"R-Renata!"
Apa ini, bagaimana bisa orang sekarat yang dirawat di rumah sakit ada di sini? Selama hampir sepuluh detik ia mengamati, baru benar-benar menyadari itu adalah Renata. Dia berjalan dengan riangnya, senyumnya begitu ceria. Airmata Ranty merembes. Dirinya tidak menduga Arhan tega berselingkuh dengan Renata, adik kandungnya. Ranty merasakan tubuhnya panas dan menggigil, seolah-olah mendadak terserang demam. Pastilah pemandangan di depan matanya bukan sekadar hanya membuatnya menangis karena kecewa, tetapi rumah tangganya sudah hancur. Kedua lutut kakinya turut bergetar. "Ibu tidak apa-apa?" Hendra bertanya, lelaki muda ini sangat mengkhawatirkannya. Ranty mengembuskan nafas panjangnya. "Saya tidak apa-apa." Ranty memutuskan pergi dari sana. Ia belum akan kembali ke rumah sekadar memastikan Arhan sudah pulang. Lalu, seketika bayangan Arhan bermesraan dengan Renata di kamar hotel kembali muncul. Kembali menghancurkan hati Ranty. Ranty tidak berdaya, memutuskan pergi ke rumah sakit saja. Dan, akan pulang besok pagi ke rumah setelah hatinya sudah lebih baik dari sekarang. Renata berbaring lemas di bednya. Dia masih mengenakan pakaian yang sama saat di hotel bersama Arhan tadi. Ranty heran dengan perubahan Renata. Tadi dia sangat ceria seperti bukan orang yang sakit, tapi melihatnya sekarang lemas seolah-olah tidak berdaya. Perhatiannya teralih ke leher jenjang Renata yang dipenuhi cap merah-merah, tentu itu ulah Arhan yang menikmati bebas tubuh Renata. Ranty sangat cemburu sampai ingin muntah. "Kamu dari mana tadi, Ren?" tanya Ranty tanpa emosi. Seakan-akan tidak mengetahui sepak terjang Renata dan Arhan beberapa menit lalu. "Mbak Ranty yang ke mana? Sedari tadi Rena menunggu mbak di sini." Ranty mulai mencium sandiwara sekarang. "Tadi aku kemari, tapi kamu tidak ada di sini, Ren." "Apa mbak Ranty lupa kalau hari ini Rena jadwal kemo?" Tenang Renata menjawab. Kemudian, mengangkat tangannya lemah, dia kesulitan mengambil gelas dari atas meja di sampingnya. Sementara tangan kirinya memegang sisi selimut yang menutupi bagian lehernya. "Mbak Ranty bisa bantu ambilkan gelasnya? Rena mau minum obat." Ranty merasa kasihan kepada Renata, tetapi dia tidak mau menolongnya. Adiknya itu sudah menjadi duri dalam pernikahannya dengan Arhan. Renata juga sudah sangat jahat merebut kehangatan tubuh Arhan darinya. Ia sendiri merasakan sakit dengan pengkhianatan Arhan, dan berusaha menyembunyikan lukanya demi keselamatan rumah tangganya. Jika dulu ia mempertahankan Arhan demi kesembuhan Renata, sekarang ia mempertahankan pernikahan mereka. "Dik Ranty, kenapa kamu tidak mau membantu Renata?" Ranty yang merenung, kaget tiba-tiba mendengar suara Arhan. Lebih-lebih melihatnya langsung sigap membantu Renata meminum obatnya. Padahal Renata juga bisa melakukannya sendiri. "Mas?" Ranty meneguk liurnya. Hatinya sangat terluka dengan pemandangan di depan matanya. Mungkin tidak akan sesakit ini kalau ia tidak mengetahui perselingkuhan keduanya. Atau, mungkin kalau selingkuhannya itu bukan Renata. "Mas, kenapa Mas di sini?" tanya Ranty tidak seharusnya kaget. Ia harusnya tahu setelah dari hotel tadi keduanya langsung ke rumah