Keheningan membentang di kala mereka semua melihat Bara datang. Pun posisi Bara saat ini masih dalam posisi memeluk erat tubuh mungil Bintang. Aura ketegasan membentang membuat seluruh orang di sana merinding ketakutan akan melihat sosok Bara. “B-Bara?” Bintang bergumam pelan, mendongakkan kepalanya, menatap Bara yang masih memeluknya. Dia bisa melihat jelas tatapan mata Bara begitu tajam, dan menusuk menunjukkan amarah yang berkobar. Bara tak mengindahkan panggilan Bintang. Pria rampan itu membenarkan posisi Bintang, berdiri tegak, lalu tatapannya menatap Wilona dan Ratih yang sudah tak lagi berkelahi. Dua wanita itu menunduk di hadapan Bara. “Kalian berdua ikut saya ke ruangan!” seru Bara dengan nada geraman, penuh emosi. Wilona dan Ratih kompak menganggukkan kepala mereka. Bara mengalihkan pandangannya pada seluruh karyawan. “Untuk kalian semua yang menyorakan Wilona dan Ratih, dan tidak membantu melerai perkelahian, maka gaji kalian akan dipotong lima puluh persen. Setelah in
Tatapan mata Bintang, tak lepas menatap Bara dengan penuh arti khusus. Jutaan pertanyaan muncul di kepala Bintang, tapi dia masih tetap diam seribu bahasa. Dia masih dalam keadaan membiarkan Bara memegang lengannya, dan sesekali dia mengembuskan napas pelan, berusaha mencari oksigen, karena kepalanya saat ini pusing luar biasa. “Bara, apa yang udah kamu lakukan?” tanya Bintang pelan, berbicara dengan bahasa non formal. Ya, dia ingin meminta penjelasan pada Bara, dan lidahnya tak bisa jika bicara non formal. “Kenapa kamu hanya diam, ketika ada yang merendahkanmu? Harusnya yang berkelahi dengan Ratih adalah dirimu, bukan malah Wilona!” seru Bara keras, tak mengindahkan pertanyaan Bintang. Setelah fakta terkuak alasan pertengkaran antara Wilona dan Ratih, detik itu juga Bara langsung emosi, karena seharusnya yang bertengkar adalah Bintang dan Ratih. Bukan Wilona dan Ratih. “Apa yang kamu harapkan? Kamu ingin aku mencakar wajah Ratih saat dia merendahkanku? Atau kamu ingin aku menjam
Bintang berdiri di depan lemari pakaiannya, mengacak-acak isi lemari yang penuh dengan pakaian sehari-hari. Dia merasa bingung dan sedikit panik. Malam ini adalah pesta yang harus dia hadiri bersama Mario. Namun, dia tidak memiliki satu pun gaun yang layak untuk acara tersebut. Hanya ada beberapa pakaian formal kantor, dan satu atau dua dress sederhana yang sudah usang.“Bagaimana ini?” gumam Bintang pada diri sendiri, sambil menghela napas panjang. “Aku nggak bisa pergi ke pesta dengan penampilan seperti ini. Aku nggak mau mempermalukan Mario.” Bintang jarang sekali berbelanja. Sejak memiliki Bima, uangnya selalu dia fokuskan untuk putra kesayangannya. Pakaian yang dia miliki lebih banyak pakaian kantor. Adapun beberapa dress, tapi sepertinya tidak layak untuk hadir di pesta para pengusaha. Bintang rasanya tak ingin hadir, karena dia tak ingin mempermalukan Mario. Namun, dia sudah berjanji pada Mario bahwa dirinya akan menemani pria itu. Selama ini, Mario banyak membantunya. Dia ta
