Bagian belakang kaos yang dikenakan Narendra sudah basah dan rambutnya sudah bau matahari ketika pintu kontrakan petak Agnia terbuka. Gadis itu mengenakan kaos dan celana pendek yang kusut. Sepertinya dia baru bangun dan masih mengenakan pakaian tidurnya.
“Rendra!” Dia agak berteriak sambil melambaikan tangan, “Olahraga?”
Narendra segera berpaling. Senyumnya terulas lebar ketika dia melihat Agnia. Setelah berpamitan dengan anak-anak yang menjadi teman main bolanya, pria itu menghampiri Agnia di teras kontrakan petaknya.
“Iseng. Habisnya mereka kelihatan seru banget,” dia tertawa kecil, “Baru bangun?”
Agnia mengangguk, “ Iya. Semalam kekenyangan jadi lama baru bisa tidur.”
“Kok, nggak main ke sebelah?”
“Semalam? Takut ganggu. Aku pikir kamu udah tidur.”
Refleks Narendra mengusap rambut gadis yang duduk di sampingnya dengan lembut, “Kamu nggak pern
“Makaan…!” Badi masuk ke kontrakan petak Narendra sambil membawa makan siang mereka.Seperti biasa, dia yang bertanggung jawab untuk membelikan makanan majikannya. Ini tidak termasuk dalam pekerjaannya tetapi mengingat kedekatan serta bagaimana Narendra memperlakukannya selama dia menjadi bodyguard pria itu maka dia tidak mengeluh. Selain itu ini juga kesempatan untuk memperkenalkan masakan orang biasa kepada majikannya.“Sebentar…” Naraendra masih sibuk melakukan sesuatu di laptopnya.Ini aneh. Biasanya pria itu alan langsung meletakkan apa pun yang sedang dikerjakannya dan bersiap untuk makan. Dia menjaga pola makan termasuk jam makannya. Nyaris tidak pernah dia terlambat. Pengecualian untuk hal yang benar-benar penting.“Kerjaan penting, Bos?”Narendra menggeleng, “Bukan kerjaan tapi penting.”Penasaran Badi mengintip dari balik bahu Narendra. Benar, pria itu tidak sed
“AAA..!”Agnia berteriak kaget ketika sesuatu yang dingin menyentuh pipinya. Rasa terkejut itu dengan segera berubah menjadi senyuman ketika dia melihat apa dan siapa pelakunya. Narendra dan sebotol minuman kemasan dingin.“Minum dulu,” Narendra memberikan minuman kemasan yang sudah dibukakannya.“Makasih,” masih sambil tersenyum gadis itu menerima kemudian menikmati minuman kesukaannya itu, “Kamu stock ini di rumah?”“Nggak. Itu baru aku beli di warung. Tadi lihat kamu pulang mukanya jelek banget.”“Sialan,” Gadis itu tertawa walau tidak selepas biasanya.“Kenapa nggak masuk? Seharian kamu pasti capek.”“Tadi mau masuk terus keasyikan melamun,” dia kembali minum, “Capek tapi banyak pikiran.”“Mau cerita?” Narendra bertanya dengan lembut.Dia beruntung ini bukan kali pertama menghadapi gadis ya
“ALAMAAAAK!!!”Langkahnya yang semula santai segera dipercepat ketika melihat Narendra dan Agnia di teras kontrakan petak gadis itu. Dengan kasar dia membuka gerbang kontrakan petak mereka.“Macam manalah pula kau ini! Sudah kubi…”“Sstth…” Narendra berdesis sambil meletakkan telunjuk di bibir, “Agnia tidur, Bang.”“Kau ini! Sudah kubilang jangan macam-macam malah main peluk-peluk aja!” Suaranya yang tadi menggelegar sekarang terdengar lebih rendah walau tidak dapat dikatakan pelan.“Bang, nanti Agnia kebangun,” Narendra melirik untuk memastikan gadis itu masih tertidur nyenyak, “Bantu aku bukain pintu rumahnya.”“Hah! Hah! Mau apa lagi kau?!”“Bang Ucok mau dia masuk angina kalau tidur di luar?”“Benar juga kau,” Bang Ucok meletakan tas di meja teras, “Kuncinya mana?”Narendra
“Seharusnya aku yang tanya, Bang Ucok itu siapa,” Narendra tersenyum penuh arti. “Hah?! Pertanyaan macam apa pula itu. Siapa memangnya aku ini?” Narendra terkekeh, “Bang, data yang Abang kasih ke aku itu nggak sembarang orang bisa mengaksesnya.” Itu benar. Yang diminta oleh Narendra hanya data transaksi dari akun Raji tetapi apa yang diberikan oleh Bang Ucok lebih daripada yang diminta oleh Narendra. Data-data itu begitu sensitif yang tidak mungkin dapat diakses oleh pegawai bank sembarangan. “Macam kau jugalah, punya kenalannya aku.” “Jujur aja, Bang,” Narendra kembali tersenyum, “Tidak mungkin urusan seperti ini Abang minta tolong orang lain atau kenalan.” “Kenapa tak mungkin?” “Abang tidak mungkin melibatkan orang lain karena, satu, Abang mungkin tidak percaya orang lain dan dua, ini urusan illegal. Abang nggak mau kenalan Abang ikut terseret seandainya ini jadi masalah.” Bang Ucok menatap tetangganya itu tidak berke
