Orlando begitu semangat penonton berita yang berisikan tentang pemimpin baru negara Atlantik. Ia tak sabar mengetahui siapakah yang akan menjadi presiden. Tangannya mengepal seakan meminta keajaiban kepada Tuhan. Kali ini calon istrinya itu mendampingi Orlando sebab hari ini adalah penentuan akankah mereka bisa menikah atau tidak.Jemarinya menarik tangan Sora. Mereka saling menguatkan satu sama lain. Dan, hasil pemilihan presiden itu dimenangkan oleh Monica. Mereka nampak bahagia. Orlando memeluknya."Kita bisa menikah! Aku tidak menyangka kalau keberuntungan jatuh padaku secara berturut-turut. Ini luar biasa, Sayang!" teriaknya melampiaskan kegembiraannya itu."Aku juga bahagia. Yang penting jangan sampai ada kata menyerah. Paham?"Orlando mengangguk. "Kita harus menemui Monica sekarang juga. Oh ya, kita juga perlu gaun. Kau sudah siap?" tanyanya balik."Aku selalu siap untuk itu." Sembari memberikan kec*pan di pipi Orlando. Ia tidak sabar untuk menguasai seluruh harta yang dimiliki
Keduanya nampak mengenakan pakaian rapi namun keduanya menutupi wajah mereka dengan masker. Alibi mereka cukup kuat ketika ditanya beberapa pengawal yang berjaga di rumah dinas Monica. "Tunggu! Kalian dilarang masuk selain perintah dari Nyonya Monica," kata pria itu yang menghalangi jalan keduanya."Memangnya kalian siapa? Dengar, aku kemari hanya untuk menemui anakku yang tercinta. Jadi kalian pikirkan sebelum aku menggunakan cara kasar." Orlando menarik lengan jaz. Ia bersiap untuk meninjau para pengawal yang masih menghalanginya."Tetap saja kalian tidak boleh masuk," ucapnya berisi kukuh melarang mereka.Salah satu dari teman yang berbisik. Entah apa yang disampaikannya membuat pengawal itu bersikap lebih terbuka. "Tapi, tolong buka masker anda."Orlando mengikuti instruksi yang diperintahkan kepadanya. Hanya tiga puluh detik ia menampakan wajah aslinya kemudian menutupnya kembali. "Aku sedang flu, itu mengapa aku menggunakan masker saat ini."Pengawal itu mencocokkan potret yang
Plak!Tamparan itu menjadi bukti kekejaman sang ayah. Monica memegangi pipinya yang terasa sakit. Bibirnya tersenyum. "Aku ini putrimu, ayah. Aku berhak menasehatimu juga. Apa aku salah?"Orlando bersiap menamparnya lagi. Kali ini Sora menghentikan niatan Orlando. "Ya, kau salah. Harusnya kau mendukung ayahmu. Kau memang tidak tahu diuntung, Monica. Kau berubah drastis setelah terpilih menjadi presiden Atlantik. Jika bukan karena bantuan dari ayahmu, kau bisa apa? Hah? Makanya lain kali itu mikir pake otak," sergahnya.Monica berdiri sembari mengelus lembut pukulan yang didapatnya. Ia tertawa. Keduanya terheran mengapa gadis itu malah tertawa bak orang gila. Kemudian ia berhenti tertawa lalu menatap mereka.Tangannya memberikan tepukan tangan. "Sebaiknya kau jaga baik-baik ayahku, Kak Sora. Dia sekarang menjadi pria pemarah dan berani memukul perempuan. Apa kau doyan dengan laki-laki seperti ini? Kalau bukan karena uang, kau tidak pernah berniat mendekatinya bukan?"Saat itu Sora tida
"Berita baru apalagi ini?" Aron segera mengecek notifikasi pesan dari Edgar. "Orang tua dari Monica menghadiri rumah dinas presiden? Menarik juga. Mari kita lihat apa yang terjadi." Aron menekan cuplikan video rekaman CCTV di ruangan pertemuan. Pria yang nampar wanita muda itu memanglah Orlando. Tidak bisa dipungkiri lagi kalau Monica adalah putri dari musuhnya. Dalam pesan teks yang tertulis, Edgar meminta Aron menyimpan bukti kejahatan tersebut.Rasa penasaran Aron pun melonjak naik iya tidak sabar mengetahui informasi lengkap dari pernyataan Edgar. Sangking tidak sabarnya ia meneleponnya. Aron memainkan jemarinya. Di saat yang tepat, Edgar bisa mengangkat panggilan telepon itu."Edgar, kenapa kau berusaha menghindar? Hahaha, kau tahu aku sampai tidak habis pikir setelah menonton cuplikan video yang kamu bagikan padaku," pungkas Aron penuh semangat."Jangan sampai video itu tersebar. Jika tidak aku bisa dicincang nona Monica. Ekhem, oh ya, jangan panggil aku Edgar. Mulai hari ini p
