“IVAN!!!” seru Nina.
Ia langsung duduk bersimpuh dan menghampiri Ivan yang jatuh tergeletak tak sadarkan diri. Luna gegas bangkit dan menghampiri Ivan. Fabian dan yang lain ikut terkejut. Mereka ikut mendekat, tapi memberi ruang untuk Luna melakukan pemeriksaan.
“Lun, Ivan kenapa?” tanya Nina.
Luna tidak menjawab, dia sedang memeriksa denyut nadi Ivan. Kemudian Luna menoleh ke arah Nina.
“Ivan pingsan. Dia mungkin kelelahan, Nin. Ambilkan minyak kayu putih dan pindahkan dia ke kamar saja.”
Nina mengangguk kemudian tak lama Ivan sudah dipindahkan ke kamar. Luna masih berusaha membuatnya tersadar. Ada Nina, Fabian, Tante Ana, Tuan Thomas dan juga kedua orang tua Nina di sana.
“Van, ayo, Van!! Ayo, sadar!!!” gumam Luna.
Ia terus memberi minyak kayu putih di bagian kening, hidung bahkan pakaian Ivan sudah dilonggarkan dari sebelumnya. Luna sengaja membaringkan Ivan tanpa bantal agar membantu
“Apa semua baik-baik saja? Ivan sudah bisa mengikuti prosesi lagi?” tanya Bu Ana.Wanita paruh baya itu langsung bertanya seperti itu saat melihat Nina berjalan keluar kamar. Belum sempat Nina menjawab, Ivan sudah menyahut di belakangnya.“Aku sudah gak papa kok, Te. Masa superman mau sakit terus,” seloroh Ivan.Bu Ana langsung tersenyum sambil menepuk bahu Ivan.“Ya sudah kalau kamu sudah baik-baik saja. Buruan keluar banyak tamu dan temanmu yang mencari.”Ivan manggut-manggut kemudian berjalan beriringan bersama Nina keluar menemui para tamu dan teman mereka.“WAH!! Ini pengantennya. Aku pikir bakal nyambung malam pertama,” goda Emran.Seketika Ivan tertawa disambung tawa para tamu yang lain.“Maunya begitu, tapi Nina gak mau.” Ivan malah nyeletuk dengan santai menanggapi godaan Emran.Ia kini berjalan menghampiri Emran dan Widuri. Ada Fabian dan Luna serta Da
“Kamu gak mandi?” tanya Nina.Satu jam yang lalu acara baru saja berakhir. Nina memilih masuk kamar lebih dulu untuk membersihkan diri. Kini Ivan menyusul usai mengantar temannya pulang.Ivan tersenyum sambil melirik Nina yang duduk di depan meja rias. Nina sudah berganti baju dan hanya mengenakan bathrobe saja kali ini. Ivan berjalan mendekat kemudian langsung memeluk Nina dari belakang.Nina tersenyum sambil mengelus lembut tangan Ivan.“Tanganmu kok dingin, Van. Kamu baik-baik saja, kan?” Nina kembali bertanya. Ivan hanya tersenyum sambil mengangguk.“Iya, aku tadi dari luar mengantar Emran, Fabian dan yang lainnya.”Nina hanya mengangguk dan mengizinkan Ivan memeluknya lebih erat. Kini Ivan sudah meletakkan kepalanya di bahu Nina. Sesekali ia mengendus leher Nina.“Kamu wangi banget. Pakai sabun apa?”Nina hanya tersenyum sambil mengelus lembut tangan Ivan.“Ada d
“Oke, baik. Terserah kamu akan mulai kapan, aku akan stay di sini agak lama, kok,” ujar Emran.Pagi itu Emran terpaksa bangun untuk menerima panggilan telepon dari Ivan. Widuri yang berbaring di sebelahnya hanya terdiam sambil mengernyitkan alis menatap Emran.“Ya udah kalau gitu. Nanti aku kabari lagi, Emran,” ucap Ivan di seberang sana.Emran hanya manggut-manggut kemudian mengakhiri panggilannya. Ia meletakkan ponsel di nakas sambil melirik Widuri.“Siapa yang menelepon sepagi ini?” tanya Widuri.“Ivan.”Widuri tampak terkejut dengan tatapan mata penuh tanya. Emran hanya mengulum senyum melihat reaksi Widuri.“Kenapa ngelihatnya gitu, sih?”Widuri menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala.“Gak, Mas. Semalam kan malam pernikahan Ivan, masa masih pagi bahkan belum subuh Ivan sudah meneleponmu.”Emran mengulum senyum sambil menggeser
