Bintang terbaring di ranjangnya, matanya menatap langit-langit kamar yang gelap. Pikiran-pikirannya melayang jauh ke masa lalu, saat dia dan Bara masih bersama. Kenangan-kenangan indah itu kini terasa seperti bayangan samar, terhalang oleh kabut kesedihan yang menyelimuti hatinya. Wanita itu teringat tawa Bara, senyumnya yang hangat, dan semua momen berharga yang mereka lalui bersama. Namun, semua itu kini hanya tinggal kenangan.“Bintang, apa yang kamu pikirkan?” gerutu Bintang kesal, karena dirinya malah mengingat kenangan bersama Bara. Bintang mengatur napasnya, meneguhkan diri bahwa hubungannya dengan Bara sudah berakhir. Kisahnya dan Bara telah usai, tak perlu diingat lagi. Dia harus ingat bahwa Bara telah bahagia dengan kehidupannya. Apa yang terjadi malam ini, hanya permainan takdir. Bintang datang ke pesta untuk menemani Mario, tapi takdir kerap mengajaknya bercanda. Wanita cantik itu bertemu dengan Bara di pesta, hingga kejadian di mana Bintang tercebur di kolam akibat ulah
Aura wajah menunjukkan ketegangan terlihat jelas di wajah Bara. Pria tampan itu berdiri di ruang kerjanya yang ada di apartemen pribadinya. Dia tak datang ke kantor, tapi sudah mendapatkan laporan dari HRD-nya bahwa Bintang akan datang terlambat, karena putra Bintang sedang sakit. Mendengar laporan itu, membuat hati Bara menjadi tidak tenang. Apalagi kondisinya, dia belum mendapatkan informasi yang dia butuhkan tentang putra Bintang. Hal itu membuat Bara tak nyaman sama sekali. Kepalanya selalu berputar mengingat perkataan Bintang, yang mengatakan bahwa Bima adalah putra Mario. Namun, ternyata fakta tak seperti itu. Anak kecil tak mungkin berbohong. Terlebih kondisi secara spontan. Bara mendengar jelas bahwa Bima—putra Bintang itu—menjawab pertanyaannya, mengatakan secara jelas bahwa Mario bukan ayah Bima. Itu yang membuat Bara tak tenang, bahkan semalaman ini tak bisa tidur. Hati Bara tergerak seakan memaksanya ingin mendatangi apartemen Bintang. Dia ingin memberondong banyak pert
Datang ke kantor di siang hari, membuat Bintang menjadi pusat perhatian. Padahal, dia sudah meminta izin untuk datang di siang hari, tapi ternyata tetap membuatnya menjadi pusat perhatian para karyawan—seakan dirinya ini istimewa. Fakta yang ada tidak sama sekali dirinya diistimewakan. Dia izin karena ada alasan yaitu anaknya sakit. Suara bisikan terdengar di telinga Bintang. Banyak karyawan yang menganggap dirinya ini mendapatkan hak istimewa. Pun bahkan tatapan benci terlihat jelas. Bagaimana tidak? Kejadian Wilona tempo hari yang bertengkar dengan divisi lain, karena membela Bintang, membuat para karyawan lain juga turut mendapatkan hukuman dari Bara. Bntang tak memiliki kuasa untuk mencegah Bara. Wanita cantik itu sebenarnya tak ingin Bara memberikan hukuman berat pada karyawan Gunaraya Group, tetapi Bintang mengenal sifat keras Bara. Tidak, bahkan sekarang sifat Bara jauh lebih keras dan arogan daripada yang dulu. Hal tersebut yang membuatnya hanya diam, tak bisa memberikan pen
