Miana menggigit bibirnya.Belum sempat bicara, dia sudah terdengar suara cemas Wiley, "Pak Henry, Pak Giyan hampir nggak akan bisa bertahan lebih lama lagi!"Jika terus menunda seperti ini, bagaimana jika Giyan benar-benar mati?Miana merasa panik.Jika Giyan terjadi sesuatu, dia tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.Namun, dia juga tidak ingin kembali ke sisi Henry, menjalani kehidupan seperti dulu!"Kalau begitu, buang saja ke luar!" seru Henry dengan ekspresi dingin. Dia melirik wajah pucat Miana dari sudut matanya. Sesaat, dia merasa sedikit tidak tega, tetapi perasaan itu dengan cepat menghilang.Untuk mencapai tujuan, dia tidak akan ragu menggunakan cara apa pun.Dia memang orang seperti itu."Oke! Aku setuju!" seru Miana dan menggertakkan giginya.Dia tahu bahwa Henry memang ingin memaksanya setuju hari ini. Jika dia tidak setuju, Henry tidak akan menyelamatkan Giyan.Membiarkan Giyan mati begitu saja, dia tidak bisa melakukannya!"Nggak! Nggak boleh! Aku nggak setuj
Menurutnya, hidup masih panjang!Dia masih punya banyak kesempatan!Jadi, dia tidak perlu terburu-buru!Dia menghibur dirinya sendiri seperti itu di dalam hati.Dia tersenyum dan berkata, "Baiklah, nggak pindah, kamu tinggallah di Ruellia, aku menghormati keputusanmu!"Miana tercengang.'Apakah Henry di depanku ini palsu?'Sementara itu, Janice menyaksikan semua ini di samping. Rasa putus asa mulai melonjak di dalam hatinya.Dia tidak pernah menyangka dirinya sudah terjebak ke dalam pusaran emosi ini dan tidak bisa keluar lagi.Dengan tatapan kosong, dia menatap ke arah tangan yang saling menggenggam itu. Keyakinan yang pernah menjadi dukungannya runtuh seketika, hanya menyisakan kehampaan dan kesedihan yang tidak berujung.Seluruh ruang seolah-olah dibekukan oleh kekuatan tak terlihat, dan waktu menjadi sangat lambat.Udara terasa berat dengan ketegangan dan emosi yang kompleks, membuat napas terasa berat, tetapi tak ada jalan untuk melarikan diri.Konfrontasi antara Henry dan Miana,
Langkah Henry terhenti, dia berbalik, menatap Janice dengan tatapan dingin. "Malam hujan itu, kamu memang sudah menyelamatkanku dan ibuku, tapi selama bertahun-tahun ini, aku sudah membalas kebaikanmu itu."Nada suara Henry sangat datar, bahkan tidak ada perubahan emosi di wajahnya.Ini pertama kalinya Miana mendengar Henry menyebut kata "ibu".Dia bisa merasakan tubuh Henry yang begitu menenggang, dan juga genggaman Henry yang mengerat.'Apa yang terjadi pada malam hujan itu hingga membuat Henry bereaksi seperti ini?'Miana teringat pada kotak yang diberikan kakek padanya. 'Apa isi kotak itu?'Miana tiba-tiba ingin melihat isi kotak itu."Kalau kamu nggak mencintaiku, kenapa pada malam pernikahanmu, kamu meninggalkan Miana dan menemuiku?" Janice masih tidak percaya Henry begitu dingin terhadapnya.Dia telah berusaha begitu keras selama bertahun-tahun, tetapi semuanya sia-sia sekarang!Dia tidak bisa menerima kenyataan ini!Miana secara naluriah melirik Henry.Henry tidak pulang pada m
"Henry, kembali!" teriak Janice dengan histeris sambil menatap punggung Henry. Karena emosinya yang bergejolak, luka di dadanya terus mengeluarkan darah.Seketika, dia merasa sangat pusing dan pandangannya menjadi gelap.Saat Janice sadar lagi sudah keesokan paginya.Mungkin karena kehilangan banyak darah, kepalanya masih terasa pusing dan tubuhnya terasa lemas."Ada orang nggak? Aku mau minum air!" seru Janice dengan suara yang serak.Suaranya menjadi serak mungkin karena dia berteriak terlalu keras kemarin.Pintu kamar terbuka, dan seorang perawat masuk sambil mendorong troli medis.Troli medis penuh dengan botol dan kantong berisi cairan."Aku mau minum air!" seru Janice, sekali lagi.Perawat itu tidak merespons, langsung mengganti cairan infus dan mengukur suhu tubuh Janice. Sikapnya benar-benar dingin.Melihat reaksi itu, Janice sangat marah hingga menampar perawat itu. "Aku bilang aku ingin minum air! Kenapa kamu nggak bantu aku bantu ambilkan!"Perawat itu menatap Janice sejenak
