"Ngapain kamu ke sini, Mbak!" sinis Devi.Terdengar helaan napas Dewi sangat berat. Ia langsung menaruh rantang di lantai. "Tadinya mau sambil nginep di sini bantu kamu, tapi karena kamu ngomongan Mbak begitu kayanya gak jadi deh. Biar ucapanmu jadi kenyataan, dan ... Ini Mbak bawa makanan buat kamu, mau dimakan atau enggak itu terserah. Yang penting Mbak masih peduli sama keponakan, Mbak," sahut wanita itu. Dia langsung melangkah pergi sedangkan semua langsung menatapnya. Melihat kepergian wanita itu, salah satu yang hanya diam dari tadi mengeluarkan suara. "Kalian ini kalau belum ada buktinya jangan main bergosip aja napa! Kalau gak sesuai sama kenyataan itu jatuhnya fitnah," lontar wanita tersebut. Perempuan tersebut langsung pamit, ia melangkah pergi ke kediamannya. Karena rumah wanita itu hanya berjarak beberapa langkah dari milik Devi. "Kami pamit dulu kalau gitu, kerjaan rumah belum selesai," ucap salah satu dari mereka. Akhirnya semua pulang ke kediaman masing-masing, ki
Dewi berkata demikian setelah melihat calon menantunya masuk ke kediaman bersama Ali. Mendengar seruan sang Ibu, wanita tersebut langsung membuka mata dengan lebar dan menatap perempuan yang melahirkannya ini."Mana mungkin dia berani, Bu," balas wanita itu. Sang Ibu mendelik mendengar ucapan yakin anaknya. Sedangkan saat Maira bangun dari tidur, Hana pula ikut membuka mata, ia menguap dan mengulas senyum saat netra bertabrakan dengan Maira. "Ayo turun, Han. Udah sampe rumah Mama ini, kita minum air dulu. Mama haus nih," seru wanita itu. Hana menganggukan kepala, gadis kecil itu turun di bantu Dewi. Mereka langsung turun di kendaraan roda empat ini lalu melangkah ke kediaman untuk beristirahat."Mama, Papa di mana?" tanya Hana. Maira terus menjawab celotehan calon anaknya dengan sabar. Saat sampai ruang tamu dua lelaki itu tengah mengobrol, kedatangan para perempuan membuat mereka menoleh. "Ayo makan bareng, kalian tunggu di sini! Biar Ibu sama Maira yang masak, tenang aja cepet
Waktu berlalu sangat cepat, kini mereka disibukkan dengan menyebar undangan. Sedangkan Hafiz, lelaki itu lebih memilih menyuruh orang dari pada dia kelelahan melakukan hal tersebut. Tidak terasa waktu sudah pernikahan Maira tinggal menghitung hari."Bu, istirahat dulu yuk. Kita jajan dulu warung Mpok Nasih dulu," ajak Maira. Dewi yang mendengar itu menganggukan kepala, mereka langsung melangkah bersamaan ke warung tersebut. Lumayan banyak pembeli di sana, kedua perempuan ini dengan cepet mendaratkan bokong di lantai. "Eh, Ra, Mpok. Lagi sibuk sebar undangan ya?" tanya Nasih. Kedua perempuan itu langsung menoleh lalu menganggukan kepala. Maira segera memesan dua gelas teh, Nasih lekas menyiapkan pesanan. Dewi bangkit dan mengambil beberapa jajanan dan dibawa ke tempat mereka beristirahat."Habis ini kita jalan lagi, Ra! Masih banyak undangan yang kudu di sebar," tutur wanita itu.Nasih segera menyuguhkan dua gelas teh, lalu ikut duduk di dekat mereka. Ketiganya langsung berbincang m
