Menurutnya, hidup masih panjang!Dia masih punya banyak kesempatan!Jadi, dia tidak perlu terburu-buru!Dia menghibur dirinya sendiri seperti itu di dalam hati.Dia tersenyum dan berkata, "Baiklah, nggak pindah, kamu tinggallah di Ruellia, aku menghormati keputusanmu!"Miana tercengang.'Apakah Henry di depanku ini palsu?'Sementara itu, Janice menyaksikan semua ini di samping. Rasa putus asa mulai melonjak di dalam hatinya.Dia tidak pernah menyangka dirinya sudah terjebak ke dalam pusaran emosi ini dan tidak bisa keluar lagi.Dengan tatapan kosong, dia menatap ke arah tangan yang saling menggenggam itu. Keyakinan yang pernah menjadi dukungannya runtuh seketika, hanya menyisakan kehampaan dan kesedihan yang tidak berujung.Seluruh ruang seolah-olah dibekukan oleh kekuatan tak terlihat, dan waktu menjadi sangat lambat.Udara terasa berat dengan ketegangan dan emosi yang kompleks, membuat napas terasa berat, tetapi tak ada jalan untuk melarikan diri.Konfrontasi antara Henry dan Miana,
Langkah Henry terhenti, dia berbalik, menatap Janice dengan tatapan dingin. "Malam hujan itu, kamu memang sudah menyelamatkanku dan ibuku, tapi selama bertahun-tahun ini, aku sudah membalas kebaikanmu itu."Nada suara Henry sangat datar, bahkan tidak ada perubahan emosi di wajahnya.Ini pertama kalinya Miana mendengar Henry menyebut kata "ibu".Dia bisa merasakan tubuh Henry yang begitu menenggang, dan juga genggaman Henry yang mengerat.'Apa yang terjadi pada malam hujan itu hingga membuat Henry bereaksi seperti ini?'Miana teringat pada kotak yang diberikan kakek padanya. 'Apa isi kotak itu?'Miana tiba-tiba ingin melihat isi kotak itu."Kalau kamu nggak mencintaiku, kenapa pada malam pernikahanmu, kamu meninggalkan Miana dan menemuiku?" Janice masih tidak percaya Henry begitu dingin terhadapnya.Dia telah berusaha begitu keras selama bertahun-tahun, tetapi semuanya sia-sia sekarang!Dia tidak bisa menerima kenyataan ini!Miana secara naluriah melirik Henry.Henry tidak pulang pada m
"Henry, kembali!" teriak Janice dengan histeris sambil menatap punggung Henry. Karena emosinya yang bergejolak, luka di dadanya terus mengeluarkan darah.Seketika, dia merasa sangat pusing dan pandangannya menjadi gelap.Saat Janice sadar lagi sudah keesokan paginya.Mungkin karena kehilangan banyak darah, kepalanya masih terasa pusing dan tubuhnya terasa lemas."Ada orang nggak? Aku mau minum air!" seru Janice dengan suara yang serak.Suaranya menjadi serak mungkin karena dia berteriak terlalu keras kemarin.Pintu kamar terbuka, dan seorang perawat masuk sambil mendorong troli medis.Troli medis penuh dengan botol dan kantong berisi cairan."Aku mau minum air!" seru Janice, sekali lagi.Perawat itu tidak merespons, langsung mengganti cairan infus dan mengukur suhu tubuh Janice. Sikapnya benar-benar dingin.Melihat reaksi itu, Janice sangat marah hingga menampar perawat itu. "Aku bilang aku ingin minum air! Kenapa kamu nggak bantu aku bantu ambilkan!"Perawat itu menatap Janice sejenak
