Agnia sudah bangun sejak beberapa menit lalu. Dia hanya masih malas untuk membuka mata. Seandainya bisa dia ingin hari ini dihabiskan dengan tidur atau kembali menjadi anak-anak ketika hidup terasa lebih mudah.
Ketika Ibu masih menemaninya.
Bukannya bangun, Agnia memilih untuk menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Dia ingin menghalangi sinar matahari yang menyelinap dari gorden yang tidak tertutup rapat. Gadis itu baru akan kembali tertidur ketika dia menyadari ada yang berbeda.
Aroma yang dihidunya bukan aroma kamar yang dikenalnya.
Lemongrass.
Sejak kapan dia menggunakan pengharum ruangan beraroma lemongrass? Dia tidak pernah mengganti pengharum kamarnya, selalu aroma lavendel dengan selapis citrus. Selain lemongrass, hidungnya juga menghidu selarik aroma lain. Aroma asing yang entah mengapa menawarkan ketenangan. Asing sekaligus dikenalnya.
Refleks dia menyibakkan selimut kemudian membuka mata. Dengan cepat
“Gimana?”Agnia segera keluar dari kontrakan petaknya ketika mendengar suara motor memasuki halaman. Dia hapal betul suara motor tetanganya itu.Narendra tidak langsung menjawab. Pria itu memarkirkan motor di depan kontrakan petaknya lalu sambil menunggu Badi turun, dia melepaskan helm yang dikenakan.“Rendra! Jangan bikin aku penasaran!” Gadis itu memberengutkan pipi.“Apa, Agnia?” Bukannya menjawab pria itu malah balik bertanya, “Sarapannya kamu habisin?”Seperti anak kecil Agnia mengangguk sambi tersenyum lebar. Dia seakan lupa kalau sedang kesal pada Narendra yang tidak menjawab pertanyaannya.“Habis! Bangun-bangun aku lapar banget,” dia menghampiri Narendra.“Kunci cadangan mana? Simpan di tempat biasa.”“Udaah!” Dia tertawa kecil, “Kemarin aku lupa naruh balik habis aku pakai.”“Bubaaar…” Badi mengibas
Senyum Agnia menghilang begitu pintu kontrakan petaknya tertutup. Dia bisa berpura-pura di depan tetangganya tetapi ketika sendiri…kegelisahan itu kembali. Pertanyaan itu terus terngiang di kepalanya. Haruskah dia buka suara? Cukup beranikah, dia? Seharian ini dia mengikuti perkembangan informasi terkait video skandal Raji. Agnia menguatkan diri untuk menonton video itu walau hanya mampu bertahan beberapa detik saja. Dia mengikuti akun anonym yang mengaku sebagai korban. Tidak hanya akun pertama yang buka suara tetapi juga semua akun yang mengaku sebagai korban. Tanpa alasan, dia membaca semua pengakuan itu. Menyakitkan. Lebih menyakitkan karena sebagian dirinya bersyukur bukan dia menjadi korban. Setidaknya dia berhasil menyelamatkan diri. Tidak seharusnya dia merasa bersyukur. Dia sadar itu tetapi… Tanpa tujuan dia berseluncur di dunia maya. Membuat media sosial yang satu ke media sosial lain. Hingga tanpa sengaja di
“Hei! Ngapain kau bengong di situ? Kemasukan baru tahu rasa kau!”Narendra yang sejak tadi termenung di teras kontrakan petaknya sambil sesekali menoleh ke kontrakan petak Agnia terkejut dengan sapaan Bang Ucok yang baru pulang kerja.“Ha, kan! Diam aja kusapa. Sudah kemasukan ini!” Bang Ucok mendekat kemudan menepuk punggung Narendra kuat, “Woi, Rendra!”“Sakit, Bang,” Narendra mengusap punggung sebisa mungkin, “Tumben sore udah balik, Bang.”“Macam mananya pula! Udah jam berapa kau pikir ini? Ha, ha, kau tengok ini udah jam berani. Betul lah kemasukan kurasa kau ini!”“Kemasukan apa?” Narendra masih sibuk mengusap bekas tepukan Bang Ucok.“Kenapa kau? Kulihat dari sana bengong aja kau ini.”“Lagi mikir aja, Bang,” pria itu tersenyum tipis, “Sambil nungguin Agnia. Aku khawatir, Bang.”“Khawatir kenapa?
