“Hah, bakal hujan kurasa hari ini. Tak pernah-pernah aku lihat kau rapi sepagi ini.”
Bang Ucok yang baru keluar dari kontrakan petaknya menyapa Narendra yang sedang mengenakan sepatu di teras. Seperti yang dikatakan tetangganya, Narendra memang sudah rapi dengan kemeja putih – kali ini dia tidak lagi mengenakan kemeja murah karena tidak ingin gatal-gatal seperti sebelumnya - dan celana bahan berwarna hitam. Rambutnya yang biasa dibiarkan berantakan juga pagi ini tersisir rapi.
“Interview lagi kau?” Sama seperti Narendra, pria itu juga sibuk mengenakan kaos kaki kemudian sepatu.
“Iya, Bang. Ini lagi nunggu Badi.”
“Di mana?” Entah basa-basi, entah pria itu benar-benar peduli.
“Dealer mobil. Kemarin ada lowongan untuk sales.”
“Si Badi daftar juga?”
Narendra mengangguk, “Iya, Bang. Dia yang ajak aku daftar kemarin.”
“Kudoakan kalian berdua lolos, ya. Jangan lupa sarapan sebelum berangkat. Tak bisa mikir nanti
“Jadi kenapa Anda melamar ke perusahaan kami?” Pertanyaan standar yang dijawab Narendra dengan jawaban yang sama standarnya yang sudah dilatihnya bersama Badi semalaman. Penginterview terlihat cukup puas dengan jawaban yang diberikan Narenda karena pertanyaan itu segera disusul dengan pertanyaan lainnya tanpa henti. Pertanyaan yang nyaris serupa dengan yang sudah dilatihnya bersama Badi. “Anda hanya lulusan SMA, benar?” “Benar,” dia menjawab singkat. “Kenapa tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya?” Narendra diam sesaat sambil memilih jawaban yang ingin diberikannya, “Sempat kuliah tapi tidak selesai karena alasan ekonomi.” Jawaban teraman yang sudah disiapkan oleh Badi. “Begitu,” pria itu membalik formulir riwayat hidup Narendra sampai ke bagian riwayat pekerjaan dan keningnya berkerut. Posisinya yang sebelumnya cukup nyaman kali ini mulai terlihat gelisah, “Belum pernah bekerja sebelumnya? Apa yang Anda lakukan selama ini?”
“Beneran, Bos?” Badi bertanya sambil menambahkan banyak kecap ke bakso pesanannya.Narendra yang sedang asyik meracik dengan menambahkan saos, sambal dan kecap itu mengangguk dengan yakin, “Beneran. Tanya aja Kak Raja.”“Nggak mungkin aku berani tanya ke Pak Rajasena,” Badi mencicipi bakso yang sekarang kuahnya tidak lagi bening.Jika Agnia menyukai bakso dengan rasa super pedas maka Badi sebaliknya. Bodyguard itu lebih suka menambahkan banyak kecap agar kuah baksonya terasa manis.“Cek aja ke lokasi kalau gitu. Besok pasti masih kerja orangnya.”“Waah, keajaiban ini! Biasa Bos main pecat aja.”Narendra terkekeh, “Masa?”“Iya. Coba udah berapa kali kejadian Bos mecatin orang selama jadi orang biasa?”“Yaaa….aku pikir ini bukan sepenuhnya kesalahan dia,” pria itu cukup puas dengan rasa baksonya, “Mungkin dia mema
“Dra,” Bang Ucok yang baru pulang kerja menyapa Narendra yang sedang duduk di ruang tamu dengan pintu terbuka.“Bang, tumben jam segini udah balik?” Narendra bergegas bangkit dan berdiri di ambang pintu.“Ke sini kau. Ada yang mau aku bicarakan.”Narendra mengangkat kedua alis. Dengan perasaan bingung campur penasaran pria itu berjalan menuju kontrakan petak tetangganya. Walau ukuran kontrakan mereka sama tetapi kontrakan petak Bang Ucok jauh lebih nyaman daripada kontrakan Narendra ataupun Badi.Kontrakan petak Bang Ucok selalu rapi dengan aroma citrus yang menggantung tipis di udara. Sangat nyaman. Bang Ucok juga sengaja tidak mengisi kontrakannya dengan banyak furnitur. Pria itu memilih furnitur dengan selektif dan mementingkan fungsi. Ini membuat ruangan nyaman juga lega.Hampir setiap sudut ruangan dihiasi tanaman. Mulai dari tanaman yang umum seperti sanseviera sampai tanaman yang belum
