Share

Bab 2

Mendarat?

Aku hanya bisa tersenyum putus asa. Aku bahkan tidak tahu apakah aku bisa pulang hidup-hidup.

Sebelum aku bisa mengucapkan sepatah kata lagi, dia sudah menutup telepon.

Hubunganku dengan David selalu sepihak. Hanya aku yang mendekatinya, sementara dia tetap di tempatnya.

Kami sudah menjadi tetangga sejak kecil, dan aku telah menyimpan perasaan padanya selama sepuluh tahun.

Pada tahun kesepuluh, dia mengalami kecelakaan mobil yang membuatnya terpaksa menggunakan kursi roda.

Mantan pacarnya, Erika, meninggalkannya dengan alasan studi di luar negeri.

Aku yang selalu merawatnya di samping tempat tidur, menemaninya berkeliling untuk mencari pengobatan, menjalani terapi rehabilitasi, dan menjaganya siang malam.

Mungkin karena aku membuatnya terharu, David akhirnya menerima kehadiranku.

Meskipun saat itu sulit, aku merasa sangat bahagia.

Dia tidak terlalu menyukaiku, jadi aku mencintainya lebih dalam daripada dia mencintai aku.

Ketika tiba hari jadi kami, aku membeli kue dan menyiapkan banyak hidangan, lalu menunggu dia pulang dari kantor.

Aku menunggu dari sore hingga tengah malam, tetapi dia tidak kunjung datang.

Ketika aku menelepon, dia hanya menjawab, "Salah satu rekan kerjaku mengambil cuti, jadi aku harus menggantikannya."

"Apa masih ada orang yang naik balon udara malam-malam begini?"

"Jangan terlalu curiga. Aku hanya lembur, dan balon udara juga perlu perawatan."

Aku bertanya lagi, "Kapan kamu akan pulang?"

"Sebentar lagi."

"Baiklah, aku sudah menyiapkan banyak makanan yang kamu suka, jadi pulanglah lebih cepat."

Kemudian, ketika aku bertanya lagi, dia hanya menjawab dengan acuh tak acuh, "Aku akan pulang sebentar lagi."

Apa yang dia sebut ‘sebentar lagi’ ternyata sampai tengah malam.

Aku sudah menghangatkan makanan beberapa kali ketika tiba-tiba ada notifikasi di ponselku.

Ternyata itu notifikasi postingan terbaru Erika.

"Meski sudah lama nggak bertemu, kita masih memiliki banyak topik untuk dibicarakan."

"Beruntungnya aku bisa bertemu denganmu."

Gambar yang menyertainya adalah sebuah lilin aromaterapi.

Di kolom komentar, ada seseorang yang bertanya siapa yang memberikannya.

Erika membalas, "Teman lamaku yang memberi 'suka' pada postingan ini. Kami pergi ke tempat DIY hari ini. Karena khawatir aku susah tidur, dia membuatkan lilin ini untukku dengan tangannya sendiri."

Semua komentar penuh dengan pujian dan kekaguman.

Saat melihat sekilas, aku langsung mengenali akun David di antara orang-orang yang memberi 'suka'.

Aku merasa, dia sedang bersama Erika.

Meski sudah lama berpacaran, dia tidak pernah memberiku satu hadiah pun, tetapi begitu Erika pulang, dia memberikan segalanya.

Aku duduk di sofa dan tidak bisa tidur semalaman.

Pukul tiga dini hari, David pulang dengan bau alkohol di seluruh tubuhnya.

"Kenapa kamu belum tidur?" tanyanya.

Aroma alkohol di tubuhnya bercampur dengan wangi lavender.

Meskipun aku sudah tahu semuanya, aku tetap bertanya, "Lembur sampai larut malam begini?"

David melirik ke arah hidangan di meja, yang semuanya adalah makanan favoritnya.

Dia mengarang alasan, "Rekan kerjaku ingin berterima kasih karena aku menggantikan shiftnya, jadi dia memaksa untuk mentraktirku makan."

Perasaan tertekan yang kupendam semalaman membuatku sangat tidak nyaman.

"Kamu nggak memberi tahu dia bahwa hari ini adalah hari jadi kita?"

David mengusap pelipisnya, terlihat agak gelisah.

"Nggak perlu terlalu memikirkan hari jadi kita. Ada banyak hari seperti Hari Valentine dan lainnya, apa semua harus dirayakan dengan serius?"

Aku merasa sakit hati hingga air mataku hampir jatuh, tetapi aku tidak berani menangis.

"Apa karena Erika sudah pulang?"

Dia tiba-tiba menunjukkan ekspresi dingin. "Starla, aku sudah berpacaran denganmu, apa lagi yang kamu mau?"

Ya, apa yang bisa aku lakukan?

Aku telah mendapatkan dirinya, tetapi aku tidak akan pernah mendapatkan hatinya.

Dia pergi ke kamar untuk tidur, sementara aku duduk sendirian di sofa, diam-diam menangis, dan tidak bisa tidur.

Satu jam kemudian, Erika mengirim pesan dan mengatakan bahwa jantungnya terasa tidak nyaman.

Meskipun David sangat lelah, dia tidak marah dan langsung mengenakan pakaian, lalu pergi ke rumah sakit.

Aku teringat saat kami baru mulai berpacaran, aku menyiapkannya sarapan, dan dengan lembut membuka pintu untuk memanggilnya makan.

Namun, David tiba-tiba membuka matanya dengan penuh kemarahan dan melemparkan sebuah asbak ke arahku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status