"Serahkan ponselmu dulu!" seru Janice dengan pelan namun tegas sambil menatap Felica.Dia takut Felica akan merekam percakapan mereka, baik secara audio ataupun video."Janice, kamu jangan berlebihan!" seru Felica dengan tampang sangat marah."Berlebihan? Aku nggak merasa begitu." Janice tersenyum. "Bisa saja kamu diam-diam ingin menjebakku, jadi cepat serahkan ponselmu!"Felica mengeluarkan ponselnya dan meletakkannya di samping. "Ponselku sudah aku taruh di sini, cepat bilang kamu ingin aku melakukan apa!"Janice melirik ponsel tersebut."Cepat bilang!" seru Felica lagi sambil memelototi Janice.Janice kemudian mendekatkan wajahnya dan berbisik di telinga Felica."Nggak bisa!" Ekspresi Felica sangat terkejut setelah mendengar apa yang dikatakan Janice."Aku tahu kamu bisa melakukannya!" Janice melambaikan tangannya. "Cepat pergi siapkan semua itu, paling lambat besok aku sudah harus pergi!"Henry tidak akan melepaskannya, jadi dia tidak bisa hanya duduk diam!Pergi ke luar negeri sec
"Belum.""Bagaimana dengan Miana?""Nona Miana sedang berjaga di kamar pasien.""Batalkan semua jadwal hari ini, aku akan pergi ke rumah sakit."Wiley mengurungkan niatnya untuk mengatakan sesuatu sebelum meninggalkan ruangan.'Sekarang yang ada di benak Pak Henry hanya Nona Miana, benar-benar sudah jadi bucin.'Mengerikan ....'Setelah Wiley pergi, Henry menandatangani beberapa dokumen mendesak sebelum meninggalkan kantor.Ketika mobil sudah berhenti di tempat parkir rumah sakit, Henry merokok dua batang rokok sebelum turun dari mobil dan memasuki gedung rumah sakit.Di depan pintu kamar VIP, dia berdiri sebentar baru mendorong pintu masuk.Giyan masih terbaring tidak sadarkan diri di ranjang rumah sakit, tubuhnya dipenuhi berbagai alat medis, dan alat medis di sampingnya terus mengeluarkan bunyi.Miana tertidur di tepi ranjang rumah sakit dengan rambut panjangnya terurai menutupi sebagian wajahnya.Melihat situasi ini, Henry merasa tidak nyaman.Jika dia bisa memperkirakan bahwa Giya
"Mia, aku bawakan kamu sarapan ...." Begitu masuk, Kevin melihat dua orang dalam posisi yang terlihat begitu intim hingga membuatnya tidak bisa melanjutkan ucapannya.Sejurus itu, dia tidak tahu apakah dia harus masuk atau keluar.Miana segera mengulurkan tangan untuk mendorong Henry.Akan tetapi, Henry malah memegang kepala Miana, memperdalam ciumannya.Miana menjadi marah dan menggigit bibir Henry dengan keras.Mulut keduanya penuh dengan rasa darah.Henry mengerutkan keningnya'Lagi-lagi dia menggigitku!''Sebegitu nggak suka berciuman denganku?'"Henry, cepat pergi!" Miana tidak ingin melihat Henry.Raut wajah Henry menjadi dingin. "Apa? Aku di sini, mengganggumu?"Miana tidak ingin meladeni Henry lagi, langsung bangkit dan menghampiri Kevin, "Kak Kevin, kenapa kamu ke sini?""Aku khawatir kamu nggak punya waktu untuk pergi beli, jadi aku bawakan sarapanmu. Aku beli bubur kesukaanmu. Ayo, sarapan dulu," ujar Kevin sambil berjalan ke sofa, meletakkan kantong berisikan bubur itu di m