Baru saja Maira hendak menjelaskan, Syafa keluar dari rumah dan langsung melihat mereka. "Kirain siapa yang datang, Bu. Mendingan I u masuk lagi yuk! Gak perlu ladenin mereka, mereka cuma mau pamer aja sama kita.""Secara gak langsung menghina aku, Bu. Kalau aku pas nikah gak dibuat acara, sedangkan dia yang janda dibuatin acara ginian," sungut wanita itu. Dewi mendengar perkataan keponakannya itu menggeleng, sedangkan Devi sudah tersulut emosi. Dia langsung menutup pintu dengan kencang tanpa memperdulikan sang Kakak yang hendak berbicara. Melihat hal ini, Maira sudah menduga, ia segera memegang lengan sang Ibu. "Udahlah, Bu. Nanti kalau mereka pengen ikut juga bakal dateng ke rumah. Kalau emang gak datang juga ya gak papa. Gak rugi juga kan," ujar Maira. Wanita itu menganggukan kepala mendengar ujaran sang anak. Lalu mereka mulai keliling menyebar undangan, sedangkan di kantor Hafiz. Seseorang membuat keributan karena pria tersebut tidak mengizinkan masuk ke ruangan."Ngapain si
Maira terus digoda oleh sahabatnya karena besok adalah hari istimewa wanita itu. Mereka bahkan sudah bersiap-siap karena nanti sore akan di jemput. "Duh, aku pengen banget nemenin kamu pas nikah. Sayangnya suamiku gak ngizinin, kata dia berangkat bareng dia aja nanti malamnya," keluh Kayla.Mendengar hal itu, Maira mengulas senyuman. Sedangkan Ajeng menepuk bahu sahabatnya."Tenang aja, nanti aku bakal kirimin videonya dan foto-foto kita."Setelah berkata demikian, Ajeng langsung memeluk Maira membuat Kayla mengerucutkan bibirnya. "Ih ... kamu mah rese, Jeng. Kamu pasti mau pamer kalau bisa nemenin Maira kan, Huh!"Perbincangan mereka dihentikan oleh Dewi, membuat para wanita itu menoleh. "Kalian ini asik aja ngobrol, ayo cepet masuk! Kita makan bareng," ajak wanita itu.Mendengar kata makan, Kayla langsung berdiri wanita itu segera mendekati Dewi. Sedangkan Maira dan Ajeng saling pandang dan menggelengkan kepala. "Dasar, berbau makanan aja semangat ngalahin sedih gak bisa nemenin
Syafa segera menuruti perkataan Ibunya, ia bergegas merapikan apa yang perlu di bawa. Sedangkan Devi melangkah menuju luar dan berteriak kala mereka hendak pergi. "Kenapa kamu malah pergi, Mbak! Aku aja belum jawab ajakan kamu lho. Apa Mbak gak bener-bener mau ngajak keluargaku," seru Devi. Mendengar seruan Devi, Dewi segera menghentikan Maira agak tidak jadi melaju. Ia langsung turun saat mesin kendaraan itu telah dimatikan, ia bergegas mendekati adiknya. "Apa kamu mau ikut, Vi?" tanya Dewi penuh harap.Devi menganggukan kepala membuat Dewi melihat hal itu kegirangan lalu memeluk adiknya. Wanita itu terseperti terpaksa menerima dekapan tersebut, sedangkan Maira mengerutkan kening keheranan. "Ada yang gak beres nih," batin wanita itu. Wanita yang melahirkan Maira itu langsung memberitahu jika nanti sore akan dijemput. Setelah berkata demikian, ia segera pamit. Sehabis kepergian kakaknya, Devi segera mengusap-usap tubuh karena di peluk sang Kakak. "Kayanya kudu mandi deh, kalau
Semua yang dijemput sudah berada di kendaraan roda empat. Mereka mulai melajukan mobil ini menuju tempat tujuan. Suara dering ponsel, membuat Maira langsung mencari benda pipih tersebut dalam tas bawaan. Senyuman langsung terulas kala nama di layar handphone, ia dengan cepat lekas mengangkat panggilan. "Kenapa lama banget sih, apa kamu senyum-senyum dulu pas liat namaku yang telepon," lontar Hafiz. Mata wanita itu langsung melebar kala mendengar lontaran lelaki yang esok akan jadi suaminya. "Kata siapa! Kamu kali yang nelepon aku, jangan-jangan kamu kangen ya," balas wanita itu. Dia tidak mau mengakui tuduhan Hafiz yang memang benar. Mendengar balasan wanita itu, Papa Hana ini terkekeh lalu memutar kursi dan mengulas senyuman. "Kalau iya kenapa." Kini Maira dibuat syok dan pipi wanita itu langsung memerah. Melihat reaksi perempuan tersebut, orang tua dan supir yang mengemudi mengulum senyum. Sedangkan David terlelap karena kelelahan, lelaki itu dari pagi bekerja sebagai ojek dan
