“Tante, Alif lapar. Apa tidak ada makanan?” rengek Alif.
Kalina yang sedang sibuk mengirim pesan terlihat kesal dan berdecak menatap penuh jengkel ke arah Alif.
“Kamu kan baru saja makan. Kenapa sudah lapar lagi?” ketus Kalina.
“Itu tadi bukan makan, Tante. Itu camilan. Bukannya sekarang waktunya makan malam. Kata Bunda, Alif gak boleh terlambat makan biar gak sakit perutnya.”
Kalina berdecak sebal sambil menatap Alif dengan jengkel. Kalau tidak demi Emran, dia tidak akan melakukan hal ini. Kalina paling malas berurusan dengan anak kecil. Itu juga mengapa dia sangat senang saat anaknya meninggal kemarin.
Sesungguhnya tanpa sepengetahuan Widuri dan Emran, saat itu Kalina sengaja meminum obat penggugur kandungan. Meski hasilnya tidak bisa langsung, tapi akhirnya dia kehilangan bayinya. Kalina melakukan sebuah kesalahan saat menikah dengan Hasan tempo hari.
Biasanya dia selalu mengenakan alat kotrasepsi saat berhubungan suami istri. Namun, saat
“Saya ucapkan terima kasih pada Anda, Pak Dandy. Semalam nyawa cucu saya sudah selamat berkat bantuan Anda,” ujar Pak Jordan pagi itu.Pak Jordan sengaja mampir ke kantor Dandy untuk menemuinya pagi itu. Pak Jordan tahu mengenai Dandy yang mendonorkan darahnya untuk David, putranya Seline. Dandy hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Kebetulan golongan darah saya sama, Pak. Itu sebabnya saya mengajukan diri sebagai pendonor.”Pak Jordan manggut-manggut sambil tersenyum. Kali ini mereka sedang duduk di sofa dalam ruangan Dandy.“Saya harap Anda tidak berasumsi buruk tentang Seline. Dia memang keponakan jauh saya hanya saja kebetulan dia yang memenangkan tender untuk bisa bekerja sama dengan perusahaan ini.”Dandy tersenyum dan menganggukkan kepala. Sepertinya Pak Jordan takut jika Dandy menyalah artikan tentang terpilihnya Seline sebagai relasi kerja mereka.“Iya, Pak. Saya tahu mengenai hal it
“Kok tumben jam segini sudah pulang, Mas,” sapa Nilam.Hari itu usai dari rumah sakit, Dandy langsung memutuskan pulang ke rumah. Dia tidak bisa konsentrasi bekerja dan memilih pulang saja.“Iya, aku sedang tidak enak badan, Sayang.” Dandy malah mencipta alibi pulang cepatnya kali ini.Nilam tampak terkejut, melihat ke arah Dandy dengan khawatir kemudian berjalan mendekat dan menempelkan tangannya di dahi Dandy.“Gak panas. Apa kamu kecapekan?”Dengan lesu, Dandy mengangguk. Nilam tersenyum melihat ulahnya, lalu menepuk gemas pipi Dandy. Dandy tersenyum meringis, membuka tangan dan menarik Nilam dalam pelukannya. Nilam terkekeh melihat ulah Dandy.“Aku baru tahu kamu bisa manja kalau sedang sakit.”Dandy hanya tersenyum dan menyembunyikan kepalanya di perut Nilam. Kali ini posisi Nilam memang berdiri di depan Dandy yang sedang duduk. Pelan, Nilam membelai lembut rambut Dandy. Dandy terdi
“NILAM!!!” seru Seline.Sontak Nilam menoleh dan langsung tersenyum melihat ke arah Seline. Sementara Dandy, yang tadinya hendak pergi malah bergeming di posisinya. Seline hanya diam dan melihat ke arah Dandy sekilas, tapi Dandy buru-buru memalingkan wajah.Nilam terdiam sesaat. Dia merasakan keanehan dengan sikap suaminya kali ini. Dua orang ini tidak seperti dua orang teman, melainkan seperti dua orang musuh. Nilam menyenggol sikut Dandy dan membuat Dandy menoleh ke arahnya.“Kok diem aja, Mas. Dia ‘kan temanmu,” ujar Nilam.Dandy tersadar jika sikapnya kali ini membuat Nilam curiga dan Dandy tidak ingin membiarkan hal itu terjadi. Dandy tersenyum sambil menundukkan kepala menyapa Seline dan Seline melakukan hal yang sama membalas Dandy.“Ayo, masuk!!” ucapan Seline membuyarkan ketegangan mereka.Terpaksa Dandy ikut masuk ke dalam ruangan. Nilam berjalan lebih dulu dan langsung menghampiri David ya