sakit. "Lho, tapi kamu yang bilang Renata tidak ada di kamarnya tadi, Dik. Jadi, Mas datang ke sini untuk mencarinya. Tapi malah kamu yang tidak ada di sini Mas lihat." Ini kebohongan! Apa yang sudah disembunyikan Arhan darinya selama ini? Ranty hampir saja membongkar semuanya sekalian. Namun, entah mengapa ia seolah-olah tidak mampu melakukannya. "Kamu dari mana saja, Dik? Kamu tidak apa-apa, kan?" Arhan menghampiri dan merangkul hangat pundaknya. Seolah sedang mengkhawatirkan keselamatannya. Seketika Ranty merasa jijik dengan sikap munafik Arhan, apalagi melihat Renata lantas memalingkan wajah, ia menangkap ada kecemburuan di wajah adiknya itu. "Aku ada urusan tadi, Mas," jawabnya menggigit bibir bawahnya. Menekan rasa sakit dan terus berpura-pura. "Harusnya kamu bilang ke Mas. Agar Mas tidak menghawatirkan kamu, Dik." Dalam hati Ranty tertawa kecil. Mungkin maksudnya, agar bisa lebih leluasa menghabiskan waktu dengan Renata. "Mbak Ranty lupa hari ini kalau Rena ada jadwal kemo, Mas," kata Renata sedikit meringis memegangi tangannya. "Setiap selesai kemo tulang-tulang ku rasanya seperti mau patah, Mas," keluh Renata terang-terangan ingin merebut perhatian Arhan dari Ranty. "Biar mbak yang pijitin," ucap Ranty tidak mau memberi ruang untuk Renata mendapat perhatian Arhan. "Mas, kamu pulanglah. Biar aku yang menjaga Renata di sini," ujarnya mengusir Arhan secara halus. Ranty sempat memergoki perubahan di wajah Renata, tetapi ia tidak perduli. Ia harus bisa menjauhkan Arhan dari Renata. "Kamu saja yang pulang, Dik. Kebetulan besok Mas tidak masuk kerja, jadi biar Mas saja yang menjaga Renata di sini," ujar Arhan merangkul pundak Ranty seakan-akan meyakinkannya. "Mas tahu kamu sangat menghawatirkan kesehatan Renata. Tapi, kamu juga harus istirahat, Dik. Besok pagi Mas pulang ya." "Tapi, Mas---" "Tidak perlu khawatir, Dik. Kan bukan sekali ini saja Mas menjaga Renata di sini? Renata sudah seperti adik Mas juga." GLEKK Ranty meneguk liurnya. Artinya hubungan Arhan dan Renata sudah terjadi sejak lama. "Mas, tolong bantu ambilkan obatku yang satu lagi," pinta Renata dengan suaranya yang dibuat-buat lemas. "Dik, kamu pulang sekarang ya. Mas mau bantu Renata minum obat dulu," ujar Arhan tidak peka dengan ekspresi wajah Ranti. Ranty sudah tidak sanggup menahan rasa sakit hatinya. Ia hanya berpura-pura tenang namun hatinya sudah remuk hancur. Tak mau menjadi gila, Ranty menurut saja pergi dari sana. Di rumah ia belum benar-benar bisa melupakan kejadian tadi. Kadang ia mengutuk dirinya yang tak langsung menggerebek Arhan dan Renata tadi. Kadang ia menangis, merenung, marah-marah sendiri, begitulah sampai tertidur. Ranty terbangun sesaat setelah seseorang menyentuh wajahnya. Antara percaya tak percaya melihat Arhan sudah berdiri di sampingnya. "Kenapa kamu tidur di sofa ini, Dik?" tanya Arhan langsung menggendongnya ke dalam kamar. "Mas Arhan kenapa kemari?" Ranty malah balik bertanya. Melirik jam di pergelangan tangan Arhan, pukul tiga subuh. "Mas mau menepati janji Mas kemarin padamu, Dik." Antara masih mengantuk dan kebingungan, tapi Arhan sudah melucuti pakaiannya sendiri. Disusul gantian Arhan melucuti pakaian