Sorot mata Kevin menajam. "Henry, kalian sudah bercerai! Apa yang kamu lakukan!"Menurutnya, Henry tidak berhak membawa pergi Miana!"Dia nggak beri tahu kamu, semalam, dia memohon untuk kembali bersamaku demi menyelamatkan Giyan?" Henry tersenyum sinis, lalu melihat Miana yang berada di pelukannya dan bertanya, "Nona Miana, yang kukatakan benar, 'kan?"Miana memelototi Henry. "Tutup mulutmu!"'Nggak ada yang menyuruhmu untuk bicara!'Kevin tersentak sejenak.Dia masih merasa bersalah atas kejadian tadi malam.Jika bukan karena dia membawa Miana keluar, orang-orang itu tidak akan membawa Miana pergi."Nona Miana, apakah kamu ingin menyelamatkan kakak seniormu ini? Hm?" tanya Henry sambil tersenyum, tanpa memedulikan tatapan Miana yang tajam itu.Miana menggigit bibirnya dan mengangguk. "Ya!"Meskipun begitu, dia tidak ingin memohon pada Henry di depan Kevin."Hanya itu?" tanya lagi Henry dengan pelan sambil mengangkat alisnya."Aku akan pulang bersamamu!" Ini adalah kompromi terbesar M
Amanda tidak pernah meragukan Miana.Dia hanya meragukan dirinya sendiri."Duduklah, kita diskusikan lagi," ujar Miana dengan suara lembut, sambil mengangkat cangkir kopinya dan mengaduknya perlahan."Oke!" Amanda menarik kursi dan duduk di depannya, kemudian mereka mulai berdiskusi.Diskusi mereka selesai tepat sebelum waktu yang ditentukan.Amanda segera mengemas dokumen-dokumen dengan rapi, lalu dia dan Miana meninggalkan kantor bersama-sama.Kendati sudah empat tahun meninggalkan Kota Jirya, Miana tetap menjadi sosok yang dihormati dan diingat.Setibanya di pengadilan, banyak wajah akrab yang menyapanya dengan antusias.Pemandangan itu membuat Amanda teringat pertama kali dia berada di pengadilan.Saat itu, tubuhnya gemetar karena gugup, tetapi Miana segera membantunya duduk dan menenangkan dirinya.Setelah beberapa saat, sidang hari ini pun dimulai.Sidang berlangsung penuh ketegangan, kedua belah pihak saling beradu argumentasi dalam perdebatan sengit, masing-masing mengupayakan
Menurut Miana, reaksi Ariz terasa sedikit berlebihan.Sepertinya Ariz juga menyadari hal itu, lalu mencoba untuk tenang sebelum bertanya, "Apa yang terjadi dengan Bu Sherry? Kenapa dia dirawat di rumah sakit?"Dalam beberapa hari terakhir, dia menganggap Sherry sedang dalam perjalanan bisnis karena tidak bisa dihubungi.Namun, dia tidak pernah menduga bahwa Sherry sebenarnya berada di rumah sakit.Miana memandangnya, mempertimbangkan ucapan sebelum mengungkapkan berita berat itu. Dengan suara pelan, dia berkata, "Dia mengalami kecelakaan mobil, kehilangan salah satu kakinya, dan kini dirawat di rumah sakit."Wajah Ariz memucat, seolah sulit mencerna informasi itu, sebelum akhirnya bertanya, "Bagaimana ... keadaannya sekarang?'"'Kehilangan salah satu kaki, dia pasti sangat terpukul.''Aku bahkan sama sekali nggak menyadari apa yang sebenarnya terjadi.'"Dia memang terlihat biasa saja, tapi aku yakin hatinya nggak sepenuhnya tenang," ujar Miana, sorot matanya tajam memperhatikan Ariz, m
Selesai berbicara dengan kepala sekolah, Miana menuju tempat parkir dan sebuah mobil Maybach sengaja menghalangi mobilnya.Dia berjalan mendekat dan mengetuk kaca mobil ituBegitu kaca jendela mobil diturunkan, wajah dingin Henry terlihat."Tolong pindahkan mobilmu," ujar Miana yang masih dengan nada sopan."Masuklah, aku akan mengantarmu," ujar Henry dengan nada tegas.Miana mengernyit dan nada bicaranya berubah ketus, "Aku bawa mobil sendiri, nggak perlu kamu antar. Kalau ada yang ingin kamu bicarakan, langsung saja!"Dia pikir, setelah kejadian semalam, Henry tidak akan mengusiknya untuk sementara waktu.Dia sungguh tidak menyangka, pagi ini, Henry muncul lagi.Benar-benar pria tidak tahu malu!"Kapan kamu akan membawa putra kita dan tinggal bersamaku?" Henry memandang wajah Miana yang begitu dekat, dan perasaan yang lama terpendam dalam dirinya mengalir kembali dengan kuat.Dia mencintai Miana.Namun, Miana tidak mencintainya lagi."Henry, bisakah kamu bertindak normal?" Miana mera
