"Semua baik-baik aja, Agnia?" Badi bertanya khawatir ketika menerima panggilan telepon dari tetangga kontrakan petaknya.
"Baik," Agnia refleks mengangguk walau dia tahu kalau lawan bicaranya tidak dapat melihat anggukannya, "Aku ganggu, ya?"
"Nggak, nggak ganggu sama sekali," Badi tertawa kecil, "Cuma aneh aja kamu telepon aku."
"Biasanya aku telepon Rendra, ya?" Terdengar helaan napas, "Aku nggak bisa ngehubungi HPnya Rendra."
"Kenapa?" Badi tahu kalau itu pertanyaan bodoh. Dia tahu majikannya sudah mematahkan nomor ponsel yang digunakannya selama tinggal di kontrakan petak. Pria itu mengatakan kalau nanti, ketika sudah tiba waktunya, dia akan menemui kekasihnya itu dan menceritakan semuanya. Badi tidak memiliki keberanian untuk bertanya kapan waktu itu tiba.
"Nggak tahu," ada kesedihan yang memenuhi nada suara Agnia, "Aku nggak tahu. Tiba-tiba aja aku nggak bisa ngehubungi HP dia. Apa HPnya rusak, ya?"
"Aku nggak tahu juga," bodyguard itu
"Bos, beneran nggak mau nelepon Agnia?"Seharusnya setelah mengantarkan berkas penting dan rahasia milik majikannya, Badi langsung keluar dari ruang kerja Narendra. Majikannya sejak tadi sedang sibuk di hadapan laptop. Entah apa yang dikerjakannya tetapi yang pasti itu sesuatu yang penting. Badi menebak itu dari dalamnya kernyitan yang ada di dahi Narendra. Tetapi dia tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya."Hm?" Narendra mengangkat wajah dari layar laptop, "Kamu tanya apa?""Nggak jadi," Badi menggeleng. Dia yakin Narendra mendengar pertanyaannya. Pria itu hanya berpura-pura tidak mendengar. Memberi ruang baginya untuk melarikan diri.Narendra tidak berkomentar. Pria itu hanya mengangguk sebelum pelan berucap, "Terima kasih.""Astaga, Bos. Cuma nganterin berkas, doang. Makasihnya kayak udah apaan," bodyguard itu sengaja bercanda untuk memancing tawa majikannya. Harus ada yang melonggarkan ikatannya sebelum Narendra tenggelam terlalu dalam d
"Selamat siang, Om Bira," berbeda dengan kemarin pagi ketika Narendra masuk dengan ekspresi serius seakan ingin mengamuk, kali ini pria itu memasuki ruang kerja Bira dengan tersenyum seakan tidak ada masalah yang membebaninya."Siang, Narendra," Bira langsung bangkit dari duduk dan menyambut keponakannya dengan ekspresi bingung, "Ini benar-benar mengejutkan. Baru kemarin kamu mengunjungi ruang kerja Om!" Dia tergelak, "Padahal sebelum-sebelumnya setahun juga belum tentu sekali kamu berkunjung."Narendra yang masih terlihat santai dan sama sekali tidak terganggu dengan ucapan Bira. Dia langsung menduduki sofa yang ada di ruang kerja pamannya, "Aku hanya berkunjung jika ada yang ingin aku bicarakan. Om tahu kalau aku tidak pernah suka basa-basi, benar?""Ah, benar. Om lupa," pria paruh baya itu kembali tergelak, "Jadi apa tujuan kamu ke sini?""Kembalikan Papa, Kakak dan keponakanku," dia berucap seakan hanya sedang mengabarkan cuaca hari ini."Apa m
Agnia menyeret kopernya dengan riang. Jantungnya berdetak semakin kencang setiap langkah yang diambilnya. Dia semakin dekat dengan kontrakan petak dan itu artinya dia akan segera bertemu dengan kekasihnya. Bertemu dengan Narendra.Saat membuka pintu halaman kontrakan petak, pandangan gadis itu tidak lepas dari kontrakan petak yang dihuni oleh kekasihnya. Dia membutuhkan beberapa saat sebelum menyadari ada sesuatu yang aneh. Motor sang kekasih tidak terlihat. Ah, mungkin Narendra sedang keluar sebentar. Itu yang pertama terlitas di benaknya hingga dia melihat lampu teras menyala. Kekasihnya memang tidak terlalu apik tetapi dia tidak pernah membiarkan lampu teras menyala sepanjang hari. Pria itu sangat memperhatikan penggunaan listri. Bukan karena hemat tetapi karena dia tahu sebanyak apa sumber daya yang dibutuhkan untuk menghasilkan listrik.Apakah Narendra sedang kembali ke rumah orang tuanya?Ya, mungkin karena itu. Narendra bukan lupa tetapi dia tidak dapat m