Ranty. "Jangan, Mas." Ranty menolak disentuh Arhan dengan menutup bagian tubuh sensitifnya dengan kedua telapak tangannya. "Kenapa, Dik?" Heran Arhan bertanya. Tidak biasanya Ranty menolak sampai menutupi bagian tubuhnya. "Aku masih kecapekan Mas." "Sini Mas pijitin." Belum sempat mengelakkan diri, sekejap tubuhnya yang mungil sudah berada di pelukan Arhan. Subuh ini, Arhan cukup kuat merangsang gairahnya. Hingga tanpa ia sadari sudah terhanyut dalam permainan panas Arhan. Saat terbangun entah sudah pukul berapa. Tubuhnya terasa pegal-pegal dan kepalanya terasa sangat berat. Sejenak melihat ke samping namun Arhan sudah tidak ada. Ranty memutuskan bangun untuk mengisi perutnya yang sudah berbunyi nyaring. Ia ke dapur untuk menyiapkan apa saja yang bisa mengisi perutnya. Karena ia juga tidak selalu menyimpan persediaan makanan di kulkas atau di lemari. "Mas Arhan! Mas mau sarapan apa?" panggilnya sambil sibuk mengaduk teh di cangkir keramik kecil. Kemudian mengeluarkan lembaran kue dari plastik dan mengolesinya dengan selai kacang. Sambil memegang cangkir dan di tangannya yang lain memegang piring ceper berisi kue selai. Ranty bergerak ke sana kemari mencari Arhan sambil terus memanggil. "Mas." Ranty baru berhenti mencari Arhan setelah mendengar suara bel pintu. Ia meletakkan cangkir dan piring di tangannya ke atas meja. Lalu, berjalan ke pintu untuk melihat tamu yang datang pagi-pagi. "Mas Arhan?" Ranty kaget melihat suaminya lah yang datang. "Kamu dari mana, Mas?" Belum hilang rasa kagetnya, Renata sudah muncul di depan mukanya. ***Kaget dan syok melihat Renata ada di depannya dengan raut wajah yang ceria.Di detik kesekian ia disadarkan ingatannya, Arhan yang sering membawa Renata ke hotel. Namun, bagaimanapun Arhan membicarakan ini lebih dulu dengannya, bukan seenaknya mengambil keputusan sendiri. Karena tidak mau membuat Renata merasa tidak enak hati, Ranty menarik tangan Arhan menjauh darinya."Kenapa kamu membawa Rena kemari, Mas?" tanyanya pelan. "Kamu ini bicara apa, Dik? Jadi, Renata mau ke mana lagi? Kita berdua, kan keluarganya di sini!"Tidak biasanya Arhan meninggikan suaranya, hal itu juga membuatnya kaget sampai merasa tersudut. Sebenarnya bukan itu yang ia maksud. Tapi, agaknya mereka berdua sudah merencanakan ini diam-diam. "Renata itu adik kamu, Dik. Sudah seharusnya kamu yang bertanggungjawab selama dia di sini. Karena Mas suamimu, jadi Mas juga punya tanggungjawab untuk Renata."Bohong! Rasanya ingin berteriak, 'kamu sudah kehabisan modal check-in ke hotel maka membawanya kemari!' Tapi, R
Di pasca perselingkuhan Arhan dengan Renata, dan sekarang Renata sudah tinggal di rumahnya. Ada rasa ketakutan pulang ke rumahnya sendiri. Betapa ia akan tersiksa rasa cemburu, mendapati tubuh seksi Renata berada pelukan Arhan. Berujung keduanya melakukan persenggamaan yang panas. Sekian lama Ranty berhenti di bahu jalan. Ia cukup lama merenung dalam keheningannya. Ia baru tersadar mendengar seseorang mengetuk kaca mobilnya. Bersamaan pria muda dan tampan, Hendra, juga menghentikan sepeda motornya di bahu jalan yang sama, bersisian dengan mobilnya. Dengan malas Ranty menurunkan separuh kaca mobilnya. Ia tahu lelaki muda itu ingin mengobrol dengannya, atau mungkin menawarkan diri untuk menghiburnya. Ranty menunggunya yang memulai percakapan, ia sendiri sedang tidak ingin bicara dengan siapapun. "Bu Ranty, baru saja aku mendapatkan bukti lain, wanita selingkuhan pak Arhan itu bernama Renata Laurence. Usianya 26 tahun, setahun lebih muda dari ibu Ranty." Sikap Ranty yang