Maira menatap sang ibu dengan tatapan tak percaya. Sedangkan Hafiz terlihat menahan tawa membuat wanita itu langsung mengembukan pipi. "Lihat, Bu. Dia ketawain aku, Ibu sih segala bilang gitu," rajuk wanita itu.Wanita itu langsung memalingkan wajah sedangkan dia dengan kesal memberikan handphone tersebut pada Ibunya. "Lihat, dia marah gara-gara malu tuh. Dia tuh gak mau kamu lihat muka jeleknya," ujar Dewi lagi.Maira membuang wajah menatap keluar. Sedangkan Hafiz tertawa mendengar perkataan Dewi yang ikut menggoda wanita tersebut. "Padahal ya, Bu. Walau dia belum cuci muka juga cantik lho. Aku kan pernah liat mukanya kalau bangun tidur," tutur Hafiz. Mendengar ucapan lelaki itu, Maira tidak tahan untuk mengulas senyuman. Sedangkan Dewi langsung menganggukan kepala dan memiringkan kepala. "Iyakah, Fiz? Oh iya. Udah ya, ini handphone kayanya baterainya udah mau habis deh," kata perempuan itu.Hafiz langsung mengiyakan perkataan Dewi, tetapi sebelum mematikan sambungan telepon. Di
"Mas," panggil wanita itu.Dia tidak menanggapi, lelaki itu melangkah lebar dan mengambil kunci. Maira hendak mengejar tetapi sangat kesulitan. "Jangan tunggu aku! Aku gak bakal pulang," seru lelaki itu. Pria tersebut menutup pintu dengan kencang, Maira menatap nanar adegan di depannya. Lalu berusaha mendekati benda tersebut dan membuka, terlihat kendaraan roda empat milik Hafiz telah melaju."Mas ...."Anggrek segera mendekati menantunya lalu mengusap pundak wanita tersebut. "Sayang, tenangin diri kamu. Jangan begini, kamu lagi hamil lho," seru wanita itu.Maira langsung memeluk sang mertua dan menangis tersedu-sedu. Sedangkan Hana masih syok karena kemarahan Hafiz. Gadis kecil itu bergegas mendekati Maira dan memeluk wanita tersebut. "Mama, jangan nangis. Nanti biar Hana bantuin minta maaf sama Papa," ujar gadis itu.Wanita paling tua dari mereka langsung membelai puncuk kepala Hana. Sedangkan Maira segera memeluk anak sambungnya. Anggrek segera mengajak sang menantu untuk masuk
Setelah berkata demikian wanita itu langsung mematikan sambungan telepon, tanpa mendengarkan perkataan sang suami. Sedangkan Hafiz hanya menggelengkan kepala lalu mengetik pesan pada Maira. [Makanan udah mateng, kamu turun makan dulu. Susu juga udah aku buatin,] [Karna kamu gak mau ketemu, aku ke kantor aja kalau gitu ya.]Mata Maira melebar membaca deretan pesan sang suami. Dengan berusaha secepat mungkin ia turun dari ranjang lalu melangkah membuka pintu. Mulutnya baru saja hendak berteriak tetapi, terhenti kala seseorang menarik membuat wanita itu tertarik ke pelukan lalu terhalang perut. "Haha ... untung di depannya bantal, kalau bukan perutku pasti sakit."Lelaki itu ikut terbahak karena ucapan sang istri. Setelah melihat Maira memegang perut, pria tersebut menebak jika Maira merasa sakit akibat tertawa. Ia segera memperintah untuk berhenti."Udah, jangan ketawa mulu. Nanti perutmu sakit, mendingan ayo makan," ajak Hafiz.Dia menganggukan kepala lalu ikut melangkah bersama san