Pesta diadakan di sebuah hotel ternama di Kawasan Jakarta Pusat. Pesta yang diatur di lantai paling atas dengan nuansa ada kolam di tengah sebagai penghias. Suasana hotel mewah dipenuhi dengan kemewahan dan kilauan lampu yang berkilau. Pesta megah yang diadakan oleh seorang pengusaha ternama itu menarik perhatian banyak orang. Bintang berdiri di samping Mario, yang tampak percaya diri dalam setelan jasnya yang rapi. Meskipun dia merasa terhormat diundang ke acara ini, Bintang tidak bisa menahan rasa malu yang menggelayuti hatinya. Tentu dia bisa hadir di pesta mewah ini karena Mario. Jika bukan karena Mario, dia tak akan mungkin ada di pesta ini. “Jangan khawatir, Bintang. Kamu terlihat luar biasa,” kata Mario, memberikan semangat.Bintang hanya tersenyum, meskipun hatinya berdebar-debar. Dia mengenakan gaun gold yang indah, hasil bingkisan dari Mario, tetapi merasa tidak pantas berada di antara orang-orang kaya dan berpengaruh.Saat mereka melangkah, Bintang melihat sekeliling. Par
Bara tak henti memagut bibir Bintang dengan liar, meledakan semua rasa dalam diri. Otaknya tak bisa berfungsi dengan baik di kala ciuman itu semakin panas. Sementara Bintang yang tadi berontak mulai lemah tak bertenaga di kala ciuman itu semakin menggebu. Bara dan Bintang seperti terjebak di dalam lingkaran api yang membuat mereka terjerat. Mereka tak bisa lepas. Sekeras apa pun mereka berlari, kenangan yang mereka miliki terlalu dalam, hingga tak bisa sama sekali teratasi. Tiba-tiba, kepingan memori Bara tentang luka yang diberikan Bintang muncul. Detik itu juga Bara melepaskan ciuman itu, dan menjauh dari Bintang beberapa langkah. Pun sama halnya dengan Bintang yang menjauh dari Bara. “Apa yang sudah kamu lakukan, Bara?!” seru Bintang, menahan air matanya. Bara terdiam, masih belum bisa menjawab apa pun perkataan Bintang. Bintang mati-matian menahan air matanya agar tidak tumpah. “Kamu udah nggak waras! Udah aku berkali-kali bilang sama kamu, lupain aku! Jangan pernah—” “Kamu
Seluruh tamu undangan dibuat terkejut melihat dua pria terjun ke kolam membantu satu wanita. Dua pria tampan itu bahkan secara terang-terangan menyelamatkan Bintang—yang menjadi korban. Mereka tampak sangat panik—dan yang pertama kali meraih tubuh Bintang adalah Bara. “Biarin Bintang sama gue!” seru Mario kesal melihat Bara memeluk tubuh Bintang. Bintang terbatuk-batuk, berusaha mengambil napas. “Lo nggak lihat, Bintang batuk kayak gini? Lo dateng ke sini sama Bintang, tapi jagain dia aja lo nggak bisa!” seru Bara, dengan tatapan tajam menatap Mario. Mario kalah telak, tak bisa merespon ucapan Bara. Sangat wajar jika Bara menyalahkan dirinya. Sebab, dia merasa sangat ceroboh sampai tak becus dalam menjaga Bintang. Hal ini yang membuat Mario juga marah pada dirinya. Tanpa berkata apa pun lagi, Bara keluar dari kolam renang seraya memapah tubuh Bintang dengan gaya bridal. Kehabisan energy yang membuat Bintang tak berdaya di kala Bara memapahnya. Bahkan wanita cantik itu tak memedul
Lidah Bintang menjadi kelu mendadak di kala mendengar pertanyaan Bara. Aura wajahnya menunjukkan kepanikan nyata. Suara yang ingin dia keluarkan seakan tertahan di tenggorokan, hingga membuatnya tak bisa sama sekali mengeluarkan suara. Otaknya blank, dan wajahnya sekarang memucat. Pertanyaan Bara bagaikan pisau yang menikam jantungnya. Bima mengerjap beberapa kali mendengar pertanyaan Bara. “Bima panggil Om Mario dengan sebutan Om, karena Om Mario adalah teman Mama, bukan Papa Bima.” Seketika jawaban Bima membuat raut wajah Bara berubah. Sepasang iris matanya tajam menunjukkan aura emosi tertahan. Gelombang emosi, marah, rasa ingin tahu, penasaran mendera telah melebur menjadi satu. “Om Mario bukan papamu?” ulang Bara lagi, mendesak ingin tahu. Bima mengangguk, dengan raut wajah polos. “Iya, Om. Om Mario bukan Papa Bima. Mama bilang kalau Papa ada di—” “Bima, masuk ke dalam. Ini sudah malam. Angin malam kencang bisa membuatmu sakit,” potong Bintang dengan raut wajah panik. Bima