Kaki Bintang terasa lemas di kala tiba di ruang kerja Bara. Tampak jelas kepanikan membentang di wajah wanita itu. Tak bisa menampik bahwa rasa takut mendera dalam dirinya, mengingat tentang tadi malam. Namun, dia berharap bahwa Bara tak memperpanjang tentang tadi malam. Bintang mengatur napasnya, berusaha untuk bersikap tenang, walau jujur saja hatinya merasakan takut. Wanita itu berharap tujuan Bara memanggilnya, karena pekerjaan, bukan tentang ucapan Bima tadi malam. “Ada hal yang ingin aku tanyakan padamu.” Bara duduk di kursi kerjanya, menatap dingin Bintang. Tatapan pria tampan itu penuh rasa intimidasi yang kuat, hingga membuat tubuh Bintang merinding ketakutan. “Apa yang ingin Anda tanyakan, Pak?” tanya Bintang, pelan, dan sangat formal.Bara tak langsung mengeluarkan suara. Pria tampan itu mengawasi Bintang, dengan tatapan saksama dan lekat. “Tadi malam, kamu tercebur ke dalam kolam renang, karena Nadia, kan?” tanyanya menduga. Bara tampak sengaja membahas tentang kejadi
Bintang melangkah keluar dari gedung kantornya, melihat jam di ponselnya yang menunjukkan waktu sudah lewat dari jam pulang. Wanita cantik itu menghela napas, merasa lelah dengan segala hal yang dia alami tadi. Pikirannya sekarang benar-benar sangat kacau. Bintang memutuskan pulang dalam keadaan Bara masih di ruang kerja. Dia bahkan tak berpamitan, karena merasa canggung akibat kejadian tadi. Dia merasa sudah tidak waras, karena telah melakukan hal gila tadi. Terbawa suasana membuat otaknya tidak berfungsi dengan baik. Saat Bintang hendak menuju halte busway, entah kenapa hati dan pikirannya terasa sangat melelahkan. Dia memutuskan untuk menunggu di depan gedung—di mana taksi biasanya lewat. Hati dan pikiran yang kacau, membuatnya ingin tenang, dan tak bertemu banyak orang. Sementara jika dirinya menggunakan busway, maka dia harus siap dengan banyak orang yang berada di dalam bus. Tak selang lama, taksi melewati Bintang. Detik itu juga, Bintang menghentikan taksi, lalu di kala taks
Suara dering ponsel membuat Bintang yang sempat memejamkan mata, langsung membuka kedua matanya. Wanita cantik itu merogoh ponselnya dari dalam tas, dan melihat nomor Bara terpampang di layar di sana. “Ck! Ada apa pria itu menghubungiku?!” gerutu Bintang kesal. Bintang tak langsung menjawab panggilan telepon dari Bara. Dia berpikir sejenak, karena merasa ragu. Hatinya masih bergemuruh tak menentu mengingat kejadian tadi siang. Andai saja dia menolak ciuman itu, maka dia tak akan menjadi seperti orang bodoh. “Apa yang harus aku lakukan?” gerutu Bintang lagi. Tiba-tiba, sang sopir taksi menginjak rem mendadak membuat ponsel Bintang terjatuh ke bawah, dan tanpa disengaja Bintang telah menggeser tombol hijau—yang mana panggilan sudah terhubung. Namun, Bintang tidak menyadari hal itu. “Ada apa, Pak?” tanya Bintang pada sang sopir taksi. Sang sopir taksi tersenyum licik, tanpa merespon ucapan Bintang. Kening Bintang mengerut dalam di kala sang sopir taksi tak memberikan respon padany
Bara membawa Bintang ke apartemennya. Pria tampan itu memiliki alasan sendiri, kenapa dirinya membawa Bintang ke apartemennya. Alasan yang pasti adalah dia ingin memastikan Bintang aman, tidak ada penjahat lagi yang berusaha mendekat. Satu-satunya cara memastikan yaitu tetap membuat wanita itu berada di dekatnya. Polisi sudah menangkap penjahat itu. Beruntung, Andi datang tepat waktu di kala mendapatkan perintah dari Bara. Hal itu yang membuat Bara tidak perlu menunggu lama di lokasi kejadian. Tentu dia tak ingin berada di tempat itu berlama-lama, karena pasti meninggalkan trauma untuk Bintang. “Pakai ini. Andi baru bisa kirim baju baru besok. Sementara kamu pakai kausku,” ucap Bara memberikan kausnya berwarna biru tua, pada Bintang. Bintang meraih kaus yang diberikan oleh Bara. “Terima kasih sudah menyelamatkanku. Aku nggak tahu, gimana hidupku kalau kamu nggak datang tepat waktu,” ucapnya pelan, dengan kepingan memori buruk di benaknya. Sungguh, jika bukan karena Bara datang tepa