“Pingsan??!! Terus gimana sekarang?” tanya Emran.Ia terlihat panik kali ini. Padahal beberapa saat lalu Emran baru saja melakukan panggilan dengan Ivan. Kenapa sekarang mendapat kabar seperti ini?“Aku sudah di rumah sakit, Mas. Tadi habis menelepon dengan Mas Emran, dia ke kamar mandi. Aku pikir dia mau buang air, ternyata dia muntah darah lalu pingsan.”Emran terdiam membisu, lagi-lagi kenangannya menghadapi penderita kanker terlintas di benak Emran. Memang kebanyakan penderita kanker tidak bisa bertahan hidup lebih lama. Namun, entah mengapa Emran sangat berharap Ivan tidak seperti itu.“Oke, habis ini aku ke sana, Nin. Minta tolong kirim alamat rumah sakitnya, ya?”Emran mengakhiri panggilannya usai mendapat jawaban dari Nina. Tak lama Nina sudah mengirim alamat rumah sakit tempat Ivan dirawat.“Ada apa, Mas?” tanya Widuri.Ia sudah keluar dari kamar mandi sambil mengenakan bathrobe
“Van, kok ngomong gitu, sih?” protes Nina.Ia sangat kesal saat Ivan berkata seperti itu. Ivan tidak menjawab hanya diam sambil menatap Nina dengan sendu.“DENGER!!! Kamu gak boleh mati. Kamu gak boleh pergi. Kita belum malam pertama, bahkan aku ingin punya anak darimu. Aku akan lakukan apa saja untuk membuatmu sembuh.”Ivan hanya diam menatap Nina dengan mata sayunya. Sebuah senyuman masam terukir sekilas di bibir Ivan.“Jangan bilang kalau kamu menyerah. Jangan bilang kalau kamu lelah. Karena aku, aku yang akan selalu menyemangatimu!! Kamu gak boleh putus asa selama ada aku.”Ivan tersenyum lagi sambil menggelengkan kepala.“Lalu bagaimana kalau Tuhan sudah memanggilku? Kamu tidak bisa mengubahnya, kan?”Nina terdiam sesaat, menghela napas sambil mengatur gemuruh di dadanya. Kemudian menatap Ivan dengan penuh cinta.“Aku akan berdoa setiap malam agar Tuhan menundanya. Bahk
“Rumah sakit? Tentang Ivan?” tanya Fabian.Mata sipit pria itu melebar perlahan seakan ikut bertanya ke Luna. Luna terdiam kemudian mengangguk.“Bukan rumah sakit Ivan, tapi rumah sakit temanku. Sebentar, aku jawab dulu.”Fabian menghela napas lega sambil mengurut dadanya. Sementara Luna sudah bangkit dari duduknya dan terlihat sibuk melakukan pembicaraan di sana. Fabian hanya diam memperhatikan. Luna terlihat serius. Kepalanya terus mengangguk dan hanya sesekali saja bersuara.Cukup lama Luna melakukan panggilan hingga akhirnya dia kembali duduk ke sebelah Fabian.“Apa itu dari temanmu yang baru kamu bicarakan tadi?”Luna mengangguk. “Iya, temanku bilang untuk segera membawa Ivan ke sana. Mereka perlu mendiagnosis awal penyakit Ivan dan menganalisa apa saja yang harus dilakukan. Namun, tentu saja dia tidak bisa berjanji kalau Ivan bisa sembuh seratus persen. Semua dilihat dari tingkat penyakitnya.&r
“Kayaknya untuk saat ini belum bisa, Lun. Aku masih ada kerjaan di sini. Lain waktu saja,” jawab Emran.Luna menganggukkan kepala sambil tersenyum ke arah Widuri. Entah mengapa Luna melihat Widuri hanya terdiam sedari tadi. Luna memang tidak tahu apa yang pernah terjadi di antara Widuri, Emran dan Mawar.Setelah beberapa saat, Widuri dan Emran berpamitan undur diri. Mereka sudah janji akan mengajak Alif dan Alisha jalan-jalan. Kebetulan kedatangan mereka ke kota tersebut juga untuk liburan. Sepanjang perjalanan Widuri hanya diam dan terlihat melamun menatap lalu lintas di luar sana.“Sayang … kamu kenapa? Kok diam saja dari tadi?” tanya Emran penasaran.Widuri tersenyum sambil menggelengkan kepala. Kemudian menoleh ke arah Emran.“Apa kamu tidak ingin ke makam Mawar, Mas?”Emran terdiam tidak menjawab hanya jakunnya naik turun menelan saliva. Setiap saat pembahasan Mawar membuat suasana dingin.