Sherry dan Miana bertukar pandang, lalu dia melambaikan tangan kepada Nevan sambil berkata, "Baiklah, kamu pergilah ke taman kanak-kanak. Jangan lupa dengarkan gurumu dengan baik, ya. Ibu angkat pasti akan merindukanmu!"Miana tertawa mendengar perkataan Sherry.Nevan menggembungkan pipinya, memberungut marah. Matanya memerah menahan amarah, lalu dia mengentakkan kakinya beberapa kali dengan keras sebelum bergegas keluar."Dia benaran marah?" tanya Sherry kepada Miana.Miana tersenyum sambil menjawab, "Tentu saja dia marah. Baginya, Kamu itu adalah harapannya, dan ternyata kamu membuatnya kecewa. Jangan khawatir, dia anak yang mudah dibujuk. Sebentar lagi dia akan kembali ceria.""Baguslah kalau begitu. Jangan buang waktu lagi, kamu cepat pergi bujuk dia." Sherry akhirnya merasa lega."Setelah selesai sarapan, kamu kembali istirahat saja. Nanti aku akan mengirim Ariz ke sini," ujar Miana sambil melambaikan tangan kepada Sherry, sebelum dia berbalik dan pergi.Di pos suster, Nevan sedan
Pada hari itu, Sherry keluar dari kantor dekan dengan tergesa-gesa, lalu tertabrak sepeda Ariz dan terjatuh ke tanah.Ariz segera memarkir sepedanya dengan baik, lalu mengendong Sherry ke klinik kampus.Setelah itu, Ariz tetap bersikeras mengantar Sherry kembali ke perusahaan, meskipun Sherry terus meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja.Hari pertama Ariz bergabung di perusahaan, barulah Sherry sadar bahwa Ariz adalah orang yang menabraknya waktu itu.Sejak saat itu, Ariz tetap berada di sisinya hingga kini.Dalam beberapa tahun kebersamaan mereka, Sherry merasa sangat bersyukur atas keputusan yang dia buat pada hari itu."Kalau begitu, minta Ariz ke Universitas Jirya dan carikan orang berbakat seperti dirinya untuk membantu perkembangan perusahaan kita ke depannya." Miana sangat puas dengan kemampuan Ariz. Dia percaya, dengan Ariz bertanggung jawab atas perekrutan, hasilnya akan sangat memuaskan. Selain itu, dia memang sudah berencana merekrut orang baru untuk belajar darinya."Baikl
"Begitu aku bangun pagi ini, aku langsung menyadari kalau informasi lokasi adikmu nggak lagi dapat dilacak. Aku mencoba beberapa cara untuk menemukannya, tetapi hasilnya nihil. Akhirnya, aku meretas ponselnya dan memeriksa riwayat panggilan. Panggilan terakhirnya adalah kepada Nyonya Besar keluarga Jirgan."Miana menyipitkan matanya, sementara otaknya bekerja keras menyusun setiap petunjuk yang telah dia dapatkan.'Untuk apa Celine mencari Felica?''Hubungan mereka sangat dekat?'"Bos, apa masih perlu mencari keberadaannya?""Tetap cari!" Miana merasa ada sesuatu yang tidak beres.'Ke mana Celine pergi?'"Oke, aku akan segera mencarinya! Lalu, bagaimana dengan penyelidikan kecelakaan Sherry?""Begitu urusanku selesai, aku akan langsung mengecek ulang informasi tentang orang itu untuk memastikan identitas aslinya.""Baiklah."Setelah menutup telepon, Miana bersandar di dinding. Kekhawatiran membanjiri pikirannya.Tiba-tiba, terdengar suara Nevan dari kamar perawatan. "Ibu, cepat masuk!"