"Kapan kau pulang?" pria itu mendekat dengan hati-hati sambil mengamati kondisi tetangganya itu."Ngapain pula kau di sini? Kenapa tak ke kontrakan kau sendiri?" pelan Bang Ucok merangkul bahu Agnia, "kubantu kau, ya?""Bang ... Rendra mana?" di sela isakan terdengar suara parau Agnia bertanya, "Rendra mana, Bang?""Pindah dulu lah kita, ya?" Pria berbadan besar itu membantu Agnia bangkit dan menuntunnya kelular dari kontrakan petak Narendra. Dia tahu berlama-lama di kontrakan petak Narednra hanya akan membuat Agnia semakin sedih, "Nanti kuceritakan ke mana si Rendra itu.""Dia ninggalin aku, Bang?""Jangan mikir macam-macam kau ini," Bang Ucok menghela napas, "Kontrakan kau pasti kotor kali. Ke kontrakan aku ajalah kita, ya?"Tanpa menunggu persetujuan gadis itu, Bang Ucok sudah menuntun Agnia ke kontrakan petaknya. Kontrakan petak pria itu terlihat berbeda. Tanaman yang memenuhi terasnya tidak sebanyak biasanya. Pelan-pelan Agnia memang su
"Kenapa kamu ada di sini, Abimana?""Memangnya ada yang salah kalau Abi ke sini? Kamu lupa siapa aku? Aku ini orang tuanya Abimana!""Ayolah, Om, tidak perlu berpura-pura. Aku bukan orang lain. Aku tahu seperti apa hubungan Om dan Abimana," walau dia dilanda kebingungan tetapi Narendra berusaha untuk mengendalikan diri."Seperti kata bokap, gue ke sini ngunjungin dia.""Aku tahu kemungkinan kamu mengunjungi dia sama seperti kemungkinan salju turun di ibukota. Tidak mungkin. Aku tahu dengan pasti hubungan kalian seperti apa. Dia orang yang paling ingin kamu hindari. Kamu bahkan membencinya.""Gue nggak pernah benci bokap gue," Abimana menjawab dengan datar. Seakan itu adalah jawaban yang sudah dipersiapkannya. Sama sekali tidak ada emosi dalam suaranya."Bi, please ... ini sama sekali tidak lucu."Tawa Bira tiba-tiba pecah. Pria itu tergelak sambil menatap puas ke arah Narendra. Selama beberapa saat hanya tawa Bira yang terdengar.
Sepanjang perjalanan tidak ada yang bersuara. Abimana yang berada di belakang kemudi karena hanya dia mengetahui tempat Bimasakti disekap. Bira duduk dengan angkuhnya di jok tengah sementara Narendra duduk di samping sepupunya. Semuanya terjadi begitu cepat hingga dia tidak merasa memiliki pilihan lain. Selain itu Narendra bersedia mengikuti keinginan Bira dan Abimana karena dia ingin menemukan Bimasakti. Saat ini dia yang bertanggung jawab untuk seluruh anggota keluarga Widjaja dan Narendra bersedia melakukan apapun untuk memastikan keselamatan mereka.Nyaris satu jam berlalu ketika akhirnya mereka memasuki kawasan pelabuhan dan mobil yang dikemudikan Abimana melambat. Narendra sempat mengutuk pelan karena tidak terpikir untuk memeriksa pelabuhan. Seharusnya dia tahu kalau Abimana akan membawanya ke sini. Pelabuhan adalah tempat mereka menyimpan rahasia."Papa dan Allen, Kak Rajasena juga, di mana mereka?""Satu-satu, Narendra. Kamu harus sabar," Bira terkekeh,
