Pupil mata Miana langsung menyempit dan dia berseru, "Baik, aku akan segera ke sana!"Dia bahkan tidak berani bertanya apa yang sebenarnya terjadi!Menyadari perubahan ekspresi Miana, Sherry segera bertanya, "Mia, ada apa?"Miana menggenggam ponselnya erat-erat, tubuhnya sedikit gemetar.Entah mengapa dia merasakan firasat buruk.Kondisi neneknya mungkin .... tidak bisa diselamatkan."Mia, bicaralah, jangan menakutiku!" seru Sherry yang tanpa sadar meninggikan suaranya sambil mengguncang pelan wajah Miana.Miana perlahan tersadar, menatap Sherry dan berkata, "Nenek masuk UGD, aku harus segera ke sana!""Aku akan menemanimu!" Sherry bahkan tidak mencuci piring. Dia menahan rasa tidak nyaman di tubuhnya dan membantu Miana berjalan keluar.Khawatir terjadi sesuatu pada Miana, dia memanggil taksi online.Setelah masuk ke taksi, Miana bersandar pada Sherry, sekujur tubuhnya terasa lemas.Seolah-olah semua tenaganya telah terkuras habis.Melihat kondisi Miana seperti itu, Sherry sangat khawa
"Kamu pulang dan tunggu kabar. Aku akan meneleponmu besok!" ujar Janice dengan suara pelan dengan menekan amarahnya yang meluap-luap di hatinya."Nona Janice, setidaknya berikan aku setengahnya. Kalau aku nggak bisa mengembalikan uang itu, aku akan dipukuli sampai mati!" Dia tentu tahu bahwa Janice hanya ingin membuatnya segera pergi.Jika dia benar-benar menunggu hingga besok, kemungkinan besar dia tidak akan mendapatkan sepeser pun.Bahkan mungkin dia akan dibungkam untuk selamanya.Oleh karena itu, dia sekarang harus mendapatkan uang sebanyak yang dia bisa.Setelah mendapatkan uang, dia baru akan memikirkan masalah besok."Sekarang aku nggak punya uang!" Janice tidak ingin memberikan sepeser pun."Nona Janice nggak takut aku akan mengatakan semuanya? Apakah Nona nggak berpikir apa yang akan terjadi padamu setelah berita kebohonganmu tersebar di internet?" Dia terpaksa mengancam Janice dengan cara ini.Dia tidak akan menyerah sampai mendapatkan uangnya!Janice mungkin kejam, tetapi t
Janice membalas tatapan Miana, lalu tersenyum sinis dan berkata, "Nenekmu sudah terbaring di rumah sakit selama bertahun-tahun, seharusnya dia sudah mati sejak lama. Aku hanya membantumu, nggak perlu berterima kasih padaku!"Di depan Miana, dia tidak pernah menyembunyikan apa yang telah dilakukannya.Lagi pula, Henry tidak pernah memercayai apa yang dikatakan Miana, jadi dia merasa tidak perlu takut!Miana berdiri di depan ranjang rumah sakit Janice, menatapnya dengan mata merah penuh kebencian. "Janice, apakah kamu masih bisa disebut manusia setelah mengatakan hal seperti itu?"Neneknya masih dalam kondisi kritis dan dia telah menandatangani surat peringatan kondisi kritis. Dokter bahkan mengatakan agar dia siap secara mental. Dia punya firasat bahwa neneknya mungkin akan segera dijemput ajal!Saat menunggu di luar ruang gawat darurat, dia terus berpikir, tetapi tidak bisa mengerti mengapa kondisi neneknya tiba-tiba kritis lagi.Kemudian, dia pergi ke toilet dan tanpa sengaja mendenga
Miana sadar bahwa sekalipun dia membunuh Janice seperti ini, dia juga tidak akan bisa hidup!Selain itu, neneknya baru saja meninggal, dia harus mengantar kepergian neneknya dengan layak.Adapun masalah dengan Janice, dia akan mengurusnya nanti.Janice menatap perut Miana.Sangat datar dan tidak terlihat ada yang aneh.Namun, dia menyewa seseorang untuk menyelidiki Miana dan menemukan bahwa Miana melakukan pemeriksaan kehamilan di rumah sakit milik Keluarga Ingra.Waktu kehamilan Miana dan kehamilannya hanya berbeda satu bulan.Pada saat dia baru hamil, mualnya sangat parah dan Henry hampir setiap hari menemaninya hingga larut malam. Hal ini menunjukkan, meskipun sudah larut, Miana dan Henry masih melakukan hubungan intim!Karena Henry pernah mengatakan tidak menyukai Miana, Janice pun berpikir pasti Miana yang menggoda Henry terlebih dahulu.Memikirkan apa yang mereka lakukan di tempat tidur, dia sangat cemburu.Selama bertahun-tahun, baik tersirat maupun tersurat, dia telah menggoda
