"Kamar ini kecil," keluh Lisa di dalam hati. Dia naik ke atas ranjang kecil yang ada di sana dan langsung berbaring karena terlalu lelah hanya untuk sekedar ke toilet membersihkan diri.
"Ugh...," erangnya. Ia memegangi bahunya yang terasa sakit akibat gigitan Revin. Lisa terisak, ingin sekali rasanya dia mencurahkan semua perasaannya, tetapi kepada siapa? Dia sama sekali tidak punya tempat untuk mengadu.
Satu-satunya tempat ia pernah menceritakan isi hatinya adalah kepada Dokter Sinta yang adalah seorang psikiater.
"Tidak, aku tidak boleh ke sana. Jika Kak Revin tahu bahwa aku pernah 'sakit', dia juga akan tahu kalau aku pernah hamil dan keguguran. Itu tidak boleh terjadi! Kak Revin tentu akan semakin jijik padaku. Tidak, sebisa mungkin, jangan sampai Kak Revin tahu. Mudah-mudahan saja Kak Revin tidak akan pernah tahu," lirihnya cemas di dalam hati. Pada akhirnya, Lisa tertidur begitu saja.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Lisa terbangun. Kepalanya terasa berat dan seluruh badannya terasa sakit.
"Ughh.." Lisa melenguh. Ia berjalan terhuyung-huyung keluar kamar menuju ke kamar mandi, dan muntah-muntah di sana. Kehamilannya memang membuatnya muntah-muntah setiap pagi, hingga berat badannya cepat berkurang. Rasanya Lisa mau pingsan saja. Dia merasa hampir tidak bertenaga lagi setelah muntah-muntah.
•
•
Lisa diam-diam mengambil kopernya dari atas. Setelah itu ia pergi mandi.
"Tidak ada kotak P3K. Aku harus membelinya nanti," ucapnya ketika akan mengobati luka-lukanya.
Saat menatap cermin, ada luka kecil di sudut bibirnya. Luka itu karena Revin menamparnya tadi malam. Memikirkan itu, hati Lisa sakit. Ia pun sedikit memoles perona di wajahnya setelah memakai krim wajah.
"Pasti tidak apa-apa, kan? Kata dokter krim ini tidak apa-apa dipakai walau sedang hamil," ucap Lisa meyakinkan dirinya sendiri. Lalu ia memakai sedikit bedak dan pelembab bibir.
"Wajahku pucat sekali. Pasti jelek kalau tidak didandan. Aku harus selalu terlihat cantik di hadapan Kak Revin," lirih Lisa dalam hati.
Lisa sadar, dirinya banyak kekurangan sebagai perempuan di hadapan Revin, untuk itu setidaknya dia harus mempertahankan kecantikan yang ia miliki saat Revin sedang menatapnya.
Setelah memperhatikan wajahnya yang tampak lebih segar, Lisa segera beranjak keluar rumah karena taksi online yang ia pesan sudah datang. Mobil miliknya masih berada di apartemen, tempat ia tinggal selama ini, belum sempat ia ambil. Itu sebabnya ia memakai taksi online. Dia akan berbelanja sebentar ke supermarket 24 jam untuk membeli bahan keperluan dapur.
Selesai berbelanja, Lisa langsung menuju dapur.
"Aku akan memasak sup daging kesukaan Kak Revin. Cuaca sedang dingin. Dia pasti akan lahap makan."
Setelah beberapa waktu Lisa selesai memasak dan menghidangkannya di atas meja makan. Makanan di atas meja benar-benar menggugah selera. Tampak sangat lezat. Lisa duduk di salah satu kursi makan dengan kening mengerut.
"Ukh.. Padahal dulu aku selalu penuh energi. Tetapi sekarang, kenapa setelah berbelanja dan memasak saja rasanya sudah capek sekali?" keluhnya dalam hati.
"Ah, ini mungkin karena aku sedang hamil!" Lisa mengelus perutnya sambil tersenyum lembut.
Lisa melirik jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi.
"Kenapa Kak Revin belum turun?" Lisa menatap ke arah tangga. "Apa lebih baik aku ke atas untuk melihatnya?" Baru saja dia berpikir seperti itu, suara cepat langkah kaki terdengar dari arah tangga. Revin tampak terburu-buru.
Lisa berdiri dan menghampiri Revin. "Kak Revin, ayo sarapan. Aku memasak sup daging kesukaan kakak," ajak Lisa sambil berupaya tersenyum. Seolah tadi malam tidak terjadi apa-apa. Lagian tadi malam Revin kan mabuk, jadi kemungkinan ia tidak ingat akan perlakuan kasar yang ia lakukan terhadap Lisa.