Ketika Ranty tersadar, pintu kamar mandi sudah menutup rapat. Sayup-sayup terdengar suara manja Renata dari dalam kamar mandi. Arhan menyahutinya dengan erangan kenikmatan. Ranty menggigit bibirnya kuat-kuat. Darah segar sudah memenuhi bibirnya yang terluka. Kemudian menetes dan terjatuh ke lantai yang dingin di samping kakinya. Siapa yang tidak perih hatinya melihat suaminya bercumbu dengan adiknya? Dadanya menyesak bersamaan dengan isak tangis yang sulit ia kendalikan. Ia tidak sanggup membayangkan tubuh semampai Renata bergelayut manja di dada kekar Arhan. Atau, keduanya bersenggama panas di dalam bathtub miliknya. Arghh! Apa yang ia dengar ini cukup menakutkan baginya. Seluruh tubuhnya menggigil hebat. Ini kesempatannya membongkar semua, tapi, ia pun sudah tidak lagi memiliki kekuatan untuk menggerebek keduanya di dalam kamar mandi. Ranty berlari ke kamar. Namun, karena terburu-buru atau karena tidak memperhatikan jalannya, ia menubruk rak buku di depan kamarnya.
Sekilas Ranty mengedarkan pandangan ke sekitar. Ia tengah berbaring di ranjang di dalam kamarnya. Entah kapan ia tiba di rumah. Seingatnya ia dan Hendra ada di kafe tadi.Dokumen itu!Suasana dalam kamar mereka sekarang ini juga membuatnya sedikit heran. Karena tidak biasanya Arhan yang selalu cuek keadaan rumah itu, mengobrak-abrik isi kamar mereka."Mana lemari pakaianku, Mas?" tanyanya tidak melihatnya ada di sana.Tatapannya kembali ke Arhan, suaminya itu juga tengah menatapnya dingin, kemudian pandangannya bergeser ke Renata.Ranty menampakkan raut wajah tidak senang melihat Renata ada di dalam kamarnya. Adiknya itu sudah terlalu berani masuk ke kamarnya. "Renata, kenapa kamu ada di sini?" tanyanya datar."Seharusnya kamu berterimakasih kepada Renata, Dik! Kalau bukan karena Renata, mungkin kamu sudah tidak pernah ada di sini lagi!" Dingin Arhan menjawab.Hahk! Apa maksudnya berkata seperti itu? Ranty benar-benar tersinggung, jelas-jelas ia melihat pembelaan Arhan kepada Renat
Ranty tidak bisa menahan airmata yang berdesakan hendak menumpah. Berulang kali menengadahkan wajahnya ke atas untuk mencegah airmatanya menumpah. Namun, rasa sakit dan sesak membuatnya kewalahan menahan-nahannya. Alhasil airmatanya menumpah tanpa bisa ditahan lagi. "Kamu yang berubah, Mas," jawab Ranty menangis sejadi-jadinya. Ranty menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang, dan menutupi tubuh sampai wajahnya dengan selimut. Ia menumpahkan semua tangisannya di dalam selimut. Menyadari ucapannya yang sudah membuat Ranty menangis, Arhan mendekatinya dan duduk di sisi ranjang. Perlahan mengelus pundak Ranty seolah-olah ingin menenangkannya yang masih terdengar menangis sesenggukan. "Maafkan Mas, ya. Mas sangat takut kehilanganmu, Dik," ujarnya sangat lembut. "Mas hanya tidak suka kamu dekat-dekat dengan Hendra, Dik. Karena Mas sudah sangat mengenalnya, dia itu pria buruk yang suka menggoda wanita dengan parasnya yang tampan. Dia tak segan-segan membawa wanita yang dia rayu itu