Bintang terbangun dengan lembut saat sinar matahari pagi menyelinap melalui celah gorden yang setengah terbuka. Cahaya hangat itu menyentuh wajahnya, membangunkannya dari mimpi yang membuatnya ketakutan. Beberapa kali wanita itu mengatur napas, mengingat mimpi buruk yang tadi malam dia alami. Beruntung, itu hanya sekadar mimpi semata. Perlahan, Bintang mengerjapkan matanya, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya yang menyilaukan. Namun, saat kesadarannya kembali, ingatan akan kejadian buruk yang menimpanya langsung menghantamnya seperti gelombang besar.Malam itu, ketakutan menyelimuti diri Bintang. Dia hampir menjadi korban pemerkosaan, terjebak dalam situasi yang sangat mengerikan. Suara tawa dan desakan dari pria yang tidak dikenal masih terngiang di telinganya. Bintang menggigit bibirnya, merasakan kembali ketegangan yang mengalir dalam darahnya. Namun, di tengah kegelapan itu, Bara muncul seperti cahaya di ujung terowongan. Ya, Bara telah berhasil menyelamatkannya dari bahaya
Matahari menyinari bumi begitu terik dan indah. Cahayanya menembus sela-sela jendela. Bintang sudah terbangun di pagi hari, menatap ke arah jendela. Tubuhnya masih lemah di ranjang. Luka bakar yang dia derita cukup parah membuatnya masih belum bisa untuk pergi dari ruang rawatnya. “Bu, apa ibu ingin makan sesuatu?” tanya sang perawat yang kebetulan ada di sana. Sekitar lima menit lalu, Bara keluar untuk menjawab telepon. Sementara Bima dibawa oleh Mbok Inem berjemur di taman. Hanya ada perawat yang menemani Bintang, karena memang Bintang yang meminta Mbok Inem untuk membawa Bima berjemur di taman. Bintang menggelengkan kepalanya pelan. “Saya masih kenyang. Tadi sudah sarapan cukup banyak. Terima kasih sudah nawarin.” Tiba-tiba, pintu ruang rawat terbuka. Tatapan Bintang teralih pada Wilona yang ternyata datang. Ya, tentu dia sama sekali tak menyangka Wilona datang ke rumah sakit. Kejadian yang menimpa dirinya, membuatnya sempat hilang kontak dengan rekan kerja, karena kondisi pon
Bintang menatap Della yang kini meninggalkan ruang rawatnya dibantu oleh perawat yang sudah dipanggil. Permintaan maaf telah lolos di bibir Della. Sebuah perkataan yang tak pernah Bintang sangka akan dia dengar. Selama ini, dia sangat mengenal sifat ibu Bara itu, tetapi ternyata pada akhirnya ibu Bara menyadari kejahatan yang dilakukan. Bintang tak menaruh dendam sedikit pun pada Della. Bahkan meski dulu ibu Bara itu telah memisahkannya dengan Bara, tetap tidak membuat Bintang menaruh dendam. Kecewa ada, karena Bintang juga manusia biasa, tetapi untuk membenci, dia merasa sangat tidak pantas. Sebab, bagaimanapun ibu Bara hanya ingin yang terbaik untuk Bara. Alasan utama Bintang tak menaruh dendam, karena dulu dia menyadari akan posisinya. Bara bagaikan langit, sedangkan Bintang hanya bumi. Terlalu perbedaan yang sangat jauh. Oleh karena itu, dia berusaha mengerti bahwa memang Della menginginkan yang terbaik untuk Bara—meski dengan cara yang sangat salah. “Harusnya tadi kamu kasih t