Seharian ini lelaki itu dikerjain sang istri, ia didandani seperti ibu hamil. Tetapi keletihan tersebut tergantikan dengan tawa bahagia sang istri."Yang ... udah ya, aku udah ngerasain kok ini. Capek banget baru beberapa jam juga, udah ya aku lepasin semua," pinta Hafiz. Maira yang tertawa langsung cemberut, wanita itu menggelengkan kepalanya. Membuat Hafiz mendapatkan tanggapan tersebut menghela napas. "Ya udah kalau gak boleh, sekarang kita makan yuk! Aku lapar nih," ajak lelaki itu.Wanita itu mengangguk lalu dibantu berdiri oleh sang suami. Ia menggenggam tangan lelaki tersebut kala terulur, dan melangkah bersama ke ruang makan. Terlihat meja yang hanya tersaji buah-buahan, Maira segera duduk di kursi dan Hafiz lekas melihat isi kulkas. "Mau makan apa, Yang?" tanya Hafiz.Semenjak Bi Wati sudah tidak bekerja, lelaki itu mulai belajar memasak kembali. Karena dia sangat sulit percaya dengan orang lain, dan hanya menyuruh pembantu membereskan kediaman saja. Kalau memasak itu ad
Maira akhirnya menelepon nomor handphone Maira, telepon langsung tersambung. Wanita itu segera bertanya pada tetapi ia terdiam kala jawaban dari yang mengangkat."Kamu bohong kan, padahal seminggu yang lalu aku telepon sama Bibi lho," pekik wanita itu. Anggrek yang mendengar teriakan Maira terkejut, bahkan Hana yang terlelap terbangun. Gadis kecil itu kaget kala melihat Mama sambungnya menangis sangat kencang."Ada apa, Ra? Siniin handphonenya!" pinta wanita itu.Dia langsung merebut handphone itu karena tak kunjung diberikan oleh Maira. Hana membantu menenangkan wanita tersebut yang terus menangis tersedu-sedu. Sedangkan Anggrek sekarang tau kenapa menantunya menangis sampai begini. "Makasih ya, kalau gitu saya matiin teleponnya."Setelah mematikan sambungan telepon tersebut, Anggrek segera menelepon handphone anaknya. Hafiz yang memilih bekerja melirik benda pipih itu lalu mengeryitkan alis saat snag Mama menelepon."Kebiasaan banget," gerutu lelaki itu. Hafiz segera mengangkat t
Lima hari berlalu, keinginan Wati untuk pensiun tidak bisa dicegah. Kini mereka tengah mengantarkan wanita itu untuk kembali ke kampung. Hana yang mengetahui hal tersebut terus memeluk perempuan paruh baya ini. "Bibi ... kenapa Bibi pulang, apa Bibi gak sayang sama Hana. Apa Hana nakal bikin Bibi marah," cerocos gadis tersebut. Sesampai di kediaman wanita itu, Hana sudah terlelap karena kelelahan menangis. "Jaga kesehatan ya kalian," ucap Wati.Mereka menganggukan kepala sebagai jawaban, lalu segera pamit karena Hafiz hendak kembali ke kantor. "Maaf mengganggu waktu kalian jadinya," tutur wanita itu. Hafiz dan Maira langsung menggeleng, lalu wanita yang suka dipangil Neng oleh Wati itu memeluk perempuan tersebut."Pokoknya nanti Bibi harus angkat telepon aku," rengek Maira. Wati hanya menganggukan kepala pelan, lalu mereka segera pulang. Hana yang terbangun tidak mendapati perempuan yang menjaganya sangat lama itu menangis kembali. Maira berusaha menenangkan Hana.*** Waktu te
Maira bernapas lega setelah menaruh kue ulang tahun itu ke kulkas. Suara telepon terdengar, Wati terkejut karena hal tersebut. Ia mengelus dada sedangkan Hana tertawa melihat keterkejutan sang pengasuh. "Tuan Hafiz yang nelepon, Neng," lapor Wati. Maira menyuruh wanita ituhmengangkat telepon Hafiz. Sedangkan dia menyuruh sang supir untuk memarkirkan kendaraan di garasi. "Bi! Udah ditangkep belum hewan itu, pokoknya harus di tangkep ya, Bi!" seru lelaki itu. Terdengar suara lelaki itu sedikit gemetar. Wati merasa bersalah karena hal tersebut. "Udah ketangkep Tuan, Tuan bisa keluar sekarang. Nyonya Maira juga udah pulang nih," balas Wati.Hafiz langsung mematikan sambungan telepon, lalu tak lama lelaki itu keluar dari kamar. Tubuh pria tersebut masih gemetar. "Sini Mas, kamu takut banget ya."Lelaki itu menganggukan kepala, ia mendekati Maira dan duduk di tengah-tengah para perempuan. Mereka segera memeluk pria tersebut."Kita peluk nih, Pah. Papa jangan takut lagi ya," ucap Han