Sejenak terjadi keheningan di dalam kamar. Ranty meneguk liur kesulitan menahan rasa yang sulit ia jelaskan. Sebenarnya baru kali inilah mereka berdebat selama lima tahun menikah.Namun, hati siapa yang tidak sakit difitnah oleh suami dan adik sendiri? Semuanya terasa tiba-tiba, seolah-olah takdir dengan mudahnya memutar balikkan kebahagiaannya."Mas bilang Renata yang membawaku dari bar dengan keadaan mabuk."Segera disahuti anggukan kecil dari Arhan."Apa Mas lebih percaya Renata daripada istrimu sendiri?" Ranty mengangkat sedikit dagunya, tatapannya tegas di wajah Arhan, suaminya itu terlihat mulai gelisah. Hatinya semakin teriris mengingat kalau Renata juga istri Arhan. Tapi, mau tak mau ia tetap harus menyangkalnya, demi rasa cintanya yang besar kepada Arhan."Mas sudah mengenal dan menganggap Renata seperti adik Mas, Dik. Mana mungkin dia berboho---""Yah, 'sudah seperti adik, Mas', itu benar, Mas. Sampai Mas lupa sebenarnya alkohollah yang membuat orang mabuk bukan fitnah!"R
Sekilas tampak ketegangan di raut wajah Ranty. Matanya yang melotot tidak lepas dari wajah Hendra, seolah-olah tidak sabar menunggu jawaban dari bibir pria muda di depannya.Baru setelah Hendra menganggukkan kepala, ekspresi wajahnya berubah menjadi lebih tenang. Bagaimanapun ia tidak mau Arhan sampai tahu, apa yang sudah ia lakukan selama ini. Disamping ia takut kehilangan Arhan, ia sangat tahu apa yang akan terjadi kalau sang suami tahu ia sudah memata-matainya. Perceraian!"Saya bilang kebetulan saja bertemu dengan Ibu Ranty di sana."Gantian Ranty yang menghela nafas lega dan mengangguk-angguk kecil."Apa pak Arhan mengatakan sesuatu yang buruk tentang saya kepada anda, Buk Ranty?" Hendra bertanya karena sempat memergokinya perubahan diraut wajah Ranty."Ng ... b-bukan, aku cuma khawatir aja Mas Arhan sampai tahu rencana kita selama ini," bohong Ranty tergugu. "Yang aku takutkan sebenarnya Mas Arhan sudah pasti memecat kamu."Ranty membuang wajahnya yang memanas. Harusnya ia juj
Malas, Ranty mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Pikirnya palingan panggilan dari Arhan. Seperti biasanya, sang suami selalu menanyakan keberadaannya, agar Arhan bisa mengatur waktunya memadu kasih dengan Renata. Namun ... "Hendra, kenapa lagi dia?" Kaget Ranty bergumam. Padahal ia sudah memperingatkan pria muda itu agar tidak sembarang meneleponnya. Mau tak mau Ranty terpaksa mengangkat teleponnya. Sekaligus untuk mengingatkan pria muda itu dengan aturan yang sudah ia buat. "Lain kali jangan pernah mene---" "Buk Ranty, apa anda sudah di rumah sekarang?" Dari tempat lain dengan lancang Hendra memotong ucapannya. Sialan! Ini tidak bisa dibiarkan! Urusannya apa, aku di mana? Lama-lama dia semakin lancang dan tidak tahu aturan! Ranty mendengus kesal. "Aku sudah memperingatkan kamu agar jangan meneleponku sembarang!" Ketus Ranty menjawab. "Untung ini aku masih di jalan, bagaimana kalau sudah di rumah? Kamu mau membuat Mas Arhan menuduhku yang macam-macam lagi?"