Bintang terbaring di ranjangnya, matanya menatap langit-langit kamar yang gelap. Pikiran-pikirannya melayang jauh ke masa lalu, saat dia dan Bara masih bersama. Kenangan-kenangan indah itu kini terasa seperti bayangan samar, terhalang oleh kabut kesedihan yang menyelimuti hatinya. Wanita itu teringat tawa Bara, senyumnya yang hangat, dan semua momen berharga yang mereka lalui bersama. Namun, semua itu kini hanya tinggal kenangan.“Bintang, apa yang kamu pikirkan?” gerutu Bintang kesal, karena dirinya malah mengingat kenangan bersama Bara. Bintang mengatur napasnya, meneguhkan diri bahwa hubungannya dengan Bara sudah berakhir. Kisahnya dan Bara telah usai, tak perlu diingat lagi. Dia harus ingat bahwa Bara telah bahagia dengan kehidupannya. Apa yang terjadi malam ini, hanya permainan takdir. Bintang datang ke pesta untuk menemani Mario, tapi takdir kerap mengajaknya bercanda. Wanita cantik itu bertemu dengan Bara di pesta, hingga kejadian di mana Bintang tercebur di kolam akibat ulah
Matahari menyinari bumi begitu terik dan indah. Cahayanya menembus sela-sela jendela. Bintang sudah terbangun di pagi hari, menatap ke arah jendela. Tubuhnya masih lemah di ranjang. Luka bakar yang dia derita cukup parah membuatnya masih belum bisa untuk pergi dari ruang rawatnya. “Bu, apa ibu ingin makan sesuatu?” tanya sang perawat yang kebetulan ada di sana. Sekitar lima menit lalu, Bara keluar untuk menjawab telepon. Sementara Bima dibawa oleh Mbok Inem berjemur di taman. Hanya ada perawat yang menemani Bintang, karena memang Bintang yang meminta Mbok Inem untuk membawa Bima berjemur di taman. Bintang menggelengkan kepalanya pelan. “Saya masih kenyang. Tadi sudah sarapan cukup banyak. Terima kasih sudah nawarin.” Tiba-tiba, pintu ruang rawat terbuka. Tatapan Bintang teralih pada Wilona yang ternyata datang. Ya, tentu dia sama sekali tak menyangka Wilona datang ke rumah sakit. Kejadian yang menimpa dirinya, membuatnya sempat hilang kontak dengan rekan kerja, karena kondisi pon
Bintang menatap Della yang kini meninggalkan ruang rawatnya dibantu oleh perawat yang sudah dipanggil. Permintaan maaf telah lolos di bibir Della. Sebuah perkataan yang tak pernah Bintang sangka akan dia dengar. Selama ini, dia sangat mengenal sifat ibu Bara itu, tetapi ternyata pada akhirnya ibu Bara menyadari kejahatan yang dilakukan. Bintang tak menaruh dendam sedikit pun pada Della. Bahkan meski dulu ibu Bara itu telah memisahkannya dengan Bara, tetap tidak membuat Bintang menaruh dendam. Kecewa ada, karena Bintang juga manusia biasa, tetapi untuk membenci, dia merasa sangat tidak pantas. Sebab, bagaimanapun ibu Bara hanya ingin yang terbaik untuk Bara. Alasan utama Bintang tak menaruh dendam, karena dulu dia menyadari akan posisinya. Bara bagaikan langit, sedangkan Bintang hanya bumi. Terlalu perbedaan yang sangat jauh. Oleh karena itu, dia berusaha mengerti bahwa memang Della menginginkan yang terbaik untuk Bara—meski dengan cara yang sangat salah. “Harusnya tadi kamu kasih t
