Bab 81Akmal baru saja masuk ke dalam ruang kerjanya, tetapi mendadak ia merasakan hawa panas menyergap tubuhnya. Tubuhnya memanas dengan keringat dingin yang melembabkan pelipisnya. Pria itu mendesah kesal. Tangannya seketika terkepal. Benar tebakannya. Untung saja dia sudah mengantisipasi kemungkinan ini. Ini hotel umum, dan mayoritas pengunjungnya adalah para wisatawan. Apapun bisa saja terjadi. Akmal segera berjalan menuju dispenser, mengambil segelas air putih dan menuangkan isi plastik kecil yang ia ambil dari saku bajunya.Itu adalah bubuk penawar untuk menetralisir reaksi obat perangsang yang kini mulai bekerja di tubuhnya. Dia harus cepat-cepat meminumnya, sebelum reaksi obat sialan itu semakin menjadi-jadi.Glek.Akmal menghabiskan minumannya, lalu segera duduk di sofa. Pria itu melepas arlojinya, lalu menaruhnya di atas meja kaca, tepat di hadapannya. Tidak cuma itu. Akmal pun menghidupkan AC demi membuat ruangan menjadi lebih dingin. Setelah itu ia menyandarkan tubuhnya
Bab 82Akibat pengaruh obat perangsang di dalam tubuhnya, Akmal baru bisa tertidur menjelang dini hari. Pria itu merasa sangat bersyukur. Untung saja dia waspada. Seandainya tidak menyediakan obat penawar itu, pasti sekarang dia tengah bergulat di bawah selimut bersama dengan Sierra. Ini sangat mengerikan. Akmal tidak bisa membayangkan.Di sisi lain, dia tengah berjuang demi masa depan bersama dengan Hanina dan putri mereka. Sementara jika kejadian itu sampai terjadi, ia pasti akan terlibat hubungan terlarang dengan Sierra. Tidak mungkin setelah insiden itu tidak berlanjut ke sebuah hubungan yang lebih serius, bukan? Sierra memang licik dan Akmal menghadapi dengan kelicikannya juga."Kita sama-sama pemain, Sierra. Jadi kamu salah orang." Senyum samar terbit dari bibir pria itu Namun dia masih berpura-pura tidak tahu. Kegiatan Akmal hari ini berjalan seperti biasa. Diawali dengan memberikan briefing pagi ke semua tim yang bertugas, kemudian dilanjutkan dengan pertemuan dengan bebe
Bab 83Dua hari kemudian, Akmal bertolak menuju ibukota. Masalah ini harus ia selesaikan. Cerita dari ibunya membuatnya menarik kesimpulan jika saat ini Hanina sudah mulai membuka diri dengannyaIni adalah sebuah kemajuan.Setelah pencariannya menemukan jalan buntu, akhirnya titik terang itu mulai ia dapatkan. Akmal merasa sangat bersemangat."Di mana sekarang Hanina tinggal, Ma?" Pertanyaan itu langsung terlontar dari mulut Akmal tatkala wanita yang telah melahirkannya itu membukakan pintu untuknya."Duduk dulu, Nak," tegur ibunya."Aku tidak bisa tenang jika Hanina tidak diketahui keberadaannya. Aku tidak ada niat untuk pulang, tetapi demi Hanina, maka aku rela mengambil cuti....""Tapi kita bicarakan semuanya baik-baik, Nak."Kali ini Akmal menurut, lantaran melihat pelototan mata ibunya."Jangan berbelit-belit, Ma. Katakan di mana sekarang Hanina tinggal! Aku akan segera menjemputnya, sebab aku sudah tidak tahan sendirian di tempat kerjaku," tukas pria itu."Memangnya kenapa? Apak