Agnia sudah bangun sejak beberapa menit lalu. Dia hanya masih malas untuk membuka mata. Seandainya bisa dia ingin hari ini dihabiskan dengan tidur atau kembali menjadi anak-anak ketika hidup terasa lebih mudah.Ketika Ibu masih menemaninya.Bukannya bangun, Agnia memilih untuk menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Dia ingin menghalangi sinar matahari yang menyelinap dari gorden yang tidak tertutup rapat. Gadis itu baru akan kembali tertidur ketika dia menyadari ada yang berbeda.Aroma yang dihidunya bukan aroma kamar yang dikenalnya.Lemongrass.Sejak kapan dia menggunakan pengharum ruangan beraroma lemongrass? Dia tidak pernah mengganti pengharum kamarnya, selalu aroma lavendel dengan selapis citrus. Selain lemongrass, hidungnya juga menghidu selarik aroma lain. Aroma asing yang entah mengapa menawarkan ketenangan. Asing sekaligus dikenalnya.Refleks dia menyibakkan selimut kemudian membuka mata. Dengan cepat
“Gimana?”Agnia segera keluar dari kontrakan petaknya ketika mendengar suara motor memasuki halaman. Dia hapal betul suara motor tetanganya itu.Narendra tidak langsung menjawab. Pria itu memarkirkan motor di depan kontrakan petaknya lalu sambil menunggu Badi turun, dia melepaskan helm yang dikenakan.“Rendra! Jangan bikin aku penasaran!” Gadis itu memberengutkan pipi.“Apa, Agnia?” Bukannya menjawab pria itu malah balik bertanya, “Sarapannya kamu habisin?”Seperti anak kecil Agnia mengangguk sambi tersenyum lebar. Dia seakan lupa kalau sedang kesal pada Narendra yang tidak menjawab pertanyaannya.“Habis! Bangun-bangun aku lapar banget,” dia menghampiri Narendra.“Kunci cadangan mana? Simpan di tempat biasa.”“Udaah!” Dia tertawa kecil, “Kemarin aku lupa naruh balik habis aku pakai.”“Bubaaar…” Badi mengibas
Senyum Agnia menghilang begitu pintu kontrakan petaknya tertutup. Dia bisa berpura-pura di depan tetangganya tetapi ketika sendiri…kegelisahan itu kembali. Pertanyaan itu terus terngiang di kepalanya. Haruskah dia buka suara? Cukup beranikah, dia? Seharian ini dia mengikuti perkembangan informasi terkait video skandal Raji. Agnia menguatkan diri untuk menonton video itu walau hanya mampu bertahan beberapa detik saja. Dia mengikuti akun anonym yang mengaku sebagai korban. Tidak hanya akun pertama yang buka suara tetapi juga semua akun yang mengaku sebagai korban. Tanpa alasan, dia membaca semua pengakuan itu. Menyakitkan. Lebih menyakitkan karena sebagian dirinya bersyukur bukan dia menjadi korban. Setidaknya dia berhasil menyelamatkan diri. Tidak seharusnya dia merasa bersyukur. Dia sadar itu tetapi… Tanpa tujuan dia berseluncur di dunia maya. Membuat media sosial yang satu ke media sosial lain. Hingga tanpa sengaja di
“Hei! Ngapain kau bengong di situ? Kemasukan baru tahu rasa kau!”Narendra yang sejak tadi termenung di teras kontrakan petaknya sambil sesekali menoleh ke kontrakan petak Agnia terkejut dengan sapaan Bang Ucok yang baru pulang kerja.“Ha, kan! Diam aja kusapa. Sudah kemasukan ini!” Bang Ucok mendekat kemudan menepuk punggung Narendra kuat, “Woi, Rendra!”“Sakit, Bang,” Narendra mengusap punggung sebisa mungkin, “Tumben sore udah balik, Bang.”“Macam mananya pula! Udah jam berapa kau pikir ini? Ha, ha, kau tengok ini udah jam berani. Betul lah kemasukan kurasa kau ini!”“Kemasukan apa?” Narendra masih sibuk mengusap bekas tepukan Bang Ucok.“Kenapa kau? Kulihat dari sana bengong aja kau ini.”“Lagi mikir aja, Bang,” pria itu tersenyum tipis, “Sambil nungguin Agnia. Aku khawatir, Bang.”“Khawatir kenapa?