Sherry mendengar tangisan Miana, hatinya terasa sangat sakit, dan dia segera memeluknya."Mia ...."Sherry tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun karena kata-kata penghiburan terhenti di tenggorokannya.Hatinya sendiri sudah sakit, tetapi Miana pasti merasakan sakit yang berkali-kali lipat lebih dalam!Di saat seperti ini, menghibur pun tidak akan ada artinya.Petugas di samping merasa sedikit canggung. "Nona, kami harus membawa jenazah ke kamar mayat, nggak boleh tinggal di sini terlalu lama!"Mereka telah melihat banyak keluarga yang berduka. Ada yang menangis tersedu-sedu, ada juga yang tidak menunjukkan emosi apa pun.Namun, cara Miana menangis akan membuat hati siapa pun yang melihatnya terasa tertekan.Petugas ingin memberinya lebih banyak waktu, tetapi mereka harus mematuhi aturan rumah sakit.Miana mengusap air matanya, agar bisa melihat wajah neneknya dengan lebih jelas.Dia kemudian mengulurkan tangannya, dengan lembut menutup mata neneknya yang terbuka lebar sambil berkata,
Sherry terkejut dan segera menopang Miana dan memanggilnya dengan suara pelan, "Mia ...."'Siapa yang menelepon dan apa yang dikatakan orang itu?''Kenapa Mia terlihat begitu terpukul?'"Janice yang bilang padamu kalau aku yang membuatnya keguguran?" Setelah menenangkan diri, Miana bertanya dengan tegas, "Lalu, apakah kamu tahu mengapa aku pergi mencarinya?""Itu nggak penting! Yang penting adalah Janice kehilangan anaknya! Sekarang dia bahkan masih di meja operasi! Miana, kalau terjadi sesuatu pada Janice, aku akan membuatmu ikut mati bersamanya!" seru Henry yang nada bicaranya penuh dengan niat membunuh.Henry menyalahkan Miana yang tiba-tiba datang menemui Janice di rumah sakit, bahkan mendorongnya ke lantai dan menendang perutnya hingga keguguran.Anak yang dikandung Janice adalah anak Zeno.Menurutnya, sekalipun Kakek tidak menyukai Janice, Kakek tetap berharap anak itu segera lahir.Bagaimanapun, anak itu adalah satu-satunya darah daging Zeno!Sekarang anak itu tiada, bagaimana d
Saat Miana sadar, dia menemukan dirinya sedang berbaring di ranjang rumah sakit. Aroma disinfektan menyengat hidungnya.Sherry seketika merasa lega ketika melihatnya bangun."Mia, bagaimana perasaanmu?"Miana menggeleng dan menjawab, "Aku sudah nggak apa-apa."Kemudian, dia membuka selimut dan hendak turun dari tempat tidur."Istirahatlah dulu," ujar Sherry sambil mengulurkan tangan dan menahan Miana."Aku ingin menemani Nenek untuk terakhir kalinya. Begitu fajar tiba, dia akan menjadi abu dan berbaring di dalam guci kecil. Aku nggak akan pernah punya kesempatan untuk melihatnya lagi." Nada suara Miana sangat tenang, emosinya tidak menunjukkan kesedihan atau kegembiraan. Sikap Miana seperti ini malah membuat Sherry merasa khawatir.Neneknya telah meninggal, tetapi Miana terlihat terlalu tenang.Sherry lebih suka Miana menangis keras seperti sebelumnya, mengeluarkan semua kesedihan dan rasa sakit di hatinya.Dia tidak ingin Miana menyimpan semuanya di dalam hati.Karena begitu hatinya t