"Serahkan ponselmu dulu!" seru Janice dengan pelan namun tegas sambil menatap Felica.Dia takut Felica akan merekam percakapan mereka, baik secara audio ataupun video."Janice, kamu jangan berlebihan!" seru Felica dengan tampang sangat marah."Berlebihan? Aku nggak merasa begitu." Janice tersenyum. "Bisa saja kamu diam-diam ingin menjebakku, jadi cepat serahkan ponselmu!"Felica mengeluarkan ponselnya dan meletakkannya di samping. "Ponselku sudah aku taruh di sini, cepat bilang kamu ingin aku melakukan apa!"Janice melirik ponsel tersebut."Cepat bilang!" seru Felica lagi sambil memelototi Janice.Janice kemudian mendekatkan wajahnya dan berbisik di telinga Felica."Nggak bisa!" Ekspresi Felica sangat terkejut setelah mendengar apa yang dikatakan Janice."Aku tahu kamu bisa melakukannya!" Janice melambaikan tangannya. "Cepat pergi siapkan semua itu, paling lambat besok aku sudah harus pergi!"Henry tidak akan melepaskannya, jadi dia tidak bisa hanya duduk diam!Pergi ke luar negeri sec
"Belum.""Bagaimana dengan Miana?""Nona Miana sedang berjaga di kamar pasien.""Batalkan semua jadwal hari ini, aku akan pergi ke rumah sakit."Wiley mengurungkan niatnya untuk mengatakan sesuatu sebelum meninggalkan ruangan.'Sekarang yang ada di benak Pak Henry hanya Nona Miana, benar-benar sudah jadi bucin.'Mengerikan ....'Setelah Wiley pergi, Henry menandatangani beberapa dokumen mendesak sebelum meninggalkan kantor.Ketika mobil sudah berhenti di tempat parkir rumah sakit, Henry merokok dua batang rokok sebelum turun dari mobil dan memasuki gedung rumah sakit.Di depan pintu kamar VIP, dia berdiri sebentar baru mendorong pintu masuk.Giyan masih terbaring tidak sadarkan diri di ranjang rumah sakit, tubuhnya dipenuhi berbagai alat medis, dan alat medis di sampingnya terus mengeluarkan bunyi.Miana tertidur di tepi ranjang rumah sakit dengan rambut panjangnya terurai menutupi sebagian wajahnya.Melihat situasi ini, Henry merasa tidak nyaman.Jika dia bisa memperkirakan bahwa Giya
"Mia, aku bawakan kamu sarapan ...." Begitu masuk, Kevin melihat dua orang dalam posisi yang terlihat begitu intim hingga membuatnya tidak bisa melanjutkan ucapannya.Sejurus itu, dia tidak tahu apakah dia harus masuk atau keluar.Miana segera mengulurkan tangan untuk mendorong Henry.Akan tetapi, Henry malah memegang kepala Miana, memperdalam ciumannya.Miana menjadi marah dan menggigit bibir Henry dengan keras.Mulut keduanya penuh dengan rasa darah.Henry mengerutkan keningnya'Lagi-lagi dia menggigitku!''Sebegitu nggak suka berciuman denganku?'"Henry, cepat pergi!" Miana tidak ingin melihat Henry.Raut wajah Henry menjadi dingin. "Apa? Aku di sini, mengganggumu?"Miana tidak ingin meladeni Henry lagi, langsung bangkit dan menghampiri Kevin, "Kak Kevin, kenapa kamu ke sini?""Aku khawatir kamu nggak punya waktu untuk pergi beli, jadi aku bawakan sarapanmu. Aku beli bubur kesukaanmu. Ayo, sarapan dulu," ujar Kevin sambil berjalan ke sofa, meletakkan kantong berisikan bubur itu di m
Sorot mata Kevin menajam. "Henry, kalian sudah bercerai! Apa yang kamu lakukan!"Menurutnya, Henry tidak berhak membawa pergi Miana!"Dia nggak beri tahu kamu, semalam, dia memohon untuk kembali bersamaku demi menyelamatkan Giyan?" Henry tersenyum sinis, lalu melihat Miana yang berada di pelukannya dan bertanya, "Nona Miana, yang kukatakan benar, 'kan?"Miana memelototi Henry. "Tutup mulutmu!"'Nggak ada yang menyuruhmu untuk bicara!'Kevin tersentak sejenak.Dia masih merasa bersalah atas kejadian tadi malam.Jika bukan karena dia membawa Miana keluar, orang-orang itu tidak akan membawa Miana pergi."Nona Miana, apakah kamu ingin menyelamatkan kakak seniormu ini? Hm?" tanya Henry sambil tersenyum, tanpa memedulikan tatapan Miana yang tajam itu.Miana menggigit bibirnya dan mengangguk. "Ya!"Meskipun begitu, dia tidak ingin memohon pada Henry di depan Kevin."Hanya itu?" tanya lagi Henry dengan pelan sambil mengangkat alisnya."Aku akan pulang bersamamu!" Ini adalah kompromi terbesar M
