“Narendra,” Reinya menggunakan nada yang selalu digunakannya setiap ingin mengingatkan anak-anaknya di depan umum.
“Maaf, saya lagi brunch dengan orang tua saya. Tidak mudah mengatur jadwal kami. Jadi saya mohon pengerian Anda,” lugas dan tanpa ruang untuk bantahan.
“Tapi Tante Reinya…”
“Seperti kebanyakan orang tua, ibu saya lupa meminta persetujuan saya,” Narendra tersenyum, “Saya mohon pengertian Anda.”
“Mas Narendraaa…” telinga Narendra tidak nyaman mendengar nada suara yang digunakan Cyhara. Manja dan kenes, sama sekali bukan tipe Narendra.
“Saya mohon pengertian Anda.”
Gadis itu mencebik kesal sebelum merapikan helaian rambut yang menyentuh mukanya, ,”Tante, gimana? Chyara udah dandan dari pagi dan jauh-jauh ke sini, lho!”
“Mama mau brunch sama dia? Narendra bisa pergi sekarang. Kebetulan ada pekerjaan yang harus diberesin juga.”
Reinya terlihat bingung. Dia masih ingin menghabiskan waktu dengan
Halo, Terima kasih untuk pembaca yang setia membaca cerita ini. Aku beneran nggak nyangka bakalan banyak yang baca. Tapi aku mohon maaf kalau nggak bisa menuhin ekspekstasi untuk update banyak setiap hari. Aku menulis di sela kesibukanku. Ada pekerjaan dan tanggung jawab lain yang harus aku prioritaskan. Tapi kalau memang lagi lowong kalau sekarang, aku usahakan untuk update banyak. Aku juga nggak bisa kasih jadwal kapan akan update karena memang menulis di sela kesibukan. Terima kasih untuk pengertiannya dan tolong komentar dengan kata-kata yang baik, ya.
“Hah! Hah! Dari mana kau? Pagi-pagi udah hilang. Masih kurang itu martabak tadi malam?”Bang Ucok yang sedang asyik mengurus koleksi tanamannya yang memenuhi teras kontrakan petaknya menyapa Narendra yang baru saja memasuki halaman sambil berkacak pinggang.“Masih kusut pula itu muka kau! Masih sedih?”Narendra tersenyum, “Nggak, Bang. Siapa yang sedih?”“Kau lah! Mana mungkin aku. Itu Si Badi nyariin kau udah kayak induk ayam kehilangan anaknya. Bekotek saja dari tadi.”Tawa Narendra pecah tidak tertahan. Reaksi Bang Ucok benar-benar lucu dan di luar dugaan. Sama seperti hobinya. Siapapun yang melihat pria itu akan bermikir kalau dia memiliki hobi yang sangat maskulin. Touring dengan motor atau mungkin olahraga berat. Tetapi itu salah. Hobi pria berbadan besar dan penampilan gahar itu adalah mengoleksi tanaman.Setiap pagi dia akan menyempatkan waktu untuk mengurus semua tanamannya de
“Dra, Rendra!”Narendra yang sedang membayar hutang tidur karena semalaman tidak tidur dan pagi langsung bersiap untuk brunch dengan orang tuanya terbangun ketika ada yang memanggilnya. Dengan malas dan tidak rela karena tidurnya harus terganggu pria itu menggeliat.Setelah mengerjapkan mata beberapa kali, pria itu turun dari tempat tidur. Sambir menyugar rambut dia berjalan keluar dari kamar.“Ya?” Suaranya parau khas seseorang yang baru bangun tidur.“Kamu bisa nyetir, kan?” Agnia berdiri di depan pintu sambil tersenyum lebar.Gadis itu terlihat sedikit berkeringat. Entah baru selesai berolahraga atau bermain dengan anak-anak sekitar karena samar terdengar keriuhan canda dari halaman kontrakan petak, Narendra tidak tahu dengan pasti. Yang dia tahu, gadis itu terlihat bersinar.Tanpa berpikir dia menganggukkan kepala.Tentu saja. Sejak remaja dia sudah bisa menyetir. Mobil klasik milik eya
“Jadi gimana, Bos?”Badi kembali bertanya karena Narendra tidak mengucapkan apa pun setelah mendengar informasi yang disampaikannya. Dia mendapatkan informasi dari salah seorang tetangga kontrakan petak mereka kalau salah satu minimarket yang terkenal di negara ini sedang membuka lowongan. Ketika tahu kalau persyaratannya hanya lulus SMA, dia langsung bersemangat menyampaikan kepada Narendra.“Apanya?”“Mau dicoba nggak?”“Ngapain ditanya, kamu udah kirim lamaran ke sana.”“Iya, sih,” Badi mengangguk, “Tapi Bos nggak marah, kan? Kemarin aku langsung apply karena takut nggak keburu.”“Marah kenapa?”“Karena aku nggak izin.”“Kamu kenal aku berapa lama? Aku tidak pernah merah karena hal remeh.”Ada benarnya. Narendra memang tidak pernah marah karena sesuatu yang sepele. Pria itu akan memilih untuk diam hingg