“Mbok, di mana Bima?” tanya Bintang pada Mbok Inem yang menyuapinya makan. Tadi, beberapa menit lalu perawat mengantarkan makanan. Itu yang membuat Bintang sekarang sedang makan siang. Namun, dia dibantu oleh Mbok Inem, karena kondisinya masih lemah. “Den Bima tadi ke mini market membeli ice cream bersama Pak Galih,” jawab Mbok Inem sopan memberi tahu. Dia begitu cekatan menjaga Bintang.Bintang menganggukkan kepalanya pelan. “Lalu, di mana Bara? Aku dari tadi nggak lihat dia. Apa dia bertemu Andi?” tanyanya ingin tahu. Sekitar sepuluh menit lalu, Bintang baru saja bangun tidur. Namun, di kala dia membuka mata hanya ada Mbok Inem yang ada di dekatnya. Bima tidak ada. Begitu juga dengan Bara yang tidak ada. “Tadi Pak Bara terima telepon, Bu. Tapi karena sampai sekarang Pak Bara belum kembali, mungkin Pak Bara menemui dokter,” jawab Mbok Inem sopan. Bintang menganggukkan kepalanya. “Bara selalu ketemu dokter. Dia selalu cemas sama keadaanku, Mbok. Padahal aku baik-baik aja. Mungkin
Bara dan Bintang hanyut akan ciuman yang mereka ciptakan, sampai mereka benar-benar tak sadar bahwa Mario sejak tadi menatap mereka. Tentu adegan di mana Bara dan Bintang berciuman, telah membuat Mario tampak sangat hancur. Namun, meski tampak hancur, Mario nyatanya tetap diam tak bersuara sedikit pun. Perlahan, Mario memilih untuk meninggalkan tempat di mana dia berdiri. Pria berperawakan tampan itu menyadari bahwa dirinya hanya mengganggu Bara dan Bintang. Pergi adalah cara yang terbaik. Meski hatinya sekarang benar-benar kacau. “Pak Mario?” Andi yang kebetulan ada di depan ruang rawat Bintang, menyapa Mario. Mario menghentikan langkahnya, menatap Andi dengan tatapan tenang. “Saya ke sini ingin menjenguk Bintang. Saya baru saja mendapatkan kabar musibah yang dialami Bintang,” jawabnya dengan nada datar. Andi mengangguk sopan. “Baik, Pak. Kebetulan Bu Bintang sudah siuman. Bu Bintang sudah melewati masa kritisnya. Anda ingin bertemu dengan Bu Bintang sekarang?” tanyanya hati-hati
Bintang menatap hangat Bima yang kini terlelap di pelukan Mbok Inem. Putra kecilnya itu tadi sempat terlelap di pelukannya, tapi karena kondisi tubuhnya diperban menyulitkannya untuk memeluk erat tubuh Bima. Hal itu yang membuat Bima sekarang digendong oleh Mbok Inem. “Den Bima anak yang pintar dan kuat,” kata Mbok Inem seraya menimang tubuh Bima. Bintang tersenyum lembut. “Aku benar-benar beruntung memiliki putra yang pintar dan kuat seperti Bima, Mbok. Aku yakin di masa depan nanti Bima akan menjadi sosok pria yang hebat.” Mbok Inem mengangguk setuju. “Saya juga berpikir demikian, Bu. Perpaduan antara ibu dan Pak Bara sangat sempurna.” Bintang kembali tersenyum menanggapi ucapan Mbok Inem. “Bima tidur?” Bara masuk ke dalam ruang rawat Bintang, menatap Bima yang ada digendongan Mbok Inem. Senyuman di wajahnya terlukis, padahal tadi dia meminta Bima untuk menjaga Bintang, tapi malah putra kecilnya itu tertidur pulas. Mbok Inem mengangguk sopan. “Iya, Pak. Den Bima tidur.” Bara
“Mama! Mama!” Bima berlari masuk ke dalam ruang rawat Bintang, dan langsung dibantu Bara duduk di ranhang Bintang, memeluk ibunya itu. Tampak jelas kebahagiaan di wajah bocah laki-laki itu kala memeluk ibunya. Bintang tersenyum sambil mengusap punggung Bima. “Anak Mama yang tampan, Mama kangen banget!” bisiknya lembut. Bima mengurai pelukan itu. “Bima juga kangen sekali sama Mama! Bima takut Mama tinggalin Bima.” Bintang membelai lembut pipi bulat Bima. “Mama nggak akan tinggalin Bima. Mama janji akan selalu temani Bima.” Bima mengangguk, tetapi sedikit muram. “Papa juga bilang kayak gitu. Papa bilang kalau Mama nggak akan mungkin tinggalin Bima. Soalnya Mama udah janji selalu temenin Bima. Tapi, kemarin Mama nggak sadar. Mama juga punya banyak luka. Jadi, Bima takut.” “Mama nggak apa-apa. Luka Mama akan segera sembuh,” jawab Bintang hangat. “Bu, saya senang sekali ibu sudah siuman.” Mbok Inem yang ada di sana mendekat, menatap hangat Bintang. Bintang mengalihkan pandangannya,