Keluar dari kamar mayat, Miana menahan kesedihannya dan mulai mengurus pemakaman neneknya dengan tenang.Bagaimanapun, dia sendirian, tidak punya hak untuk bersedih!Setelah dia selesai mengurus aula pemakaman, panggilan telepon dari Evina datang.Miana memberi tahu Evina alamat aula tersebut. Setelah itu, dia mulai mengabari kerabat-kerabat neneknya yang berada di kampung halaman.Miana berpikir bahwa neneknya yang terbaring sendirian di rumah sakit selama bertahun-tahun pasti sangat menantikan ada yang datang menjenguknya.Sekarang neneknya sudah tiada, dia ingin mengantar kepergian neneknya dengan penuh keramaian.Tidak lama kemudian, Evina datang bersama Pram dan Celine.Hal pertama yang mereka lakukan bukanlah menghormati almarhum, tetapi langsung menghampiri Miana.Tepat ketika Miana ingin berbicara, Evina menamparnya dan berteriak "Demi mendapatkan harta warisan Nenek, kamu mengurungnya selama bertahun-tahun! Sekarang Nenek sudah meninggal, kamu berpura-pura sedih dan menyuruh k
Amanda tidak pernah meragukan Miana.Dia hanya meragukan dirinya sendiri."Duduklah, kita diskusikan lagi," ujar Miana dengan suara lembut, sambil mengangkat cangkir kopinya dan mengaduknya perlahan."Oke!" Amanda menarik kursi dan duduk di depannya, kemudian mereka mulai berdiskusi.Diskusi mereka selesai tepat sebelum waktu yang ditentukan.Amanda segera mengemas dokumen-dokumen dengan rapi, lalu dia dan Miana meninggalkan kantor bersama-sama.Kendati sudah empat tahun meninggalkan Kota Jirya, Miana tetap menjadi sosok yang dihormati dan diingat.Setibanya di pengadilan, banyak wajah akrab yang menyapanya dengan antusias.Pemandangan itu membuat Amanda teringat pertama kali dia berada di pengadilan.Saat itu, tubuhnya gemetar karena gugup, tetapi Miana segera membantunya duduk dan menenangkan dirinya.Setelah beberapa saat, sidang hari ini pun dimulai.Sidang berlangsung penuh ketegangan, kedua belah pihak saling beradu argumentasi dalam perdebatan sengit, masing-masing mengupayakan
Menurut Miana, reaksi Ariz terasa sedikit berlebihan.Sepertinya Ariz juga menyadari hal itu, lalu mencoba untuk tenang sebelum bertanya, "Apa yang terjadi dengan Bu Sherry? Kenapa dia dirawat di rumah sakit?"Dalam beberapa hari terakhir, dia menganggap Sherry sedang dalam perjalanan bisnis karena tidak bisa dihubungi.Namun, dia tidak pernah menduga bahwa Sherry sebenarnya berada di rumah sakit.Miana memandangnya, mempertimbangkan ucapan sebelum mengungkapkan berita berat itu. Dengan suara pelan, dia berkata, "Dia mengalami kecelakaan mobil, kehilangan salah satu kakinya, dan kini dirawat di rumah sakit."Wajah Ariz memucat, seolah sulit mencerna informasi itu, sebelum akhirnya bertanya, "Bagaimana ... keadaannya sekarang?'"'Kehilangan salah satu kaki, dia pasti sangat terpukul.''Aku bahkan sama sekali nggak menyadari apa yang sebenarnya terjadi.'"Dia memang terlihat biasa saja, tapi aku yakin hatinya nggak sepenuhnya tenang," ujar Miana, sorot matanya tajam memperhatikan Ariz, m
Selesai berbicara dengan kepala sekolah, Miana menuju tempat parkir dan sebuah mobil Maybach sengaja menghalangi mobilnya.Dia berjalan mendekat dan mengetuk kaca mobil ituBegitu kaca jendela mobil diturunkan, wajah dingin Henry terlihat."Tolong pindahkan mobilmu," ujar Miana yang masih dengan nada sopan."Masuklah, aku akan mengantarmu," ujar Henry dengan nada tegas.Miana mengernyit dan nada bicaranya berubah ketus, "Aku bawa mobil sendiri, nggak perlu kamu antar. Kalau ada yang ingin kamu bicarakan, langsung saja!"Dia pikir, setelah kejadian semalam, Henry tidak akan mengusiknya untuk sementara waktu.Dia sungguh tidak menyangka, pagi ini, Henry muncul lagi.Benar-benar pria tidak tahu malu!"Kapan kamu akan membawa putra kita dan tinggal bersamaku?" Henry memandang wajah Miana yang begitu dekat, dan perasaan yang lama terpendam dalam dirinya mengalir kembali dengan kuat.Dia mencintai Miana.Namun, Miana tidak mencintainya lagi."Henry, bisakah kamu bertindak normal?" Miana mera