Sora melempar tas miliknya di atas kasur. Keduanya tidak saling berbincang usai keluar dari ruangan diskusi. Orlando terlihat kesal dengan apa yang dilakukan Monica. Padahal anak gadisnya itu masih sehari menjadi presiden Atlantik tetapi sudah bisa berani melawan dirinya. Ia merasa kalau anaknya itu dikendalikan seseorang. Tetapi itu tidak mungkin sebab Monica tidak sembarang dekat dengan orang asing meskipun gadis itu memiliki sikap friendly. Keduanya saling menatap satu sama lain. Mereka memiliki pemikiran yang sama bahwasanya Monica memiliki jalan pemikirannya sendiri. Orlando berjalan mondar-mandir. Ia tidak mempermasalahkan keadaan apalagi situasi yang kini kembali aman dan tentram. Namun, karena perubahan pada diri Monica yang membuat mereka berpikir hal buruk."Mengapa Monica berubah drastis? Apakah orang-orang yang ada di parlemen itu mempengaruhi otaknya?" tanya Sora sambil melepaskan seluruh pakaiannya.Kepala Orlando menggeleng ia tidak tahu harus bagaimana memberikan jawa
Keesokan paginya....Aron sengaja joging mengitari rumah dinas itu. Walaupun jaraknya cukup panjang jika ditotal orang tidak keberatan jika untuk melihat Monica. Namun, siapa sangka ia bertemu gadis itu yang tengah berlarian kecil. Aron mempercepat laju larinya hingga ia bisa sejajar dengan gadis itu."Selamat pagi," sapanya.Monica pun menoleh ke arah sumber suara itu. Ia menghentikan langkah kakinya. Tangannya melepas earphone yang menutupi kedua telinga. "Anda? Pria yang pernah mengantarkan saya pulang?" Ia membungkukkan badannya."Tolong hentikan ini." Aron memegangi sisi pundak Monica. "Ah maaf, saya tidak sopan. Sebelumnya saya ingin mengucapkan selamat kepada anda telah menjadi pemimpin negara Atlantik. Tidak disangka hari ini saya bertemu dengan anda lagi."Monica tersenyum. Ia berjalan dengan santai. Untung saja pagi ini tidak ada orang yang melintas di area sekeliling rumah dinas presiden. Isi kepalanya terpikir kenapa ia tidak berkenalan dengan pria asing itu. Monica terlal
"Pagi ini nona Monica bertemu dengan pria asing. Saya tidak tahu pasti siapakah pria yang ditemuinya itu," kata bodyguardnya melapor saat itu juga."Pria asing?" Ia bertanya-tanya siapakah pria yang dimaksud bodyguardnya itu. "Apa mungkin pria itu asisten pribadinya?" tanyanya. Orlando memberi isyarat agar bodyguardnya mendekat.Untuk meyakinkan bosnya itu, ia menyodorkan rekaman pengintai di area rumah dinas Monica. Jalanan itu menjadi bukti penyeledikan lebih mendalam sebab Orlando perlu mengawasi orang terdekat di sekitar Monica.Orlando berusaha keras mendengarkan percakapan yang mereka bicarakan di bangku taman. Namun, keberuntungan berada di pihak Monica. Rekaman itu tidak memiliki sumber suara yang cukup jelas alias tak ada suara dalam rekaman itu."Apa-apaan ini? Kenapa kalian tidak mengaktifkan suara supaya mendengar jelas percakapan mereka? Apakah gajimu masih tidak cukup?" Orlando melempar benda itu ke lantai."Sa–saya minta maaf, Bos." Sembari bersujud memohon ampun kepada