“Mbok, di mana Bima?” tanya Bintang pada Mbok Inem yang menyuapinya makan. Tadi, beberapa menit lalu perawat mengantarkan makanan. Itu yang membuat Bintang sekarang sedang makan siang. Namun, dia dibantu oleh Mbok Inem, karena kondisinya masih lemah. “Den Bima tadi ke mini market membeli ice cream bersama Pak Galih,” jawab Mbok Inem sopan memberi tahu. Dia begitu cekatan menjaga Bintang.Bintang menganggukkan kepalanya pelan. “Lalu, di mana Bara? Aku dari tadi nggak lihat dia. Apa dia bertemu Andi?” tanyanya ingin tahu. Sekitar sepuluh menit lalu, Bintang baru saja bangun tidur. Namun, di kala dia membuka mata hanya ada Mbok Inem yang ada di dekatnya. Bima tidak ada. Begitu juga dengan Bara yang tidak ada. “Tadi Pak Bara terima telepon, Bu. Tapi karena sampai sekarang Pak Bara belum kembali, mungkin Pak Bara menemui dokter,” jawab Mbok Inem sopan. Bintang menganggukkan kepalanya. “Bara selalu ketemu dokter. Dia selalu cemas sama keadaanku, Mbok. Padahal aku baik-baik aja. Mungkin
Bara dan Bintang hanyut akan ciuman yang mereka ciptakan, sampai mereka benar-benar tak sadar bahwa Mario sejak tadi menatap mereka. Tentu adegan di mana Bara dan Bintang berciuman, telah membuat Mario tampak sangat hancur. Namun, meski tampak hancur, Mario nyatanya tetap diam tak bersuara sedikit pun. Perlahan, Mario memilih untuk meninggalkan tempat di mana dia berdiri. Pria berperawakan tampan itu menyadari bahwa dirinya hanya mengganggu Bara dan Bintang. Pergi adalah cara yang terbaik. Meski hatinya sekarang benar-benar kacau. “Pak Mario?” Andi yang kebetulan ada di depan ruang rawat Bintang, menyapa Mario. Mario menghentikan langkahnya, menatap Andi dengan tatapan tenang. “Saya ke sini ingin menjenguk Bintang. Saya baru saja mendapatkan kabar musibah yang dialami Bintang,” jawabnya dengan nada datar. Andi mengangguk sopan. “Baik, Pak. Kebetulan Bu Bintang sudah siuman. Bu Bintang sudah melewati masa kritisnya. Anda ingin bertemu dengan Bu Bintang sekarang?” tanyanya hati-hati
Bintang menatap hangat Bima yang kini terlelap di pelukan Mbok Inem. Putra kecilnya itu tadi sempat terlelap di pelukannya, tapi karena kondisi tubuhnya diperban menyulitkannya untuk memeluk erat tubuh Bima. Hal itu yang membuat Bima sekarang digendong oleh Mbok Inem. “Den Bima anak yang pintar dan kuat,” kata Mbok Inem seraya menimang tubuh Bima. Bintang tersenyum lembut. “Aku benar-benar beruntung memiliki putra yang pintar dan kuat seperti Bima, Mbok. Aku yakin di masa depan nanti Bima akan menjadi sosok pria yang hebat.” Mbok Inem mengangguk setuju. “Saya juga berpikir demikian, Bu. Perpaduan antara ibu dan Pak Bara sangat sempurna.” Bintang kembali tersenyum menanggapi ucapan Mbok Inem. “Bima tidur?” Bara masuk ke dalam ruang rawat Bintang, menatap Bima yang ada digendongan Mbok Inem. Senyuman di wajahnya terlukis, padahal tadi dia meminta Bima untuk menjaga Bintang, tapi malah putra kecilnya itu tertidur pulas. Mbok Inem mengangguk sopan. “Iya, Pak. Den Bima tidur.” Bara
“Mama! Mama!” Bima berlari masuk ke dalam ruang rawat Bintang, dan langsung dibantu Bara duduk di ranhang Bintang, memeluk ibunya itu. Tampak jelas kebahagiaan di wajah bocah laki-laki itu kala memeluk ibunya. Bintang tersenyum sambil mengusap punggung Bima. “Anak Mama yang tampan, Mama kangen banget!” bisiknya lembut. Bima mengurai pelukan itu. “Bima juga kangen sekali sama Mama! Bima takut Mama tinggalin Bima.” Bintang membelai lembut pipi bulat Bima. “Mama nggak akan tinggalin Bima. Mama janji akan selalu temani Bima.” Bima mengangguk, tetapi sedikit muram. “Papa juga bilang kayak gitu. Papa bilang kalau Mama nggak akan mungkin tinggalin Bima. Soalnya Mama udah janji selalu temenin Bima. Tapi, kemarin Mama nggak sadar. Mama juga punya banyak luka. Jadi, Bima takut.” “Mama nggak apa-apa. Luka Mama akan segera sembuh,” jawab Bintang hangat. “Bu, saya senang sekali ibu sudah siuman.” Mbok Inem yang ada di sana mendekat, menatap hangat Bintang. Bintang mengalihkan pandangannya,
