Hafiz terdiam sebentar lalu menoleh kala suara sang sekertaris memanggil. "Lama banget sih," sinis Hafiz. Lelaki itu menempelkan telepon lagi ke telinga. "Telepon Papa matiin dulu, nanti kita teleponan di handphone aja, oke. Papa telepon balik nanti," ujar Hafiz.Dia langsung mematikan sambungan telepon. Hafiz menatap geram pada sang sekertaris. Lalu mengambil dengan kasar tas belanjaan lelaki itu."Cepat lihat jadwal saya hari ini!" perintah Hafiz.Lelaki itu melangkah pergi dengan beberapa karyawan menatap tidak percaya. Sedangkan sang sekertaris segera melakukan perintah atasan."Ampun ini Bos kenapa sih," gerutu lelaki itu.Sedangkan Hafiz bergegas ke ruangan lalu dia lekas memasukan kartu ke handphone. Setelah itu bergegas mengaktifkan dan mendownload, mendaftarkan whatsapp. "Wah, anakku gak sabaran banget. Langsung video call," gumam lelaki itu.Dia langsung menerima dan nampak wajah marah Hana yang malah terlihat menggemaskan. "Papa ini, katanya sebentar! Ini mah lama,"
Ketukan pintu terdengar, lalu sekertaris lelaki itu masuk. Ia memberikan salam pada Hafiz."Ada apa," ketus lelaki itu. Lelaki itu terkejut dengan nada suara Hafiz. Ia langsung menundukan kepala. "Haduh ... ternyata marah-marahnya belum selesai, apaan sih yang buat Bos marah-marah mulu," batin sang sekertaris. Hafiz menatap sekertarisnya yang terus diam. Membuat dirinya kesal,dengan penuh emosi. Dia segera mengambil bantal dan melemparkan pada Dafa."Kenapa diam aja sih! Kalau mau bengong mendingan keluar deh," cecar Hafiz.Pria tersebut terkejut, ia semakin menundukan kepala. Karena dia baru tiga bulan menjadi sekertaris Hafiz. "Ini, Bos, katanya tadi nanya jadwal sekarang apa aja," balas Dafa.Lelaki itu menatap Dafa lalu menghela napas. Ia segera bangkit lalu hendak, tapi di tahan Dafa. "Apa-apaan sih, main pegang-pegang aja. Saya masih doyan cewek, Daf," sembur Hafiz.Dafa langsung menarik tangannya dan menggarukan kepala."Ya saya juga masih doyan cewek Bos, itu saya mau bil
Mamid langsung terkejut mendengar omelan dari Hafiz, ia melirik Hana yang menyodorkan tangan padanya. Meminta agar handphone diberikan pada gadis itu. ."Tuan, Nona mau ngomong sama Tuan, ini saya kasih ke Nona," kata Mamid. Lelaki itu memberikan handphonenya ke Hafiz. Membuat sang majikan kesal dan berdecak. Mendengar suara Hana, dia berusaha mengontrol emosinya. "Hallo Pah, maaf ya. Tapi handphone Bibi baterainya habis, jadi mati deh," jelas gadis itu.Hana segera menjelaskan saat handphone Mamid sudah berada di tangannya. Gadis kecil itu menempelkan benda pipih tersebut ke telinga. "Harusnya di cas dong, kan kamu punya power bank, Han. Lagian kamu juga punya handphone kenapa pake punya Bibi," balas Hafiz.Gadis itu menggaruk kepala seraya cengar-cengir. "Hehe ... handphone gak dibawa Pah, soalnya baterainya habis. Dan ... power banknya jadi gak dibawa," sahut gadis itu.Hafiz mendengar penjelasan sang anak langsung mengangguk kepala. Lelaki itu mengeryit alis kala mendengar su
Wanita itu menoleh menatap Hafiz dengan tatapan yang sulit dibaca."Kalau gitu udah dulu ya, Nenek mau ngomomg sama Papa kamu," ucap perempuan tersebut.Hana mengiyakan lalu gadis itu menunggu sang Nenek menutup telepon. Sehabisnya segera memberikan kepada Mamid. "Yuk, Mang. Langsung ke rumah Mama, pasti Mama nungguin," seru Hana.Mamid mengangguk kepala, ia memasukan handphone ke saku lalu mulai menyalakan kendaraan. Lelaki itu mulai melajukan mobil."Gak sabar ketemu Mama, kangen banget," pekik Hana.Wati hanya mengulas senyum kecil pada tingkah Hana. Dia merawat gadis itu sejak lahir, dulu ia hanya asisten rumah tangga. Membantu pas almarhum istri Hafiz sibuk saja. Mengingat hal tersebut, dia kerindukan wanita yang melahirkan Hana."Anak Nyonya sangat cantik, kalau aja Nyonya masih hidup. Pasti Nyonya seneng liat Nona tubuh dengan baik," batin wanita itu.Wanita itu menitikan air mata, membuat Hana yang melihat mengeryitkan alis. Gadis tersebut langsung memegang tangan Wati."Bibi
