Bab 6

Lastri menggulung lengan bajunya, mulai mencuci beras, menyalakan api, memanaskan wajan, dan menuang minyak. Gerakannya begitu cekatan, seolah-olah dia sudah melakukannya ratusan kali.

Melihat pemandangan ini, para pelayan senior di dapur terkejut. Bahkan, Icha tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.

"Nona ... kapan Anda belajar memasak?" tanya Icha dengan nada tidak percaya. Dia tahu betul bahwa Lastri jarang sekali melakukan pekerjaan rumah tangga. Bahkan untuk masuk dapur saja, itu adalah hal yang nyaris mustahil. Lantas, bagaimana bisa dia memasak?

Lastri membalas sambil tersenyum, "Kamu pikir nonamu ini nggak belajar apa-apa ya?"

Sambil menjawab, Lastri melirik sekilas masakan yang dibuat para juru masak tadi. Dari situ, dia mendapatkan gambaran tentang selera makanan Surya dan Rahayu. Dia pun memutuskan untuk membuat bubur sederhana dengan beberapa lauk kecil yang cepat saji.

Lastri memahami prinsip "tidak berlebihan". Jadi, dia memilih membuat masakan yang tidak terlalu mencolok tetapi tetap berkesan.

Para pelayan senior yang awalnya hanya ingin menonton drama dan menunggu Lastri membuat kesalahan, sekarang hanya bisa saling memandang. Tidak mereka sangka bahwa Lastri bisa menyelesaikan masakannya dengan begitu cepat.

"Aduh. Menurut kalian, apa Nyonya Lastri akan benar-benar diterima di kediaman ini?" bisik salah satu pelayan senior yang terlihat cemas.

Pelayan senior lain menyahut, "Meskipun diterima, Kediaman Adipati ini dipimpin oleh Nyonya Rahayu. Seorang gadis muda seperti dia, mana mungkin bisa mengendalikan kita? Masak makanan saja nggak akan cukup untuk bikin Nyonya Rahayu luluh!"

Mendengar ini, pelayan senior lainnya mengangguk setuju. Kecemasan mereka pun mereda. Sementara itu di sisi lain, Icha terlihat murka. Dia berucap, "Nona, mereka sangat keterlaluan! Anda harus melaporkan ini kepada Nyonya Rahayu agar mereka diberi pelajaran!"

Namun, Lastri tetap tenang. Dia melirik Icha dengan pandangan lembut tetapi tegas sambil membalas, "Icha, kapan kamu akan belajar untuk lebih sabar? Biarkan mereka berkata apa yang mereka mau. Aku nggak perlu menurunkan derajatku cuma untuk meladeni mereka."

Lastri melanjutkan dengan nada serius, "Ingat, statusku masuk ke kediaman ini nggak sepenuhnya bersih. Fokus utamaku sekarang adalah mendapatkan pengakuan dari Adipati Surya dan Nyonya Rahayu. Kalau mereka sudah menerima aku, nggak ada yang berani bergosip tentangku lagi."

Icha mengangguk, walaupun masih terlihat sedikit bingung. Dia lalu bertanya, "Tapi ... bukannya seharusnya Anda lebih memprioritaskan pengakuan dari Tuan Guntur?"

Lastri teringat pada tatapan dingin dan rasa jijik yang ditunjukkan Guntur. Dia menggeleng, lalu membalas sambil tersenyum pahit, "Kami cuma perlu saling menghormati."

Icha sepertinya ingin membantah, tetapi sebelum sempat berkata apa-apa, Nisa sudah berlari menghampiri mereka. Dia berbicara dengan cemas. "Nona, Nona Sekar datang membawa orang-orang untuk meminta kembali maharnya!"

Mata Lastri berkilat tajam. Dia memerintah Icha dengan tenang, "Bawakan kotak makanan ini ke paviliun tengah. Pastikan nggak ada keterlambatan dalam menyajikan sarapan kepada ayah dan ibu mertuaku. Aku akan ke paviliun depan."

Icha membalas dengan khawatir. "Nona, biar hamba menemani Anda. Jangan sampai Nona Sekar memperlakukan Anda dengan nggak sopan."

Lastri menimpali sambil tersenyum, "Dasar bodoh, ini Kediaman Adipati. Mana bisa dia bisa bertindak seenaknya di sini? Ini bukan Kediaman Sudrajat di mana dia bisa berlindung di balik ibuku. Aku akan baik-baik saja."

Kemudian, Lastri melangkah pergi menuju paviliun depan bersama Nisa. Ketika memasuki paviliun, dia langsung melihat Sekar yang mengenakan pakaian mahal dan hiasan kepala yang mewah.

Tatapan Sekar sedikit berubah saat melihat Lastri. Meski hanya sesaat, dia tidak bisa menyembunyikan kecemburuan yang melintas di matanya.

Namun, Sekar segera memasang ekspresi dingin. Dia bahkan berucap sambil menyeringai sinis, "Kak Lastri, kamu memaksa merebut suamiku. Aku yang cuma seorang gadis biasa nggak bisa melawanmu. Jadi, aku terpaksa menyerahkan ini kepadamu."

Sekar menunjuk deretan 64 peti mahar yang berjajar di halaman, lalu memberi tahu, "Tapi untuk mahar, aku rasa kita harus membicarakannya baik-baik. Saat aku menikah, keluarga mempersiapkan 120 peti mahar untukku. Tolong kembalikan sisanya, Kak."

Kembalikan? Mata Lastri berkilat dingin. Pada kehidupan sebelumnya, mahar 64 peti ini sebenarnya diberikan oleh kakeknya. Ibunya hanya menambahkan sedikit dan mengatakan bahwa sisanya disimpan untuk adik laki-laki Lastri sebagai bekal di masa depan.

Lastri percaya begitu saja. Dia bahkan berpikir bahwa karena Keluarga Naswara adalah keluarga kecil. Membawa terlalu banyak mahar akan membuat mereka merasa diremehkan.

Lastri juga merasa bahwa dengan ayah yang telah tiada, ibunya harus membesarkan adik laki-lakinya di Kediaman Sudrajat. Harta keluarga yang melimpah itu adalah dasar bagi masa depan adiknya.

Namun, kenyataannya? Ibunya tidak menyimpan apa pun untuk adik laki-lakinya. Semua harta itu diberikan kepada Sekar sebagai mahar!

Sekarang, Sekar masih punya nyali untuk datang dan meminta lebih? Apakah dia benar-benar menganggap Lastri tidak punya daya untuk melawan?