Rolan yang entah sudah sejak kapan berdiri di pintu masuk langsung menyambut sang tuan yang tampak terluka.
“Tuan, anda terluka.” ucapnya setelah berhadapan dengan tuannya itu. Dan hanya di balas anggukan kecil Nicholas yang malah tampak baik-baik saja seakan luka tembak di tangannya buka apa-apa, kendati wajahnya tampak aga pucat.
Mereka lalu memasuki ruangan khusus medis yang berada di mansion itu. Tidak lama kemudian, seorang dokter cantik datang. Dokter itu bernama Arlena, dokter kepercayaan Nicholas.
"Luka tembak lagi," Dokter Arlena menggeleng tak habis pikir, padahal dokter itu ingat sekali, Nicholas terluka beberapa minggu yang lalu akibat luka tembak juga.
Orang ingin pergi dari dunia berbahaya, tapi pria yang sudah di abdinya itu selalu kembali pada dunia berbahaya, benar-benar pilihan hidup yang rumit. Pikir sang dokter tak habis pikir.
Tapi in
Dua orang manusia berjenis kelamin berbeda terlihat tengah berbincang serius."Sepertinya Nicholas Matthew mendapat luka akibat dari serangan kita. " ucap si wanita pirang."Ohya dari mana kau tahu, Erina?" tanya si pria dengan nada basnya yang terdengar—sexy. Dan kita bisa tau, bahwa pria itu merupakan Xavier Atletico."Desy yang menjalani penyamaran di sana melapor." jawab Erina."Baguslah."“Oke, sekarang kita pakai rencana B untuk kembali menyerang Nicholas Matthew. Hanya lumpuhkan dia jangan biarkan mati, itu perintah langsung dari Nyonya besar. “ Kata Xavier. Dan di balas anggukan oleh rekan-rekannya.***Dengan langkah tertatih Nicholas berjalan keluar tujuannya yaitu mencari Caroline—lelaki itu tidak tenang dan merasa bersalah dengan perbuatannya tadi yang secara tidak langsung mengusir sang istri.“Kau melihat istriku?” tanya Nicholas pada kepala pelayan yang kebetulan lewat.“Saya lihat dari tiga puluh menit yang lalu tengah duduk di sofa ruang tamu.“ jawabnya.Nicholas meng
Xavier sudah sampai di rumah sakit sejak beberapa jam yang lalu. Pria itu dengan wajah cemasnya terlihat menatap Rachel yang berada di sebelahnya dengan sendu. Wanita yang merupakan ibu dari anaknya itu terlihat rapuh sekali."Raquel," lirihnya.Xavier lalu menarik Ibu dari anaknya itu ke pelukan hangatnya, dengan tangan yang terus mengelus punggung wanita itu dengan lembut. Seakan dengan pelukannya itu, sedikit kesedihan bisa hilang.Sedangkan Rachel sendiri, wanita itu membiarkan saja pria yang merupakan ayah dari anaknya itu memeluknya. Toh dia juga memang membutuhkan penopang kekuatan.Hatinya benar-benar hancur dengan keadaan putrinya yang tiba-tiba drop pada hal beberapa waktu lalu keadaannya telah membaik.Efek dari benturan di kepala anaknya itu sangat parah kata Dokter, memang pertamanya kondisi putrinya diagnosa baik-baik saja, tapi setelah ada gejala-gejal
Nicholas melirik arloji mahal yang terpasang di pergelangan tangan kirinya yang sudah menunjukan pukul tengah malam, 11.55 AM.Perasaan pria itu tidak enak sekali, kecemasan akan istrinya entah kenapa melingkupi hatinya.Sedangkan Caroline sendiri memang tidak berada di dekat suaminya saat ini. Karena wanita itu sejak kepergiannya sore tadi, berencana menginap di rumah sakit dengan alasan ingin menemani sahabatnya yang masih berduka akan anaknya yang belum juga menunjukan perkembangan baik.Tapi sekarang entah kenapa Nicholas merasakan ada hal tidak beres.Ada apa sebenarnya, kenapa aku cemas sekali padanya.Dengan keadaan duduk di sofa yang berada di kamarnya, pria itu kemudian menegak habis segelas kecil minuman.Tangannya terulur memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut pusing, hingga di keheningan malam itu, yang hanya di terangi sinar bula