“Ayo masuk!! Aku antar ke rumah sakit!!” seru Dandy.Seline terkejut dan mematung di tempatnya. Telinganya tidak salah dengar, hanya saja logikanya yang masih belum menerima kalau Dandy akan mengatakan hal itu.“Buruan!! Kamu gak pengen terlambat, kan!!” Dandy kembali menginterupsi.Seline tersenyum, mengangguk dengan cepat kemudian masuk ke dalam mobil Dandy. Dandy segera menjalankan mobil begitu Seline sudah memasang seat belt-nya.“Terima kasih, Dandy. Maaf, aku sudah merepotkanmu.”Seline berbasa basi mengucapkan terima kasih. Sementara Dandy hanya diam dan terus fokus menatap lalu lintas di depannya. Untuk beberapa saat mereka hening tanpa bersuara.Seline sudah bersiap hendak turun saat mobil Dandy tiba di rumah sakit. Ia tidak mau merepotkan Dandy. Pria itu sudah menolaknya, jadi dia tidak mau mengemis untuk meminta Dandy menerimanya. Namun, Dandy malah mengarahkan mobilnya ke parkiran dan ikut turu
“Telepon dari kantor?” tanya Seline.Dandy baru saja masuk ke ruang rawat inap David, usai menerima panggilan dari Nilam. Dia tidak tahu kalau Nilam baru saja dari sana. Dandy tersenyum dan mengangguk menjawab pertanyaan Seline. Sepertinya dia tidak ingin mengatakan kalau Nilam yang meneleponnya. Kemudian matanya melirik ke arah David yang terbaring di brankar.“Apa dia sudah tidur?” Dandy malah mengalihkan topik pembicaraan.Seline mengangguk sambil melihat ke arah David sekilas. Dandy hanya diam dan memilih duduk di sofa. Seline mengikuti, duduk tidak jauh darinya.“Kata dokter, dia sudah boleh pulang. Lusa aku akan membawanya berlibur sebentar. Dia pasti bosan sudah hampir satu bulan berada di rumah sakit.”Seline menjelaskan dan Dandy hanya mendengarnya sambil berulang menganggukkan kepala.“Hubungi aku kalau kamu butuh bantuan.”Lagi-lagi ucapan Dandy membuat Seline terkejut. Memang
“Sayang, kamu dari mana?” tanya Dandy.Selang beberapa saat Nilam masuk ke dalam rumah. Ia sangat terkejut begitu mendapati Dandy sudah tiba. Nilam tersenyum kemudian menghampiri Dandy dan duduk di sebelahnya.“Aku pikir kamu pulang malam. Bukannya tadi kamu ada janji dengan klien, Mas,” jawab Nilam. Entah mengapa Dandy merasa Nilam menekan nada suaranya seakan sedang menahan amarah.Dandy terdiam, jakunnya naik turun bergantian sibuk menelan saliva. Ia yakin seratus persen kalau istrinya sedang marah kali ini. Dandy menggeser duduknya mendekat ke arah Nilam kemudian merengkuh tubuh Nilam dengan lembut.“Bertemu kliennya tadi siang, Sayang. Sekarang sudah selesai.”Nilam hanya tersenyum sambil berulang menganggukkan kepala. Perlahan tangan Nilam mengurai pelukan Dandy dan gegas bangkit dari duduknya. Dandy bengong melihat reaksi Nilam.“Ya udah, kamu mandi dulu, Mas. Aku siapin makan!!” Nilam b