Sherry dan Miana bertukar pandang, lalu dia melambaikan tangan kepada Nevan sambil berkata, "Baiklah, kamu pergilah ke taman kanak-kanak. Jangan lupa dengarkan gurumu dengan baik, ya. Ibu angkat pasti akan merindukanmu!"Miana tertawa mendengar perkataan Sherry.Nevan menggembungkan pipinya, memberungut marah. Matanya memerah menahan amarah, lalu dia mengentakkan kakinya beberapa kali dengan keras sebelum bergegas keluar."Dia benaran marah?" tanya Sherry kepada Miana.Miana tersenyum sambil menjawab, "Tentu saja dia marah. Baginya, Kamu itu adalah harapannya, dan ternyata kamu membuatnya kecewa. Jangan khawatir, dia anak yang mudah dibujuk. Sebentar lagi dia akan kembali ceria.""Baguslah kalau begitu. Jangan buang waktu lagi, kamu cepat pergi bujuk dia." Sherry akhirnya merasa lega."Setelah selesai sarapan, kamu kembali istirahat saja. Nanti aku akan mengirim Ariz ke sini," ujar Miana sambil melambaikan tangan kepada Sherry, sebelum dia berbalik dan pergi.Di pos suster, Nevan sedan
Pada hari itu, Sherry keluar dari kantor dekan dengan tergesa-gesa, lalu tertabrak sepeda Ariz dan terjatuh ke tanah.Ariz segera memarkir sepedanya dengan baik, lalu mengendong Sherry ke klinik kampus.Setelah itu, Ariz tetap bersikeras mengantar Sherry kembali ke perusahaan, meskipun Sherry terus meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja.Hari pertama Ariz bergabung di perusahaan, barulah Sherry sadar bahwa Ariz adalah orang yang menabraknya waktu itu.Sejak saat itu, Ariz tetap berada di sisinya hingga kini.Dalam beberapa tahun kebersamaan mereka, Sherry merasa sangat bersyukur atas keputusan yang dia buat pada hari itu."Kalau begitu, minta Ariz ke Universitas Jirya dan carikan orang berbakat seperti dirinya untuk membantu perkembangan perusahaan kita ke depannya." Miana sangat puas dengan kemampuan Ariz. Dia percaya, dengan Ariz bertanggung jawab atas perekrutan, hasilnya akan sangat memuaskan. Selain itu, dia memang sudah berencana merekrut orang baru untuk belajar darinya."Baikl
"Begitu aku bangun pagi ini, aku langsung menyadari kalau informasi lokasi adikmu nggak lagi dapat dilacak. Aku mencoba beberapa cara untuk menemukannya, tetapi hasilnya nihil. Akhirnya, aku meretas ponselnya dan memeriksa riwayat panggilan. Panggilan terakhirnya adalah kepada Nyonya Besar keluarga Jirgan."Miana menyipitkan matanya, sementara otaknya bekerja keras menyusun setiap petunjuk yang telah dia dapatkan.'Untuk apa Celine mencari Felica?''Hubungan mereka sangat dekat?'"Bos, apa masih perlu mencari keberadaannya?""Tetap cari!" Miana merasa ada sesuatu yang tidak beres.'Ke mana Celine pergi?'"Oke, aku akan segera mencarinya! Lalu, bagaimana dengan penyelidikan kecelakaan Sherry?""Begitu urusanku selesai, aku akan langsung mengecek ulang informasi tentang orang itu untuk memastikan identitas aslinya.""Baiklah."Setelah menutup telepon, Miana bersandar di dinding. Kekhawatiran membanjiri pikirannya.Tiba-tiba, terdengar suara Nevan dari kamar perawatan. "Ibu, cepat masuk!"
