“APA??!! Kecelakaan? Fabian kecelakaan?” ucap Luna.
Wanita cantik itu sangat terkejut saat mendengar kabar dari polisi yang baru saja meneleponnya.
“Iya, benar, Bu. Apa Ibu bisa ke tempat kejadian secepatnya.”
Luna refleks mengangguk, meski tangannya terus bergetar hebat. Namun, telinganya sudah merekam alamat yang baru saja dikatakan petugas polisi tersebut.
Selang beberapa saat, Luna sudah melajukan mobilnya menuju tempat kejadian. Sepertinya Fabian hendak kembali pulang atau bisa jadi dia sedang dalam perjalanan menuju ke suatu tempat. Yang pasti kecelakaan tersebut tidak jauh dari perbatasan kota dan berada di daerah puncak.
Luna melambatkan mobilnya dan gegas keluar menghampiri salah satu petugas polisi yang berada di sana.
“Pak, saya keluarga korban. Mana suami saya?” seru Luna.
Petugas polisi itu terdiam sambil menatap Luna dengan sendu. Luna penasaran, karena dia belum melihat mobil Fabian.
“KAKIKU KENAPA, LUNA? KENAPA?” teriak Fabian.Luna hanya diam menatap Fabian sambil berurai air mata. Ia tidak bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi kali ini ke Fabian. Sementara itu Emran dan Widuri gegas bangkit menghampiri Fabian. Emran langsung berdiri di samping Fabian dan memeluknya.“Kamu mengalami patah kaki, Fabian. Itu sebabnya kamu tidak bisa menggerakkan kakimu,” ucap Emran menghibur.Ucapan Emran dibenarkan dengan Widuri yang langsung membuka selimut yang menutupi kaki Fabian. Fabian langsung terdiam membisu dan melirik sekilas ke arah Luna. Entah mengapa dia merasa kali ini Luna menangis bukan karena kakinya patah. Fabian merasa ada yang disembunyikan Luna selain itu.“Lun ... apa benar hanya karena kakiku patah sehingga aku tidak bisa menggerakkan kedua kakiku?” Fabian kini mengajukan pertanyaan ke Luna.Luna menoleh sambil menyeka air mata dengan punggung tangannya. Ia mengangguk sambil terseny
“Fabian ingin menikah lagi?” tanya Emran.Pria tampan itu tidak percaya saat mendengar penuturan Luna. Luna tidak menjawab, tapi kepalanya sudah mengangguk mengiyakan pertanyaan Emran. Widuri yang duduk di sebelah Emran hanya diam dan menatap Luna dengan sendu.Sepertinya ucapan Emran tempo hari memang terbukti. Setiap orang yang dekat dan ada di sekitarnya selalu mengalami hal yang sama pernah dia alami dulu. Apa ini karma atau sebuah peringatan atau mungkin juga hukuman?“Nina sudah hamil anak Fabian, Mas, Mbak. Jadi mana mungkin Fabian membiarkan Nina menanggungnya seorang diri.”“Bahkan sudah kasih dp duluan?” sahut Emran lagi.Emran benar-benar tidak percaya dengan ucapan Luna kali ini. Dari penampilannya saja terlihat kalau Fabian tidak seperti itu. Namun, tentu saja semua tidak bisa dilihat hanya dari penampilan. Bukankah Dandy juga terlihat kalem, tapi juga menyimpan banyak rahasia dulu.“Mem
“Nin, kamu apa-apaan?” sergah Fabian marah.Nina mengulum senyum sambil mengurai kecupannya. Sementara Luna sudah bergegas keluar kembali saat melihat interaksi mereka berdua tadi.“Kamu tahu kalau aku menyukaimu, Fabian. Jadi anggap saja ciuman tadi sebagai upah karena aku telah membantumu. Oke?”Fabian tidak menjawab, tapi matanya sudah melihat ke arah pintu kamar. Tadi sekilas dia melihat Luna masuk ke dalam. Apa Luna melihat saat Nina menciumnya? Apa Luna marah padanya? Bagaimana kalau dia kembali menyakiti hati istrinya?Fabian menarik napas panjang. Dia sudah bermain terlalu jauh dan ini salah satu konsekuensinya. Fabian tidak bisa mundur kembali dan dia juga tidak mau meluruskan semuanya.“Aku pulang dulu, ya!! Besok aku ke sini lagi. Kamu mau dibawain apa?” Pertanyaan Nina membuyarkan lamunan Fabian.“Gak usah, Nin. Gak usah dibawain apa-apa.”Nina tersenyum sambil mengangguk. &l