"Manalah Mas tahu, Dik. Kita saja tidur di kamar tadi." Arhan mencondong ke depan. "Atau, jangan-jangan kamu mau menuduh Mas membawa wanita lain ke rumah ini, Dik?" Ranty berjengit karena kagetnya. Matanya terpaku di wajah Arhan. Suaminya ini sangat pintar menyudutkannya. Harusnya dia sadar, banyak alasan yang bisa menuduhnya. Mulai dari Arhan masuk kamar dengan setengah telanjang tadi. Lalu, maksudnya, Renata itu bukan wanita lain di pernikahan mereka? Tapi... "Aku tidak berkata seperti itu, Mas." "Yah, kamu juga tentu tahu suamimu ini pria yang setia, kan, Dik. Dari dulu Mas selalu pegang teguh ikrar pernikahan kita." Arhan menyempatkan mencium pipinya yang memerah dan memanas. Bajingan! Buaya mana mau mengaku sudah menelan bangkai. "Oiya? Mas nggak ingat---" "Maafkan aku, Mbak, ini punya Rena. Tadi Rena kegerahan niatnya mau mandi, tapi nggak jadi. Tadi Rena sempat bersantai-santai sebentar di sini. Tapi, pas kembali ke kamar, Rena kelupaan membawa pakaian Rena,
Tidak mau terus-terus di serang rasa sakit, ia kembali ke kamar dengan berjalan berjinjit pelan-pelan. Ia tidak mau suara langkah kakinya, menganggu dua orang yang tengah memulai permainan panas mereka. Di kamar, Ranty menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Kedua matanya yang sembab menatap langit-langit kamar. Pikirannya masih terganggu dengan apa yang di dengarnya barusan."Arhan tinggal membutuhkan tanda tanganku?"Ranty menyeka air mata dari kedua pipinya. Yang lebih menyakitkan hatinya adalah pengakuan Arhan tadi. Suaminya itu sampai hati menaruh obat tidur di minumannya.Walau sudah tahu rencana jahat sang suami, tetapi tetap saja ada rasa takut suaminya itu benar-benar pergi dan meninggalkannya. Sementara dirinya tidak memiliki siapapun selain Arhan dan Renata.Arghh!Ranty semakin gelisah. Ia bangkit dan duduk dengan memeluk kedua lututnya. Hanya membayangkannya saja ia sudah tidak sanggup, bagaimana jika sampai benar-benar terjadi?Beberapa waktu ia hanya bisa merenung dengan
"Please, hentikan kegilaanmu ini, Mas," desisnya semakin terbakar api cemburu. Giginya mengerat, ingin rasanya ia ke sana untuk menghentikan kegilaan keduanya. Namun, ia merasakan seolah-olah kedua lututnya gemetar dan tidak berdaya berjalan. Seperti biasa Ranty cuma bisa mematung dalam bisu, membiarkan rasa sakit bersarang di sudut hatinya. Entah sampai kapan ia sanggup bertahan melihat pemandangan yang terus-terus menyakitkan hatinya. "Mas, jawab aku! Apa kamu takut meninggalkan Ranty?" Renata merapatkan dirinya ke dada bidang Arhan. Hingga tampak seperti tidak ada jarak diantara keduanya. Ranty mendengus kasar. Nafasnya memburu. Jelas ia tidak rela tempatnya bermanja-manja dipakai orang lain. Sampai kapanpun ia tidak akan mau mengakui Renata sebagai istri pertama Arhan! "Iya, Sayang. Mas juga sudah tidak sabar bisa berduaan saja dengan istri tercinta Mas ini. Tapi, kita tidak boleh terburu-buru yang malah membuat Ranty jadi curiga nanti." Arhan menjawab seraya meletakkan p