“Pagi.”Agnia, dengan senyum lebar dan wajar berbinar penuh energi berdiri di ambang pintu kontrakan petak Narendra yang terbuka. Penghuni kontrakan itu baru saja bangun dan sedang menghabiskan secangkir cokelat seketika balas tersenyum. Ada kelegaan melihat kondisi Agnia yang jauh berbeda dengan kondisinya kemarin.“Pagi. Feeling better?”“Memangnya aku kenapa?” Agnia tertawa kecil, “Aku baik-baik aja, Rendra. Makasih udah tanya.”“Mau ke mana?”Narendra bertanya karena gadis itu terlihat sudah siap untuk berangkat. Oversized t-shirt berwarna putih dipadu dengan skinny jeans. Padu padan sederhana tetapi terlihat menarik karena dikenakan oleh Agnia.“Photoshoot. Ada jadwal di majalah LOOK.”Pria itu bersiul bangga, “Cover?”“Belum sekeren itu,” gadis itu kembali tersenyum, “Buat rubr
Beberapa karyawan yang berpapasan dengan Narendra menganggukkan kepala samar walau terlihat ragu. Beberapa di antara mereka terlihat mengenali Narendra kemudian akan menyapa tetapi membatalkannya di detik terakhir. Ini tentu membuat Narendra dapat bernapas lega.Dia beruntung ketika sedang berhenti karena lampu merah berhasil mengirimkan pesan ke Abimana. Pria itu menginformasikan kedatangannya dan meminta sepupunya untuk melakukan sesuatu agar penyamarannya tidak terbongkar. Seperti biasa, tangan kanannya itu melakukan tuugasnya dengan sempurna.“Kaget nggak lihat ada gedung perkantoran mewah gini?” Agnia bertanya ketika hanya ada mereka berdua di lift.“Iya,” dia menjawab singkat karena tidak tahu harus berkomentar apa.Selama ini dia berpikir apa yang ditemuinya di gedung Widjaja Group adalah hal biasa. Walau lantai lobi terbuat dari marmer Italia terbaik, lampu gantung yang seingatnya dipesan orang tuanya dari Prancis serta ber
Seperti yang diucapkan oleh Agnia, tidak memakan waktu lama untuk wanita itu berganti pakaian. Untuk pemotretan individual gadis itu diharuskan mengenakan mididress berwarna hijau dengan aksen merah. Hanya dengan satu lirikan semua orang akan tahu itu keluargan salah satu rumah mode terkenal dunia.“Aku duluan,” Agnia menepuk bahu Luna ramah kemudian mengobrol sebentar dengan para staf sebelum berjalan ke studio bersama Narendra.“Aneh nggak?”“Penampilan kamu?”Agnia mengangguk, “Walau udah biasa dapat konsep yang aneh-aneh tetap aja aku nggak terbiasa. Kayak ini, konsepnya nyatuin innocent dan sensual, nggak masuk akal, kan? Itu kayak dua sifat yang bertolak belakang. Tapi yaa…model bisa apa?”Dengan rambut yang ditata dengan dua ikatan yang dibuat bergelombang, penampilan Agnia saat ini merupakan perpaduan keluguan remaja dan kedewasaan seorang gadis muda. Menggemaska
“Aku terima telepon dulu,” Narendra menutup pintu setelah Agnia mengangguk.Pria itu bergegas menjauh dari ruang rias sebelum menerima panggilan dari sepupunya. Dia tidak ingin ada yang mencuri dengar atau tidak sengaja mendengar dan menghancurkan penyamarannya.“Kenapa, Bi?” Narendra tidak merasa perlu berbasa-basi dengan tangan kanannya.“Dari pada lo pacaran mending ke atas. Meeting atau ngapain.”“Memangnya ada yang urgent?”“Nggak ada,” Abimana menjawab santai, “Tapi mumpung lo di kantor. Tinggal naik, Ndra. Gue udah bantuin lo tadi pagi, sekarang giliran lo bantuin gue.”“Bantuin apa?”“Bantuin ngeringanin kerjaan gue yang banyak gara-gara ide gila lo. Udah, buruan ke sini atau gue bakalan nyuruh orang biar sekalian aja itu Agnia tahu!”“Sial. Jago banget, ya, urusan ancam-mengancam.”Abiman
“Mana cowok tadi?” Itu pertanyaan pertama yang terlontar dari mulut Leon ketika sesi foto berakhir. Agnia yang sedang mengobrol dengan staf sambil mengembalikan beberapa properi yang menempel pada tubuhnya selama pemotretan langsung mencari sosok Narendra. Pria itu masih belum terlihat. Ke mana dia? “Kenapa kamu peduli?” Agnia berujar ketus. Dia sama sekali tidak berusaha menutupinya. Selama pemotretan, fotografer itu beberapa kali seakan mencuri kesempatan untuk menyentuhnya. Leon sengaja menyentuh punggungnya lalu mengusapnya halus hingga menghadirkan desir tidak nyaman dalam diri Agnia. Pria itu juga mengelus lengannya yang telanjang bahkan paha dengan beralasan memperbaiki pose Agnia. Tapi gadis itu tidak sepolos itu. Dia tahu kalau Leon sengaja melakukannya. Beberapa kali dia berusaha mengelak atau menepik tangan fotografer itu tetapi yang didapat hanya tawa sinis dan sentuhan yang lebih parah setelahnya. Sekuat tenaga dia