Bab 84"Kak Nina nya nggak ada, Mas. Ini kan hari libur," tukas Dira menatap malas pria itu, pria yang nyaris tiap hari selalu muncul di butik ini, seperti tidak ada kerjaan saja."Siapa bilang Mas mau menemui Nina? Mas malah mau ngobrol sama kamu," sanggah Rio santai."Ngobrol sama aku?" Dira menepuk jidatnya sendiri. "Pasti topiknya tidak jauh-jauh dari urusan Kak Nina. Memangnya kenapa sih, Mas? Apa nggak capek ngejar Kak Nina terus? Aku yang ngelihatnya aja capek banget.""Mas nggak ada istilah capek. Mas selalu berharap suatu saat pintu hati Nina akan terbuka." Pria itu menatap Adira dalam-dalam. Mereka duduk berhadapan, duduk di sofa yang memang disediakan di butik ini sebagai tempat bagi para pengunjung yang ingin beristirahat setelah lelah memilih barang yang mereka inginkan."Kalian ini sama saja. Aku juga heran kenapa Kak Nina berkeras menunggu Mas Akmal, sementara Mas Akmal udah nggak tahu lagi kabar beritanya. Sudah itu, Mas Rio malah ngejar-ngejar Kak Nina. Ribet aku jadi
Bab 85Pria itu merasa sangat percaya diri jika Hanina kini sudah berada di dalam genggamannya. Dia sama sekali tidak menyadari jika ada sebuah motor yang mengikutinya dari dari jarak yang cukup aman sehingga tidak terlihat olehnya, sebuah motor yang mengikutinya sejak dari restoran.Rio melajukan mobilnya menuju sebuah hotel. Tidak mungkin ia mengeksekusi Hanina di rumahnya, karena pasti akan mengundang kecurigaan keluarga wanita itu. Lagi pula, semua orang pasti akan cepat menyadari menghilangnya Hanina. Dan untuk membendung semua kemungkinan itu, Rio memang sengaja mengajak Dira jalan-jalan.Tidak ada makan siang yang gratis, bukan?Sampai di parkiran hotel tujuan, Rio menggendong Hanina ala bridal menuju lobby. Seorang petugas mengantarnya menuju kamar yang sudah ia reservasi sebelumnya.Bugh bugh!Rio baru saja membuka pintu kamar hotel ketika mendadak sebuah tendangan keras bersarang di pundaknya, membuat tubuh pria itu terdorong ke depan. Hampir saja tubuh Hanina jatuh ke lanta
Bab 86"Ingat, aku bukan lagi Akmal yang bisa kamu remehkan. Aku bisa saja menjebloskan kamu ke dalam penjara jika kamu masih nekat," ancam pria itu. Dia maju dua langkah, kemudian menoleh kepada Rio."Mungkin aku tidak punya bukti untuk membongkar kejahatanmu di hadapan Papa Darmawan, tetapi aku yakin suatu saat nanti kebenaran pasti akan datang. Papa Darmawan pasti akan tahu bagaimana bejatnya kelakuan anak angkatnya yang konon katanya sangat ia sayangi ini." Pria itu tersenyum sinis. Rio masih saja meringis. Pukulan yang bertubi-tubi dari Akmal serasa meremukkan sampai ke tulang-tulangnya.Meski bertubuh tinggi dengan paras yang rupawan, tetapi jika urusan adu jotos, Rio pasti akan kalah."Tetapi jika soal penculikan Hanina, aku tidak segan-segan melaporkannya kepada polisi, lagi pula aku punya bukti, dan dua orang petugas keamanan itu akan menjadi saksinya. Bukankah kamu check in di hotel ini atas namamu, sementara petugas resepsionis mendapati kamu membawa Hanina dalam keadaan t
Bab 87"Kalau kamu nggak ada hubungan apa-apa sama Sierra, kenapa kamu bisa seintim itu dengan dia?!" gugat perempuan itu. Entah karena perasaannya saja yang terlampau cemburu, sehingga dia merasa tayangan video launching hotel Sierra itu terlihat jika kebersamaan Akmal dan Sierra begitu intim. Atau jangan-jangan apakah itu karena permainan kamera?"Enggak Sayang, ini nggak seperti yang kamu pikirkan. Sierra itu owner di hotel yang aku pimpin. Dia atasan aku. Kalaupun kami terlihat bersama di depan kamera, itu hanya sekedar untuk pencitraan. Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Siera, lagi pula seandainya pun nggak ada kamu, aku juga nggak mungkin memilih cewek kayak gitu. Sierra itu temannya Risty." Akmal menjelaskan panjang lebar. Dia memiringkan tubuhnya dan membelai kepala sang istri penuh sayang."Temannya Risty?" Hanina tersentak kaget."Iya, sebelumnya aku memang pernah ketemu dengan Sierra di rumahnya saat aku mengantar pesanan snack box dari cafenya Ricky. Ya gitu deh ceritany