“Lo nggak harus izin sama gue,” itu komentar pertama Abimana setelah Narendra membeberkan dengan detail rencananya.“Aku tidak izin, aku minta kamu untuk bantu rencana ini.”“In case lo lupa, lo itu atasan gue. Pastilah gue bantuin. Mau lo suruh kayang juga gue usahain.”“Tidak lupa. Tapi ini di luar job desc kamu. Selain itu…” berat mengakui ini, “Aku butuh pandangan dari seseorang yang netral.”“Dalam hal ini gue sama sekali nggak netral, Dra. Gue sama biasnya dengan lo.”Sejenak jening menyelimuti dua pria yang terikat darah itu.“Gimana kalau lo tanya sama Kak Raja?”“Udah,” Narendra menjawab, “Reaksi Kak Raja buat aku ragu.”“Kenapa?” Walau hanya melalui telepon, rasa penasaran Abimana terdengar jelas.“Kak Raja setuju.”“Bagus, dong! Terus kenapa l
Narendra tidak meyia-nyiakan waktu yang dimilikinya. Sepulang dari makan malam bersama para tetangga kontrakan petaknya, dia segera menghubungi Calya. Tidak melalui telepon tetapi Facetime yang memang sering mereka lakukan.“Hei Sissy,” Narendra menyapa begitu wajah Calya terlihat.Dia cukup beruntuang karena Calya merupakan manusia nocturnal yang lebih senang beraktivitas di malam hari. Walau Melbourne sudah menjelang tengah malam, gadis itu masih penuh semangat. Seperti biasa, dia terlihat penuh energi meski sedang mengerjakan tugas.“Kak Narendra butuh bantuan apa?” Gadis itu menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang sedang dibacanya.Tawa Narendra seketika pecah. Butuh beberapa saat dia mengendalikan diri sebelum tawanya mereda, “Memangnya aku cuma ngehubungi kamu kalau mau minta sesuatu ya?”“Sayangnya..iya,” sekarang dia memamerkan senyum konyol khasnya, “Nggak, kok. Aku
Sepagian ini Narendra cukup sibuk. Setelah Calya memberikan update terkait Sara, gadis yang ada di video itu, dia segera berkoordinasi dengan tangan kanannya, Abimana. Seperti yang dikatakan oleh kedua orang terdekatnya, Sara memberikan perseutujuannya. Gadis itu seorang pemberani. Dia mengatakan kepada Calya kalau sudah sejak lama dia ingin mengungkap hal itu ke publik tetapi dia terganjal bukti. Tidak ada yang mempercayai ucapan seorang wanita jika tidak disertai bukti. Dia tidak bodoh, terkdang dengan bukti saja masih tidak cukup. Terlebih jika orangnya seseorang yang berpengaruh seperti Raji. Yang lebih mengejutkan Narendra, gadis itu mengatakan setelah video itu viral, secara pribadi dia akan tampil di spotlight dan membongkar semua pengalaman buruk yang dimilikinya dengan Sang produser. Gadis itu juga tidak meminta kompensasi apa pun. Dia berterima kasih untuk apa yang akan dilakukan oleh Narendra. Ponselnya kembali bordering untuk kes
Bagian belakang kaos yang dikenakan Narendra sudah basah dan rambutnya sudah bau matahari ketika pintu kontrakan petak Agnia terbuka. Gadis itu mengenakan kaos dan celana pendek yang kusut. Sepertinya dia baru bangun dan masih mengenakan pakaian tidurnya.“Rendra!” Dia agak berteriak sambil melambaikan tangan, “Olahraga?”Narendra segera berpaling. Senyumnya terulas lebar ketika dia melihat Agnia. Setelah berpamitan dengan anak-anak yang menjadi teman main bolanya, pria itu menghampiri Agnia di teras kontrakan petaknya.“Iseng. Habisnya mereka kelihatan seru banget,” dia tertawa kecil, “Baru bangun?”Agnia mengangguk, “ Iya. Semalam kekenyangan jadi lama baru bisa tidur.”“Kok, nggak main ke sebelah?”“Semalam? Takut ganggu. Aku pikir kamu udah tidur.”Refleks Narendra mengusap rambut gadis yang duduk di sampingnya dengan lembut, “Kamu nggak pern
“Makaan…!” Badi masuk ke kontrakan petak Narendra sambil membawa makan siang mereka.Seperti biasa, dia yang bertanggung jawab untuk membelikan makanan majikannya. Ini tidak termasuk dalam pekerjaannya tetapi mengingat kedekatan serta bagaimana Narendra memperlakukannya selama dia menjadi bodyguard pria itu maka dia tidak mengeluh. Selain itu ini juga kesempatan untuk memperkenalkan masakan orang biasa kepada majikannya.“Sebentar…” Naraendra masih sibuk melakukan sesuatu di laptopnya.Ini aneh. Biasanya pria itu alan langsung meletakkan apa pun yang sedang dikerjakannya dan bersiap untuk makan. Dia menjaga pola makan termasuk jam makannya. Nyaris tidak pernah dia terlambat. Pengecualian untuk hal yang benar-benar penting.“Kerjaan penting, Bos?”Narendra menggeleng, “Bukan kerjaan tapi penting.”Penasaran Badi mengintip dari balik bahu Narendra. Benar, pria itu tidak sed