Ucapan Miana membuat amarah Henry bertambah. "Apa yang kamu bicarakan! Aku dan Janice nggak ada hubungan apa pun, nggak pernah melakukannya!"Dengan sangat jelas, dia ingat pernah menjelaskan hubungannya kepada Miana sebelumnya, tetapi dia bingung mengapa Miana masih berkata seperti itu!Dia merasa Miana benar-benar tidak memperhatikan apa yang dia katakan."Malam setelah kita bercerai, Janice mengirim banyak swafoto dirinya di kamar tidur ini padaku. Setelah mengenakan pakaian yang begitu seksi, kamu nggak menyentuhnya?"Miana tidak percaya. Bagaimanapun, Henry bukan pertama kali berbohong padanya.Setelah dibohongi berkali-kali, dia tentu tidak akan percaya."Nggak! Aku di ruang kerja! Selain itu, aku juga nggak tahu dia datang!" Jika dulu, Henry tidak akan repot-repot menjelaskan seperti ini.Namun, setelah mengalami perceraian dengan Miana, dia mulai memahami beberapa cara berkomunikasi dalam pernikahan.Jika ada keraguan, tanyakan langsung. Karena dipendam terlalu lama, hanya akan
Henry seketika menyadari bahwa selama tiga tahun pernikahannya dengan Miana, dia benar-benar merasakan kehangatan rumah.Sayangnya, dia menyadarinya terlalu terlambat.Wiley masuk untuk membereskan kotak makan, tetapi melihat isinya hampir tidak disentuh. Dia melirik Henry yang duduk dengan mata terpejam, lalu bertanya, "Apakah makanan dari restoran ini nggak sesuai selera? Bagaimana kalau besok coba restoran lain?"Dia selalu memasa makan siang di restoran yang sama, dan Henry tidak pernah mengeluh rasanya tidak enak."Mulai sekarang nggak perlu pesan makanan dari luar lagi, aku akan makan di kantin perusahaan," ujar Henry dengan nada datar.Wiley agak terkejut dan bertanya untuk memastikan, "Mulai besok makan di kantin perusahaan?"Meskipun makanan di kantin perusahaan cukup baik, Henry biasanya hanya makan masakan dari koki Michelin."Ya. Kamu bawa keluar makanan di meja."Wiley membereskan kotak makan sambil sesekali melirik Henry.'Nggak ada yang aneh, tapi kenapa perilaku Pak Hen
Sherry mengusap air matanya, menatap asistennya, dan berkata, "Aku berencana menjual studio ini, lalu meninggalkan kota in."Kematian Miana telah membuatnya kehilangan satu-satunya orang yang bisa dia andalkan di kota ini, dan sekarang kota ini hanya penuh dengan kenangan sedih.Dia ingin meninggalkan kota ini dan memulai hidup baru."Ah? Kenapa?" tanya Asisten yang heran mengapa begitu tiba-tiba."Aku ingin pindah ke kota lain.""Lebih baik mengubah cara berpikir daripada pindah kota! Bu Sherry, kamu terlalu serius dalam menjalani hidup."Sherry tersenyum. "Ya, sepertinya memang begitu."Menurutnya, bukankah hidup memang harus dijalani dengan serius?"Kalau ingin pindah ke kota lain, sebaiknya kamu nggak menjual studio ini, kalau nanti nggak terbiasa di kota baru, kamu masih bisa kembali ke sini."Sherry menatap asisten di depannya, tiba-tiba sebuah pikiran muncul di benaknya.'Mungkinkah Miana sebenarnya nggak mati? Dia hanya pindah ke kota lain?''Mungkin saja Miana akan kembali lag
