Hari dengan cepat berganti tanpa terasa. Senin berubah menjadi Selasa dan dalam sekejap mata sudah menjadi Jumat. Sebagian besar budak korporat akan merasa bahagia karena itu artinya akhir pekan akan segera datang. Ada jeda untuk melupakan pekerjaan dan tanggung jawab sampai kembali bertemu di hari Senin.
“Bang Ucok ada ngasih tahu kalian hari ini dia mau ngapain?”
Badi dan Narendra yang sebelumnya asyik mengobrol di sofa ruang tengah kontrakan petak Narendra sontak menggeleng untuk menjawab pertanyaan Agnia yang baru bergabung bersama mereka.
“Kerja, kan? Mana pernah Bang Ucok bolos.”
Tadi pagi Badi memang melihat Bang Ucok berangkat bekerja seperti biasa. Dia sempat menyapa dan mengobrol sejenak. Tapi dari omongan itu, Bang Ucok tidak membahas rencana apa pun. Lagi pula apa istimewanya hari Jumat ini?
“Setelah kerja dia nggak ada bilang punya rencana atau apa?”
Pertanyaan Agnia ini membuat rasa penasaran
“Hah! Rapi kali kalian. Mau ke mana? Masa kencan pun si Badi masih kau bawa?”Ketika memasuki halaman kontrakan petak, Bang Ucok langsung bertanya dengan suara khasnya yang mengelegar.“Kita bukan mau kencan, Bang,” Narendra menjawab sambil memberikan kode ke arah Badi dan Agnia. Meminta mereka untuk merayu pria itu.“Bang Ucok nggak tahu kalau hari ini Amelia berangkat?” Agnia memulai pembicaraan ketika pria berbadan besar itu sudah duduk di teras kontrakan petaknya.Bang Ucok yang akan melepaskan sepatu langsung membeku. Tentu saja dia tahu. Amelia sudah memberitahukannya. Bahkan gadis itu seakan sengaja membahas tentang keberangkatannya setiap Bang Ucok berada cukup dekat untuk mendengar suaranya. Sepertinya Amelia benar-benar ingin Bang Ucok tahu kapan dia akan meninggalkan negara ini.“Tahunya aku,” dia menjawab pelan.Ada pahit yang tiba-tiba hadir di mulutnya. Dia tidak ingin berada di t
“Yakinnya kau ini?! Kalau dia sudah berangkat macam mana? Percumanya ini!”Sejak mereka meluncur menuju bandara, pria itu tidak berhenti mengeluh. Bukan mengeluh, pria itu seakan ingin menggunakan seluruh kemampuan yang dimilikinya untuk menggagalkan perjalanan mereka ke bandara.Dia tidak siap untuk menghadapi ketakutannya sendiri.Semakin mendekat ke bandara, semakin banyak ketakutan yang hadir. Takut bertemu dengan Amelia. Takut jika ternyata dia telat dan gadis itu sudah berangkat sehingga mereka tidak bertemu. Tetapi jika bertemu dia juga bingung harus berucap apa. Kata-kata perpisahan? Hanya itu? Jika kata-kata yang lain…apa yang harus diucapkannya?“Jangan terlalu dipikirkan, Bang,” Narendra tiba-tiba berujar, “Nanti dihadapi saja.”Deg! Kalimat pendek dari Narendra sukses menamparnya.“Belum tentu yang ada dipikiran kita akan menjadi kenyataan.”“Bijak kali omongan k
“”Amel…” Bang Ucok menepuk bahu seorang gadis dengan perawatan mirip dengan Amelia, “Mak…maaf. Salah orangnya aku,” dengan cepat dia meminta maaf ketika menyadari kalau gadis yang disapanya bukan Amelia.Dia terus melakukan itu selama beberapa kali. Mencari seorang di tengah kerumunan tidak mudah. Sama sekali tidak mudah. Dia tidak memiliki pilihan lain selain menghampiri dan menyapa seluruh gadis yang memiliki perawakan serupa dengan Amelia.Sejak tadi dia masih terus melakukan itu. Sejauh ini dia sama sekali belum beruntung. Tidak seorang pun yang disapanya adalah Amelia.“Macam mana lah ini!” Pria itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil memutar pandangan.Agnia dan Narendra terlihat sama sibuknya dengan Bang Ucok. Mereka berlari ke sana kemari dan menyapa beberapa gadis dengan harapan gadis itu adalah Amelia. Sama seperti Bang Ucok, mereka juga belum beruntung. Di mana Amelia?!