“Kamu sudah bangun?” sapa Luna pagi itu.Fabian hanya diam sambil melihat Luna dengan sudut matanya. Sementara Luna sudah mendekat dan bersiap mengatur posisi tubuh Fabian.“Mama dan Papa sedang keluar untuk sarapan, mungkin sebentar lagi juga kembali.” Luna kembali bersuara meski Fabian tidak menanggapinya.“Kamu mau langsung mandi? Biar aku siapkan airnya dulu, ya?” Lagi-lagi Luna bersuara dan seakan tak peduli dengan reaksi atau tatapan Fabian.“Apa ada yang kamu sembunyikan dariku, Lun?” Tiba-tiba Fabian bertanya seperti itu. Tentu saja pertanyaan Fabian membuat Luna terkejut.Wanita cantik itu menghentikan aktivitasnya dan kini menatap tajam ke arah Fabian. Mata bulat Luna berbinar dengan kedua alis yang terangkat.“Apa maksudmu, Fabian?”Fabian berdecak sambil menghela napas panjang. “Harusnya kamu yang menjelaskan, bukan aku, Luna.”Luna membisu, eks
“Aku cacat, tidak mungkin bisa memberi keturunan jika masih bersamamu. Sementara Nina sudah hamil, itu alasan aku memilih dia,” ujar Fabian.Fabian memang mengatakannya dengan lirih dan tanpa tekanan intonasi, tapi tetap saja semua kata yang keluar dari bibirnya terasa menyakitkan bagi Luna.Wanita cantik itu hanya bergeming di posisinya dan tidak mengeluarkan suara sedikit pun.“Aku janji akan memprosesnya dengan cepat. Aku tidak ingin membuatmu kesulitan, Lun. Kamu juga ingin secepatnya move on, kan?”Lagi-lagi Fabian menambahkan kalimat yang mengiris hatinya. Apa pria ini tidak tahu jika semua ucapannya itu bagai pisau yang memperparah lukanya?“Fabian!! Kamu sudah bangun?” Tiba-tiba Bu Ana masuk ke dalam ruangan dengan wajah semringah. Ada Pak Roni yang mengekor di belakang Bu Ana.Pembicaraan Fabian dan Luna terjeda dengan kedatangan kedua orang tua Fabian. Fabian hanya tersenyum sambil menyapa Bu Ana
“APA!!!?? Kamu gila, Nina!! Bukankah aku hanya bilang pura-pura,” sentak Fabian.Nina hanya tersenyum saat mendengar jawaban Fabian. Ia terlihat sibuk menyibak rambut gelombangnya sembari duduk menyilangkan kaki.“Aku tahu, Fabian. Namun, kamu juga harusnya tahu kalau aku sudah lama menyukaimu. Jadi apa salah jika aku melakukannya dengan sepenuh hati? Lagipula Luna bersedia kamu duakan, bukan?”Fabian menggeram, mata sipitnya melebar menatap Nina dengan kesal. Fabian tidak menyangka Nina akan berbuat nekat seperti ini. Bukankah ini sama saja dengan memancing ikan di air keruh.“Kebetulan juga Tante Ana dan Om Roni ada di sini. Jadi aku bisa langsung mengatakan tentang hal ini kepada mereka.”Seketika mata Fabian melotot ke arah Nina.“JANGAN COBA-COBA KAMU MELAKUKANNYA, NINA!!!” ancam Fabian.Nina langsung terkekeh melihat reaksi Fabian. Sementara Fabian terlihat kesal. Wajahnya memerah