Dari kejauhan Aron merasa dirinya tengah diintai banyak kamera. Bibirnya tersenyum smirk. Ia sudah mengubah beberapa penampilannya. Meski ia harus berhati-hati untuk menjaga jarak dengan Monica. Ia sadar kalau mereka tengah diintai oleh pasukan Orlando. Aron akan mencari cara untuk lebih dekat dengan gadis itu.Pandangannya lurus ke depan mengawasi Monica yang tengah berlarian kecil. Hari ini ia berhasil melancarkan pendekatan dengan anak dari musuhnya itu. Tiba-tiba ia mendapatkan telepon dari Jaz. Ia pun segera mengangkat panggilan telepon itu."Bagaimana, tuan? Apa rencana mau berjalan lancar?" tanyanya penasaran."Ya, ini sangat berhasil. Buku trik itu harus direkomendasikan bagi para pria. Tapi, bukankah ini beresiko kalau gadis itu benar-benar mencintaiku?" tanya Aron balik.Jaz tak langsung menjawab mengenai pertanyaan yang diajukan itu. "Iya—""Tidak masalah, aku akan mencoba membuka hatiku. Ini misi yang bagus." Aron langsung mematikan panggilan itu tanpa pamit. Ia berjalan s
Ledakan besar menghancurkan dataran negara Neon, tak satupun anggota bagian Orlando yang selamat dari ledakan bom itu. Tubuh Sora juga ikut terkubur reruntuhan bangunan. Usahanya untuk menyelamatkan diri tak bisa dilakukannya. Kelopak mata setengah terbuka. Pemandangan yang begitu berantakan. Di sela-sela momen itu Sora mencoba mengangkat tumpukan bangunan yang menimbun bagian tubuhnya. Sesekali ia mencari-cari oksigen. "Bila bukan si tua bangka itu, aku tidak akan susah seperti ini," decaknya mencoba keluar.Nahas, kepalanya yang baru saja nampak di permukaan menjadi sasaran tembakan Betabot. Kali ini ia benar-benar kehilangan kesadaran. Arwah Sora menolak untuk mati, sementara tubuhnya tak bisa bertahan lama. "Sialan harusnya aku hidup lebih lama," ucapnya dalam hati. Kepalanya terus mengalirkan darah segar. Hanya dalam tiga detik Sora menghembuskan napas terakhirnya.Mendengar kabar peperangan besar sengit antara Orlando dan musuhnya, menimbulkan perseteruan dari devisi yang ber
Awalnya Orlando mengira ia akan mendapatkan kemenangan besar. Melihat musuhnya tanpa senjata dan juga sendirian membuat kepercayaan dirinya semakin tinggi. Sayangnya tembakan tadi meleset tak mengenai musuhnya. "Apa?!" Kepalanya memanas menyaksikan Aron yang masih berdiri tegak. Orlando pun segera mengganti isian peluru yang ada di dalam pistolnya. "Arahkan senjata kalian padanya!" teriaknya memerintahkan seluruh pengikutnya.Serangan itu memang diterima oleh Aron. Ia mengubah elemen senjata yang diarahkannya menjadi tameng pelindung untuk mengatasi serangan bertubi-tubi. Menghilangkan rasa belas kasihan, Aron mengandalkan kebenciannya terhadap Orlando. Dendamnya begitu membara. Langkahnya maju mendekati musuhnya, belum menyerang balik mereka berjalan perlahan mundur. Dari balik gedung asap tembakan mulai menyebar. Aron memasang tatapan sinis. Emosinya dilihatkan secara terbuka. Menit-menit inilah yang sudah ia tunggu bertahun-tahun."Sekarang giliranku, Betabot mode musuh!" Dalam be
Max dan Jaz melaksanakan tugasnya sebagai mana yang diperintahkan Aron. Gadis itu hanya membatu menyaksikan pemandangan di depannya. Suara letusan senjata mulai mendengung. "Apa semua ini sudah kalian persiapkan sejak lama?" Pandangan matanya terlihat kosong. Namun dari pertanyaannya itu tidak mendapatkan respon dari keduanya. Lalu, Monica bertanya sekali lagi. "Kenapa kalian merahasiakan ini semua dariku?"Kepala mereka hanya menunduk sebagai jawaban. Tangisnya membasahi pipinya. Tatapannya ke arah jendela. Monica bisa merasakan akan terjadi peperangan besar bila mengaitkan teknologi senjata. Sangking khawatirnya, Monica tak sadarkan diri. Tubuhnya ambruk beberapa detik selanjutnya setelah berdiri tak lama menatap keluar jendela. Kedua bodyguard itu terpaksa menenangkan Monica dengan akses yang diberikan Aron. Untung saja mereka bisa mengatasi hal itu, tetapi nasib Aron masih menjadi tanda tanya. Mereka pun berdiri di samping kapsul tidur Monica. Bola mata mereka saling memandang.