Beberapa menit kemudian, Ranty mulai merasakan ada yang aneh dengan dirinya. Tiba-tiba saja ia merasa sangat mengantuk, sebabnya beberapa kali mulutnya terbuka lebar. "Kamu mengantuk, ya, Dik?" tanya Arhan menariknya bahunya. Ranty membiarkan kepalanya jatuh di bahu Arhan. "Iya. Entah, tiba-tiba saja mataku terasa sangat berat dan mengantuk, Mas. Mungkin karena udaranya dingin kali, ya." Ranty memaksakan matanya tetap terbuka, sembari merapatkan tubuhnya ke tubuh sang suami. Membiarkan tubuhnya yang menggigil menyerap kehangatan dari dalam tubuh Arhan. "Jadi gimana, Dik? Kita pulang ke rumah saja atau masih mencari makan untuk kamu?" tanya Arhan mulai merapat ke jalur sisi jalan dan memperlambat laju mobil. Perutnya terasa sangat lapar sekarang, jadi ia harus mengisi perutnya sebelum istirahat nanti. Ia tidak mau di tengah malam nanti terbangun dan mengacak-acak isi lemari dapur. "Kita cari makan saja, Mas, aku sangat lapar. Tadi ... cuma ... makan sedikit ... saja." Ia
Ranty tahu semua itu cuma alasan Arhan. Untuk apa membeli obat untuk Renata, jelas adiknya itu tidak sakit! "Mbak, maafin aku, ya. Aku yang meminta Mas Arhan mengantar aku ke klinik tadi," ucap Renata dengan suara yang parau. "Rena baru sadar stok obat Rena sudah habis," lanjutnya seakan-akan ingin meluruskan kesalahpahaman di antara mereka. "Hmm, tidak apa-apa, Rena. Bukankah bagi Mas Arhan kamu itu sudah seperti adiknya? Jadi, tidak perlu merasa tidak enakan begitu," kata Ranty dengan raut wajahnya yang dibuat-buat senang. Meski tidak melihat Arhan di balik punggungnya, Ranty bisa menebak perubahan sikap dan warna wajah sang suami. "Bukankah begitu, Mas?" tanya Ranty memutar kepalanya melihat Arhan. "I-iya, Dik. I-itu benar, Renata. Jadi tidak perlu merasa tidak enakan, ya," kata Arhan tampak gugup seperti seseorang yang kepergok mencuri. "Iya, terimakasih Mbak Ranty, Mas Arhan. Rena ke kamar dulu, ya," ujar Renata menggenggam erat tas kecil di tangannya Tas tangan ke
Malas, Ranty mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Pikirnya palingan panggilan dari Arhan. Seperti biasanya, sang suami selalu menanyakan keberadaannya, agar Arhan bisa mengatur waktunya memadu kasih dengan Renata. Namun ... "Hendra, kenapa lagi dia?" Kaget Ranty bergumam. Padahal ia sudah memperingatkan pria muda itu agar tidak sembarang meneleponnya. Mau tak mau Ranty terpaksa mengangkat teleponnya. Sekaligus untuk mengingatkan pria muda itu dengan aturan yang sudah ia buat. "Lain kali jangan pernah mene---" "Buk Ranty, apa anda sudah di rumah sekarang?" Dari tempat lain dengan lancang Hendra memotong ucapannya. Sialan! Ini tidak bisa dibiarkan! Urusannya apa, aku di mana? Lama-lama dia semakin lancang dan tidak tahu aturan! Ranty mendengus kesal. "Aku sudah memperingatkan kamu agar jangan meneleponku sembarang!" Ketus Ranty menjawab. "Untung ini aku masih di jalan, bagaimana kalau sudah di rumah? Kamu mau membuat Mas Arhan menuduhku yang macam-macam lagi?"