Revin menatap Lisa dengan dingin. "Aku sudah terlambat berkat istri yang tidak berguna sepertimu," sarkasnya. Senyum Lisa seketika sirna. Lisa memang berniat membangunkannya, tetapi dia takut suaminya itu marah padanya karena mengganggu tidurnya. Lagian Lisa juga tidak tahu jika pagi ini Revin ada jadwal.
Setelah berkata seperti itu, Revin hendak melangkah keluar rumah tetapi ponselnya berbunyi. Sebuah pesan chat masuk, dan ternyata pesan itu dari dosen pembimbingnya. Revin pun membaca pesan itu. Ternyata dosennya menunda pertemuan mereka menjadi siang di kampus.
"Memang anj****g!" makinya pada dosennya yang selalu suka menunda, membuat jadwal Revin terganggu. Padahal siang ini harusnya Revin akan ke kantor.
Revin pun membalas pesan dosen pembimbingnya itu dengan kalimat, "Iya, Pak." Dan ia kembali menatap Lisa.
"Siapkan makananku," titahnya.
Lisa yang sempat terdiam melihat Revin yang mengeluarkan umpatan, kembali bersemangat ketika Revin memutuskan untuk sarapan di rumah. "Iya! Ayo, kak, ke meja makan," ucapnya ceria.
Revin mengikutinya dan duduk di salah satu kursi. Dengan cekatan Lisa yang berdiri di sampingnya, menaruh nasi dan lauk ke piring Revin. Lisa juga mengambil mangkuk dan menaruh sup daging yang baru masak di dalam mangkuk itu. Terlihat asap mengepul, aroma sup daging lezat pun menguar di penciuman Revin.
Melihat sup daging itu, wajah Revin kembali menggelap. Emosinya seketika terpancing!
Sebelum menikah, tiap mereka melakukan hubungan intim, Lisa terkadang memasakkan sup daging untuk memulihkan staminanya. Dan Revin sangat menyukai sup daging buatan Lisa. Tetapi ternyata segala kebaikan dan perhatian yang diberikan Lisa padanya hanyalah suatu jebakan agar ia terlena kemudian masuk ke dalam perangkap. Melihat sup daging itu, Revin kembali merasa dibodohi oleh Lisa. Tanpa pikir panjang Revin menepis mangkuk berisi sup daging. Prang!! Lisa terpekik. Mangkuk itu terjatuh di dekat kaki Lisa. "Panas...," rintih Lisa dengan wajah nanar. Ia menahan sakit. Beling pecahan mangkuk terserak ke mana-mana. Lisa hanya bisa berjongkok memegang kakinya yang mulai melepuh. Revin terkejut karena mangkuk yang ia tepis mengenai Lisa. Ia berdiri dari kursi. "Kau itu perempuan ular. Itu sebabnya kau tertimpa sial. Tuhan pasti sedang menghukummu!" Revin menghembuskan napas kasar. "Gara-gara kau, aku sudah tidak berselera makan," geramnya. Kemudian ia segera ke luar rumah, meninggalkan ist
Revin bertanya sambil melihat ke sekeliling ruangan. Lisa mengangguk dan bersandar pada punggung sofa. Ia memejamkan matanya. "Pelayan datang di pagi hari untuk membersihkan saja dan membuat sarapan," jawab Lisa. "Sekarang, antarkan aku ke kamar atas," ucapnya kemudian dengan nada memerintah. Revin mendengkus tetapi tak urung dia tetap menggendong Lisa dan membawanya ke kamar atas menaiki tangga. Itu bukanlah hal yang sulit karena Revin rajin berolahraga untuk membentuk ototnya sehingga ia cukup kuat. Revin mendapati sebuah kamar dengan pintu berwarna merah muda di sana. "Lisa, bantu aku membuka pintu kamarmu ini," ucap Revin karena kedua tangannya sedang menggendong Lisa ala pengantin. Dengan malas Lisa memegang daun pintu dan membukanya. Revin pun langsung melangkah membawa Lisa masuk ke kamar peraduannya. Dia membaringkan Lisa di atas ranjang dan kemudian hendak melangkah pergi. "Tunggu, Kak." Tiba-tiba tangan Lisa mencengkeram pergelangan tangan Revin. Lisa langsung duduk kemu