New york City,gedung kaliber,Amerika.Caroline menatap tajam sesosok wanita berambut merah—well, wanita yang terus saja di sebutkan suaminya dalam keadaan tidak sadar—telah berdiri secara nyata di hadapannya, tatapan kedua wanita itu saling tersorot tajam."Kau, Michelle?" ulang Caroline dengan suaranya yang tenang, kekeh kecil keluar dari mulutnya.Astaga.Untuk kesekian kalinya Caroline membatin.Michelle kembali mematrikan senyum khasnya. "Senang bisa bertemu denganmu, Caroline Willi—ah atau sudah Matthew sekarang?" ucapnya dengan kepala dia buat sedikit miring kiri."Dan ups, sorry, perkenalan ku tidak disertai dengan salaman."Caroline mendengus. "Siapa juga yang ingin bersalaman dengan bekasan dari suamiku, dan ahh tanganku pun tidak dalam kondisi untuk bersalam-salaman." tunjuknya dengan isyatat mata pada kedua tangannya yang terikat di meja. Raut wajah Michelle seketika berubah datar mendengar ucapan itu. "Mulutmu tajam juga ya."Caroline hanya berdecih sinis."Apa maumu?"
"Nic, Nicholas!"Suara Caroline yang terdengar lemah namun tetap di paksa memanggil sang suami. Mata lelah wanita itu terus menatap Nicholas yang terlihat sepenuhnya mengalihkan perhatiannya pada Michelle, tanpa menghiraukan Caroline yang terlihat menahan geram di ulu hatinya.What the hell!Istri mana yang tidak akan geram melihat sang suami bersikap seperti itu pada si masa lalu, sedangkan istrinya jelas-jelas berada di sana dengan kondisi memperihatinkan malah di hiraukan."Nicholas! Aku akan MEMBUNUHMU bila kau tidak menghentikan tatapanmu pada wanita itu!" pekik Caroline dengan suara yang di buat keras.Dan selang beberapa detik, Nicholas yang sadar akan suara Caroline menoleh dan langsung mendekati istrinya itu, tapi belum juga sampai suara ancaman dari belakang membuat langkah pria Itu berhenti."Berhenti Nic, jangan melangkah lagi atau aku
"Apa yang kalian rencanakan?“ Xavier menatap curiga dua manusia di hadapannya itu yang tengah bisik-bisik.Tersenyum miring Nicholas menjawab. "Hanya merencanakan bagaimana melenyapkan kalian." Tidak lupa dengan tampang datarnya yang terlihat menjengkelkan.Michelle yang berada di antara mereka terkekeh pelan. "Tidak akan bisa."Nicholas berdecak. "Cih, tutup mulutmu atau aku akan merobek dan mencabik-cabiknya!""Kalau aku benar-benar Michelle bagaimana? Apa yang akan kau lakukan, kau akan membunuhku kembali?" tanya Michelle kembali mengulang membuat Nicholas muak.“Aku tidak peduli kau Michelle atau bukan, karena faktanya sekarang aku sudah memiliki wanita lain yang sangat berharga bagiku—istriku. Dan aku tidak akan mengelak bahwa untuk kejadian mengerikan itu aku terlibat, bahkan sampai saat ini rasa bersalah itu masih menghantuiku. " ucapnya dengan pandangan tak lepas pada Michelle yang menatapnya dalam diam.“Michelle, asal kau tahu, aku tidak pernah melupakanmu. Kau pun bagian da
Di keramaian taman, Caroline William, dengan rambut sepundaknya yang di biarkan terurai, tampak tengah menatap kosong pemandangan di hadapannya.GelapHanya itu. Kini tidak ada lagi warna warni kehidupan yang bisa dia lihat, cedera parah yang di alami matanya membuatnya dinyatakan buta.Tepatnya satu tahun yang lalu, semua kecerahan akan dunia dari indra penglihatannya hancur terganti oleh kegelapan yang menyesakkan. Tanpa terasa setetes air mata jatuh membasahi pipinya, sakit dan takut akan dunia dirasakan Caroline William selama setahun ini.Di mana orang-orang tersayang yang selalu berapa disisinya? Jawabannya tidak ada.Semua seakan lenyap, menghilang, meninggalkannya dan itu terjadi setelah dirinya bangun dengan rasa terkejut dan takut kala kegelapan pekat yang menyambutnya.Suaminya sendiri pun tidak ada untuk sekedar menemui—ah lebih tepatnya mencarinya. Pria itu menghilang—atau mungkin membuangnya dan sekarang tengah berbahagia dengan wanita masa lalunya. Padahal dia sudah me