“Kami akan melakukan operasi bedah syaraf Tuan Fabian akhir minggu ini, Dok,” ucap seorang dokter pagi itu.Hari ini Luna masih bertugas menjaga Fabian. Semalam ia kembali berbaikan dengan Fabian dan Luna berharap Fabian tidak bersikap dingin lagi padanya setelah ini. Luna baru saja mendapat informasi dari dokter yang menangani Fabian dan sepertinya Luna antusias mendengarnya.“Iya, Dok. Lalu mengenai pemindahan rumah sakit, bagaimana? Apa sudah bisa dilakukan?” Sebelumnya Bu Ana dan Pak Roni meminta Fabian dipindahkan ke rumah sakit yang sama dengan tempat Luna bekerja. Mereka melakukan itu agar memudahkan Luna mengawasi Fabian.“Iya, sudah kami siapkan semua. Kebetulan juga saya praktek di rumah sakit tersebut. Anda pasti juga tahu.”Luna tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ia memang mengenal Dokter Fandi, dokter yang menangani Fabian kali ini. Bahkan Fabian juga mengenalnya dengan baik.“Mungkin
“Kamu memang gila, Nina!!” sentak Fabian.Nina terkekeh mendengar ucapan Fabian. Fabian semakin kesal melihat ulah wanita berambut gelombang itu.“Aku dari dulu memang sudah tergila-gila padamu. Sayangnya kamu yang tidak pernah tahu perasaanku. Jadi apa salahnya aku gunakan kesempatan emas ini untuk mendapatkanmu.”Fabian berdecak, menggelengkan kepala dengan mata sipitnya yang melebar menatap ke arah Nina.“Lalu apa yang akan kamu dapatkan dari pria cacat sepertiku? Apa kamu tidak tahu kalau aku lumpuh? Kamu selamanya akan merawat aku, Nin. Kamu mau?”Nina terdiam sesaat, memindai tubuh Fabian dengan netra coklatnya. Kemudian tak lama Nina tersenyum dan Fabian benar-benar kebingungan sendiri mengartikan senyuman Nina.“Bukankah itu kebetulan, Fabian. Selamanya kamu akan tergantung padaku dan aku suka itu.”Fabian tampak terkejut dengan ucapan Nina. Dia tidak menduga Nina akan berkata se
“IBU!! Kok di sini?” tanya Dokter Bayu. Untung saja mereka menjeda interaksi mesra, kalau tidak pasti Nayla akan sangat malu. Nayla urung membuka jilbab dan kembali duduk dengan tenang. Sementara Dokter Bayu bangkit menghampiri Bu Narmi. “Perut ibu sakit, jadi bolak balik ke kamar mandi. Ibu pikir Rayhan sudah tidur, ternyata kamu dan Nayla malah di sini.” Dokter Bayu menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. “Ya … gimana gak ke sini. Rayhan tidur di kamarku, tuh.” Dokter Bayu mengatakannya dengan kesal dan wajah cemberut. Bu Narmi hanya mengulum senyum sambil melirik putra serta menantunya. “Ya udah, biar Ibu bangunin Rayhan.” Bu Narmi bersiap pergi, tapi Dokter Bayu mencegahnya. “Gak usah, Bu. Aku tidur di sini saja. Ibu dan Bapak temani Rayhan di kamar sebelah.” Bu Narmi menghela napas panjang sambil mengangguk. “Ya udah kalau gitu. Nanti biar Ibu kasih tahu bapakmu nanti takutnya main nyelonong masuk saja.” Dokter Bayu hanya tersenyum sementara Nayla sudah menunduk
“Saya … saya tidak mau bohong, Dok,” lirih Nayla.Tentu saja mendengar jawaban Nayla membuat Dokter Bayu kebingungan. Kedua alisnya terangkat dengan mata penuh tanya. Perlahan Dokter Bayu menggelengkan kepala.“Aku gak tahu maksud kalimatmu. Kamu gak mau bohong soal apa?”Nayla membisu, tidak mau menjawab malah menundukkan kepala semakin dalam. Dokter Bayu makin bingung melihat sikap Nayla. Kemudian perlahan dan sangat lirih terdengar kalimat dari bibir Nayla.“Saya … juga suka Dokter.”Seketika Dokter Bayu terkesima mendengar jawaban Nayla. Matanya tampak berkaca-kaca dengan sebuah senyum yang terukir indah di wajahnya. Ia terdiam menatap gadis manis berhijab di depannya ini. Ingin rasanya ia mendekat dan menarik Nayla dalam pelukannya, tapi tentu saja itu tidak mungkin.“TANTE!!!” tiba-tiba Rayhan datang dan berhambur memeluk Nayla.Nayla tersenyum dan balas memeluknya. D
