Akhirnya hari pernikahan itu telah tiba. Angela nampak cantik dengan balutan makeup yang terpoles di wajahnya, ditambah gaun putih pilihan Emily. Wanita itu berjalan anggun menghampiri pengantin pria.Janji suci pun terucap. Semua orang yang hadir memberikan ucapan selamat atas pernikahan mereka yang sudah resmi. Aron menyapa mereka. Tangannya mengulurkan sebuah amplop kecil. "Ini hadiah untuk kalian."Sempat menjadi perbincangan bahkan tawa kecil mulai terdengar. Emily menggeleng malu melihat tingkah anaknya. "Tapi, kalian bisa membukanya sekarang," perintah Aron agar Angela tidak penasaran. Untungnya ia sempat menulis catatan di dalam kertas amplop itu.Max mengangguk lalu Angela membuka isi amplop tersebut. Benda kotak yang tipis membuat mulutnya menganga tidak percaya apa yang sedang dilihatnya itu. Blackcard dengan pinggiran emas menjadi pusat perhatian orang yang menghadiri pernikahan itu.Tawa kecil mulai lenyap tak ada orang yang bersuara. Emily terharu menyaksikan pemberian
"Jadi, siapa pemilik mobil dengan plat itu?" tanyanya dengan tatapan tajam. Tertentang dari raut wajah, pria itu berusaha menahan emosi."Saya tidak tahu jelas. Tapi, kami menemukan sinyal dari ponsel atas nama—" Kalimatnya terpotong mencari informasi identitas dari saluran telekomunikasi. Bills mengintip tulisan yang ada di layar monitor. Tidak ada data petunjuk. Ia mendengus kesal. Emosinya meluap tak tertahankan. Tangannya membanting barang-barang di sekitarnya. Kumpulan alat pengetikan yang tertata rapi di rak kini berantakan. Semua orang yang ada di dalam ruangan itu nampak terkejut dan terdiam tak berkomentar.Brak! Napas Bills terengah-engah seakan kesurupan. Mereka sudah berupaya sebaik mungkin untuk mendapatkan informasi detail dari rekaman CCTV. Ia merasa terpukul akan kekalahannya itu. Tetapi, Bills tidak akan menyerap begitu saja."Ka–kami tidak tahu siapa orangnya, Tuan," sambungnya gelagapan. Kemudian bibirnya kembali terkunci."Payah!" Kepalan jemarinya sengaja dibent
Semenjak anaknya giat berlatih Emily tak berhenti belajar memasak untuk Aron. Pagi sekali ia mulai kesibukannya di dapur. Leo menyadari istrinya yang merubah dirinya sendiri karena inisiatif seorang ibu. Keharmonisan keluarga itu semakin terlihat. Tetapi, hari ini adalah penentuan atas semua latihan Leo selama sebulan. Tentunya Aron bersedia untuk menepati semua janji yang diucapkannya. Aron masih belum terbangun dari tidurnya. Sesuatu asing membuatnya bertemu dengan sang dewa langit. Ia tidak menduga pertemuan keduanya membuat Aron semakin membara. Bola matanya menatap dewa langit. Mereka saling berhadapan. Berbagai pertanyaan memutari isi kepala Aron. Dewa langit menyuguhi teh hangat."Senang berjumpa kembali, Baron Arsenio," sapanya sembari menyodorkan cangkir yang berisi teh. "Apa kau tidak ingin minum?""Sejauh ini tidak ada yang menjadi masalah. Tapi, mengapa untuk meningkatkan kekuatan saya harus lebih emosi?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaan dari dewa langit."Aku memilihmu
Keduanya bergegas setelah meminta izin kepada wanita itu. Kekompakan antara Leo dan Aron bak kolaborasi yang pas. Aron membisu saat di dalam mobil. Akan tetapi, Leo mulai mengajaknya bicara. "Tidakkah kau pernah berfikir kalau pekerjaan kita bertentangan dengan status keluarga bangsawan?" Pandangannya yang mulanya fokus ke luar jendela, kini menoleh ke wajah Aron.Ia memaku tidak memberikan jawaban apapun. Aron menatapnya balik. "Mungkin ini aneh. Seharusnya aku lebih banyak menghabiskan waktu dari dulu bersama untuk mendiskusikan hal ini. Tapi, kita tidak menyesali apa yang sudah terlewat." Leo memaksakan senyum.Ia menatap tegas ayahnya. "Aku bersedia menggantikan posisi ayah," selanya. Aron mengikuti Leo melihat ke arah bangunan tanpa warna. Mobil yang dinaiki mereka berhenti tepat di sebuah parkiran. Mobil polisi tertata rapi memenuhi area tersebut. Kedatangan Leo disambut para polisi. Memang Leo pernah ikut andil dalam militer. Hanya para polisi terpercaya yang mengetahui iden