"Tidak ada yang lebih kental di dunia ini dibandingkan darah, benar?" Narendra menyeringai ketika mengucapkan kalimat yang beberapa saat lalu juga diucapkan oleh Bira."Apa maksud kamu?! Apa-apaan ini, Abimana?!" Bira menatap tidak percaya ketika Abimana dengan perlahan berjalan menghampiri Narendra dan berdiri di sisi pria itu sebelum menatap sang ayah dengan tatapan yang sulit untuk dijelaskan."Aku tidak pernah membenci Papa. Aku anak Papa," Abimana tersenyum tetapi ekspresinya penuh dengan kesedihan, "Maaf tapi aku harus melakukan ini, Pa.""Bajingan! Sebenarnya kamu berpihak di siapa?!" Pria itu maju dan berusaha menyarangkan pukulan di perut Abimana tetapi tangannya berhasil ditangkap oleh Narendra.Narendra menahan kemudian mendorong tangan Bira hingga pria itu hampir terjungkal, "Abimana sudah bukan anak kecil, Om. Abimana sudah menjadi seorang pria yang dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Jangan memperlakukan diri Om lebih dari ini.""Ana
-Malam sebelum keberangkatan Rajasena-"Gue percaya sama lo," Rajasena tersenyum ketika mengucapkan itu."Tapi Kak Raja tetap menyiapkan surat wasiat," Narendra menatap kakaknya tidak percaya, "Untuk apa?""Hanya persiapan, Dra," pria itu duduk dengan santai di sofa yang memenuhi ruang tengah penthouse adiknya, "Seandainya sesuatu yang buruk terjadi keluargaku akan baik-baik saja.""Mereka nggak akan pernah baik-baik aja, Kak," tatapan sang adik penuh dengan kecamuk berbagai perasaan, Tidak ada yang baik-baik saja jika ditinggal oleh orang yang mereka sayang.""Gue tahu. Gue juga percaya kalau lo nggak akan mungkin bikin keponakan lo kehilangan orang tua mereka.""Ya," Narendra mengangguk yakin, "Kamu pikir kenapa aku melakukan ini?"Rajasena tertawa kecil, "Udahlah. Itu cuma masalah kecil. Kenapa harus dipermasalahin? Cuma surat wasiat. Cepat atau lambat gue juga harus bikin, kan? Anggap aja gue mendadak dapat inspir
"Nia, kamu sudah selesai berganti pakaian?"Suara Narendra membuat Agnia yang sedang berada di kamar mandi segera melepas kimono sutra yang dikenakan ketika dia membersihkan riasan wajah dengan bantuan seorang asisten MUA yang diminta oleh Reinya untuk tinggal sampai setelah acara selesai. Gadis itu mengambil piyama yang diberikan oleh Calya khusus untuk Agnia dan Narendra. Piyama berbahan sutra itu merupakan salah satu brand mewah dan salah satu yang tertua di Inggris. Kualitasnya sudah tidak perlu dipertanyakan karena sekelas Ratu Elizabeth II saja mempercayakan pakaian tidurnya kepada mereka.Agnia tidak pernah menduga kalau hal tersulit yang harus dilakukannya setelah memutuskan menikah dengan Narendra adalah beradaptasi dengan begitu banyak priviledge yang tiba-tiba dimilikinya. Semua serba dapat dimiliki. Tidak hanya sekadar memiliki tetapi selalu yang terbaik. Apapun itu."Nia?" Terdengar ketukan pelan di pintu kamar mandi."Sebentar," tergesa gadis itu menggelung rambut kemudi
"Macam inilah! Sah udah kalian sekarang," Bang Ucok langsung menyapa ketika seluru prosesi akad nikah selesai. Penampilan pria berbadan besar itu terlihat berbeda hari ini. Seperti seluruh undangan pria, Bang Ucok juga mengenakan three piece suit. Amelia turut hadir juga terlihat menawan dengan whimsical garden-inspired maxi dress. Penampilan disempurnakan dengan rambut tergelung model french twist yang memamerkan leher jenjangnya."Akhirnya, Bang," Agnia tertawa kecil, "Sekarang Bang Ucok udah nggak perlu khawatir lagi sama aku, kan? Aku udah nggak sendiri lagi.""He! Macam manaa... tak mungkin aku tak khawatir sama kau. Adik akunya kau ini," Bang Ucok berpura-pura bersungut kesal, "Jangan sementang kau sudah nikah terus kau anggap tak peduli lagi aku sama kau, ya!"Narendra terkekeh memperhatikan interaksi antara Agnia dan Bang Ucok. Walau mereka sudah tidak lagi di kontrakan petak tetapi tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama seperti dulu."Maaf, Bang," Narendra menyela percak