Saat Sherry tiba di studio, Wiley masih ada di sana.Melihat Wiley, Sherry agak terkejut.'Kenapa dia belum pergi?'Asistennya segera mendekat dan berbisik, "Aku sudah bilang padanya, tapi dia bersikeras menunggumu di sini! Aku nggak bisa melakukan apa-apa!""Kamu lanjutkan pekerjaanmu, aku akan bicara dengannya." Sherry tahu bahwa Wiley tidak pergi pasti karena perintah dari Henry, jadi dia memutuskan untuk berbicara baik-baik dengan Wiley."Apakah nggak bisa setuju untuk bekerja sama?" tanya Asistennya tiba-tiba, yang merasa menolak bisnis besar seperti itu sangatlah merugikan.Dia tidak pernah melihat ada yang menolak uang begitu saja."Beberapa hal nggak sesimpel yang terlihat, masalah ini rumit, nanti aku akan beri tahu kamu. Sekarang, kamu lanjut kerja dulu." Saat mendorong asistennya pergi, Sherry menambahkan, "Oh ya, pasang iklan lowongan kerja di internet."Setelah asisten pergi, Sherry berjalan mendekati Wiley, dan berkata dengan nada formal, "Pak Wiley, aku tahu apa yang ing
Setelah bangkit dari lantai, Farel berdiri di sebelah tempat tidur, menatap Sherry yang marah, dan berkata dengan pelan, "Miana sudah nggak ada. Kalau kamu terus menjauh dariku, nggak akan ada orang yang bisa kamu andalkan lagi."Sherry duduk di tempat tidur, dan berkata dengan tatapannya dingin, "Meskipun hanya aku sendiri, aku nggak akan bersamamu lagi!"Bersama dengan pria yang sudah memiliki tunangan, pada akhirnya diri sendiri yang akan tersakiti.Daripada berakhir seperti itu, lebih baik berpisah lebih awal."Sherry, hanya kamu satu-satunya wanitaku! Nggak ada wanita lain!" Farel mencoba menjelaskan, "Kamu harus percaya padaku!"Sherry menatap wajah Farel, tersenyum sinis, dan berkata, "Meskipun kamu nggak menganggapnya sebagai wanitamu, hubungan pertunangan kalian nggak akan berubah! Kamu sudah punya wanita lain dan masih ingin bersamaku, apakah kamu ingin mencelakaiku? Apakah akhir Miana ini masih belum cukup untuk menyadarkanku?"Seandainya Miana meninggalkan Henry lebih cepat
"Henry, apa yang kamu inginkan agar kamu melepaskan Janice?" Yosef tidak bisa menahan diri untuk bertanya lagi ketika melihat Henry tidak menjawab.Dengan tatapan tajam, Henry berkata kepada Yosef, "Itu adalah akhir bagi Janice, dan nggak ada yang bisa mengubahnya! Kamu bisa pergi sekarang."Henry langsung mengusir Yosef.Ekspresi Yosef menjadi makin masam. "Kenapa kamu begitu kejam!" serunya.Henry tidak menjawab pertanyaan itu, bangkit dari sofa dan naik ke atas.Dulu Miana pernah mengatakan bahwa dia kejam, tetapi dia tidak mengindahkannya.Sejak kecil, dunianya hanya dipenuhi oleh orang-orang yang dingin dan tanpa perasaan.Yosef masih duduk di sofa, matanya terus menatap sosok Henry. Setelah Henry menghilang dari pandangannya, dia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, menahan segala emosi dalam hatinya, lalu perlahan berdiri.Pada saat ini, dia tiba-tiba memahami perasaan ibunya.Ternyata, tidak cukup kuat hanya akan diinjak-injak oleh orang lain.Setelah masuk ke mobil, dia
Wiley berpikir, 'Kalau Nona Miana benar-benar jatuh ke laut, bagaimana mungkin bisa menemukannya.'Meskipun memiliki pemikiran seperti itu, dia tidak berani benar-benar mengatakannya.Karena dia yakin Henry akan marah setelah mendengarnya."Cepat urus masalah ini. Aku akan panggil sopir untuk mengantarku pulang."Karena sudah mendapatkan perintah, Wiley segera pergi.Dia harus mematuhi apa yang dikatakan Henry.Henry membuka selimutnya, turun dari tempat tidur, dan berjalan menuju toilet.Dia menyentuh bekas tamparan di wajahnya, mengingat ekspresi penuh kesedihan dan kemarahan Sherry saat itu, sama sekali tidak terlihat seperti pura-pura.'Kalau Miana nggak mati, nggak mungkin Sherry nggak tahu, bukan?''Kalau Miana benar-benar mati ....'Henry tidak berani memikirkan lebih jauh, segera membuka keran air, mencuci wajahnya dengan air dingin.Air dingin yang membasuh wajahnya membuatnya merasa lebih segar.Sopir sudah tiba ketika dia sedang berganti pakaian.Setelah selesai, dia segera