'....berbeda dari yang lain.' Wajah Lisa masih dihiasi senyuman manis. Ia mengangkat tangannya lalu menyentuhkan jemarinya ke pipi Revin. 'Ini...karena Kak Revin atau karena aku yang belakangan ini tidak pernah melakukannya lagi ya?' 'Um.. atau jangan-jangan karena kedua-duanya?' Lisa terkikik, menutup mulutnya sendiri karena merasa geli akan pikirannya. Memang belakangan ini Lisa tidak melakukan aktivitas itu karena ia lebih sibuk menguntit kehidupan Evans bersama perempuan lain. Dia selalu mencari tahu siapa yang dekat dengan Evans. Tetapi keadaan sudah berubah. Sejak kejadian tadi malam, sejak Lisa merasakan sentuhan Revin, kehadiran Evans di dalam otaknya langsung lenyap. Lisa ingin mengulanginya lagi pagi ini, tetapi Revin masih tidur. Bibir Lisa mengerucut manja. Ia mulai mengetuk-ngetuk pelan ujung jarinya pada hidung mancung Revin. "Bangun, Sayang," ucapnya kemudian dengan mesra tetapi Revin tidak menggubris. Lalu untuk kedua kalinya Lisa mengetuk-ngetukkan ujung jariny
Ia mengerlingkan sebelah matanya sambil menjulurkan lidahnya sekejap dengan gerakan centil. Melihat itu, Revin menghela napasnya pelan. "Lisa memang wanita penggoda," ucapnya dalam hati. "Tidak. Aku mau kopi," jawab Revin sambil tersenyum dengan tenang. "Okay." Lisa menuangkan susu di gelas untuknya sendiri tanpa memanaskannya lalu segera dengan cekatan membuatkan kopi untuk Revin. "Ini, Sayang," ucapnya lembut sambil menyodorkan pelan satu cangkir kopi dan duduk di samping Revin. "Makasih ya." Revin menyesap kopi tersebut. Aromanya menguar tajam dan sangat nikmat di lidah. "Unik rasanya," ucap Revin sambil menyesap kembali kopinya. "Itu kopi dari daerah Sidikalang. Papaku kadang ke Sumatera karena urusan bisnis. Dia membawa kopi itu dari sana karena dia suka sekali kopi itu. Kalau papaku kemari menjengukku, aku biasanya akan membuatkan itu untuknya," ucapnya sedikit berbohong. Sebenarnya Lisa sendiri yang memesan kopi itu dari sana. Berharap suatu hari nanti ayahnya datang mene
Revin melajukan mobilnya. Ada Anna di sampingnya. Hari ini dia akan melakukan kencan dengan perempuan ini sesuai perintah Renata, mamanya. Revin hanya diam. Anna juga memutuskan untuk diam saja. Walaupun di awal dia ingin berjuang agar perjodohan mereka berhasil, tetapi mendengar kata-kata Revin yang pedas tadi tentang dirinya yang suka membully, membuat nyalinya ciut. Apalagi semua yang dikatakan Revin benar adanya. Sesampainya di sana, Revin dan Anna memutuskan duduk di tempat yang disediakan di sekitar bioskop tersebut. Karena masih ada dua puluh menit lagi film itu akan diputar, mereka pun memesan minuman dan camilan sembari menunggu. "Ada apa, Kak?" tanya Anna yang tanpa sengaja melihat Revin meliriknya. Anna juga pernah sebentar menjadi pacar Evans karena perjodohan, tetapi Evans memutuskannya karena tidak ada rasa cinta di hati Evans untuknya. "Kau sebelumnya berpacaran dengan Evans. Seberapa jauh hubungan kalian?" tanya Revin bersikap dingin. Terhadap Lisa, Revin tidak begi
"Baguslah kalau begitu. Aku pulang duluan," ucapnya ketus. Anna mengangguk pelan. Revin pun langsung meninggalkannya sendirian di sana.Begitulah kencan Revin dan Anna berlangsung dan berakhir dengan cara yang tidak menyenangkan. Walaupun terlihat gampangan, tetapi sebenarnya hati Revin memang sulit untuk ditaklukkan. Semua mantan pacar Revin adalah perempuan yang cantik. Tetapi Revin tanpa ragu akan langsung memutuskan hubungan begitu mengetahui sifat jelek wanitanya yang tidak bisa ditolerir lagi. Revin juga adalah tipe lelaki yang sulit percaya pada mulut perempuan. Apalagi jika perempuan itu memiliki nama yang tidak baik di lingkungannya.***Tiba malam."Benar-benar membosankan!" Revin menguap sambil membaca sekilas apa yang ia ketik barusan. Revin pun teringat akan kencannya tadi. Berkencan dengan Anna adalah hal yang konyol bagi Revin. Dan yang paling membosankan adalah ketika tadi ia pulang k