"Kau sudah kelewatan batas, tuan Orlando," decak kawannya.Wajah datar Orlando tak peduli akan perkataan pria itu. Ia memilih tak peduli dan melanjutkan pesta pernikahan seperti tak ada terjadi sesuatu. Sementara dari kejauhan wajah Sora menundukkan dengan tangan mengepal. Pernikahan mereka memang digelar mewah, sayangnya kekacauan di depan mata membuat mood Sora buruk belum lagi kondisinya yang tengah hamil muda."Apa kau baik-baik saja, Sayang?" tanya Orlando sembari memeluk istrinya. Namun, setelah beberapa detik ia tidak mendapatkan balasan dari mulut Sora.Suasana canggung pun terjadi. Memang Orlando pernah berada di posisi teratas sebelum bisnisnya perlahan menurun. Siapa sangka hari itu juga semua orang yang ada di dalam pesta pernikahannya bersikap acuh tak acuh."Sudah cukup! Hentikan!" bentak Sora yang tak tahan kericuhan terjadi. Tangannya mendorong jauh suaminya itu. Lalu berlari menuju kembali ke kamar.Rasa kesal Orlando meledak seketika. Disaat kehilangan akal untuk men
Tak lama perbincangan mereka terhenti. Alarm keberangkatan berbunyi di setiap sudut ruangan. Sontak hal itu membuat Monica berdiri. Ia sedikit canggung usai mengungkapkan sedikit bagian dari isi hatinya. Aron menggandeng tangannya. Mulanya Monica tak menyadari kalau keduanya mengenakan warna baju yang sama. Hasratnya untuk bertanya semakin memuncak, mengapa pilihan warna yang dipilih tidaklah seperti persiapan sebelumnya.Gadis itu menurutinya. Semua berjalan lancar. Gaya penampilan Aron kini bak seorang bos dari segala bos kriminal. Walaupun tanpa ada tato palsu, wibawanya sudah terlihat. Mereka dikawal beberapa bodyguard. Dimana diantara mereka sebagian adalah anggota kepolisian dua negara sekaligus. Aron berjalan penuh waspada. Sewaktu-waktu, bisa saja para kepolisian tidak memihak padanya."Aku lihat aksimu, nona." Tatapan Aron lurus ke depan.Monica masih berpikir dengan apa yang akan dilakukannya. Meski ia gugup karena penampilannya yang terlihat berbeda dari pekerjaannya. Teta
Monica membuka kelopak matanya. Ia meraba-raba tubuhnya. Sepasang baju tidur melekat di tubuh Monica. "A–apa? Tidakkk!"Teriakan itu terdengar sampai di telinga Jaz. Dengan cepat Jaz menerobos masuk ke kamar. "Apa yang terjadi nona?""Siapa yang menggantikan bajuku?" tanya Monica balik. "Apa kita sudah sampai di negara Neon? Kenapa kau tidak membangunkan aku ketika pesawat sudah mendarat? Butuh beberapa jam lagi untuk bersiap?""Nona tenangkan diri anda. Undangan yang akan anda hadiri masih besok. Tuan sengaja membuat kejutan penampilan anda untuk persiapan besok," jelasnya singkat.Monica menghela napas. Ia meraih botol berisi air mineral, segera Monica meneguk hingga habis. Kakinya merangkak ke kasur. "Baiklah, dimengerti.""Bila ada keperluan lain, silahkan panggil saya," pamit Jaz meninggalkan ruangan tersebut.Monica tak percaya kalau Aron yang menggantikan baju tidur untuknya. Belum lagi ia tertidur di bahu Aron sepanjang perjalanan menuju Neon. Rona pipinya timbul begitu saja.
