“Lo udah selesai?”
Seperti yang dikatakan Abimana, tidak ada yang urgent atau penting. Sejak tiba di kantor, pria itu hanya disibukkan dengan mengecek dan menandatangani dokumen yang sepertinya tidak ada habisnya. Bahkan dia baru sempat makan siang menjelang sore. Itu juga dibelikan oleh office boy kantor dan dihabiskannya sambil membaca proposal rencana dan laporan bisnis.
“Sedikit lagi,” Narendra menandatangani dokumen yang sedang diperiksanya.
“Kalau lo udah selesai kita makan. Gue udah booking restoran.”
“Wuiih! Gitu, dong, bro!” Dia tersenyum lebar sebelum kembali menatap serius, “Sebentar. Kamu kalau baik ada maunya. Ada apa?”
Abimana mengibaskan tangan berulang, “Nggak ada. Cuma mau ngobrolin masalah kemarin. Cari aman aja.”
“Nice. Tidak percuma eyang milih kamu buat jadi tangan kanan aku.”
“Kal
“Silakan,” seorang waitress meletakkan sepiring hidangan yang tertata estetik. Tidak hanya terlihat cantik tetapi juga menggugah selera.Narendra mengangguk setelah memastikan kalau makanan itu benar pesanannya sementara waitress menyajikan pesanan Abimana yang tidak kalah mewah dan estetiknya. Setelah memastikan kalau semua pesanan benar, waitress bersiap meninggalkan meja mereka.“Selamat menikmati. Jika membutuhkan bantuan Anda dapat memanggil saya.”“Terima kasih,” Narendra menjawab sambil mengangguk kecil.Gestur kecil. Waitress yang menghidangkan makanan sempat terkejut sebelum balas mengangguk sambil tersenyum. Langkah waitress itu terlihat lebih ringan ketika meninggalkan Narendra dan Abimana.“Tumben banget,” Abimana berkomentar setelah waitress cukup jauh dari meja mereka.“Apanya?” Narendra bertanya bingung sambi
Abimana tersenyum sebelum menjawab pertanyaan sepupunya, “Raji.”“That piece of shit?!” Narendra harus menahan diri agar tidak berteriak, “Dengan track record-nya masih ada cewek yang deketin dia?”“Apalah arti track record selama dia masih punya duit? Lagian jenis cewek kayak gitu, kan, fokusnya ya uang. Lo pikir dia nyari cowok yang setia dan bakal bahagiain dia?”“Bener juga. Tapi tetap aja nggak masuk akal. Masalah, kok, dicari.”“Bukan masalah yang dicari tapi uang, Narendra,” Abimana terkekeh.Sepupunya boleh seorang genius yang mempu menggentarkan lawan bisnis, siapa pun mereka, tetapi untuk beberapa masalah entah kenapa pria itu bisa begitu polos. Tidak jauh beda dengan anak kecil yang belum pernah melihat dunia nyata.“Aku mau pakai data kita tentang dia.”“Untuk?” Kali ini giliran dahi Abimana yang berke
“Tentang yang tadi,” Abimana melajukan Porsche Cayman kesayangannya meninggalkan lobi gedung tempat restoran berada.Narendra hanya menaikan sebelah alis. Gestur kecil yang menandakan kalau dia mendengarkan. Sejak tadi sepupunya memilih untuk membicarakan hal lain. Mulai dari kondisi perusahaan, rencana merger yang didengarnya sampai isu bisnis global yang mungkin akan mempengaruhi iklim bisnis negara ini maupun Widjaja Group. Apa pun selain alasan terimakasih yang diucapkan sebelumnya.“Gue minta tolong lo rahasiain apapun yang gue ceritain ini.”Pria itu tidak menjawab. Dia mengubah posisi jadi menghadap Abimana yang tanpa alasan meremas gagang kemudi mobilnya.“Gue juga minta tolong lo bersikap biasa aja depan Rania.”“Apa hubungannya sama Rania?”“Well,” Abimana menjilat bibirnya gelisah, “Rania cerita waktu gue ngajak dia untuk serius.”Heni
“Hah, bakal hujan kurasa hari ini. Tak pernah-pernah aku lihat kau rapi sepagi ini.” Bang Ucok yang baru keluar dari kontrakan petaknya menyapa Narendra yang sedang mengenakan sepatu di teras. Seperti yang dikatakan tetangganya, Narendra memang sudah rapi dengan kemeja putih – kali ini dia tidak lagi mengenakan kemeja murah karena tidak ingin gatal-gatal seperti sebelumnya - dan celana bahan berwarna hitam. Rambutnya yang biasa dibiarkan berantakan juga pagi ini tersisir rapi. “Interview lagi kau?” Sama seperti Narendra, pria itu juga sibuk mengenakan kaos kaki kemudian sepatu. “Iya, Bang. Ini lagi nunggu Badi.” “Di mana?” Entah basa-basi, entah pria itu benar-benar peduli. “Dealer mobil. Kemarin ada lowongan untuk sales.” “Si Badi daftar juga?” Narendra mengangguk, “Iya, Bang. Dia yang ajak aku daftar kemarin.” “Kudoakan kalian berdua lolos, ya. Jangan lupa sarapan sebelum berangkat. Tak bisa mikir nanti