Suara derap langkah dari sepasang heels wanita dengan bibir merah menyala itu terdengar menggema di setiap penjuru lorong. Sebuah senyum tipis terus setia mengiri langkahnya yang tertuju pada sebuah pintu raksasa di dalam mansion yang begitu megah.Tempat sesesosok manusia idamannya yang sekarang telah sepenuhnya jadi miliknya. Nicholas Matthew— yea, lelaki itu—telah sepenuhnya menjadi milik seorang Karen Winslet.Dan siapa Karen Winslet? Tentu saja dirinya.Semakin melebarkan senyum kala bayang-bayang ingatan satu tahun lalu kembali terputar di otak liciknya.Menyingkirkan lawan pertamanya memang sulit, tapi dengan cara apa pun ternyata berhasil juga. Dan KAREN WINSLET, pada akhirnya berhasil mendapatkan NICHOLAS MATTHEW.Tepat berdiri di depan pintu raksasa tersebut, Karen lantas mendorong pintu berbahan kayu itu hingga terbuka. Berjalan dengan angkuh memasuki ruangan yang merupakan sebuah kamar luas dengan dominasi warna putih terang, berjalan mendekati Nicholas yang tengah duduk d
Di perjalanan, Nicholas menggeram kesal, tangannya yang tengah mengendalikan setir sekali-kali memukul setirnya kuat, beberapa kali juga menekan klakson membuat suara nyaring yang tidak mengenakan.Tidak sesuai bayangannya, Nicholas sedikit lama, padahal beberapa kilo meter lagi akan sampai tapi kemacetan kembali menyerang yang otomatos membuat jalanan macet, karena ternyata ada kecelakaan di depan sana.Dan itu membuat Nicholas marah juga kesal. Ohh bukan dia tidak simpati—ah whatever Dia sudah harus sampai dalam beberapa menit lagi. Sial! "Oh c'mon gods aku tidak mau melewatkan kesempatan yang telah diberikan istriku."Nicholas melirik arlojinya, sudah tiga puluh tujuh menit dari waktu yang diberikan Caroline tapi ternyata Nicholas terlambat.Lima belas menit kemudian, akhirnya Nicholas bebas dari kemacetan. Lelaki itu dengan tidak peduli menambah pedal gas kecepatan mobilnya di atas rata-rata, mengemudi seperti orang kesetanan, bahkan lelaki itu sampai harus banting stir karena be
"Caroline?"Satu detik Tidak ada jawaban!Sepuluh detik.Masih tidak ada jawaban."Caroline?" ulang Nicholas dengan nada sedikit tinggi saat tidak juga mendapat respon."1 jam."Kerutan di dahi Nicholas terlihat—bertanda lelaki itu bingung dengan ucapan sang istri. Apa maksudnya? "Maksudnya?""Temui aku dalam waktu 1 jam atau tidak sama sekali."Seketika Nicholas merasa jantungnya berdetak kencang, kehangatan menjalar di hatinya hanya karena ucapan dari Caroline yang termakna sebuah kesempatan.Ya, tentu saja akan dia lakukan apa saja untuk bisa bertemu dalam waktu 1 jam itu."Kami memberiku kesempatan,""Temui aku di airport, Hilton International London Heathrow Airport di 1 jam itu pesawatku akan lepas landas."Dan TutPanggilan di putus secara sepihak.Nicholas memandang ponselnya yang telah terputus sambungannya, dan tanpa berpikir panjang lagi pria itu langsung bergegas pergi.1 jam? Menuju lokasi yang diberitahu Caroline, kira-kira ia akan sampai dalam 40 menit.Apa akan tep