“Kamu sudah siap?” tanya Nina.Hari ini saatnya Ivan pindah ke rumah sakit kanker yang sudah dirujuk. Ivan hanya diam sambil menganggukkan kepala menatap Nina dengan sendu.“Iya, sudah siap, Bu.”Nina mengulum senyum sambil menggelengkan kepala. Dari awal bertemu Ivan, Nina sudah tahu jika Ivan suka bergurau dan selalu tak pernah serius.“Ya udah, kita berangkat, ya!!”Ivan tersenyum lagi sambil mengangguk. Kemudian Nina sudah mendorong kursi roda yang diduduki Ivan. Sebenarnya Ivan sudah lebih baik dari pada beberapa hari yang lalu. Bahkan kali ini mereka berencana menggunakan pesawat untuk tiba di rumah sakit yang dituju.“Van, Nin!! Udah beres semua?” Tiba-tiba Luna muncul dari balik pintu.Nina tersenyum sambil mengangguk. “Iya, Lun.”Luna menghela napas sambil menatap Ivan dengan sendu. Ivan langsung cemberut saat melihat tatapan Luna.“Ngapain kamu s
“IBU!! Kok di sini?” tanya Dokter Bayu. Untung saja mereka menjeda interaksi mesra, kalau tidak pasti Nayla akan sangat malu. Nayla urung membuka jilbab dan kembali duduk dengan tenang. Sementara Dokter Bayu bangkit menghampiri Bu Narmi. “Perut ibu sakit, jadi bolak balik ke kamar mandi. Ibu pikir Rayhan sudah tidur, ternyata kamu dan Nayla malah di sini.” Dokter Bayu menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. “Ya … gimana gak ke sini. Rayhan tidur di kamarku, tuh.” Dokter Bayu mengatakannya dengan kesal dan wajah cemberut. Bu Narmi hanya mengulum senyum sambil melirik putra serta menantunya. “Ya udah, biar Ibu bangunin Rayhan.” Bu Narmi bersiap pergi, tapi Dokter Bayu mencegahnya. “Gak usah, Bu. Aku tidur di sini saja. Ibu dan Bapak temani Rayhan di kamar sebelah.” Bu Narmi menghela napas panjang sambil mengangguk. “Ya udah kalau gitu. Nanti biar Ibu kasih tahu bapakmu nanti takutnya main nyelonong masuk saja.” Dokter Bayu hanya tersenyum sementara Nayla sudah menunduk
“Saya … saya tidak mau bohong, Dok,” lirih Nayla.Tentu saja mendengar jawaban Nayla membuat Dokter Bayu kebingungan. Kedua alisnya terangkat dengan mata penuh tanya. Perlahan Dokter Bayu menggelengkan kepala.“Aku gak tahu maksud kalimatmu. Kamu gak mau bohong soal apa?”Nayla membisu, tidak mau menjawab malah menundukkan kepala semakin dalam. Dokter Bayu makin bingung melihat sikap Nayla. Kemudian perlahan dan sangat lirih terdengar kalimat dari bibir Nayla.“Saya … juga suka Dokter.”Seketika Dokter Bayu terkesima mendengar jawaban Nayla. Matanya tampak berkaca-kaca dengan sebuah senyum yang terukir indah di wajahnya. Ia terdiam menatap gadis manis berhijab di depannya ini. Ingin rasanya ia mendekat dan menarik Nayla dalam pelukannya, tapi tentu saja itu tidak mungkin.“TANTE!!!” tiba-tiba Rayhan datang dan berhambur memeluk Nayla.Nayla tersenyum dan balas memeluknya. D