“Lo udah selesai?”Seperti yang dikatakan Abimana, tidak ada yang urgent atau penting. Sejak tiba di kantor, pria itu hanya disibukkan dengan mengecek dan menandatangani dokumen yang sepertinya tidak ada habisnya. Bahkan dia baru sempat makan siang menjelang sore. Itu juga dibelikan oleh office boy kantor dan dihabiskannya sambil membaca proposal rencana dan laporan bisnis.“Sedikit lagi,” Narendra menandatangani dokumen yang sedang diperiksanya.“Kalau lo udah selesai kita makan. Gue udah booking restoran.”“Wuiih! Gitu, dong, bro!” Dia tersenyum lebar sebelum kembali menatap serius, “Sebentar. Kamu kalau baik ada maunya. Ada apa?”Abimana mengibaskan tangan berulang, “Nggak ada. Cuma mau ngobrolin masalah kemarin. Cari aman aja.”“Nice. Tidak percuma eyang milih kamu buat jadi tangan kanan aku.”“Kal
“Silakan,” seorang waitress meletakkan sepiring hidangan yang tertata estetik. Tidak hanya terlihat cantik tetapi juga menggugah selera.Narendra mengangguk setelah memastikan kalau makanan itu benar pesanannya sementara waitress menyajikan pesanan Abimana yang tidak kalah mewah dan estetiknya. Setelah memastikan kalau semua pesanan benar, waitress bersiap meninggalkan meja mereka.“Selamat menikmati. Jika membutuhkan bantuan Anda dapat memanggil saya.”“Terima kasih,” Narendra menjawab sambil mengangguk kecil.Gestur kecil. Waitress yang menghidangkan makanan sempat terkejut sebelum balas mengangguk sambil tersenyum. Langkah waitress itu terlihat lebih ringan ketika meninggalkan Narendra dan Abimana.“Tumben banget,” Abimana berkomentar setelah waitress cukup jauh dari meja mereka.“Apanya?” Narendra bertanya bingung sambi
Abimana tersenyum sebelum menjawab pertanyaan sepupunya, “Raji.”“That piece of shit?!” Narendra harus menahan diri agar tidak berteriak, “Dengan track record-nya masih ada cewek yang deketin dia?”“Apalah arti track record selama dia masih punya duit? Lagian jenis cewek kayak gitu, kan, fokusnya ya uang. Lo pikir dia nyari cowok yang setia dan bakal bahagiain dia?”“Bener juga. Tapi tetap aja nggak masuk akal. Masalah, kok, dicari.”“Bukan masalah yang dicari tapi uang, Narendra,” Abimana terkekeh.Sepupunya boleh seorang genius yang mempu menggentarkan lawan bisnis, siapa pun mereka, tetapi untuk beberapa masalah entah kenapa pria itu bisa begitu polos. Tidak jauh beda dengan anak kecil yang belum pernah melihat dunia nyata.“Aku mau pakai data kita tentang dia.”“Untuk?” Kali ini giliran dahi Abimana yang berke
“Tentang yang tadi,” Abimana melajukan Porsche Cayman kesayangannya meninggalkan lobi gedung tempat restoran berada.Narendra hanya menaikan sebelah alis. Gestur kecil yang menandakan kalau dia mendengarkan. Sejak tadi sepupunya memilih untuk membicarakan hal lain. Mulai dari kondisi perusahaan, rencana merger yang didengarnya sampai isu bisnis global yang mungkin akan mempengaruhi iklim bisnis negara ini maupun Widjaja Group. Apa pun selain alasan terimakasih yang diucapkan sebelumnya.“Gue minta tolong lo rahasiain apapun yang gue ceritain ini.”Pria itu tidak menjawab. Dia mengubah posisi jadi menghadap Abimana yang tanpa alasan meremas gagang kemudi mobilnya.“Gue juga minta tolong lo bersikap biasa aja depan Rania.”“Apa hubungannya sama Rania?”“Well,” Abimana menjilat bibirnya gelisah, “Rania cerita waktu gue ngajak dia untuk serius.”Heni
“Hah, bakal hujan kurasa hari ini. Tak pernah-pernah aku lihat kau rapi sepagi ini.” Bang Ucok yang baru keluar dari kontrakan petaknya menyapa Narendra yang sedang mengenakan sepatu di teras. Seperti yang dikatakan tetangganya, Narendra memang sudah rapi dengan kemeja putih – kali ini dia tidak lagi mengenakan kemeja murah karena tidak ingin gatal-gatal seperti sebelumnya - dan celana bahan berwarna hitam. Rambutnya yang biasa dibiarkan berantakan juga pagi ini tersisir rapi. “Interview lagi kau?” Sama seperti Narendra, pria itu juga sibuk mengenakan kaos kaki kemudian sepatu. “Iya, Bang. Ini lagi nunggu Badi.” “Di mana?” Entah basa-basi, entah pria itu benar-benar peduli. “Dealer mobil. Kemarin ada lowongan untuk sales.” “Si Badi daftar juga?” Narendra mengangguk, “Iya, Bang. Dia yang ajak aku daftar kemarin.” “Kudoakan kalian berdua lolos, ya. Jangan lupa sarapan sebelum berangkat. Tak bisa mikir nanti