“Tadi siapa, Bang?Narendra tiba-tiba sudah berdiri di samping Bang Ucok yang menatap ragu ponsel dalam genggamannya. Ketika orang tua Amelia meninggalkannya, pria itu terburu mengeluarkan ponsel untuk menghubungi nomor Amelia yang begitu dihapalnya. Tetapi keraguan membuatnya berujung hanya menatap ponsel dalam genggamannya.“Ha? Siapa?” Pria itu menjawab tanpa sempat berpikir.“Tadi Abang berbicara dengan siapa?” Narendra kembali mengulang pertanyannya.“Oh, itu! Mereka orang tuanya Amelia.”“Lalu?”“Amelia sudah check in katanya. Orang tuanya nyuruh aku telepon dia. Siapa tahu dia masih bisa keluar sebentar.”“Sudah Abang telepon?” Narendra bertanya sambil mengedarkan pandangan untuk mencari keberadaan Agnia.Bang Ucok menggeleng, “Tadinya mau kutelepon tapi tak jadi.”“Takut?”“Bukan karena taku
“Bos, aku langsung, ya?” Badi membuka pintu pagar kontrakan petak mereka.“Tumben. Masih pagi, lho,” Agnia berkomentar sambil tertawa kecil, “Mau teleponan sama Antari, ya? Salam, ya!” gadis itumbai ke arah Badi yang berjalan menuju kontrakan petaknya.“Memangnya sekarang jam berapa?” Narendra mempererat genggamannya.“Jam sepuluh, sih. Udah lumayan malam,” Agnia menguap, “Begitu lihat kontrakan baru kerasa kalau aku ternyata ngantuk banget.”“Kamu sudah ngantuk?” Pria itu mengusap lembut rambut kekasihnya, “Mau tidur?”“Mandi terus tidur kayaknya. Capek banget,” gadis itu berujar manja.“Mau aku temani?”“Apa? Mandi? Jangan macam-macam, ya, Rendra!” Agnia tergelak.“Maksudku, temani kamu tidur, Nia. Aku sama sekali tidak berpikiran ke sana, ya.”Tawa Agnia semakin pecah karena e
“Pagi,”Narendra terbangun dengan tangan kiri pegal dan badan kaku karena posisi tidurnya tidak nyaman. Tetapi itu semua menghilang ketika mendengar sapaan Agnia ditemani dengan seulas senyum manis.“Kamu udah bangun?” Narendra bertanya parau sambil menatap sekeliling kamar dengan bingung.Seingatnya semalam dia hanya ingin berbaring sebentar di samping kekasihnya sebelum dia kembali ke kontrakan petak dan menyelesaikan beberapa pekerjaan yang menumpuk. Tetapi sepertinya tanpa sadar dia jatuh tertidur. Entah karena terlalu lelah atau karena keberadaan Agnia selalu menghadirkan ketenangan yang sulit untuk dijelaskan.“Udah dari tadi. Aku bahkan udah sempat buatin kita roti bakar, lho,” Agnia mengacak rambut Narendra, “Bangun. Kamu mau mandi atau langsung sarapan?”Narendra menguap lebar, “Aku masih ngantuk. Sekarang jam berapa?”“Hampir jam delapan. Kamu ada janji?”
“Tumben kamu datang pagi banget? Mau antar Tari kerja?” Badi tertawa canggung ketika bapak Antari menyapanya. Pria paruh baya itu sedang asyik mengurus tanaman dan burung-burung hias peliharaannya. Kali ini pria itu ditemani dengan sepiring pisang goreng hangat dan kopi hitam. “Kamu udah sarapan? Kalau belum sekalian aja,” kembali pria itu menyapa Badi dengan ramah, “Tapi, ya, cuma ada pisang goreng. Kamu suka, kan? Enak banget, ini, pisang kepok. Manis.” “Boleh, Pak. Kebetulan saya belum sarapan,” dia menjawab dengan kikuk. “Ya udah, ayo masuk,” pria baruh baya itu mencuci tangan lalu mengibaskan sambil berjalan masuk ke rumah, “Buuu… Ini ada Badi. Katanya mau ikut sarapan!” “Lho, Badi? Pagi banget? Ah, janjian sama Tari?” Lastri tergopoh berjalan dari dapur menuju ruang tengah ketika mendengar nama Badi disebutkan oleh suaminya, “Kamu ngopi? Kalau ngopi biar Ibu buatin. Mau apa?” “Kopi boleh, Bu,” lagi-lagi dia menjawab dengan kikuk.
“Agnia,” Kenny menghampiri Agnia yang sedang duduk di sudut ruangan bersama Reizi dan Berlian. Mereka bertiga sedang membicarakan salah satu adegan sebelum kegiatan reading dimulai.Berbeda dengan Agnia yang masih terlihat rileks walau sempat terkejut ketika namanya dipanggil, Berlian tiba-tiba kaku. Hal yang selalu terjadi setiap kali gadis itu berada di sekitar Kenny. Separah itu trauma yang dialami olehnya.“Iya, Bang?” Agnia bertanya sambil menutup script-nya.“Bisa kita bicara sebentar?”“Oh, boleh,” Agnia bangkit dari duduknya.Setelah berpamitan dengan kedua lawan mainnya, gadis itu langsung mengikuti Kennya keluar ruangan. Sepanjang perjalanan dia merasa kalau seseorang memperhatikannya. Dugaannya benar, ketika dia berbalik, dia melihat Berlihat memperhatikannya dengan pandangan yang…aneh. Ada apa?!“Aku udah ngobrol sama Berlian dan Reizi berapa