“Mas, bukannya itu Dandy? Terus wanita yang merapikan rambutnya siapa? Bukan Nilam, kan?” tanya Widuri.Hari ini Emran, Widuri dan Alif sengaja datang ke kota tempat Dandy tinggal. Mereka memang ingin mengunjungi Dandy dan Nilam. Kebetulan juga bertepatan dengan liburan sekolah Alif, jadi Emran dan Widuri sekalian liburan.Mereka baru saja turun dari pesawat, naik taxi yang tersedia dan tidak sengaja melihat interaksi Dandy bersama Seline. Memang pintu kedatangan letaknya di bagian depan keberangkatan. Bandara tersebut memberlakukan satu jalur kendaraan dengan membentuk huruf U.Jalur tersebut melintas dari pintu masuk bandara, pintu kedatangan lalu pintu keberangkatan, kemudian berputar ke arah parkiran atau keluar. Itu sebabnya Emran dan Widuri melihat sangat jelas keintiman Dandy dan Widuri.“Iya, Sayang. Itu Dandy, tapi aku gak kenal wanitanya. Kamu kenal?”Widuri terdiam sejenak. Kebetulan mobil yang mereka naiki berjal
“Benarkah? Lalu apa benar hari ini kamu ada meeting hingga larut malam? Atau jangan-jangan kamu ada janji dengan yang lain?” ujar Emran.Sontak Dandy terkejut mendengar ucapan Emran. Matanya menyipit, alisnya mengernyit melihat ke arah Emran dengan penasaran. Emran hanya tersenyum melihat ekspresi Dandy. Dari dulu Emran memang paling suka menggoda Dandy.“Kenapa? Kok kayak kaget gitu. Bener kan tebakanku?”Dandy menghela napas panjang dan menggelengkan kepala.“Jangan ngaco kamu. Aku beneran ada meeting tadi.” Dandy masih mencoba mempertahankan alasannya.Emran hanya menganggukkan kepala mendengar jawaban Dandy.“Apa meetingnya di bandara bersama seorang wanita cantik dan bocah laki-laki yang tangannya digips?”Seketika Dandy tercengang melihat ke arah Emran. Matanya memelotot dan bibirnya setengah terbuka. Ia gegas mematikan sisa rokoknya yang masih panjang ke dalam asbak. Kini dia tamp
“IBU!! Kok di sini?” tanya Dokter Bayu. Untung saja mereka menjeda interaksi mesra, kalau tidak pasti Nayla akan sangat malu. Nayla urung membuka jilbab dan kembali duduk dengan tenang. Sementara Dokter Bayu bangkit menghampiri Bu Narmi. “Perut ibu sakit, jadi bolak balik ke kamar mandi. Ibu pikir Rayhan sudah tidur, ternyata kamu dan Nayla malah di sini.” Dokter Bayu menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. “Ya … gimana gak ke sini. Rayhan tidur di kamarku, tuh.” Dokter Bayu mengatakannya dengan kesal dan wajah cemberut. Bu Narmi hanya mengulum senyum sambil melirik putra serta menantunya. “Ya udah, biar Ibu bangunin Rayhan.” Bu Narmi bersiap pergi, tapi Dokter Bayu mencegahnya. “Gak usah, Bu. Aku tidur di sini saja. Ibu dan Bapak temani Rayhan di kamar sebelah.” Bu Narmi menghela napas panjang sambil mengangguk. “Ya udah kalau gitu. Nanti biar Ibu kasih tahu bapakmu nanti takutnya main nyelonong masuk saja.” Dokter Bayu hanya tersenyum sementara Nayla sudah menunduk
“Saya … saya tidak mau bohong, Dok,” lirih Nayla.Tentu saja mendengar jawaban Nayla membuat Dokter Bayu kebingungan. Kedua alisnya terangkat dengan mata penuh tanya. Perlahan Dokter Bayu menggelengkan kepala.“Aku gak tahu maksud kalimatmu. Kamu gak mau bohong soal apa?”Nayla membisu, tidak mau menjawab malah menundukkan kepala semakin dalam. Dokter Bayu makin bingung melihat sikap Nayla. Kemudian perlahan dan sangat lirih terdengar kalimat dari bibir Nayla.“Saya … juga suka Dokter.”Seketika Dokter Bayu terkesima mendengar jawaban Nayla. Matanya tampak berkaca-kaca dengan sebuah senyum yang terukir indah di wajahnya. Ia terdiam menatap gadis manis berhijab di depannya ini. Ingin rasanya ia mendekat dan menarik Nayla dalam pelukannya, tapi tentu saja itu tidak mungkin.“TANTE!!!” tiba-tiba Rayhan datang dan berhambur memeluk Nayla.Nayla tersenyum dan balas memeluknya. D