"Aku tidak peduli, yang penting sekarang—" Nicholas menggantungkan ucapannya dan menyeret Alice pada meja yang telah disediakan kemudian tanpa memandang balas kasih lelaki itu menekan kepala sang wanita ke meja."Katakan yang sejujurnya apa yang terjadi dari kau masuk ke kamarku dan menggodaku!" ucap Nicholas, tangan satunya yang bebas kemudian mengambil ponselnya dan menghubungi nomor istrinya. Dan sampai panggilan keempat, Caroline tidak juga mengangkatnya membuat Nicholas menghela napas putus asa. Tidak punya pilihan lain Lelaki itu mengetikan sebuah pesan dan mengirimnya langsung.Sedangkan di tempat lain. Caroline mencoba tidak tergoda untuk mengangkat panggilan suami berengseknya."Sayang, itu teleponnya." Elina yang mendengar panggilan itu menghela napas. Wanita paruh baya itu menoleh melihat siapa penelepon."Nicholas?" ucap sang paruh baya dengan pelan, tau sekali putrinya sedang tidak dalam mood baik."Aku tidak mau mengangkatnya." ucap Caroline datar."Mungkin penting. Jan
''Ya ampun sayang," Elina yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut dengan kedatangan putrinya yang tampaknya tidak baik-baik saja. "Ada apa denganmu. Kenapa menangis?" tanyanya menghampiri cepat putrinya yang sudah meluruh di dinding pintu."Mom..." Caroline langsung memeluk Elina menumpahkan rasa sakitnya dalam pelukan sang Momny."Itu Nicholas, pintunya—""Tidak tidak, biarkan saja." Caroline menggelengkan kepala menatap sang Mommy dengan tatapan kesakitan. Membuat Elina tidak tega."Menangislah sepuasnya. Nanti cerita pada Mom." ucapnya sambil memeluk sang putri, tak lupa tangannya menepuk-nepuk pelan punggungnya mencoba menyalurkan ketenangan.Beberapa menit kemudian gedoran di pintu sudah menghilang begitu pun Caroline yang mulai tenang. Wanita itu melepaskan pelukannya kemudian menatap Elina."Aku mau pergi,""Pergi?"Caroline mengangguk. "Ikut Mommy kemana pun."Elina mengerutkan keningnya, tapi selang detik setelahnya menghembuskan nafas pelan. Kemudian mengangguk. "T
Keesokan harinya. Di atas sebuah sofa Caroline tengah duduk manis dan tampak sibuk mengotak-atik ponsel di tangannya. Ahya, beberapa saat lalu Caroline memang keluar untuk berbelanja bersama Elina, membeli beberapa pakaian, makeup, dan salah satunya ponsel yang saat ini di mainkannya. Sebenarnya dia menolak untuk keluar apa lagi berbelanja dengan nominal yang besar tapi karena sang ibu memaksa Caroline tidak bisa menolak. Tapi yang jelas Caroline masih asing dengan kehidupannya sekarang. Sangat berubah 90 sederajat. Siapa sangka ternyata dia merupakan anak dari seorang pemilik The big mall dan sangat berpengaruh dengan cabang yang meraja rela di dunia."Akhirnya ketemu." Kata Caroline tampak senang saat berhasil menemukan akun sahabatnya—Rachel.Setelah apa yang terjadi padanya selama setahun ini. Ia rindu adik dan sahabat-sahabatnya. Dan bagaimana keadaanmu Raquel? Semoga saja Putri menggemaskan dari sahabatnya itu selamat dan baik-baik saja.Caroline benar-benar kehilangan info se