Lalu kemudian dia mengangguk. "Aku membawakan Kakak bekal makan siang. Kakak sudah makan belum?" tanya Lisa bersemangat. "Wah, belum. Seriusan nih, kau membawa bekal untukku?" tanya Revin bersemangat. Teringat masakan Lisa kemarin begitu lezat, rasanya dia ingin mencoba lagi masakannya. "Iya, biar Kak Revin tahu bahwa aku tidak hanya bisa memasak nasi goreng saja. Tetapi masakan yang lain juga. Aku yakin buatanku pasti enak!" jelasnya dengan antusias. "Jadi nggak sabar nih. Kita makannya di kafe aja yuk. Yang dekat sini," ajak Revin kemudian. "Kenapa nggak di kantin aja, Kak? Kan lebih dekat?" tanya Lisa. Revin sedikit bingung menjawabnya. "Um. Menurutku lebih nyaman di sana," jawab Revin asal. "Padahal di sini kantinnya nyaman aja tuh. Tapi, okay deh, Kak." Lisa tersenyum menyetujui. Tidak mau terlalu membantah. Lisa yakin pasti Revin punya seseorang di kampus ini. Tapi ia tidak akan menyerah begitu saja. Di kafe dekat kampus, mereka memesan makanan untuk Lisa dan juga kopi un
'Lisa? Pas banget dia nelpon waktu aku lagi mikir yang aneh-aneh.'Revin menggeleng sambil terkekeh. Lalu mengangkat teleponnya."Halo, Lisa," sapa Revin"Halo, Kak Revin lagi apa sore begini? Apa masih di kampus?" tanya Lisa ceria."Ini lagi di rumah, biasalah lagi menyusun skripsi.""Hmmm. Tampaknya Kak Revin bakalan panjang nih kesibukannya ya." Lisa tampak tak bersemangat."Memangnya kenapa?" Revin terkekeh."Tidak apa-apa. Kak Revin lanjutkan saja pekerjaannya," ucap Lisa lembut."Kau mau mengajakku main ke klub ya?" tebak Revin kemudian."Iya s
Lisa tetap diam. Hatinya menjadi semakin resah. Sebaliknya daripada menjawab Revin, Lisa mengalihkan pandangannya pada Damian. Dia seolah menunggu kode, tetapi Damian hanya diam tidak berkata apa-apa.Akhirnya dia beralih menatap Revin. Dengan gugup dan malu dia berkata, "Kau bilang, kau... mengetahui fakta tentangku. A-apa kau juga tahu bahwa dulu sewaktu masa sekolah, aku...aku...pernah mengalami..." Lisa diam tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Baginya ini sangat menyedihkan dan memalukan. Tapi tiba-tiba Revin memeluknya membuat Lisa terkejut dan melebarkan mata."Tidak usah kau jelaskan, Sayang! Aku tahu semua hal buruk yang menimpamu. Pria itu sudah mendapatkan ganjarannya di penjara. Begitu pula dengan Nafa, mantan ibu tirimu. Sampai sekarang dia masih berada di sana."Mendengar itu, air mata Lisa tiba-tiba jatuh tanpa bisa ia kendalikan. Tubuhnya bergetar dan dia mulai menangis. Dia sudah tahu tentang nasib pria itu dan nasib Nafa dari Damian, tapi saat pria ini yang mengataka
Revin terdiam mendengar ucapan Damian yang dari sejak lima tahun lalu sebenarnya selalu ia pikirkan. Apakah Lisa memang membencinya? Apakah itu adalah fakta? Sampai sekarang Revin tidak tahu jawabannya. Dan itu benar-benar berhasil membuatnya merasa gelisah dan dihantui. Tapi dia selalu mengingat saat terakhir ia berbicara pada Lisa waktu itu di mana Lisa masih memberikan perhatian pada luka di sudut bibirnya. Jika Lisa memang membencinya, mana mungkin ia masih memperhatikan hal kecil seperti itu sementara dirinya sendiri sudah di ambang maut. Entahlah! Revin tidak bisa menerkanya."Aku akan membuatnya mencintaiku," jawab Revin singkat pada Damian.Damian kembali mendengkus. "Rasa percaya dirimu terlalu tinggi."Revin mengerutkan kening. "Batu pun akan berlubang jika terus terkena tetesan air. Asalkan aku bertekun berbuat sebaik mungkin untuknya, aku akan mendapatkan hasilnya. Tapi itu bisa terjadi kalau kalian semua setuju untuk tidak ikut campur dalam hubungan kami."Damian menghela