Maira menyipitkan mata mendengar suara Thania. "Beneran kamu Nia? Kok bisa kamu ngemis gini, emang harta Mas Reyhan habis?" tanya wanita itu. Mendengar deretan pertanyaan Maira, wanita itu langsung menatap sinis sang mantan teman."Gak usah pura-pura gak tau, kamu! Aku begini gara-gara kamu. Pasti kamu bilang kalau anakku bukan anak Mas Reyhan, kan! Kamu menghasut dia kan," sentak wanita itu.Alis Maira sampai menyatu mendengar sentakan wanita di hadapannya ini. "Dia tau kalau kamu bukan hamil anaknya? Lagian emang bukan anak Mas Reyhan, kan. Ngaku aja kamu, karena Mas Reyhan itu mandul.""Lagian main nuduh aja, aku gak pernah ketemu dia semenjak menikah. Hidupku udah bahagia, Nia, ngapain ngurusin kalian. Kita jalani masing-masing aja," lontar Maira. Setelah mengatakan hal itu semua mobil melaju, Maira segera menyuruh sang supir agar menjalankan kendaraan roda empat ini. Sedangkan Hana, gadis kecil tersebut mengeluarkan suara."Mah, Tante-Tante yang tadi itu yang pernah ngomelin
Mendapatkan notifikasi balasan dari istrinya, ia segera membaca lalu mengelus dada kala mendapatkan deretan permintaan istrinya lagi. "Kenapa gak minta beliin aja sih, Yang. Kamu demen banget buat aku nyobain hal baru," keluh lelaki itu."Untung cinta, kalau enggak. Huh ...."Hafiz langsung bangkit dari duduknya lalu melangkah menuju dapur. Wati yang mau keluar, terkejut dengan kedatangan sang majikan yang tiba-tiba."Kenapa jalan Tuan gak kedengaran suara," lontar wanita itu. Pria tersebut tidak menjawab, malah helaan napas yang terdengar. Wati mengerutkan kening kala sang majikan mengambil cobek dan ulekan. "Bi, ini gimana caranya buat sambel rujak?" tanya Hafiz. Mendengar pertanyaan Hafiz, Wati segera melihat kulkas mengambil bahan untuk membuat rujak. "Tuan pengen ngerujak? Sini biar saya aja yang bikinin," ucap Wati. Lelaki itu menggeleng, lalu menganggukan kepala saat paham. "Ini biar saya yang siapin ya, terus Tuan yang ulek," lontar perempuan tersebut. Hafiz hanya meng
Hafiz langsung menyuruh Wati untuk tidak mengatakan hal itu. Ia segera bangkit dan melangkah keluar, dia lekas menoleh menatap wanita tersebut. "Kamu ikut, Bi. Sekalian videoin sebagai bukti kalau aku yang beneran minta mangga itu ke pemiliknya," ajak pria tersebut. Wati langsung menganggukan kepala, ia segera mengeluarkan benda pipih miliknya dan menvideokan lelaki itu yang melangkah. Saat sampai di kediaman sang tetangga, Hafiz segera memencet bel. Pintu terbuka terlihat seorang wanita yang perkiraan lebih muda dari pengasuh Hana. "Boleh minta tolong panggilin pemilik rumah ini gak," pinta Hafiz. Wanita itu mengerutkan keningnya tetapi menganggukan kepala mengiyakan permintaan Hafiz. Dia pamit sebentar untuk memanggil sang majikan. Beberapa menit kemudian, keluar seorang wanita yang lebih tua dari perempuan tadi. "Ada apa ya, Hafiz?" tanya wanita itu. Hafiz menundukan kepala dan mengatur napasnya. Sedangkan wanita paruh baya itu mengerutkan kening melihat pembantu pria tersebu