“Kejutan? Kejutan apaan?” gumam Dokter Bayu.Ia baru saja usai membaca pesan yang dikirimkan Rayhan padanya. Dokter Bayu tidak mau banyak berpikir. Ia menyimpan ponselnya dan kembali sibuk memeriksa pasien. Hari ini kebetulan pasiennya sangat banyak sehingga membuat Rayhan menunggu sedikit lama.Pukul sembilan malam saat Dokter Bayu keluar dari ruang praktek. Ia melihat Rayhan sedang duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponselnya.“Kamu tidak membuat ulah, kan?” tanya Dokter Bayu.Rayhan mendongak, menghentikan bermain. Matanya membola menatap Dokter Bayu yang berdiri di depannya.“Aku dari tadi duduk diam di sini, Pa. Memangnya mau bikin ulah apa?”Dokter Bayu mengendikkan bahu sambil menggelengkan kepala.“Gak tahu. Kan biasanya kamu yang suka bertingkah aneh.”Rayhan tersenyum cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Aku kan udah gede, Pa. Lagian
“Aku serius, Nay,” ucap Dokter Bayu.Nayla hanya diam membisu dengan mata tak berkedip menatap dokter tampan di depannya ini. Sudah kedua kali ini, Dokter Bayu mengutarakan perasaannya secara terang-terangan ke Nayla. Tentu saja semua yang pria ganteng itu lakukan membuat Nayla kebingungan.Perlahan Nayla memalingkan wajah dan menunduk. Lagi-lagi dia dihadapkan pada situasi yang sulit. Bahunya naik turun mengikuti ritme aliran udara di dadanya. Entah apa yang ada di benaknya, yang pasti semua ucapan yang baru saja keluar dari bibir pria di depannya ini benar-benar membuat Nayla kelimpungan sendiri.“Nay … kamu gak mau menjawab pertanyaanku?” Kembali Dokter Bayu bersuara.Nayla menghela napas pelan kemudian mendongak membuat mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Saya … saya harus menjawab apa, Dok?” lirih Nayla bersuara.Dokter Bayu tersenyum, matanya sayu menatap gadis manis di depannya ini.“Inginku kamu jawab ‘iya’, tapi tentu saja aku tidak bisa memaksamu. Semua tergantun
“Tunangan? Jadi kamu sudah bisa move on, Nay?” seru Fery.Nayla langsung tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Ia bahkan kini menoleh ke Dokter Bayu yang berdiri di sebelahnya. Menatap pria tampan itu dengan lembut kemudian membalas senyumannya.“Iya. Bukannya masa lalu memang harus dilupakan. Benar kan, Sayang?” Nayla langsung bersuara dengan menambahkan panggilan ‘Sayang’ untuk Dokter Bayu.Dokter Bayu hanya mengulum senyum mendengar Nayla memanggilnya ‘Sayang’. Ia langsung mengangguk, menjawab pernyataan Nayla. Sementara Fery hanya diam. Wajahnya merah padam dengan rahang yang menegang.“Mbak, ini pesanannya sudah selesai.” Suara abang penjual roti bakar menginterupsi interaksi mereka.Nayla langsung menerimanya sementara Dokter Bayu menyelesaikan transaksinya.“Aku duluan, ya!!” pamit Nayla ke Fery.Ia berjalan beiringan dengan Dokter Bayu dan langsung masuk
“Maaf, Dok … ,” lirih Nayla.Dokter Bayu tersenyum, matanya tampak berbinar menatap wajah manis di depannya. Sementara Nayla terlihat gelisah dan tidak tenang. Sesekali Nayla menggigit bibir bawahnya menunjukkan jika dirinya sedang gugup.“Aku tahu, pasti kamu berpikir ini terlalu cepat. Namun, bagiku tidak, Nay.”Nayla belum menjawab dan kini memutuskan menunduk saja. Ia tidak kuasa menatap mata pria di depannya ini yang bersinar penuh cinta. Selain itu kini dia sibuk menata gemuruh di dadanya yang tiada menentu. Kalau saja dia tidak menggantikan tugas Sari pasti Nayla tidak akan bersama Dokter Bayu saat ini.“Aku akan menunggu jawabannya, tidak perlu cepat. Kamu punya banyak waktu, kok.”Nayla masih membisu dengan wajah yang terus menunduk dan tangan yang sibuk meremas ujung hijabnya. Mimpi apa dia semalam hingga tiba-tiba ditembak Dokter Bayu seperti ini.Dokter Bayu menghela napas panjang sambil