Bab 88"Jadi semua ini ulah Rio? Aku kira penculikan ini sebagai kejutan untuk pertemuan kita." Wanita itu mengurungkan niatnya untuk menyuap makanan. Dia menatap serius sang suami yang baru saja menyelesaikan ceritanya"Mana mungkin aku berani ngasih kejutan seperti itu sama kamu. Aku masih waras juga kali." "Kali aja kamu ngasih prank," ujar Hanina sembari nyengir. Akhirnya dia kembali meneruskan menyuap makanannya."Enggak, Sayang. Aku hanya berpikir jika ini memang jalan Tuhan untuk mempertemukan kita. Aku sudah mencarimu kemana-mana. Tapi nggak ketemu. Hanya saja ya, nggak nyangka aja jika Rio sampai senekat itu, padahal seharusnya dia berpikir ulang karena bagaimanapun dia masih anak angkat papa Darmawan dan mama Liani.""Aku juga nggak nyangka, Mas. Aku pikir dengan usahaku yang menjodohkan dengan Dira, sedikitnya perhatian Rio segera teralihkan." Perempuan itu menggeleng seraya mengucap istighfar dalam hati."Kamu menjodohkan Rio dengan Dira?""Iya, Mas. Aku lelah, karena sel
Bab 149"Selamat datang di rumah kita, istriku," bisik Akmal. "Terima kasih, Mas." Mata perempuan itu berkaca-kaca. Tanpa sadar ia menggenggam tangan prianya. Hanina merasa sangat terharu, tak menyangka jika dia masih diberi kesempatan untuk menginjakkan kaki di rumah yang pernah dijualnya ini.Hanina terpaksa menjual rumah ini karena kesulitan keuangan setelah perusahaan mereka bangkrut. Dia perlu modal untuk membangun usaha dan tempat tinggal baru, sementara hampir semua aset mereka sudah habis untuk membayar hutang. Masih untung papanya tidak masuk penjara, karena terlilit hutang. Mereka masih mampu memenuhi kewajibannya, meskipun harus menghabiskan hampir semua aset."Sama-sama, Sayang. Aku juga sangat bersyukur karena akhirnya kita bisa kembali menempati rumah ini. Beruntung orang yang memiliki rumah ini sebelumnya mau mengerti dan bersedia menjual kembali rumah ini kepada kita.""Ya. Kamu sudah berkali-kali cerita soal itu." Perempuan itu akhirnya sampai di sofa dan mendudukka
Bab 148Dua bulan kemudian.Akmal berjalan mondar-mandir di area depan Hanina Hotel. Dia memastikan semuanya bisa rampung tepat waktu, karena mulai besok hotel ini akan resmi beroperasi. Dengan letak cukup strategis yang sangat dekat dengan tempat wisata religi, menjadi jaminan jika Hanina Hotel akan segera kebanjiran tamu pengunjung.Pria itu tahu apa yang harus ia lakukan setelah memutuskan keluar dari grup Aston. Meski terasa berat, karena bagaimanapun Aston adalah tempatnya bernaung pertama kali, tapi Akmal memutuskan untuk mandiri. Dia ingin merasakan menjadi seorang pengusaha dalam artian yang sebenarnya, bukan hanya sekedar karyawan, meskipun posisi terakhirnya adalah karyawan nomor satu. Namun karyawan tetaplah karyawan.Setelah merasa cukup, Akmal dengan didampingi om Danu segera masuk kembali ke bangunan yang megah itu. Sembari berjalan menuju ruang pertemuan, dia terus menikmati pemandangan yang memanjakan matanya. Area dalam hotel ini sudah benar-benar selesai, dan interi