"Mereka tidak terlibat," jawab Damian jujur.Revin sedikit lega mendengarnya ternyata orang tuanya masih memiliki hati nurani. Dia lalu bersedekap. "Kau menyembunyikan istriku selama lima tahun, aku bisa saja menjebloskanmu ke dalam penjara, Damian."Damian menatap Revin. "Laporkan saja, tapi Lisa akan semakin membencimu jika kau melakukan itu.""Dia kehilangan ingatan. Dia lupa padaku, jadi dia tidak memiliki rasa benci," tanggap Revin.Damian mendengkus. "Aku bisa membuatnya membencimu.""Apa pun itu akibatnya. Aku tetap bisa melaporkanmu kalau aku berkehendak," tegas Revin dengan kening mengerut tidak suka akan ancaman Damian.Damian geram mendengarnya. "Lima tahun lalu, Lisa mengalami mati suri. Harusnya kau berterima kasih padaku. Kalau bukan karena aku, Lisa pasti sudah dikubur hidup-hidup. Akulah satu-satunya yang menyadari bahwa Lisa masih hidup karena aku terus memperhatikannya dengan seksama dan langsung membawanya ke rumah sakit untuk memastikan penglihatanku!"Mereka semua
Di ruang rawat, mata Revin terus tertuju pada Lisa. Dan tangannya tak pernah lepas menggenggam tangan Lisa. Sesekali ia mengusap kepala Lisa pelan dengan rasa sayang."Lisa, aku mencintaimu," ucapnya dengan wajah sendu. Hingga detik ini ia masih tidak menyangka bahwa Tuhan telah sangat berbaik hati memberinya kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya pada Lisa."Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang Kau berikan padaku ini, Tuhan," ucap Revin di dalam hati dengan penuh rasa syukur.Pikirannya terus berputar merancang masa depan apa yang akan ia jalani bersama Lisa dan putri mereka satu-satunya."Itu sangat bagus jika Lisa benar-benar lupa," gumam Revin. "Aku berharap dia bisa lupa untuk selamanya. Bukankah sangat bagus jika Lisa lupa akan hal yang menyakitkan dalam hidupnya? Aku hanya tinggal membuat kenangan yang baru untuk kami. Kenangan-kenangan baru yang indah yang pantas untuk dikenang."Walaupun hilangnya sebagian ingatan Lisa sama dengan melupakan hubungan mereka, bagi R
Revin sungguh terpesona saat melihat Lisa keluar dari area toilet. Melihat Lisa secara langsung seperti ini, membuat keyakinan Revin mencapai seratus persen bahwa wanita yang berfoto dengan Lalisa memang adalah Lisa, istrinya. Lisa benar-benar masih hidup! Rasanya seperti mimpi bagi Revin. Tapi dia sadar betul bahwa ini adalah kenyataan! Kenyataan yang sungguh menakjubkan! Lisa terlihat sangat cantik, sama saat pertama kali ia mengenalnya di masa kuliah dulu. Jika dibandingkan dengan masa itu, Lisa sama sekali tidak ada perubahan.Namun, Revin tentu masih sangat mengingat tubuh kurus Lisa dengan perut membuncit dan penyakitan. Saat itu Lisa terlihat sangat menyedihkan. Tapi kini sosok Lisa yang seperti itu sudah tidak ada. Memikirkan hal ini, jelas sekali menunjukkan bahwa Lisa menjalani hidupnya dengan sangat baik selama lima tahun ini."Ternyata Lisa telah mengambil keputusan yang tepat untuk bersembunyi dariku dan Lalisa," ucap Revin dalam hati dengan patah semangat. Sejujurnya dia