Mata Dewi melotot mendengar hal itu, ia mendorong Devi keluar agar tidak diam di pintu. Dia menatap murka adiknya. Sedangkan Devi yang melihat sang kakak seperti ini semakin menguatkan dugaannya benar. "Jaga bicaramu, Dev! Jangan membuat gosip yang gak bener. Gadis itu manggil Mama karna Mamanya dia udah gak ada, bukannya anakku yang main serong," sembur Dewi. Devi menyeringai dia bersidekapan, walau dia terkejut karena wanita itu yang menunjukan amarah. "Cih, paliangan Mbak mau lindungin dia, makanya bilang gitu," balas Devi. Lena yang baru sampai membulatkan mata lalu segera mendekati mereka. Terlihat wajah Dewi sangat merah bahkan urat leher nampak. "Udah Bu, sabar. Orang kaya Bibi mah gak usah diladenin, mereka mau menang sendiri, kita yang waras ngalah aja," celetuk Maira. Mendengar ucapan Maira mata Devi melotot sedangkan Lena mengiyakan perkataan perempuan itu. "Omonganmu jaga dong, gak punya etika banget sih, ngomong kasar sama yang lebih tua," cecar Devi. Wanita itu m
Hafiz menarik napasnya, dia melangkah melewati sang Ibu dan mendaratkan bokong di sofa. Wanita yang melihat kelakuan Hafiz, segera mendekat lalu mencubit paha lelaki tersebut. "Mama nanya lho, cepet jawab!" cecar wanita itu.Hafiz memekik karena merasakan nyeri akibat dicubit oleh wanita itu."Mama bisa gak sih gak maen cubit-cubit aja, iya sekarang Hafiz ceritain semuanya," seru lelaki itu.Dia mulai menceritakan semuanya, sang Ibu yang mendengar menganggukkan kepala."Oh ... Kirain itu cewek pilihan kamu, ternyata dia pilihan Hana."Pria tersebut menganggukkan kepala mengiyakan ucapan sang Mama. Lalu memilih memejamkan mata dengan kepala bersandar di sofa. "Kalau gitu Mama mau ketemu dia," kata perempuan itu.Hafiz yang mendengar langsung duduk tegak. Dia menatap sang Mama dengan tatapan tak percaya."Ngapain sih, Mah. Gak perlu kali, lagian buat apa," larang Hafiz.Larangan sang anak membuat dia kesal, wanita itu memilih pergi meninggalkan Hafiz tanpa sepatah katapun. Sedangkan p
Maira menoleh kala Hana berkata demikian. Dia hanya tersenyum kecil lalu menaruh pulpen dan buku di meja. Wanita itu membantu anak Hafiz untuk duduk di kursi."Hana udah bangun, oh iya. Hana jadi gak ikut ke pasar."Maira memilih mengalihkan topik, Hana dengan semangat mengangguk kepala. Lalu melihat pakaian yang di pake. "Tapi berangkatnya beli baju dulu ya, Mah. Masa Hana pake seragam sekolah," celetuk gadis itu.Wanita itu langsung menatap pakaian yang di pakai Hana lalu mengangguk sebagai jawaban. "Eum ... Di sini ada yang jualan baju Han, beli di deket sini aja yuk. Biar nanti mandi dulu sebelum berangkat ke pasar," lontar Maira.Hana terdiam, Wati yang mendengar hal itu segera mendekat dan duduk di kursi lain. "Boleh tuh, Ra. Ayo kita ke sana aja sekarang, soalnya kasian Nona Hana yang udah lama pake seragam, pasti gak betah banget," seru Wati.Maira menganggukkan kepala, ia langsung berdiri lalu merapikan buku dan pulpennya. Sedangkan Handphone dimasukan ke saku, segera menu
Hana yang mendengar itu terkejut, apalagi nada suara Ghina lumayan tinggi. Dia bersembunyi di belakang Maira, sedangkan Wati segera mendekati Ghina. "Bukan, Mbak. Hana bukan anak Maira, dia anak majikan saya," jelas Wati.Ghina langsung menoleh melirik Wati lalu mengangguk kepala. Dia memilih segera bertanya pada Maira. "Ra, ngapain ke sini? Kan pesenanku udah dianterin. Atau uangnya kurang? Kan pas aku bayar pesenanku lagi lumayan rame," ujar Ghina.Maira melangkah masuk ke rumah Ghina. Terlihat banyak pakaian di sana. Wanita itu berkeliling mencari ukuran yang pas untuk Hana. "Baju sama celana yang pas buat ukuran Hana ada gak?" tanya Maira.Wanita itu diam sebentar lalu memandang Hana. Dia mengangguk sebagai jawaban lalu mengajak temannya untuk ikut. "Disini cari aja, kayanya semua pas sama ukuran gadis ini. Kalau celananya di ujung sana, oke, kalian pilih-pilih aja dulu aku buatin minuman buat kalian," tutur Ghina.Maira segera mengangguk, dia langsung mengajak Hana untuk memi
