"Jadi kamu baru bisa naik sepeda kelas enam SD?"
Agnia mengangguk, "Iya. Itu juga karena ada anak panti yang baik hati mau ngajarin aku. Waktu Ibu masih ada nggak dibolehin. Kata Ibu aku bisa jatuh terus luka dan berbekas." gadis itu tertawa sebelum menyesap teh hangatnya, "Padahal kenapa memangnya kalau ada bekas luka, kan?"
"Ya nggak boleh, dong," Kenny terkekeh, "Masa anak Ayah ada bekas lukanya?"
"Ayah sama aja dengan Ibu," Agnia memamerkan senyum terlebarnya.
"Lho? Jelas, dong. Mana ada orang tua yang mau anaknya lecet."
"Astagaa! Aku bukan mobil atau barang, ya! Lagian lecet sedikit nggak apa-apa," Agnia menggembungkan pipinya, "Sekarang ada yang namanya foundation atau concelar buat nutupin bekas luka."
Sekarang sudah dini hari dan seudah berjam-jam sejak mereka mengobrol. Awalnya pembicaraan mereka terasa kaku. Seakan mereka takut melangkah dan membuat situasi menjadi kikuk. Tapi perlahan, suasana mencair dan obrolan mereka mengalir
"INI YANG KAMU BILANG LAPORAN?!" Narendra membuang setumpuk berkas yang baru diberikan oleh petinggi perusahaan keamanan yang dimiliki oleh Widjaja Group."SUDAH DUA HARI RAJASENA HILANG DAN KALIAN MASIH BELUM DAPAT INFORMASI APA-APA?! C'MON! JANGAN MEMPERLALUKAN DIRI KALIAN SENDIRI," tatapan Narendra penuh dengan kemarahan, "Kalian selalu mengaku sebagai yang terbaik. MANA BUKTINYA?!""Ma-Maaf Pak Sabda tapi ..."Narendra mengangkat tangan, "Aku tidak butuh alasan. Simpan sampah itu. Berikan aku bukti!""Baik, baik, Pak Sabda. Kami akan segera mengupayakan yang terbaik.""Bukan mengupayakan! Kalian harus memberikan yang terbaik. Demi Tuhan! Ini Rajasena yang hilang. Pemimpin kalian. Sejak kapan kalian jadi tidak becus seperti ini?!""Maaf ... tapi ...""Mana laporan tentang penculikan Papa dan keponakanku? Jangan bilang kalian belum berhasil menemukan siapa yang menculik mereka!"Kali ini suara Narendra tidak menggelegar tetap
"Selamat siang."Sapaan itu mengejutkan Ariyanto Sabian yang baru tiba di ruang kerjanya. Tergopoh sekretarisnya mengejar dan dengan takut-takut mendekat sebelum membisikkan informasi kalau dia sudah berusaha untuk menahan tamu itu tetapi pria itu bersikeras untuk menunggu di ruang kerja Ariyanto Sabian."Selamat siang Pak Sabda," pria itu bersuara setelah menyuruh sekretarisnya meninggalkan ruangan kerjannya.Narendra dengan santai memutar kursi kerja Ariyanto Sabian yang dengan lancang didudukinya, "Kursi Anda empuk sekali. Nyamana. Boleh saya tahu brand-nya?""Aku tahu Anda ke sini bukan untuk bertanya tentang hal remeh temeh seperti ini.""Tentu saja," Narendra tersenyum, "Hanya hal penting yang bisa membawa saya ke sini. Kita bukan teman, benar, Pak Ariyanto Sabian?""Apa tujuan Anda?""Sebelum saya menyampaikan tujuan saya," Narendra menatap langsung ke arah pria itu, "Saya cukup salut dengan upaya Anda meminimalisir mengendalik
WHISTLEBLOWER! POLISI MENDAPATKAN INFORMASI TERKAIT ALIRAN DANA PERUSAHAAN ARIYANTO SABIAN!!Dini hari tadi mendadak pengguna media sosial dikagetkan dengan sebuah akun yang memberikan informasi terkait Arbiyanto Sabian. Calon pemimpin negara yang didukung oleh banyak pihak itu ternyata tidak sebersih yang digembar-gemborkan pendukungnya. Ada aliran dana yang saat ini masih dalam penyelidikan oleh polisi di perusahaan milik Ariyanto Sabian. Besar kemungkinan itu merupakan aliran dana untuk menyuap beberapa nama besar di peta perpolitikan negara... <klik untuk membaca halaman selanjutnya>ANGKA DUKUNGAN KEPADA ARIYANTO SABIAN MENDADAK DROP!Seiring dengan informasi mengenai aliran dana di perusahaan Ariyanto Sabian sejumlah tokoh dan organisasi masyarakat yang selama ini dengan lantang meneriakkan dukugan terhadap salah satu calom pemimpin negara ini memutuskan untuk menarik dukungan. Mereka mengatakan tidak i
"BAJINGAN!!! ANAK BAU KENCUR ITU BERANI-BERANINYA!!" Ariyanto Sabian mengamuk ketika membaca koran paginya.Seharusnya ini merupakan acara sarapan pagi yang menyenangkan. Sudah seperti ritual, dia akan memulai pagi dengan secangkir kopi dan setangkup roti bakar dengan selai marmalade serta setumpuk surat kabar. Sarapannya harus selalu ditemani oleh surat kabar. Seperti pagi ini.Sayangnya ritual paginya rusak karena berbagai headline berita yang tidak pernah diduga olehnya. Seluruh surat kabar menjadinya sebagai headline. Tetapi tidak seperti yang diharapkannya. Seharusnya headline berita hari ini dipenuhi dengan donasi yang dilakukannya kemarin terhadap korban bencana alam. Tentu saja dia melakukan itu untuk meningkatkan dukungan publik. Walau dia selalu menduduki peringkat teratas dalam polling memberikan jarak sejauh mungkin dengan kandidat lainnya adalah salah satu cara untuk memastikan kemenangannya."Kenapa Pa?" Anak tertuanya yang baru saja bergabung deng