Monica meloncat kecil dengan girang menuju pesawat. Senyumannya diperlihatkan yang membuat semua orang salah paham. Gadis itu membalikkan badan seraya melambai ke arah Aron dan berteriak, "Cepatlah!"Aron memberikan isyarat tangan. Ia menyuruh Monica menikmatinya makanan lebih dahulu. Kakinya sengaja berjalan lebih lambat dari biasanya. Dari kejauhan pandangannya kearah gadis itu."Setibanya disana, biarkan aku yang melancarkan urusan ini. Kau tak perlu mengikutiku, Jaz—""Apa itu tidak terlalu berbahaya?" Langkah kakinya terhenti. Aron meliriknya. "Apapun itu aku akan ikut dengan anda," lanjutnya.Aron tak menggubris kalimat terakhir yang diucapkan Jaz. "Kau masih saja tidak mengerti. Aku tidak ingin melibatkan banyak orang untuk melancarkan misiku. Kau temani Monica setelah sampai di sana."Jaz mengangguk seolah mengerti apa yang dikatakan Aron. Tentu saja Jaz tidak langsung mengiyakan pernyataan itu. Ia memiliki rencana bila tuannya dikeroyok. Melihat keceriaan di wajah Monica, ki
"Lupakan hal ini." Orlando menghela napas berat. Ia belum percaya apa yang dikatakan pihak keuangan klan. Bahkan disaat pernikahan akan digelar banyak sekali cobaan ekonomi. Orlando tak ingin mengecewakan pujaan hatinya. "Bagaimana dengan gaun—"Orlando mencubit pipi Sora penuh gemas. "Sudah kubilang aku menyiapkan kejutan untukmu. Ayo kita bergegas ke negara Neon," selanya yang tak sabar mengetahui siapa pelaku di balik turunnya saham. Tangannya mengepal erat. Emosinya benar-benar meluap. Beberapa hari sebelum meninggalkan negara Atlantik tidak ada tanda-tanda musuh yang terlihat. Orlando curiga kalau pelaku yang membuatnya akan bangkrut ialah musuhnya sendiri.Pemikiran itu tak pasti, sebab Orlando tidak menemukan bukti yang konkret mengenai musuhnya. Hanya saja penyelidikan kemarin bisa membongkar identitas yang tidak asli. Ia menatap tajam ke arah Sora. Wanita itu menundukkan pandangannya dengan ekspresi sedih. Sesaat keluar keduanya sudah dijemput menggunakan pesawat pribadi.
"Nona, simpan dulu pertanyaan anda itu. Mari kita bicarakan setelah sampai di dalam mobil," pinta Jaz dengan suara pelan. Aron mengabaikan pertanyaan itu. Kakinya tetap melangkah. Ia benar-benar bersikap acuh tak acuh. Melihat reaksi Aron yang tidak peduli padanya, Monica memilih diam. Keduanya saling meredam amarah.Beberapa orang yang melintas menyorot ke arah mereka. Monica sekarang sadar apa yang telah dibuatnya. Gadis itu nampak bergegas lari dan segera meraih tangan Aron. Tentu saja hal itu membuat pria keras kepal tersenyum sendiri.Jaz sedikit kepikiran dengan situasi yang tengah terjadi. Mereka cepat-cepat kembali ke dalam mobil. Hatinya merasa tak tenang bila raut wajah bosnya begitu serius. 'Apa jangan-jangan ada pertikaian diantara mereka?'Sesampainya mereka di mobil, Jaz masih mencuri pandang ke arah keduanya. Kepalanya menggeleng-geleng mencoba menghilangkan pikiran buruknya. Ia menoleh ke belakang seraya berkata, "Selanjutnya kita akan kemana, Tuan?""Supaya tidak ada