Layaknya anak pada umumnya, Aron berlari kecil menghampiri ibunya. Leo menggeleng kepalanya saat Aron kegirangan bertemu lagi dengan Emily. Wanita itu menyambut kedatangan mereka."Dari tadi ibu menunggu kita? Aku rindu masakan ibu," ucap Aron penuh semangat."Tidak biasa kau begini. Ada apa Sayang?" tanya Emily seraya mengelus kepala Aron. Sementara dua bola matanya melirik ke arah Leo. "Tidak apa-apa," jawabnya singkat yang melepas perlahan pelukan itu. Merasa tubuhnya bau keringat, Aron cepat-cepat membersihkan diri sebelum orang lain menyuruhnya. "Aku mau mandi dulu, yah," pamitnya kian menjauh.Emily duduk disebelah Leo. Ia sengaja menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. Pikirannya sedikit goyah ketika kesibukan semakin menumpuk. Dirasa Aron sudah tidak ada dan mengintip kesana kemari barulah Emily menyampaikan maksudnya. "Apa yang kalian lakukan tadi? Mengapa Aron terlihat begitu gembira?" tanyanya tanpa basa-basi.Pandangannya lurus ke depan. "Pengujian tes. Malam ini kita a
Sebenarnya ia tidak ingin Aron melakukan tugas mendesak. Ditambah ia tidak ingin terjadil sesuatu pada Aron nantinya. Bagaimanapun juga Aron menyetujui tawaran darinya, itu akan menguji seberapakah kemampuan arang untuk mengatasi sebuah problem. Ia juga tidak akan membohongi ataupun menutupi persoalan Aron yang mengambil tugas pertamanya kepada istrinya.Jemarinya membagikan sebuah lokasi di kontak Aron. "Semoga beruntung, Nak."Ia mengecek lokasi tersebut. Malam ini adalah gelombang dari segala mengujian kemampuannya. Aron menyukai tantangan termasuk apa yang terjadi di hari ini. "Terima kasih, ayah."Aron berjalan lebih dulu. Persiapannya untuk bertugas sebelumnya telah rampung. Dari surat izin mengemudi, kartu identitas dan masih banyak lagi yang telah disiapkan. Aron ditunjukkan beberapa jenis kendaraan. Tetapi ia memilih motor trail keluaran terbarunya. Leo mengizinkan apa yang diminta Aron. Ia bergegas mengambil kunci motor dan berangkat. Begitu juga dengan Leo yang harus melanj
Leo tak mendapat jawaban dari pesan teks yang ia kirim kepada Aron. Lokasi terakhir yang dibagikan anaknya sebuah homestay yang tidak terlalu dekat atau jauh. Tidak akan ada orang yang mencurigai sang anak. Ia bisa menilai tugas yang dilakukan Aron berhasil. Malam itu Leo tak bisa tidur. Ia menonton televisi. Seorang menteri meninggal diberitakan diberbagai saluran televisi. Kasus kali ini menjadi buah bibir dikalangan masyarakat. Siapa yang tidak mengira mayat wanita itu merupakan artis muda yang tengah naik daun. Semua orang tertarik setiap pembaruan dari berita itu. Hingga pagi pun masih menjadi trending topik di beberapa artikel.Emily terbangun. Ia tak menjumpai wajah suaminya. Bola matanya mencari sosok itu. "Sayang, apa Aron tadi malam pulang bersamamu? Apa dia ada di kamarnya sekarang?"Pria itu tak menjawabnya langsung. Tangan Emily ditarik. "Ini mungkin sulit dipercaya. Tapi Aron menunjukkan keseriusannya," ucap Leo sembari menatap lurus ke depan.Keduanya mendengarkan baik