"Kamu yakin?""Ayah," Agnia hanya berpaling karena hiasan kepalanya cukup berat, "Ayah sudah berulang kali nanyain itu, lho. Mau Ayah tanya sampai seratus bahkan ribuan kali, jawaban Agnia tetap sama. Agnia yakin.""Tapi gimana kalau sampai tersebar? Memang pernikahan kamu private tapi tetap aja, di depan venue itu wartawan udah ngumpul kayak mau demo.""Memangnya kenapa kalau sampai nyebar?" Agnia menatap Kenny melalui cermin, "Ayah malu kalau sampai publik tahu aku ini anak ayah?""Bukan gitu," Kenny membalas tatapan Agnia, "Ayah bertanya karena Ayah nggak mau kamu menyesali kepuutusanmu.""Aku nggak akan nyesal, Yah," Agnia menjawab dengan yakin, "Percaya sama aku. Ini bukan keputusan impulsif. Aku udah mikirin ini dari lama. Dan itu keinginan aku. Pertanyaannya sekarang, apa Ayah mau ngelakuinnya atau nggak?""Tentu saja Ayah mau, Nia," Kenny menghampiri anak semata wayangnya dan meletakkan kedua tangan di bahu Agnia yang terbuka karena kebaya pernikahannya memiliki leher yang cuk
Narendra menatap pantulan diri pada cermin sambil menghembuskan napas dengan pelan. Dirinya terlihat sempurna dengann three pieces suit warna kelabu yang dipilihkan Agnia untuk hari istimewa ini. Kekasih yang akan segera menjadi istrinya itu mengatakan kalau kelabu merupakan warna yang hangat, dan itu sesuai dengan apa yang dirasakannya setiap kali berada di dekat Narendra. Sebagai seorang pria, Narendra menyerahkan sepenuhnya kepada Agnia.Ketika gadis itu meminta agar pernikahan mereka dilakukan secara private dan hanya mengundang keluarga dekat serta sahabat, Narendra juga dengan segera menyetujuinya. Beruntung keluarga besar mereka mau berkompromi. Walau pernikahan akan dirayakan secara sederhana tetapi resepsi akan diselenggarakan besar-besaran dan mengundang seluruh kenalan mereka. Agnia yang menyadari posisi mereka, Narendra merupakan pewaris keluarga Widjaja dan dirinya yang merupakan selebritas, setuju dengan itu."Narendra," Asija bersama dengan Reinya memasuki ruangan yang
"Lo gila," Abimana masuk ke ruang kerja Narendra sambil menggulirkan jari di tablet."Ada apa?" Narendra masih sibuk memperhatikan layar ponselnya. Dia sedang memeriksa portofolio saham miliknya sambil beristirahat dari memeriksa berbagai dokumen pekerjaan.Ketika Narendra kembali dari Seoul kemarin, dia disambut dengan tumpukan dokumen di meja kerja. Hanya dua hari tetapi tumpukan dokumen itu seakan Narendra sudah tidak mengantor selama berbulan-bulan. Seandainya bisa, dia ingin mengabaikan dokumen-dokumen itu. Tetapi tentu saja dia tidak dapat melakukannya karena ada tanggung jawab yang dipikul di bahunya.Asija menanggapi keputusan Narendra yang akhirnya setuju untuk menjadi pewaris Widjaja Group dengan serius. Walau pria itu mengatakan akan menggantikan Asija beberapa tahun lagi, pria paruh baya itu dengan cerdik mulai mengalihkan pekerjaan dan tanggung jawabnya kepada Narendra. Tentu saja Narendra tahu apa yang dilakukan oleh ayahnya tetapi dia tidak merasa keberatan dengan itu.