“Kejutan? Kejutan apaan?” gumam Dokter Bayu.Ia baru saja usai membaca pesan yang dikirimkan Rayhan padanya. Dokter Bayu tidak mau banyak berpikir. Ia menyimpan ponselnya dan kembali sibuk memeriksa pasien. Hari ini kebetulan pasiennya sangat banyak sehingga membuat Rayhan menunggu sedikit lama.Pukul sembilan malam saat Dokter Bayu keluar dari ruang praktek. Ia melihat Rayhan sedang duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponselnya.“Kamu tidak membuat ulah, kan?” tanya Dokter Bayu.Rayhan mendongak, menghentikan bermain. Matanya membola menatap Dokter Bayu yang berdiri di depannya.“Aku dari tadi duduk diam di sini, Pa. Memangnya mau bikin ulah apa?”Dokter Bayu mengendikkan bahu sambil menggelengkan kepala.“Gak tahu. Kan biasanya kamu yang suka bertingkah aneh.”Rayhan tersenyum cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Aku kan udah gede, Pa. Lagian
“Aku serius, Nay,” ucap Dokter Bayu.Nayla hanya diam membisu dengan mata tak berkedip menatap dokter tampan di depannya ini. Sudah kedua kali ini, Dokter Bayu mengutarakan perasaannya secara terang-terangan ke Nayla. Tentu saja semua yang pria ganteng itu lakukan membuat Nayla kebingungan.Perlahan Nayla memalingkan wajah dan menunduk. Lagi-lagi dia dihadapkan pada situasi yang sulit. Bahunya naik turun mengikuti ritme aliran udara di dadanya. Entah apa yang ada di benaknya, yang pasti semua ucapan yang baru saja keluar dari bibir pria di depannya ini benar-benar membuat Nayla kelimpungan sendiri.“Nay … kamu gak mau menjawab pertanyaanku?” Kembali Dokter Bayu bersuara.Nayla menghela napas pelan kemudian mendongak membuat mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.“Saya … saya harus menjawab apa, Dok?” lirih Nayla bersuara.Dokter Bayu tersenyum, matanya sayu menatap gadis manis di depannya ini.“Inginku kamu jawab ‘iya’, tapi tentu saja aku tidak bisa memaksamu. Semua tergantun
“Tunangan? Jadi kamu sudah bisa move on, Nay?” seru Fery.Nayla langsung tersenyum dan mengangguk dengan mantap. Ia bahkan kini menoleh ke Dokter Bayu yang berdiri di sebelahnya. Menatap pria tampan itu dengan lembut kemudian membalas senyumannya.“Iya. Bukannya masa lalu memang harus dilupakan. Benar kan, Sayang?” Nayla langsung bersuara dengan menambahkan panggilan ‘Sayang’ untuk Dokter Bayu.Dokter Bayu hanya mengulum senyum mendengar Nayla memanggilnya ‘Sayang’. Ia langsung mengangguk, menjawab pernyataan Nayla. Sementara Fery hanya diam. Wajahnya merah padam dengan rahang yang menegang.“Mbak, ini pesanannya sudah selesai.” Suara abang penjual roti bakar menginterupsi interaksi mereka.Nayla langsung menerimanya sementara Dokter Bayu menyelesaikan transaksinya.“Aku duluan, ya!!” pamit Nayla ke Fery.Ia berjalan beiringan dengan Dokter Bayu dan langsung masuk