“Ray, kamu apa-apaan, sih?” sergah Dokter Bayu.Rayhan tampak marah dan menatap papanya dengan mata meradang. Dokter Bayu mengabaikan tatapannya. Pria tampan itu langsung menarik tangan Rayhan dan mengajaknya berlalu pergi.“Pa … aku gak mau pulang. Aku mau Mama Nayla. Aku mau Mama, Pa!!” ronta Rayhan.Ia bahkan tidak mau menggerakkan kakinya sedikit pun. Dokter Bayu berdecak sambil menatap Rayhan dengan tajam.“Ray, gak semua permintaanmu bisa dipenuhi Papa. Ingat itu!!”Rayhan mendengkus sambil menatap papanya dengan kesal.“Aku gak masalah saat Papa gak jadi ama Tante Widuri. Namun, Papa duluan yang menyimpan foto Tante Nayla di rumah. Itu artinya Papa memang suka Tante Nayla, kan?”Dokter Bayu menghela napas, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Rayhan.“Kamu masih kecil dan gak tahu apa yang dirasakan orang dewasa. Jadi, Papa harap jangan bahas ini lagi!!&
“HEH!!!” seru Nayla tertahan.Rayhan hanya mengulum senyum melihat reaksi Nayla yang kebingungan. Gadis berhijab dengan wajah manis itu hanya diam sambil mengerjapkan mata menatap Rayhan dengan heran.“Kayaknya kamu salah, deh. Saya … saya bukan pacar Dokter Bayu.” Akhirnya Nayla bersuara usai terdiam beberapa saat.Rayhan sontak menggeleng dengan cepat.“Enggak. Saya gak salah. Papa punya foto Tante dan nama Tante Nayla, kan?”Nayla dengan refleks menganggukkan kepala. Untung saja suasana ruang tunggu sudah sepi pengunjung sehingga interaksi mereka berdua tidak menarik perhatian orang.“Kapan Tante mau jadi Mama saya? Nanti saya akan bilang ke Papa, ya?”Kedua alis Nayla sontak terangkat dengan mata yang melihat bingung.“Rayhan … pasti salah. Pasti itu bukan Nayla saya, kan? Saya dan Dokter Bayu hanya ---”“Iya, saya tahu. Orang dewasa sela
“Sudah siap untuk melakukan prosedur selanjutnya?” tanya Dokter Bayu.Setelah enam minggu berselang, Nina dan Ivan datang kembali ke tempat Dokter Bayu. Sesuai jadwal, kali ini akan dilakukan pengambilan sel telur dan sel sperma. Nina dan Ivan hanya menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Iya, sudah, Dok,” ucap keduanya dengan mantap.“Oke, mari ikut saya!!”Dokter Bayu berdiri bersama seorang suster yang membimbing Nina ke ruang periksa. Sementara Ivan sudah berada di ruangan berbeda. Tidak membutuhkan waktu lama untuk proses tersebut. Bahkan setelahnya Ivan dan Nina bisa kembali melakukan aktivitas seperti biasa.“Apa hanya itu saja, Dok?” tanya Ivan.“Iya. Nanti jika sudah siap, saya akan kembali menghubungi Anda dan melakukan proses selanjutnya. Semoga saja untuk percobaan pertama ini langsung berhasil.”Ivan dan Nina manggut-manggut mendengarnya. Kemudian me