberapa kelompok kecil yang memenuhi lobby. Para pemegang saham yang hampir tidak pernah menampakkan batang hidung mereka di gedung ini kecuali beberapa orang yang merupakan sahabat atau teman Asija."Kamu nanti langsung ke ruangan meeting utama," pria itu berucap sambil memeriksa sesuatu di ponselnya."Siap, Bos. Aku udah suruh beberapa orang untuk memeriksa ruang meeting dan seluruh lantai. Tapi nanti akan aku periksa ulang sebelum rapat dimulai.""Terima kasih," Narendra kembali tersenyum sebelum membuka pintu dan turun dari salah satu m
"Selamat pagi, Pak Atmadja."Sapaan itu mengejutkan pria paruh baya yang masih menatap geram ke arah Narendra. Dia segera berbalik dan matanya terbelalak ketika melihat Asija bersama dengan Rajasena dan Bimasakti sudah berada di belakangnya. Entah sejak kapan."Pa-Pagi, Pak Widjaja," hanya itu yang mampu diucapkannya walau saat ini kepalanya penuh dengan tanda tanya. Bagaimana bisa Asija dan anak-anaknya berada di sini sementara kemarin dia sudah mendapatkan informasi terkini kalau mereka akan segera dihabisi oleh Bira Widjaja."Kenapa Anda seperti melihat hantu?" Asija tersenyum lebar, "Tidak senang dengan kehadiran saya?""Tentu tidak seperti itu," Atmadja mengumpulkan sisa ketenangannya, "Saya hanya tidak menduga karena mendapatkan informasi yang salah. Saya kita teman-teman yang lain juga sama terkejutnya dengan saya.""Sepertinya hanya Anda," Narendra yang berujar sambil menyilangkan tangan di dada. Sejak tadi dia tidak lepas memperhatikan rea
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) berjalan dengan lancar dan nyaris tanpa ada gangguan. Laporan yang disampaikan oleh Rajasena dan Bimasakti sangat sempurna. Tidak ada cela dan celah sedikitpun untuk para pemegang saham mengeluhkan performa perusahaan mereka. Keuntungan yang dihasilkan juga jauh lebih banyak dari yang mereka perkiraaan. Saat ini Widjaja Group dapat dikatakan sedang dalam masa keemasannya.Begitu juga dengan rencana perusahaan satu tahun ke depan. Narendra yang memaparkan rencana yang sudah disusun sedemikian rupa. Mulai dari pengembangan dan menambahkan bidang usaha juga rencana agar keuntungan mereka terus meningkat. Tidak ada yang luput dari perhatian Narendra. Rencana yang disusun dan disiapkannya meliputi seluruh aspek."Seperti dugaan saya, semua berjalan lancar," seorang pemegang saham menyapa Asija yang sedang mengobrol santai dengan Narendra setelah pria paruh baya itu menutup RUPS."Ini berkat dukungan dan bantuan Anda," Asija menjawab b
"Kudengar habis makan enak kau di atas," Bang Ucok langsung menoleh ke arah Narendra yang sedang memasuki ruang kerjanya, "Nggak nyangka aku. Selama di kontrakan aku yang belikan kau makanan enak, sekarang lupa kau sama aku?""Tidak mungkin aku melupakan Abang," Narendra menarik kursi di depan meja kerja Bang Ucok kemudian mendudukinya, "Biasa saja makan siangnya. Abang aku traktir yang lebih enak saja, ya? Nanti malam. Sekalian aku ajak Badi. Abang tahu alamat penthouse-ku?"Dia menggeleng, "Aku tanyakan ke Badi nanti. Mau traktir apa kau?""Tidak tahu," Narendra mengendikkan bahu, "Abang ingin makan apa?""Kenapa kau tanya aku? Kau ini yang pengin traktir aku," pria itu tergelak."Aku yang traktir artinya aku yang bayar, Bang. Bukan berarti aku yang menentukan apa yang akan kita makan. Kalau Abang sudah tahu ingin makan apa, kabari aku.""Macam di kontrakan, ya? Kurang Agnia aja. Kuajak dia nanti malam?""Jangan," Narendra menjawab
Makan di penthouse Narendra dapat dikatakan serupa dengan ketika mereka masih di kontrakan petak. Mereka menikmati berbagai makanan kaki lima yang sudah lama dirundukan baik oleh Narendra maupun Bang Ucok. Sepanjang makan mereka tidak berhenti mengobrol dan tertawa. Seandainya ada Agnia maka malam ini akan sempurna."Makan yang banyak kau," Bang Ucok mengulurkan kotak martabak manis ke arah Narendra, "Kata Badi susah kali kau makan. Belum lagi tidur kau itu berantakan.""Iya, Bang," Narendra mengambil sepotong martabak manis dan langsung menggigitnya, "Jangan dengarkan Badi. Tujuan hidupnya memang menyebarkan berita buruk tentangku."Ucapan Narendra disambut tawa oleh Badi yang sedang mengambil minum di pantry, "Nggak ada, ya. Aku cuma ngomongin kenyataan. Eh, Bang, gimana Amelia? Betah dia di sana?""Tak usah kau tanya. Betah kali pun dia. Cuma masalah makanannya. Masih kurang bisa diadaptasi. Mau masak tak sempat karena tugasnya makin banyak. Kata Ameli
"Pak Sabda?" Susilo yang merupakan salah seorang petinggi di Widjaja Group cukup terkejut melihat Narendra berada di ruangannya ketika pria itu baru tiba di kantor pagi ini."Selamat pagi, Pak Susilo," Narendra memutar kursi yang didudukinya, "Kursi Anda cukup nyaman. Tapi sayangnya, Anda tidak akan pernah menduduki kursi ini lagi.""Ma-maaf ... saya tidak paham. Apa maksud Anda?" Mendadak keringat dingin muncul dan mulai membahasi punggung serta dahi pria yang sudah tidak muda lagi."Mulai hari ini Anda ..." Narendra sengaja menggantung kalimatnya, "Aku tidak tahu apa kata yang tepat. Dipecat? Ya, walau sedikit kasar tetapi itu sepertinya kata yang tepat.""Dipecat? Saya? Tapi ... kenapa? Apa saya melakukan kesalahan? Tidak, tidak mungkin saya melakukan kesalahan saya ... saya sudah puluhan tahun mengabdi di sini!""Oh ya? Benarkah Anda bekerja untuk Widjaja Group?" Narendra bangkit dari duduknya, "Bukan untuk diri Anda sendiri?"Dengan ten