"Pilihan yang bagus dengan sepaket resiko yang akan kamu terima." Leo tak bergerak dari posisinya. Ia melihat keseriusan wajah Aron. Ekspresi yang penuh keyakinan menunjukkan Aron siap dilepas."Tapi, pertanyaan yang tadi belum ayah jawab?" Leo mengangkat alisnya. "Pertanyaan yang mana? Sepertinya tidak ada satupun pertanyaan yang terlewatkan," balasnya.Kepalanya menggeleng. "Maksudnya soal siapa bos mafia itu? Aku butuh namanya untuk mengetahui informasi detail—""Soal itu? Dia Orlando Louis. Tak ada yang tahu seperti apa wajah pria itu. Bisa dikatakan ia pengecut. Bersembunyi dibalik topeng, itu tidak keren," potong Leo sembari tertawa renyah lalu tangannya mengeluarkan secarik potret. Bola mata mengarah pada potret itu. "Dia tipe pria yang tertutup. Saranku, jangan mencoba bergabung dengan organisasi kriminal itu," lanjutnya.Aron menyahut potret tersebut. Ia memperhatikan baik-baik penampakan yang ada di gambar. Otaknya menyimpan informasi penting. Rasa penasarannya sudah terbaya
Ledakan besar menghancurkan dataran negara Neon, tak satupun anggota bagian Orlando yang selamat dari ledakan bom itu. Tubuh Sora juga ikut terkubur reruntuhan bangunan. Usahanya untuk menyelamatkan diri tak bisa dilakukannya. Kelopak mata setengah terbuka. Pemandangan yang begitu berantakan. Di sela-sela momen itu Sora mencoba mengangkat tumpukan bangunan yang menimbun bagian tubuhnya. Sesekali ia mencari-cari oksigen. "Bila bukan si tua bangka itu, aku tidak akan susah seperti ini," decaknya mencoba keluar.Nahas, kepalanya yang baru saja nampak di permukaan menjadi sasaran tembakan Betabot. Kali ini ia benar-benar kehilangan kesadaran. Arwah Sora menolak untuk mati, sementara tubuhnya tak bisa bertahan lama. "Sialan harusnya aku hidup lebih lama," ucapnya dalam hati. Kepalanya terus mengalirkan darah segar. Hanya dalam tiga detik Sora menghembuskan napas terakhirnya.Mendengar kabar peperangan besar sengit antara Orlando dan musuhnya, menimbulkan perseteruan dari devisi yang ber
Awalnya Orlando mengira ia akan mendapatkan kemenangan besar. Melihat musuhnya tanpa senjata dan juga sendirian membuat kepercayaan dirinya semakin tinggi. Sayangnya tembakan tadi meleset tak mengenai musuhnya. "Apa?!" Kepalanya memanas menyaksikan Aron yang masih berdiri tegak. Orlando pun segera mengganti isian peluru yang ada di dalam pistolnya. "Arahkan senjata kalian padanya!" teriaknya memerintahkan seluruh pengikutnya.Serangan itu memang diterima oleh Aron. Ia mengubah elemen senjata yang diarahkannya menjadi tameng pelindung untuk mengatasi serangan bertubi-tubi. Menghilangkan rasa belas kasihan, Aron mengandalkan kebenciannya terhadap Orlando. Dendamnya begitu membara. Langkahnya maju mendekati musuhnya, belum menyerang balik mereka berjalan perlahan mundur. Dari balik gedung asap tembakan mulai menyebar. Aron memasang tatapan sinis. Emosinya dilihatkan secara terbuka. Menit-menit inilah yang sudah ia tunggu bertahun-tahun."Sekarang giliranku, Betabot mode musuh!" Dalam be
Max dan Jaz melaksanakan tugasnya sebagai mana yang diperintahkan Aron. Gadis itu hanya membatu menyaksikan pemandangan di depannya. Suara letusan senjata mulai mendengung. "Apa semua ini sudah kalian persiapkan sejak lama?" Pandangan matanya terlihat kosong. Namun dari pertanyaannya itu tidak mendapatkan respon dari keduanya. Lalu, Monica bertanya sekali lagi. "Kenapa kalian merahasiakan ini semua dariku?"Kepala mereka hanya menunduk sebagai jawaban. Tangisnya membasahi pipinya. Tatapannya ke arah jendela. Monica bisa merasakan akan terjadi peperangan besar bila mengaitkan teknologi senjata. Sangking khawatirnya, Monica tak sadarkan diri. Tubuhnya ambruk beberapa detik selanjutnya setelah berdiri tak lama menatap keluar jendela. Kedua bodyguard itu terpaksa menenangkan Monica dengan akses yang diberikan Aron. Untung saja mereka bisa mengatasi hal itu, tetapi nasib Aron masih menjadi tanda tanya. Mereka pun berdiri di samping kapsul tidur Monica. Bola mata mereka saling memandang.