Perlahan mata Bintang mulai bergerak, dan pelupuk matanya terbuka secara pelan. Keningnya sedikit mengerut di kala cahaya lampu menyorot ke matanya. Suara hangat dan tenang menyerukan namanya begitu terdengar di indra pendengarannya. Hal tersebut membuatnya terpaku beberapa saat, menyadari yang memanggilnya adalah Bara. “B-Bara,” panggil Bintang dengan susah payah. Bara tersenyum haru melihat Bintang sudah membuka mata. “Terima kasih sudah membuka matamu, Bintang.” “A-aku d-di mana?” tanya Bintang lemah, seakan dirinya tak memiliki energi untuk bicara dengan Bara. “Tunggu sebentar. Aku panggilin dokter. Kamu jangan banyak gerak.” Bara mulai khawatir, dan memutuskan untuk menekan tombol darurat guna memanggil tim medis. Tak selang lama, dokter datang bersama dengan perawat. Sang dokter yang melihat Bintang sudah membuka mata, langsung segera memeriksa Bintang. Pun tentu Bara yang ada di sana—sedikit menjauh agar sang dokter bisa leluasa dalam memeriksa keadaan Bintang. Bara tampa
Bara menatap Galih yang melangkah menghampirinya. Pria tampan itu melihat jelas aura kemarahan di wajah sang ayah. Hal itu menandakan bahwa memang ada yang membuat ayahnya itu marah, dan tentu dia tahu akar permasalahan yang membuat ayahnya itu murka. “Pa,” sapa Bara kala Galih tiba di hadapannya. “Bagaimana keadaan Bintang?” tanya Galih yang langsung menanyakan Bintang. Bara terdiam sebentar, dan mengembuskan napas kasar. “Bintang masih belum siuman. Aku harap setelah ini Bintang bisa segera siuman. Terlalu banyak penderitaan yang Bintang alami, setelah dia siuman aku berjanji akan memperbaiki segala kekacauan ini.” Galih menatap dingin, dan tegas Bara. “Beri tahu Papa, kenapa kamu lebih menyelamatkan mamamu daripada Bintang? Apa Bintang yang meminta semua ini?” tanyanya yang sudah menduga, tetapi demi memastikan dia harus bertanya agar tak salah. Bara memejamkan mata singkat, mendengar pertanyaan ayahnya. “Ya, ini semua atas permintaan Bintang. Saat gudang kebakaran, dia dan ma
Bara sudah cukup lega melihat kedatangan Mbok Inem yang dijemput oleh Andi. Paling tidak, ada yang membantunya untuk menjaga Bima dan menenangkan Bima. Selama ini Mbok Inem selalu menemani Bima. Itu yang membuatnya cukup lega, paling tidak hadirnya Mbok Inem bisa membuat Bima tak selalu berfokus pada keadaan Bintang. Bara kini berdiri di depan ruang rawat Bintang. Terdiam seraya memejamkan mata singkat. Pikirannya sangat kacau, tak sanggup untuk berpikir jernih. Dia ingin bertindak, tetapi pikirannya masih berantakan akibat mendengar ucapan sang dokter. “Pak Bara,” panggil Andi cepat seraya melangkah menghampiri Bara. Bara mengalihkan pandangannya, menatap Andi yang wajahnya babak belur mendekat ke arahnya. “Apa yang ingin kamu laporkan?” tanyanya sudah menduga akan ada yang dilaporkan oleh asisten pribadinya itu. Saat ini Bara hanya seorang diri saja di depan ruang rawat Bintang. Bima diajak Mbok Inem untuk ke kantin rumah sakit, karena Bima sejak tadi belum makan. Sementara ayah