S2 CHAPTER 62 "Nak?"Dengan panik Elina mendekati Caroline yang tiba-tiba memasuki kamar—kepanikannya muncul saat melihat kedua mata putrinya berkaca-kaca bahkan air mata telah membasahi pipinya."Mom..." Caroline langsung menghambur kepelukan sang ibu."Kenapa sayang?" tanya Elina merasa cemas."Nic—Nicholas ternyata mempunyai istri lain—Dia menikah lagi!?!" Beritahu Caroline dengan penuh emosi kesedihan pada sang ibu yang sebenarnya sudah di mengetahui fakta tersebut. Mengela napasnya wanita paruh baya itu tak menyangka akan secepat ini fakta itu sampai pada putrinya. "Untuk lebih jelasnya kamu bisa meminta penjelasan suamimu—"Caroline menatap tak percaya mendengar itu, langsung memotong. "Mommy sudah tau,"Seketika Elina menggeleng tapi menggangguk kemudian. Mencoba tenang sebelum kemudian mejelaskan. "Bukan Mom berpihak pada suamimu, tapi karena mom tau ada sesuatu." Rahasia sebesar ini disembunyikan hanya untuknya. Hebat sekali Nicholas Matteow.Dan sesuatu apa? "Sorry honey
Elina, Caroline, Nicholas turun dari mobil tepat di depan pekarangan Mansion Albert. Ketiganya berjalan memasuki mansion tersebut.Sesampainya—menginjakkan kakinya di lantai utama, mereka telah disambut oleh tiga orang yang tidak lain, Albert, istri kedua dan anak perempuanya."Woah ibu peri dan putrinya yang buta telah kembali." Alice—anak ke tiga Albert mengejek dengan angkuhnya pada Elina dan Caroline.Alice maju selangkah hingga akhirnya berdiri tepat di hadapan Elina dan Caroline. Dengan menatap sinis dua orang itu, Alice berani mengangkat tangannya—menunjuk-nunjuk Elina dan Caroline tak sopan."Kenapa kalian harus kembali ke sini hm? Parasit tidak berguna tidak dibutuhkan di sini!" ucapnya sinis.Caroline yang sedari tadi mengepalkan tangannya ingin sekali menampar bulak balik bibir seenaknya itu. Tapi tenang—Caroline berusaha tenang. Bukan saatnya.Well, sedari awal masuk dia sudah menebak lelaki yang beberapa jarak di hadapannya itu adalah ayah kandungnya dan dua wanita yang t
Keesokan harinya. Pukul 06.30 PM. Caroline sudah bangun dari tidurnya. "Nicholas belum datang?" Tanyanya pada sang ibu yang baru saja keluar dari kamar mandi.Elina menggeleng sebagai jawaban. "Belum."Caroline menghela nafasnya dengan bibir maju sedikit. "Padahal aku sangat berharap kala aku bangun lelaki itu sudah di sini. Waktunya sedikit lagi," lirih Caroline kecewa."Jangan sedih sayang. Kita telepon saja suamimu ya?" Elina yang menemani memutuskan untuk menghubungi menantunya itu untuk mengurangi kesedihan dan kekecewaan putrinya."Mungkin dia memang sibuk Mom." ucap Caroline saat tau sang suami tidak menerima panggilannya."Jangan salah sangka beauty. Aku di sini," suara bas Nicholas dari arah pintu menyahut Caroline. Lelaki itu ternyata sudah berada di rumah sakit."Nic!" sahut Caroline berubah ceria. Terlihat bahagia."Kau benar-benar akan menemaniku?" Tanya wanita itu untuk kesekian kali, membuat Nicholas melengkungkan bibirnya sambil berjalan mendekati Caroline, lalu mem
Beberapa jam kemudian, Caroline sudah kembali ke kamar rawatnya dan jadwal operasi sudah di tetapkan.Beberapa pemeriksaan sudah di lakukan—tadi, dan berjalan lancar dan dirinya besok benar-benar bisa melakukan operasi donor matanya."Caroline."Caroline tersentak saat mendengar suara berat itu.Caroline kemudian menetralkan wajahnya menjadi datar. "Untuk apa Anda ke sini?" tanyanya dingin.Meski tidak bisa melihat seperti apa rupa sosok lelaki yang katanya–Ayah kandungnya, Caroline hanya memperlihatkan raut datarnya setelah fakta yang di dengarnya—kekejaman ayahnya, terutama pada ibunya. Lelaki paruh baya itu mendekati Caroline sembari berkata. "Maafkan Daddy Caroline,"Sontak Caroline terkekeh sinis mendengarnya. "Ayah? Seingat saya... Saya tidak punya Ayah." cetusnya dengan begitu dingin.Menolak mentah-mentah Albert Ryson sebagai Ayah kandungnya.Albert merasa dadanya tertusuk beribu-ribu jerami tajam—sangat sakit saat mendengar putrinya sendiri tak mengakuinya. Bahkan dari nad