Bab 147Dia dan Akmal memang sudah punya cerita masing-masing dan tidak saling mencampuri urusan satu sama lain. Sungguh, Risty hanya sekedar menanyakan. Entah bagaimana penampakan pria itu sekarang. Tentunya lebih keren dibandingkan saat bersamanya dulu. Bersama dengan Hanina, Akmal memperoleh banyak pencapaian dalam hidup dan finansial. Perempuan itu memejamkan mata, lalu segera membuka matanya kembali saat merasakan tepukan lembut di bahunya."Ini bukan saat yang tepat untuk bernostalgia. Kita ke sini datang sebagai tamu, bukan sebagai mantan." Rio mengucapkan dengan cara berbisik, lantaran tak ingin Aqila mendengar ucapannya.Risty mengangguk. Akhirnya dia memilih untuk menggendong Aqila dan membawa balita cantik itu ke halaman rumah.Di halaman ada bangku dan ayunan. Risty membawa Aqila duduk di ayunan yang berbahan besi kuat itu."Aqila mau adik apa? Cowok atau cewek?" tanya Risty sembari menggerakkan batang besi penyangga ayunan, sehingga tempat duduknya sekarang bergerak-ger
Bab 146Rio berusaha mengabaikan pertanyaan sang istri dan memilih untuk berdiri. Dia mengajak Risty menuju ruang makan, meski sebenarnya dia tidak sedang mood. Ternyata semua makanan sudah terhidang rapi di meja makan. Pria itu tersenyum tipis, lalu menarik kursi dan duduk."Mari kita makan, Ris. Terima kasih sudah memasak.""Bukan aku, tapi si Bibik," balas Risty seraya mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dan lauk pauk, lalu menyerahkannya kepada Rio."Tapi kamu hebat, bisa belajar dalam waktu singkat. Aku senang melihat perubahan kamu. Kamu terlihat bersungguh-sungguh untuk membuat diri kamu menjadi lebih baik," pujinya tulus."Tapi tetap saja aku sudah punya cacat. Masa laluku bersama dengan mas Akmal sungguh buruk. Aku bahkan pernah menjadi wanita panggilan untuk menyambung hidup." Risty mengulas senyuman, meski sebenarnya ia masih menyimpan berbagai tanya di benaknya soal sikap Rio semenjak mereka pulang dari acara pernikahannya Dira dan Reza."Setiap manusia punya cac
Bab 145"Nggak usah didengerin ucapan Mama. Kalau memang kamu nggak siap melakukan hubungan suami istri, aku bisa menunggu kok. Santai aja," ujar Reza menenangkan Dira yang terlihat amat gelisah saat mereka dalam perjalanan pulang dari bandara untuk mengantar rombongan ibunya."Bukan soal itu. Aku hanya kepikiran soal kita kedepannya. Aku nggak menyangka kita bisa melangkah sejauh ini," keluh gadis itu."Tidak apa-apa. Memang sudah jalannya begitu, yang penting kamu bisa menjalaninya dengan baik.""Aku nggak yakin." Tatapan Dira nampak kosong, meski di sepanjang perjalanan, nampak gedung-gedung pencakar langit berdiri dengan angkuh, mengalahkan rumah-rumah petak di sekitarnya."Aku akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meyakinkan kamu. Yang penting kamu nggak menentang jalan yang sudah kita ambil. Ini hanya soal waktu, jadi kita kembalikan saja kepada waktu.""Kamu begitu yakin, Reza?""Tidak ada hal yang membuatku tidak yakin, karena kurasa yang ada dalam dirimu itu bukan cinta,
Bab 144Luka itu kembali terbuka. Dia tidak menyangka Rio dan Risty muncul, padahal gadis itu merasa tidak pernah mengundang kedua orang itu. Lalu siapa yang mengundangnya? Apakah Hanina?!"Kamu harus hadapi semuanya, Dira. Jangan menghindar terus, karena terapi yang paling baik buat kesembuhan hati kamu adalah bertemu dengan orang yang membuat hatimu sakit, walaupun mungkin di awal perih. Tapi percayalah, lukamu akan segera sembuh." Hanina berbisik, lalu dia segera undur dua langkah dan memberikan kesempatan kepada para undangan yang lain untuk bersalaman dengan Dira dan Reza.Lagi-lagi gadis itu mengangguk dan anggukan itu pula yang ia tunjukkan saat harus bersalaman dengan Rio dan Risty. Pria di samping Dira itu hanya tersenyum kecut manakala akhirnya bisa bertemu langsung dengan pria yang sangat dicintai oleh Dira.Tanpa sadar dia membandingkan antara ia dengan Rio. Dilihat dari postur tubuh, dia tidak kalah dengan Rio, sama-sama gagah dan tampan, meski tentu struktur wajah mereka