"Ini adalah hari bahagia Damian, aku harus semangat, setidaknya untuk hari ini," ucap Lisa di dalam hati.Ia menatap penampilannya di depan cermin toilet. Cermin itu ukurannya memanjang sehingga beberapa wanita bisa bercermin di cermin yang sama secara bersamaan. Saat ia sibuk memperbaiki penampilannya Lisa pun segera menyadari sesuatu. Di dalam cermin, dia melihat pantulan seorang gadis kecil yang sedang menatapnya dengan intens di belakang. Lisa otomatis berbalik dan menatap si gadis kecil. Dia pun langsung terpesona melihat boneka cantik itu."Hai, kenapa sendirian?" sapa Lisa dengan senyuman lembut."Aku tidak sendiri. Papaku ada di luar menunggu." Lalisa langsung melangkah menghampiri Lisa, mendongak menatapnya dengan mata berbinar."Oh begitu.... Siapa namamu?" tanya Lisa sambil merundukkan punggungnya."Namaku Lalisa. Nama Kakak siapa?""Wah! Nama kita hampir sama. Nama Kakak, Lisa.""Mamaku namanya Lisa juga!" ucap Lalisa."Oh ya?""Iya, tapi sudah meninggal," sambung Lalisa ce
"Entahlah!" jawab Lisa dengan rasa ragu. "Apa aku menulis seperti itu di buku harianku? Aku ingin melihat buku harianku itu.""Kau tidak percaya padaku? Aku berkata jujur.""Pokoknya aku ingin melihatnya. Mana tahu aku bisa mengingat masa beberapa tahunku yang hilang.""Buku hariannya tidak ada padaku. Aku tidak tahu sekarang ada di mana. Mereka yang menyimpannya."Lisa menghela napas. "Apa papa sedih saat aku meninggal?" tanya Lisa penasaran"Tepatnya dia dihantui rasa bersalah. Soalnya apa yang dituduhkan mamaku soalmu sudah terbukti tidak benar. Dia mengira bahwa ia sudah tidak memiliki kesempatan untuk menebus kesalahannya padamu. Mungkin itu juga yang membuatnya terkena stroke saat itu juga."Lisa diam merenungkan ucapan Damian. Papanya menyesal? Jika itu benar, bukankah itu bagus! Bukankah itu hal yang diinginkan Lisa selama ini bahwa papanya akhirnya menyadari kebenaran bahwa ia tidak bersalah?"Harusnya kalau kau melihat papaku menyesal, kau tidak perlu membawaku pergi, Damian.
Damian menolak panggilan itu, tetapi saat dia kembali membuka suara, ponselnya berbunyi kembali."Dari siapa? Angkat saja dulu," ucap Lisa, tapi Damian malah mengaktifkan mode pesawat agar telepon tidak dapat masuk."Yang mau kukatakan lebih penting. Jujur, Lisa. Aku sangat terkejut karena kemarin kau tiba-tiba datang kemari tanpa pemberitahuan.""Kalau kuberitahu, kau pasti tidak mengizinkan. Kau terlalu mengkhawatirkanku, padahal aku baik-baik saja sekarang."Damian menghela napas. Lisa datang ke ibukota, cepat atau lambat rahasia yang ia simpan pasti akan terbongkar. Semalaman Damian memikirkan hal ini. Dan kesimpulan yang ia tarik adalah lebih baik jika dia duluan yang mengungkapkan. Walaupun tentu saja tidak semua langsung ia beritahu. Beberapa hal akan dia tahan dulu. Dia takut mental Lisa malah terganggu kembali jika ia memberitahu semuanya sekaligus. "Berjanjilah kau tidak akan marah. Ada rahasia yang ingin kuberitahu." "Baiklah, apa itu?" jawab Lisa cepat. Lisa yakin sepenuhn
"Bu! Apa Lisa sudah kembali? Aku tidak melihatnya di sana," seru Damian dengan wajah pucat dan napas tidak beraturan begitu sampai ke dalam rumah."Tenanglah, Nak. Dia sudah kembali. Mungkin dia sedang mandi sekarang," jawab ibu tiri Damian dengan suara tenang.Seketika hati Damian melega. Dia pun pergi ke lantai atas untuk menunggui Lisa. Tidak berapa lama Lisa pun muncul. Secara fisik dia sehat. Berat badannya pun normal. Lisa terlihat sangat cantik dan awet muda dengan rambut hitam lurus sebahu. Dia tidak lagi mengecat rambutnya. Dan walaupun usianya sudah 26 tahun, ia terlihat seperti berusia 20 tahun."Lisa!" seru Damian menghampiri Lisa, dan langsung memeluknya."Kenapa pergi ke kuburan sendirian?" tanyanya tak paham setelah melepas pelukannya.Lisa tersenyum. "Kau mengkhawatirkanku?""Kau tahu akulah manusia yang terus mengkhawatirkanmu," lugas Damian dengan bibir cemberut."Kau kan banyak urusan karena akan wisuda, jadi aku memutuskan pergi sendiri. Aku sudah lama sekali tidak