"Woaa!" Lee Jieun, aktris yang menjadi salah seorang lawan main Agnia di serial yang bekerja sama dengan Netflix itu memasuk lobi sambil berseru tidak percaya, "Mereka penasaran sekali sama kalian, ya!"Setelah Agnia, aktris berikutnya yang tidak di red carpet adalah Lee Jieun. Sayangnya, beberapa pewarta masih penasaran mengapa Agnia ditemani oleh Narendra sehingga mereka masih melontarkan pertanyaan itu berulang kali. Berkat pengalaman panjang menjadi aktris dan penyanyi, dengan cepat Lee Jieun dapat mengendalikan suasana dan menarik perhatian para pewarta. Setelah meladeni permintaan untuk berfoto dan menjawab pertanyaan yang dilontarkan serta berbincang dengan MC, gadis itu memasuki lobi gedung tempat acara digelar dan segera menyapa Agnia yang kebetulan masih belum memasuki ruangan tempat acara akan berlangsung."Eonnie," Agnia tertawa penuh rasa bersalah. Seharusnya spotlight hari ini milik Lee Jieun yang merupakan aktris utama di serial yang mereka bintangi. Tetapi karena kehad
"Surprise!" Narendra tertawa kecil sambil menjawil hidung kekasihnya, "May I be you plus one?""Ren... dra?" Agnia masih tidak percaya kalau pria yang sudah menunggu di mobil adalah kekasihnya, "Kamu ngapain di sini?""Jadi plus one kamu. Boleh?" Narendra masih menatap kekasihnya sambil tersenyum, "Shit! I really want to kiss you but it will ruins your lipstick."Sisa kebingungan Agnia menghilang dan berganti dengan tawa, "Kamu udah nggak ketemu aku lama terus itu kalimat pertama kamu?"Narendra masih tersenyum tanpa rasa bersalah sama sekali, "Seaneh itu? Bagian mana yang aneh dari seorang pria yang ingin mencium kekasihnya?""Bukan aneh," Agnia masih tertawa, "Tapi aku nggak nyangka kalau itu yang bakalan kamu ucapin setelah kita nggak ketemu selama beberapa minggu.""Beberapa minggu?" Senyuman masih tersisa walau sekarang pria itu mengernyit bingung, "Bukannya beberapa hari lalu kita baru bertemu, ya?""Beberapa hari?" Agnia berpiki selama beberapa saat, "Aaah! Aku ingat! Astagaa,
Suara ketukan disusul dengan seseorang gadis membuka pintu kamar hotel yang digunakan Agnia sejak beberapa malam lalu. Gadis berheadset dan memeluk clipboard berdiri di ambang pintu."Selamat siang Nona Agnia," senyumnya merekah sempurna, "Kita sesuai dengan jadwal. Lima menit lagi Anda sudah harus turun. Mobil yang akan mengantarkan Anda ke lokasi sudah siap."Agnia yang berdiri di tengah ruangan dan dikelilingi oleh begitu banyak orang dengan kesibukan masing-masing hanya dapat menoleh sambil tersenyum kemudian menganggukkan kepala. Dia tidak dapat melakukan lebih dari itu. Penata busana sedang memastikan seluruh lekuk tubuh artisnya menonjol dengan tepat tanpa ada kerutan atau lipatan yang merusaknya. Asisten penata busana sudah menyodorkan entah pasangan sepatu ke berapa untuk dicobanya. Hairdresser sejak tadi memastikan kalau rambut Agnia sempurna sesuai dengan keinginannya sementara make up artist yang dipercaya oleh artis muda itu sedang melakukan retouch pada beberapa bagian w
"Paman Leo," Narendra tersenyum ketika melihat pria paruh baya yang sudah berpuluh tahun bekerja di tailor yang sudah menjadi langganan keluarga besar Widjaja. "Saya tidak pernah menyangka kalau saya masih diberi kesempatan untuk mengukur dan menyiapkan suits untuk pernikahan Anda," Leo menyapa dengan ramah. "Paman pasti masih menganggapku anak kecil," Narendra terkekeh. "Kebiasaan orang tua," dengan hati-hati Leo mengarahkan Narendra yang ditemani Abimana dan Badi untuk berjalan ke bagian belakang yang lebih tertutup, "Rasanya baru kemarin Anda ke sini untuk pengukuran suits pertama. Bahan wol, warna kelabu. Three pieces dengan celana pendek." "Untuk ulang tahun pernikahan Papa dan Mama," Narendra menyambung, "Saya juga masih mengingatnya dengan baik, Paman." Selama beberapa saat Leo berdiri sambil menatap Narendra. Tatapannya penuh dengan kenangan bercampur kebanggaan. Dia sempat larut sebelum menyadari kalau ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Dengan cepat dia mengeluarkan