Sekilas tampak ketegangan di raut wajah Ranty. Matanya yang melotot tidak lepas dari wajah Hendra, seolah-olah tidak sabar menunggu jawaban dari bibir pria muda di depannya.Baru setelah Hendra menganggukkan kepala, ekspresi wajahnya berubah menjadi lebih tenang. Bagaimanapun ia tidak mau Arhan sampai tahu, apa yang sudah ia lakukan selama ini. Disamping ia takut kehilangan Arhan, ia sangat tahu apa yang akan terjadi kalau sang suami tahu ia sudah memata-matainya. Perceraian!"Saya bilang kebetulan saja bertemu dengan Ibu Ranty di sana."Gantian Ranty yang menghela nafas lega dan mengangguk-angguk kecil."Apa pak Arhan mengatakan sesuatu yang buruk tentang saya kepada anda, Buk Ranty?" Hendra bertanya karena sempat memergokinya perubahan diraut wajah Ranty."Ng ... b-bukan, aku cuma khawatir aja Mas Arhan sampai tahu rencana kita selama ini," bohong Ranty tergugu. "Yang aku takutkan sebenarnya Mas Arhan sudah pasti memecat kamu."Ranty membuang wajahnya yang memanas. Harusnya ia juj
Sejenak terjadi keheningan di dalam kamar. Ranty meneguk liur kesulitan menahan rasa yang sulit ia jelaskan. Sebenarnya baru kali inilah mereka berdebat selama lima tahun menikah.Namun, hati siapa yang tidak sakit difitnah oleh suami dan adik sendiri? Semuanya terasa tiba-tiba, seolah-olah takdir dengan mudahnya memutar balikkan kebahagiaannya."Mas bilang Renata yang membawaku dari bar dengan keadaan mabuk."Segera disahuti anggukan kecil dari Arhan."Apa Mas lebih percaya Renata daripada istrimu sendiri?" Ranty mengangkat sedikit dagunya, tatapannya tegas di wajah Arhan, suaminya itu terlihat mulai gelisah. Hatinya semakin teriris mengingat kalau Renata juga istri Arhan. Tapi, mau tak mau ia tetap harus menyangkalnya, demi rasa cintanya yang besar kepada Arhan."Mas sudah mengenal dan menganggap Renata seperti adik Mas, Dik. Mana mungkin dia berboho---""Yah, 'sudah seperti adik, Mas', itu benar, Mas. Sampai Mas lupa sebenarnya alkohollah yang membuat orang mabuk bukan fitnah!"R
Ranty tidak bisa menahan airmata yang berdesakan hendak menumpah. Berulang kali menengadahkan wajahnya ke atas untuk mencegah airmatanya menumpah. Namun, rasa sakit dan sesak membuatnya kewalahan menahan-nahannya. Alhasil airmatanya menumpah tanpa bisa ditahan lagi. "Kamu yang berubah, Mas," jawab Ranty menangis sejadi-jadinya. Ranty menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang, dan menutupi tubuh sampai wajahnya dengan selimut. Ia menumpahkan semua tangisannya di dalam selimut. Menyadari ucapannya yang sudah membuat Ranty menangis, Arhan mendekatinya dan duduk di sisi ranjang. Perlahan mengelus pundak Ranty seolah-olah ingin menenangkannya yang masih terdengar menangis sesenggukan. "Maafkan Mas, ya. Mas sangat takut kehilanganmu, Dik," ujarnya sangat lembut. "Mas hanya tidak suka kamu dekat-dekat dengan Hendra, Dik. Karena Mas sudah sangat mengenalnya, dia itu pria buruk yang suka menggoda wanita dengan parasnya yang tampan. Dia tak segan-segan membawa wanita yang dia rayu itu