Perlahan mata Bintang mulai bergerak, dan pelupuk matanya terbuka secara pelan. Keningnya sedikit mengerut di kala cahaya lampu menyorot ke matanya. Suara hangat dan tenang menyerukan namanya begitu terdengar di indra pendengarannya. Hal tersebut membuatnya terpaku beberapa saat, menyadari yang memanggilnya adalah Bara. “B-Bara,” panggil Bintang dengan susah payah. Bara tersenyum haru melihat Bintang sudah membuka mata. “Terima kasih sudah membuka matamu, Bintang.” “A-aku d-di mana?” tanya Bintang lemah, seakan dirinya tak memiliki energi untuk bicara dengan Bara. “Tunggu sebentar. Aku panggilin dokter. Kamu jangan banyak gerak.” Bara mulai khawatir, dan memutuskan untuk menekan tombol darurat guna memanggil tim medis. Tak selang lama, dokter datang bersama dengan perawat. Sang dokter yang melihat Bintang sudah membuka mata, langsung segera memeriksa Bintang. Pun tentu Bara yang ada di sana—sedikit menjauh agar sang dokter bisa leluasa dalam memeriksa keadaan Bintang. Bara tampa
Bara menatap Galih yang melangkah menghampirinya. Pria tampan itu melihat jelas aura kemarahan di wajah sang ayah. Hal itu menandakan bahwa memang ada yang membuat ayahnya itu marah, dan tentu dia tahu akar permasalahan yang membuat ayahnya itu murka. “Pa,” sapa Bara kala Galih tiba di hadapannya. “Bagaimana keadaan Bintang?” tanya Galih yang langsung menanyakan Bintang. Bara terdiam sebentar, dan mengembuskan napas kasar. “Bintang masih belum siuman. Aku harap setelah ini Bintang bisa segera siuman. Terlalu banyak penderitaan yang Bintang alami, setelah dia siuman aku berjanji akan memperbaiki segala kekacauan ini.” Galih menatap dingin, dan tegas Bara. “Beri tahu Papa, kenapa kamu lebih menyelamatkan mamamu daripada Bintang? Apa Bintang yang meminta semua ini?” tanyanya yang sudah menduga, tetapi demi memastikan dia harus bertanya agar tak salah. Bara memejamkan mata singkat, mendengar pertanyaan ayahnya. “Ya, ini semua atas permintaan Bintang. Saat gudang kebakaran, dia dan ma
Bara sudah cukup lega melihat kedatangan Mbok Inem yang dijemput oleh Andi. Paling tidak, ada yang membantunya untuk menjaga Bima dan menenangkan Bima. Selama ini Mbok Inem selalu menemani Bima. Itu yang membuatnya cukup lega, paling tidak hadirnya Mbok Inem bisa membuat Bima tak selalu berfokus pada keadaan Bintang. Bara kini berdiri di depan ruang rawat Bintang. Terdiam seraya memejamkan mata singkat. Pikirannya sangat kacau, tak sanggup untuk berpikir jernih. Dia ingin bertindak, tetapi pikirannya masih berantakan akibat mendengar ucapan sang dokter. “Pak Bara,” panggil Andi cepat seraya melangkah menghampiri Bara. Bara mengalihkan pandangannya, menatap Andi yang wajahnya babak belur mendekat ke arahnya. “Apa yang ingin kamu laporkan?” tanyanya sudah menduga akan ada yang dilaporkan oleh asisten pribadinya itu. Saat ini Bara hanya seorang diri saja di depan ruang rawat Bintang. Bima diajak Mbok Inem untuk ke kantin rumah sakit, karena Bima sejak tadi belum makan. Sementara ayah