"Kau sudah kelewatan batas, tuan Orlando," decak kawannya.Wajah datar Orlando tak peduli akan perkataan pria itu. Ia memilih tak peduli dan melanjutkan pesta pernikahan seperti tak ada terjadi sesuatu. Sementara dari kejauhan wajah Sora menundukkan dengan tangan mengepal. Pernikahan mereka memang digelar mewah, sayangnya kekacauan di depan mata membuat mood Sora buruk belum lagi kondisinya yang tengah hamil muda."Apa kau baik-baik saja, Sayang?" tanya Orlando sembari memeluk istrinya. Namun, setelah beberapa detik ia tidak mendapatkan balasan dari mulut Sora.Suasana canggung pun terjadi. Memang Orlando pernah berada di posisi teratas sebelum bisnisnya perlahan menurun. Siapa sangka hari itu juga semua orang yang ada di dalam pesta pernikahannya bersikap acuh tak acuh."Sudah cukup! Hentikan!" bentak Sora yang tak tahan kericuhan terjadi. Tangannya mendorong jauh suaminya itu. Lalu berlari menuju kembali ke kamar.Rasa kesal Orlando meledak seketika. Disaat kehilangan akal untuk men
Tak lama perbincangan mereka terhenti. Alarm keberangkatan berbunyi di setiap sudut ruangan. Sontak hal itu membuat Monica berdiri. Ia sedikit canggung usai mengungkapkan sedikit bagian dari isi hatinya. Aron menggandeng tangannya. Mulanya Monica tak menyadari kalau keduanya mengenakan warna baju yang sama. Hasratnya untuk bertanya semakin memuncak, mengapa pilihan warna yang dipilih tidaklah seperti persiapan sebelumnya.Gadis itu menurutinya. Semua berjalan lancar. Gaya penampilan Aron kini bak seorang bos dari segala bos kriminal. Walaupun tanpa ada tato palsu, wibawanya sudah terlihat. Mereka dikawal beberapa bodyguard. Dimana diantara mereka sebagian adalah anggota kepolisian dua negara sekaligus. Aron berjalan penuh waspada. Sewaktu-waktu, bisa saja para kepolisian tidak memihak padanya."Aku lihat aksimu, nona." Tatapan Aron lurus ke depan.Monica masih berpikir dengan apa yang akan dilakukannya. Meski ia gugup karena penampilannya yang terlihat berbeda dari pekerjaannya. Teta
Monica membuka kelopak matanya. Ia meraba-raba tubuhnya. Sepasang baju tidur melekat di tubuh Monica. "A–apa? Tidakkk!"Teriakan itu terdengar sampai di telinga Jaz. Dengan cepat Jaz menerobos masuk ke kamar. "Apa yang terjadi nona?""Siapa yang menggantikan bajuku?" tanya Monica balik. "Apa kita sudah sampai di negara Neon? Kenapa kau tidak membangunkan aku ketika pesawat sudah mendarat? Butuh beberapa jam lagi untuk bersiap?""Nona tenangkan diri anda. Undangan yang akan anda hadiri masih besok. Tuan sengaja membuat kejutan penampilan anda untuk persiapan besok," jelasnya singkat.Monica menghela napas. Ia meraih botol berisi air mineral, segera Monica meneguk hingga habis. Kakinya merangkak ke kasur. "Baiklah, dimengerti.""Bila ada keperluan lain, silahkan panggil saya," pamit Jaz meninggalkan ruangan tersebut.Monica tak percaya kalau Aron yang menggantikan baju tidur untuknya. Belum lagi ia tertidur di bahu Aron sepanjang perjalanan menuju Neon. Rona pipinya timbul begitu saja.