Narendra mengembalikan ponsel Badi yanng dia gunakan untuk menghubungi Ariyanto Sabian. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun bodyguard itu menerima ponsel sebelum kembali fokus menyetir. Lalu lintas pagi ini cukup padat sehingga membutuhkan konsentrasi ekstra untuk memastikan mereka tiba tepat waktu. Terlebih mengingat emosi Narendra yang tidak stabil saat ini. Satu hentakan tiba-tiba dapat membuat amarahnya pecah."Langsung ke kantor," Narendra berujar sambil memperhatikan pemandangan yang ditawarkan jendela mobilnya."Baik," Badi menjawab sambil memeriksa kondisi lalu lintas melalui GPS yang terpasang di mobil."Ada kabar baik?" Dia hampir tidak mendengar pertanyaan yang diajukan oleh majikannya."Belum ada. Setahuku orang suruhan Bos juga lagi nyari. Mereka sampai nggak tidur."Narendra memijat pelipisnya berulang, "Rencana yang lain bagaimana?""Aman, Bos. Semuanya berjalan lancar," Badi kembali memperhatikan lalu lintas yang tiba-tiba ram
"Wah, ada apa sampai Sabda Narendra Widjaja menemui Om?" Bira bangkit dari duduk dan berjalan menghampiri Narendra yang memasuki kantor Bira dengan ekspresi sulit untuk dijelaskan."Apa lagi yang akan Om lakukan?" Pertanyaan itu diucapkan dengan tenang tetapi mengandung ancaman."Melakukan apa? Ini masih pagi, Narendra. Om belum sempat melakukan apa-apa," Bira terkekeh seakan tidak memahami maksud pertanyaan keponakannya.Narendra, walau dikuasai oleh emosi masih dapat berpikir jernih. dengan cepat dia segera membaca ekspresi Bira. Ada yang aneh. Seharusnya Bira tidak setenang ini. Tentu Ariyanto Sabian sudah sepat menghubungi pria paruh baya yang berdiri di hadapannya saat ini. Lantas, kenapa Bira setenang ini?"Atau kamu ke sini mau ngajak Om sarapan tapi malu, ya?"Lagi, Narendra menatap lekat pria yang merupakan adik dari ayahnya, "Tidak. Aku sudah sarapan.""Terus kenapa? Tumben banget, lho kamu ke sini. Ada apa?""Tidak apa-apa,
"Ada kabar tentang Kak Bima?""Lo dari mana?" Bukannya menjawab pertanyaan yang diajukan oleh sepupunya yang baru memasuki ruang kerja, Abimana malah balik bertanya, "Ada kali setengah jam gue nungguiin lo.""Kantor Bira," pria itu menjawab singkat sambil menyambar kopi yang dibawakan oleh sepupunya, "Kopi apa ini? Dingin."Abimana terkekeh, "Makanya jangan asal minum. Ditanya dulu. Itu kopi udah dari tadi gue bawain pastilah udah nggak panas.""Sial," dia berusaha menelan kopi itu dan meletakkan kembali cangkir itu secara asal di meja, "Ada kabar apa?""Belum ada. Kabar terakhir yang gue dapat petugas keamanan pantai sedang menuju titik terakhir posisi yatch itu berada.""Dan itu sudah berapa lama?" Narendra bertanya dengan tidak sabar."Lima belas menit yang lalu," Abimana melihat sesuatu di tabletnya, "Kemungkinan setengah jam lagi baru mereka tiba di sana. Paling cepat.""Terlalu lama," pria itu bergumam, "Tidak bisa lebih
"Semua baik-baik aja, Agnia?" Badi bertanya khawatir ketika menerima panggilan telepon dari tetangga kontrakan petaknya."Baik," Agnia refleks mengangguk walau dia tahu kalau lawan bicaranya tidak dapat melihat anggukannya, "Aku ganggu, ya?""Nggak, nggak ganggu sama sekali," Badi tertawa kecil, "Cuma aneh aja kamu telepon aku.""Biasanya aku telepon Rendra, ya?" Terdengar helaan napas, "Aku nggak bisa ngehubungi HPnya Rendra.""Kenapa?" Badi tahu kalau itu pertanyaan bodoh. Dia tahu majikannya sudah mematahkan nomor ponsel yang digunakannya selama tinggal di kontrakan petak. Pria itu mengatakan kalau nanti, ketika sudah tiba waktunya, dia akan menemui kekasihnya itu dan menceritakan semuanya. Badi tidak memiliki keberanian untuk bertanya kapan waktu itu tiba."Nggak tahu," ada kesedihan yang memenuhi nada suara Agnia, "Aku nggak tahu. Tiba-tiba aja aku nggak bisa ngehubungi HP dia. Apa HPnya rusak, ya?""Aku nggak tahu juga," bodyguard itu