“Maaf, Dok … ,” lirih Nayla.Dokter Bayu tersenyum, matanya tampak berbinar menatap wajah manis di depannya. Sementara Nayla terlihat gelisah dan tidak tenang. Sesekali Nayla menggigit bibir bawahnya menunjukkan jika dirinya sedang gugup.“Aku tahu, pasti kamu berpikir ini terlalu cepat. Namun, bagiku tidak, Nay.”Nayla belum menjawab dan kini memutuskan menunduk saja. Ia tidak kuasa menatap mata pria di depannya ini yang bersinar penuh cinta. Selain itu kini dia sibuk menata gemuruh di dadanya yang tiada menentu. Kalau saja dia tidak menggantikan tugas Sari pasti Nayla tidak akan bersama Dokter Bayu saat ini.“Aku akan menunggu jawabannya, tidak perlu cepat. Kamu punya banyak waktu, kok.”Nayla masih membisu dengan wajah yang terus menunduk dan tangan yang sibuk meremas ujung hijabnya. Mimpi apa dia semalam hingga tiba-tiba ditembak Dokter Bayu seperti ini.Dokter Bayu menghela napas panjang sambil
“Ray, kamu apa-apaan, sih?” sergah Dokter Bayu.Rayhan tampak marah dan menatap papanya dengan mata meradang. Dokter Bayu mengabaikan tatapannya. Pria tampan itu langsung menarik tangan Rayhan dan mengajaknya berlalu pergi.“Pa … aku gak mau pulang. Aku mau Mama Nayla. Aku mau Mama, Pa!!” ronta Rayhan.Ia bahkan tidak mau menggerakkan kakinya sedikit pun. Dokter Bayu berdecak sambil menatap Rayhan dengan tajam.“Ray, gak semua permintaanmu bisa dipenuhi Papa. Ingat itu!!”Rayhan mendengkus sambil menatap papanya dengan kesal.“Aku gak masalah saat Papa gak jadi ama Tante Widuri. Namun, Papa duluan yang menyimpan foto Tante Nayla di rumah. Itu artinya Papa memang suka Tante Nayla, kan?”Dokter Bayu menghela napas, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Rayhan.“Kamu masih kecil dan gak tahu apa yang dirasakan orang dewasa. Jadi, Papa harap jangan bahas ini lagi!!&
“HEH!!!” seru Nayla tertahan.Rayhan hanya mengulum senyum melihat reaksi Nayla yang kebingungan. Gadis berhijab dengan wajah manis itu hanya diam sambil mengerjapkan mata menatap Rayhan dengan heran.“Kayaknya kamu salah, deh. Saya … saya bukan pacar Dokter Bayu.” Akhirnya Nayla bersuara usai terdiam beberapa saat.Rayhan sontak menggeleng dengan cepat.“Enggak. Saya gak salah. Papa punya foto Tante dan nama Tante Nayla, kan?”Nayla dengan refleks menganggukkan kepala. Untung saja suasana ruang tunggu sudah sepi pengunjung sehingga interaksi mereka berdua tidak menarik perhatian orang.“Kapan Tante mau jadi Mama saya? Nanti saya akan bilang ke Papa, ya?”Kedua alis Nayla sontak terangkat dengan mata yang melihat bingung.“Rayhan … pasti salah. Pasti itu bukan Nayla saya, kan? Saya dan Dokter Bayu hanya ---”“Iya, saya tahu. Orang dewasa sela
“Sudah siap untuk melakukan prosedur selanjutnya?” tanya Dokter Bayu.Setelah enam minggu berselang, Nina dan Ivan datang kembali ke tempat Dokter Bayu. Sesuai jadwal, kali ini akan dilakukan pengambilan sel telur dan sel sperma. Nina dan Ivan hanya menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Iya, sudah, Dok,” ucap keduanya dengan mantap.“Oke, mari ikut saya!!”Dokter Bayu berdiri bersama seorang suster yang membimbing Nina ke ruang periksa. Sementara Ivan sudah berada di ruangan berbeda. Tidak membutuhkan waktu lama untuk proses tersebut. Bahkan setelahnya Ivan dan Nina bisa kembali melakukan aktivitas seperti biasa.“Apa hanya itu saja, Dok?” tanya Ivan.“Iya. Nanti jika sudah siap, saya akan kembali menghubungi Anda dan melakukan proses selanjutnya. Semoga saja untuk percobaan pertama ini langsung berhasil.”Ivan dan Nina manggut-manggut mendengarnya. Kemudian me