Monica meloncat kecil dengan girang menuju pesawat. Senyumannya diperlihatkan yang membuat semua orang salah paham. Gadis itu membalikkan badan seraya melambai ke arah Aron dan berteriak, "Cepatlah!"Aron memberikan isyarat tangan. Ia menyuruh Monica menikmatinya makanan lebih dahulu. Kakinya sengaja berjalan lebih lambat dari biasanya. Dari kejauhan pandangannya kearah gadis itu."Setibanya disana, biarkan aku yang melancarkan urusan ini. Kau tak perlu mengikutiku, Jaz—""Apa itu tidak terlalu berbahaya?" Langkah kakinya terhenti. Aron meliriknya. "Apapun itu aku akan ikut dengan anda," lanjutnya.Aron tak menggubris kalimat terakhir yang diucapkan Jaz. "Kau masih saja tidak mengerti. Aku tidak ingin melibatkan banyak orang untuk melancarkan misiku. Kau temani Monica setelah sampai di sana."Jaz mengangguk seolah mengerti apa yang dikatakan Aron. Tentu saja Jaz tidak langsung mengiyakan pernyataan itu. Ia memiliki rencana bila tuannya dikeroyok. Melihat keceriaan di wajah Monica, ki
"Lupakan hal ini." Orlando menghela napas berat. Ia belum percaya apa yang dikatakan pihak keuangan klan. Bahkan disaat pernikahan akan digelar banyak sekali cobaan ekonomi. Orlando tak ingin mengecewakan pujaan hatinya. "Bagaimana dengan gaun—"Orlando mencubit pipi Sora penuh gemas. "Sudah kubilang aku menyiapkan kejutan untukmu. Ayo kita bergegas ke negara Neon," selanya yang tak sabar mengetahui siapa pelaku di balik turunnya saham. Tangannya mengepal erat. Emosinya benar-benar meluap. Beberapa hari sebelum meninggalkan negara Atlantik tidak ada tanda-tanda musuh yang terlihat. Orlando curiga kalau pelaku yang membuatnya akan bangkrut ialah musuhnya sendiri.Pemikiran itu tak pasti, sebab Orlando tidak menemukan bukti yang konkret mengenai musuhnya. Hanya saja penyelidikan kemarin bisa membongkar identitas yang tidak asli. Ia menatap tajam ke arah Sora. Wanita itu menundukkan pandangannya dengan ekspresi sedih. Sesaat keluar keduanya sudah dijemput menggunakan pesawat pribadi.
"Nona, simpan dulu pertanyaan anda itu. Mari kita bicarakan setelah sampai di dalam mobil," pinta Jaz dengan suara pelan. Aron mengabaikan pertanyaan itu. Kakinya tetap melangkah. Ia benar-benar bersikap acuh tak acuh. Melihat reaksi Aron yang tidak peduli padanya, Monica memilih diam. Keduanya saling meredam amarah.Beberapa orang yang melintas menyorot ke arah mereka. Monica sekarang sadar apa yang telah dibuatnya. Gadis itu nampak bergegas lari dan segera meraih tangan Aron. Tentu saja hal itu membuat pria keras kepal tersenyum sendiri.Jaz sedikit kepikiran dengan situasi yang tengah terjadi. Mereka cepat-cepat kembali ke dalam mobil. Hatinya merasa tak tenang bila raut wajah bosnya begitu serius. 'Apa jangan-jangan ada pertikaian diantara mereka?'Sesampainya mereka di mobil, Jaz masih mencuri pandang ke arah keduanya. Kepalanya menggeleng-geleng mencoba menghilangkan pikiran buruknya. Ia menoleh ke belakang seraya berkata, "Selanjutnya kita akan kemana, Tuan?""Supaya tidak ada