“Kejutan? Kejutan apaan?” gumam Dokter Bayu.Ia baru saja usai membaca pesan yang dikirimkan Rayhan padanya. Dokter Bayu tidak mau banyak berpikir. Ia menyimpan ponselnya dan kembali sibuk memeriksa pasien. Hari ini kebetulan pasiennya sangat banyak sehingga membuat Rayhan menunggu sedikit lama.Pukul sembilan malam saat Dokter Bayu keluar dari ruang praktek. Ia melihat Rayhan sedang duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponselnya.“Kamu tidak membuat ulah, kan?” tanya Dokter Bayu.Rayhan mendongak, menghentikan bermain. Matanya membola menatap Dokter Bayu yang berdiri di depannya.“Aku dari tadi duduk diam di sini, Pa. Memangnya mau bikin ulah apa?”Dokter Bayu mengendikkan bahu sambil menggelengkan kepala.“Gak tahu. Kan biasanya kamu yang suka bertingkah aneh.”Rayhan tersenyum cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Aku kan udah gede, Pa. Lagian
“Aku serius, Nay,” ucap Dokter Bayu.Nayla hanya diam membisu dengan mata tak berkedip menatap dokter tampan di depannya ini. Sudah kedua kali ini, Dokter Bayu mengutarakan perasaannya secara terang-terangan ke Nayla. Tentu saja semua yang pria ganteng itu lakukan membuat Nayla kebingungan.Perlahan Nayla memalingkan wajah dan menunduk. Lagi-lagi dia dihadapkan pada situasi yang sulit. Bahunya naik turun mengikuti ritme aliran udara di dadanya. Entah apa yang ada di benaknya, yang pasti semua ucapan yang baru saja keluar dari bibir pria di depannya ini benar-benar membuat Nayla kelimpungan sendiri.“Nay … kamu gak mau menjawab pertanyaanku?” Kembali Dokter Bayu bersuara.Nayla menghela napas pelan kemudian mendongak membuat mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Saya … saya harus menjawab apa, Dok?” lirih Nayla bersuara.Dokter Bayu tersenyum, matanya sayu menatap gadis manis di depannya ini.“Inginku kamu jawab ‘iya’, tapi tentu saja aku tidak bisa memaksamu. Semua tergantun
“Tunangan? Jadi kamu sudah bisa move on, Nay?” seru Fery.Nayla langsung tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Ia bahkan kini menoleh ke Dokter Bayu yang berdiri di sebelahnya. Menatap pria tampan itu dengan lembut kemudian membalas senyumannya.“Iya. Bukannya masa lalu memang harus dilupakan. Benar kan, Sayang?” Nayla langsung bersuara dengan menambahkan panggilan ‘Sayang’ untuk Dokter Bayu.Dokter Bayu hanya mengulum senyum mendengar Nayla memanggilnya ‘Sayang’. Ia langsung mengangguk, menjawab pernyataan Nayla. Sementara Fery hanya diam. Wajahnya merah padam dengan rahang yang menegang.“Mbak, ini pesanannya sudah selesai.” Suara abang penjual roti bakar menginterupsi interaksi mereka.Nayla langsung menerimanya sementara Dokter Bayu menyelesaikan transaksinya.“Aku duluan, ya!!” pamit Nayla ke Fery.Ia berjalan beiringan dengan Dokter Bayu dan langsung masuk