Henry menyesal, sangat menyesal.Akan tetapi, tidak ada obat penyesalan di dunia ini!Sherry berbalik, memandang Henry dengan senyum penuh sindiran, senyum yang tampak menusuk hingga ke hati."Miana sudah pergi dari dunia ini, kamu ingin mendapatkan simpati siapa dengan berakting seperti itu?"Suaranya tidak tinggi, tetapi memiliki kekuatan yang tak bisa diabaikan, membuat udara di sekitarnya seakan membeku.Wajah Henry seketika pucat. Dia mengatupkan bibirnya erat, mencoba menahan emosi yang berkecamuk di hatinya. Namun, rasa sakit itu begitu kuat, seperti ombak besar yang menghantam dan hampir menenggelamkannya.Dia mengepalkan tangannya erat hingga urat-urat di punggungnya mencuat dan ujung jemarinya memutih, seakan-akan rasa sakit yang menusuk di hatinya hanya dapat berkurang dengan cara itu.Sherry menatap Henry, mendengus dingin, lalu berkata dengan suara penuh dengan penghinaan dan kesedihan, "Penyesalan yang terlambat lebih rendahan dan nggak berharga dibandingkan dengan rumput
Sherry menatap mata Farel dengan tajam, tanpa sedikit pun kehangatan, hanya ada keterkejutan, kemarahan, dan kesakitan."Ada urusan apa?" Suara Sherry rendah tetapi tegas, dan penuh dengan tekanan emosional yang kuatTubuh Farel gemetar sesaat, dan sorot matanya meredup. Perasaannya makin rumit saat dia mendengar suara Sherry.Dia perlahan melangkah maju, mencoba mendekati sosok yang selalu menghantui mimpinya tetapi tidak terjangkau. Namun, aura dingin dan ketegasan yang terpancar dari Sherry seperti membuat ada penghalang tak terlihat di antara mereka."Kalau nggak ada urusan, tolong keluar dulu, nanti baru masuk lagi!" seru Sherry tanpa ragu sedikit pun.Sherry mengepalkan kedua tangannya erat-erat, hingga urat-urat di punggung tangannya terlihat jelas, mencerminkan emosi yang meluap-luap di hatinya.Pada saat ini, dia bukan lagi wanita yang lembut dan manis. Dia sudah berubah menjadi pendendam, bersumpah untuk menuntut keadilan bagi sahabatnya yang telah meninggalkan dunia ini.Mel
"Plak! Plak!" Dua suara tamparan yang tajam terdengar di ruang yang sunyi, bagaikan guntur yang tiba-tiba mengguncang hati dan pikiran orang.Mata Sherry merah berkaca-kaca. Air mata berkilauan dengan keteguhan dan kebencian. Dia menggigit bibir bawahnya, tidak membiarkan dirinya mengeluarkan suara tangisan sedikit pun, seolah-olah ingin melampiaskan semua kesedihan dan rasa sakitnya melalui tindakan sederhana ini.Henry ditampar hingga matanya mulai berkunang-kunang, membiarkan rasa sakit yang panas menyebar di pipinya.Dia menutup matanya, menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gelombang emosi di hatinya. Dalam pikirannya, senyum Miana yang bagaikan bunga yang baru mekar, suaranya yang lembut, dan momen indah yang mereka habiskan bersama, datang seperti gelombang pasang, lalu menenggelamkannya."Kalau saja Miana masih hidup, pasti ...." Henry berkata dengan suara yang rendah dan serak, penuh dengan kesedihan dan penyesalan yang tak berujung.Dia perlahan membuka matanya, mena