Perawat sibuk bekerja, menyeka tangan Sherry dengan lembut.Ketika Nevan masuk ke kamar perawatan, suaranya yang ceria memecah keheningan."Ibu angkat, aku datang!" serunya sambil berlari kecil menuju ranjang.Mendengar suara ceria Nevan, senyum langsung menghiasi wajah Sherry. Dia menoleh kepada perawat dan berkata dengan lembut, "Kamu siapkan sarapan dulu."Perawat mengangguk dan berjalan keluar ruangan.Dengan langkah-langkah kecil yang penuh semangat, Nevan tiba di sisi ranjang. Sepasang mata jernihnya menatap Sherry yang sedang berbaring, dan dia bertanya dengan suara manis, "Apakah Ibu merindukan?"Sherry merasa hatinya terisi kebahagiaan, dia tertawa sambil meraih tangan Nevan. "Tentu saja sangat merindukanmu!"Nevan berjinjit, berusaha memanjat ke ranjang, tetapi tinggi tubuhnya membuatnya kesulitan. Dengan senyum kecil, dia menundukkan kepala dan memberikan ciuman hangat di punggung tangan Sherry. "Aku juga merindukan Ibu angkat!"Miana menyaksikan interaksi hangat antara Neva
Miana tertegun.Dia pernah memikirkan kemungkinan menikah dengan Giyan suatu hari nanti.Namun, tidak terlintas dalam benaknya bahwa Giyan akan menyatakannya pada waktu seperti sekarang.Ekspresi tertegun Miana membuat Giyan merasa sedikit kecewa, tetapi dia tetap mempertahankan senyumnya. "Aku hanya bercanda! Aku nggak bermaksud memaksamu untuk menikah! Sore nanti, kalau kamu punya waktu, aku bisa membawamu melihat rumah itu. Kalau kamu merasa cocok, kita bisa langsung pindah besok, bagaimana?"Dia tidak yakin apakah Henry masih memiliki tempat di hati Miana, tetapi dia sangat menyadari bahwa perasaan Miana terhadapnya belum cukup kuat untuk membangun masa depan bersama.Tentu saja, ini membuat hatinya terasa perih.Namun, dia tahu bahwa memaksakan sesuatu bukanlah jawabannya.Yang bisa dia lakukan hanyalah menunggu Miana siap."Giyan ...." Miana menyadari bahwa senyum di wajah Giyan terlihat dipaksakan, membuat hatinya diliputi rasa bersalah. Namun, dia tahu bahwa dia harus jujur. "M
Miana dengan penuh hati-hati menggeser Nevan ke samping dan bangkit dari ranjang.Setelah mencuci muka dan bersiap-siap, dia turun ke lantai bawah.Giyan sudah menyiapkan sarapan dan sedang membersihkan ruang tamu."Kenapa bangun sepagi ini? Tidur lagi saja sebentar," ujar Giyan, sembari menghentikan penyedot debu. Tatapan lembutnya tertuju pada Miana, dan suaranya tetap penuh kehangatan."Nggak deh, terlalu banyak yang harus aku kerjakan hari ini," ujar Miana dengan lembut, sambil mendekat dan merangkul pinggang Giyan."Kalau begitu, kamu sarapan dulu. Aku akan pergi membangunkan Nevan," ujar Giyan dengan suara yang agak serak, lalu mencium kening Miana."Oke, kamu pergi bangunkan dia," ujar Miana sambil menyandarkan wajahnya ke dada Giyan.Dengan Giyan di sisinya, semuanya tampak begitu damai dan hangat.Hidup dalam momen ini terasa begitu menyenangkan."Kamu makanlah, aku naik ke atas sekarang." Giyan mencubit pipi Miana dengan lembut.Miana menyadari telinga Giyan yang agak merah,