“Jadi kenapa Anda melamar ke perusahaan kami?” Pertanyaan standar yang dijawab Narendra dengan jawaban yang sama standarnya yang sudah dilatihnya bersama Badi semalaman. Penginterview terlihat cukup puas dengan jawaban yang diberikan Narenda karena pertanyaan itu segera disusul dengan pertanyaan lainnya tanpa henti. Pertanyaan yang nyaris serupa dengan yang sudah dilatihnya bersama Badi. “Anda hanya lulusan SMA, benar?” “Benar,” dia menjawab singkat. “Kenapa tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya?” Narendra diam sesaat sambil memilih jawaban yang ingin diberikannya, “Sempat kuliah tapi tidak selesai karena alasan ekonomi.” Jawaban teraman yang sudah disiapkan oleh Badi. “Begitu,” pria itu membalik formulir riwayat hidup Narendra sampai ke bagian riwayat pekerjaan dan keningnya berkerut. Posisinya yang sebelumnya cukup nyaman kali ini mulai terlihat gelisah, “Belum pernah bekerja sebelumnya? Apa yang Anda lakukan selama ini?”
“Beneran, Bos?” Badi bertanya sambil menambahkan banyak kecap ke bakso pesanannya.Narendra yang sedang asyik meracik dengan menambahkan saos, sambal dan kecap itu mengangguk dengan yakin, “Beneran. Tanya aja Kak Raja.”“Nggak mungkin aku berani tanya ke Pak Rajasena,” Badi mencicipi bakso yang sekarang kuahnya tidak lagi bening.Jika Agnia menyukai bakso dengan rasa super pedas maka Badi sebaliknya. Bodyguard itu lebih suka menambahkan banyak kecap agar kuah baksonya terasa manis.“Cek aja ke lokasi kalau gitu. Besok pasti masih kerja orangnya.”“Waah, keajaiban ini! Biasa Bos main pecat aja.”Narendra terkekeh, “Masa?”“Iya. Coba udah berapa kali kejadian Bos mecatin orang selama jadi orang biasa?”“Yaaa….aku pikir ini bukan sepenuhnya kesalahan dia,” pria itu cukup puas dengan rasa baksonya, “Mungkin dia mema
“Dra,” Bang Ucok yang baru pulang kerja menyapa Narendra yang sedang duduk di ruang tamu dengan pintu terbuka.“Bang, tumben jam segini udah balik?” Narendra bergegas bangkit dan berdiri di ambang pintu.“Ke sini kau. Ada yang mau aku bicarakan.”Narendra mengangkat kedua alis. Dengan perasaan bingung campur penasaran pria itu berjalan menuju kontrakan petak tetangganya. Walau ukuran kontrakan mereka sama tetapi kontrakan petak Bang Ucok jauh lebih nyaman daripada kontrakan Narendra ataupun Badi.Kontrakan petak Bang Ucok selalu rapi dengan aroma citrus yang menggantung tipis di udara. Sangat nyaman. Bang Ucok juga sengaja tidak mengisi kontrakannya dengan banyak furnitur. Pria itu memilih furnitur dengan selektif dan mementingkan fungsi. Ini membuat ruangan nyaman juga lega.Hampir setiap sudut ruangan dihiasi tanaman. Mulai dari tanaman yang umum seperti sanseviera sampai tanaman yang belum
“Lo nggak harus izin sama gue,” itu komentar pertama Abimana setelah Narendra membeberkan dengan detail rencananya.“Aku tidak izin, aku minta kamu untuk bantu rencana ini.”“In case lo lupa, lo itu atasan gue. Pastilah gue bantuin. Mau lo suruh kayang juga gue usahain.”“Tidak lupa. Tapi ini di luar job desc kamu. Selain itu…” berat mengakui ini, “Aku butuh pandangan dari seseorang yang netral.”“Dalam hal ini gue sama sekali nggak netral, Dra. Gue sama biasnya dengan lo.”Sejenak jening menyelimuti dua pria yang terikat darah itu.“Gimana kalau lo tanya sama Kak Raja?”“Udah,” Narendra menjawab, “Reaksi Kak Raja buat aku ragu.”“Kenapa?” Walau hanya melalui telepon, rasa penasaran Abimana terdengar jelas.“Kak Raja setuju.”“Bagus, dong! Terus kenapa l