“Maaf, Dok … ,” lirih Nayla.Dokter Bayu tersenyum, matanya tampak berbinar menatap wajah manis di depannya. Sementara Nayla terlihat gelisah dan tidak tenang. Sesekali Nayla menggigit bibir bawahnya menunjukkan jika dirinya sedang gugup.“Aku tahu, pasti kamu berpikir ini terlalu cepat. Namun, bagiku tidak, Nay.”Nayla belum menjawab dan kini memutuskan menunduk saja. Ia tidak kuasa menatap mata pria di depannya ini yang bersinar penuh cinta. Selain itu kini dia sibuk menata gemuruh di dadanya yang tiada menentu. Kalau saja dia tidak menggantikan tugas Sari pasti Nayla tidak akan bersama Dokter Bayu saat ini.“Aku akan menunggu jawabannya, tidak perlu cepat. Kamu punya banyak waktu, kok.”Nayla masih membisu dengan wajah yang terus menunduk dan tangan yang sibuk meremas ujung hijabnya. Mimpi apa dia semalam hingga tiba-tiba ditembak Dokter Bayu seperti ini.Dokter Bayu menghela napas panjang sambil
“Ray, kamu apa-apaan, sih?” sergah Dokter Bayu.Rayhan tampak marah dan menatap papanya dengan mata meradang. Dokter Bayu mengabaikan tatapannya. Pria tampan itu langsung menarik tangan Rayhan dan mengajaknya berlalu pergi.“Pa … aku gak mau pulang. Aku mau Mama Nayla. Aku mau Mama, Pa!!” ronta Rayhan.Ia bahkan tidak mau menggerakkan kakinya sedikit pun. Dokter Bayu berdecak sambil menatap Rayhan dengan tajam.“Ray, gak semua permintaanmu bisa dipenuhi Papa. Ingat itu!!”Rayhan mendengkus sambil menatap papanya dengan kesal.“Aku gak masalah saat Papa gak jadi ama Tante Widuri. Namun, Papa duluan yang menyimpan foto Tante Nayla di rumah. Itu artinya Papa memang suka Tante Nayla, kan?”Dokter Bayu menghela napas, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Rayhan.“Kamu masih kecil dan gak tahu apa yang dirasakan orang dewasa. Jadi, Papa harap jangan bahas ini lagi!!&
“HEH!!!” seru Nayla tertahan.Rayhan hanya mengulum senyum melihat reaksi Nayla yang kebingungan. Gadis berhijab dengan wajah manis itu hanya diam sambil mengerjapkan mata menatap Rayhan dengan heran.“Kayaknya kamu salah, deh. Saya … saya bukan pacar Dokter Bayu.” Akhirnya Nayla bersuara usai terdiam beberapa saat.Rayhan sontak menggeleng dengan cepat.“Enggak. Saya gak salah. Papa punya foto Tante dan nama Tante Nayla, kan?”Nayla dengan refleks menganggukkan kepala. Untung saja suasana ruang tunggu sudah sepi pengunjung sehingga interaksi mereka berdua tidak menarik perhatian orang.“Kapan Tante mau jadi Mama saya? Nanti saya akan bilang ke Papa, ya?”Kedua alis Nayla sontak terangkat dengan mata yang melihat bingung.“Rayhan … pasti salah. Pasti itu bukan Nayla saya, kan? Saya dan Dokter Bayu hanya ---”“Iya, saya tahu. Orang dewasa sela
“Sudah siap untuk melakukan prosedur selanjutnya?” tanya Dokter Bayu.Setelah enam minggu berselang, Nina dan Ivan datang kembali ke tempat Dokter Bayu. Sesuai jadwal, kali ini akan dilakukan pengambilan sel telur dan sel sperma. Nina dan Ivan hanya menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Iya, sudah, Dok,” ucap keduanya dengan mantap.“Oke, mari ikut saya!!”Dokter Bayu berdiri bersama seorang suster yang membimbing Nina ke ruang periksa. Sementara Ivan sudah berada di ruangan berbeda. Tidak membutuhkan waktu lama untuk proses tersebut. Bahkan setelahnya Ivan dan Nina bisa kembali melakukan aktivitas seperti biasa.“Apa hanya itu saja, Dok?” tanya Ivan.“Iya. Nanti jika sudah siap, saya akan kembali menghubungi Anda dan melakukan proses selanjutnya. Semoga saja untuk percobaan pertama ini langsung berhasil.”Ivan dan Nina manggut-manggut mendengarnya. Kemudian me