Bab 143Aroma bunga yang semerbak tercium dengan jelas dari bunga-bunga yang disebarkan ke seluruh penjuru ruangan ini. Ruangan tamu di rumahnya yang tidak terlalu luas kini disulap menjadi ruangan tempat akad nikah. Pagi ini Reza akan melafalkan akad nikah atas nama dirinya. Dira menghela nafas. Akhirnya dia menyerah. Dia bersedia menikah dengan Reza, meski tak ada sedikitpun rasa cintanya pada pria itu. Sebelumnya dia selalu berkhayal jika ia akan menikah satu kali seumur hidup dengan orang yang ia cintai, tapi kenapa semuanya menjadi begini? Seolah takdir memaksanya untuk menerima pria itu. Dia hanya menganggap Reza sebagai teman, malaikat penolongnya. Seandainya tidak ada Reza waktu itu, maka barangkali dia sudah rusak oleh kecerobohan yang dibuatnya sendiri.Klub malam bukanlah tempat yang baik untuk gadis perawan seperti dirinya."Sebentar lagi mempelai pria akan datang, Nak. Jangan cemberut terus," tegur ibunya yang saat itu sudah masuk ke dalam ruangan dan kini duduk di sis
Bab 142Hanina celingak-celinguk, sembari mengerjapkan matanya berulang kali. Bayangan yang sempat dilihatnya barusan kini telah lenyap, padahal dia merasa belum lima menit ia memalingkan wajah ke arah lain, tapi sosok yang ia kenali sebagai Reza dan Dira itu sudah lenyap dari pandangannya."Kenapa, Sayang?" Akmal yang tengah menggendong Aqila itu pun memasang tampang keheranan menyaksikan tingkah istrinya. Dia memang lebih fokus pada putrinya dan mengabaikan sekelilingnya."Aku seperti melihat Dira di sini, tapi ke mana ya? Barusan dia ada di situ," tunjuk Hanina pada sebuah bangku dan meja yang memang barusan digunakan oleh Dira dan Reza untuk duduk bersantai sembari menikmati udara dan pemandangan laut."Nggak ada tuh." Akmal menatap arah yang ditunjuk oleh istrinya. Hanya ada sepasang kursi dan meja yang di atasnya dua batok kelapa dan bungkus cemilan."Tapi aku seperti melihat mereka. Aku masih mengenali Dira dan...." Perempuan itu menyanggah."Kok bilang mereka? Memangnya kamu l
Bab 141Reza tertegun sejenak. Namun sedetik kemudian dia sudah bisa menguasai diri. "Tenanglah, aku nggak sakit kok. Kamu nggak perlu segitunya." Pria itu menarik tubuh Dira hingga akhirnya gadis itu kembali bangkit dan terduduk di ranjang.Keduanya kini duduk berhadapan dan lagi-lagi Reza menangkup kedua pipi gadis itu."Aku akan tanggung jawab. Sejak awal aku yang membawamu kemari, meskipun itu atas keinginanmu sendiri. Jika memang kedua orang tua kita mengira kita tinggal bersama atau melakukan hal yang tidak benar, aku akan berusaha meluruskannya. Kamu tenang aja." Reza meyakinkan."Bagaimana aku bisa tenang jika sudah seperti ini? Bagaimana kalau nanti kita dipaksa untuk menikah? Aku nggak mau kita terlibat dengan urusan pribadi. Lagi pula kita nggak ada hubungan apa-apa, masa iya dipaksakan gitu? Aku nggak mau tahu, kamu harus pastikan mereka bisa mengerti bahwa kita nggak ada hubungan apa-apa. Aku ke sini cuma untuk kerja," oceh Dira panjang lebar."Ya, tinggal nikah saja." P