Perawat sibuk bekerja, menyeka tangan Sherry dengan lembut.Ketika Nevan masuk ke kamar perawatan, suaranya yang ceria memecah keheningan."Ibu angkat, aku datang!" serunya sambil berlari kecil menuju ranjang.Mendengar suara ceria Nevan, senyum langsung menghiasi wajah Sherry. Dia menoleh kepada perawat dan berkata dengan lembut, "Kamu siapkan sarapan dulu."Perawat mengangguk dan berjalan keluar ruangan.Dengan langkah-langkah kecil yang penuh semangat, Nevan tiba di sisi ranjang. Sepasang mata jernihnya menatap Sherry yang sedang berbaring, dan dia bertanya dengan suara manis, "Apakah Ibu merindukan?"Sherry merasa hatinya terisi kebahagiaan, dia tertawa sambil meraih tangan Nevan. "Tentu saja sangat merindukanmu!"Nevan berjinjit, berusaha memanjat ke ranjang, tetapi tinggi tubuhnya membuatnya kesulitan. Dengan senyum kecil, dia menundukkan kepala dan memberikan ciuman hangat di punggung tangan Sherry. "Aku juga merindukan Ibu angkat!"Miana menyaksikan interaksi hangat antara Neva
Miana tertegun.Dia pernah memikirkan kemungkinan menikah dengan Giyan suatu hari nanti.Namun, tidak terlintas dalam benaknya bahwa Giyan akan menyatakannya pada waktu seperti sekarang.Ekspresi tertegun Miana membuat Giyan merasa sedikit kecewa, tetapi dia tetap mempertahankan senyumnya. "Aku hanya bercanda! Aku nggak bermaksud memaksamu untuk menikah! Sore nanti, kalau kamu punya waktu, aku bisa membawamu melihat rumah itu. Kalau kamu merasa cocok, kita bisa langsung pindah besok, bagaimana?"Dia tidak yakin apakah Henry masih memiliki tempat di hati Miana, tetapi dia sangat menyadari bahwa perasaan Miana terhadapnya belum cukup kuat untuk membangun masa depan bersama.Tentu saja, ini membuat hatinya terasa perih.Namun, dia tahu bahwa memaksakan sesuatu bukanlah jawabannya.Yang bisa dia lakukan hanyalah menunggu Miana siap."Giyan ...." Miana menyadari bahwa senyum di wajah Giyan terlihat dipaksakan, membuat hatinya diliputi rasa bersalah. Namun, dia tahu bahwa dia harus jujur. "M
Miana dengan penuh hati-hati menggeser Nevan ke samping dan bangkit dari ranjang.Setelah mencuci muka dan bersiap-siap, dia turun ke lantai bawah.Giyan sudah menyiapkan sarapan dan sedang membersihkan ruang tamu."Kenapa bangun sepagi ini? Tidur lagi saja sebentar," ujar Giyan, sembari menghentikan penyedot debu. Tatapan lembutnya tertuju pada Miana, dan suaranya tetap penuh kehangatan."Nggak deh, terlalu banyak yang harus aku kerjakan hari ini," ujar Miana dengan lembut, sambil mendekat dan merangkul pinggang Giyan."Kalau begitu, kamu sarapan dulu. Aku akan pergi membangunkan Nevan," ujar Giyan dengan suara yang agak serak, lalu mencium kening Miana."Oke, kamu pergi bangunkan dia," ujar Miana sambil menyandarkan wajahnya ke dada Giyan.Dengan Giyan di sisinya, semuanya tampak begitu damai dan hangat.Hidup dalam momen ini terasa begitu menyenangkan."Kamu makanlah, aku naik ke atas sekarang." Giyan mencubit pipi Miana dengan lembut.Miana menyadari telinga Giyan yang agak merah,