"Mas," panggil wanita itu.Dia tidak menanggapi, lelaki itu melangkah lebar dan mengambil kunci. Maira hendak mengejar tetapi sangat kesulitan. "Jangan tunggu aku! Aku gak bakal pulang," seru lelaki itu. Pria tersebut menutup pintu dengan kencang, Maira menatap nanar adegan di depannya. Lalu berusaha mendekati benda tersebut dan membuka, terlihat kendaraan roda empat milik Hafiz telah melaju."Mas ...."Anggrek segera mendekati menantunya lalu mengusap pundak wanita tersebut. "Sayang, tenangin diri kamu. Jangan begini, kamu lagi hamil lho," seru wanita itu.Maira langsung memeluk sang mertua dan menangis tersedu-sedu. Sedangkan Hana masih syok karena kemarahan Hafiz. Gadis kecil itu bergegas mendekati Maira dan memeluk wanita tersebut. "Mama, jangan nangis. Nanti biar Hana bantuin minta maaf sama Papa," ujar gadis itu.Wanita paling tua dari mereka langsung membelai puncuk kepala Hana. Sedangkan Maira segera memeluk anak sambungnya. Anggrek segera mengajak sang menantu untuk masuk
Setelah berkata demikian wanita itu langsung mematikan sambungan telepon, tanpa mendengarkan perkataan sang suami. Sedangkan Hafiz hanya menggelengkan kepala lalu mengetik pesan pada Maira. [Makanan udah mateng, kamu turun makan dulu. Susu juga udah aku buatin,] [Karna kamu gak mau ketemu, aku ke kantor aja kalau gitu ya.]Mata Maira melebar membaca deretan pesan sang suami. Dengan berusaha secepat mungkin ia turun dari ranjang lalu melangkah membuka pintu. Mulutnya baru saja hendak berteriak tetapi, terhenti kala seseorang menarik membuat wanita itu tertarik ke pelukan lalu terhalang perut. "Haha ... untung di depannya bantal, kalau bukan perutku pasti sakit."Lelaki itu ikut terbahak karena ucapan sang istri. Setelah melihat Maira memegang perut, pria tersebut menebak jika Maira merasa sakit akibat tertawa. Ia segera memperintah untuk berhenti."Udah, jangan ketawa mulu. Nanti perutmu sakit, mendingan ayo makan," ajak Hafiz.Dia menganggukan kepala lalu ikut melangkah bersama san
Seharian ini lelaki itu dikerjain sang istri, ia didandani seperti ibu hamil. Tetapi keletihan tersebut tergantikan dengan tawa bahagia sang istri."Yang ... udah ya, aku udah ngerasain kok ini. Capek banget baru beberapa jam juga, udah ya aku lepasin semua," pinta Hafiz. Maira yang tertawa langsung cemberut, wanita itu menggelengkan kepalanya. Membuat Hafiz mendapatkan tanggapan tersebut menghela napas. "Ya udah kalau gak boleh, sekarang kita makan yuk! Aku lapar nih," ajak lelaki itu.Wanita itu mengangguk lalu dibantu berdiri oleh sang suami. Ia menggenggam tangan lelaki tersebut kala terulur, dan melangkah bersama ke ruang makan. Terlihat meja yang hanya tersaji buah-buahan, Maira segera duduk di kursi dan Hafiz lekas melihat isi kulkas. "Mau makan apa, Yang?" tanya Hafiz.Semenjak Bi Wati sudah tidak bekerja, lelaki itu mulai belajar memasak kembali. Karena dia sangat sulit percaya dengan orang lain, dan hanya menyuruh pembantu membereskan kediaman saja. Kalau memasak itu ad
Maira akhirnya menelepon nomor handphone Maira, telepon langsung tersambung. Wanita itu segera bertanya pada tetapi ia terdiam kala jawaban dari yang mengangkat."Kamu bohong kan, padahal seminggu yang lalu aku telepon sama Bibi lho," pekik wanita itu. Anggrek yang mendengar teriakan Maira terkejut, bahkan Hana yang terlelap terbangun. Gadis kecil itu kaget kala melihat Mama sambungnya menangis sangat kencang."Ada apa, Ra? Siniin handphonenya!" pinta wanita itu.Dia langsung merebut handphone itu karena tak kunjung diberikan oleh Maira. Hana membantu menenangkan wanita tersebut yang terus menangis tersedu-sedu. Sedangkan Anggrek sekarang tau kenapa menantunya menangis sampai begini. "Makasih ya, kalau gitu saya matiin teleponnya."Setelah mematikan sambungan telepon tersebut, Anggrek segera menelepon handphone anaknya. Hafiz yang memilih bekerja melirik benda pipih itu lalu mengeryitkan alis saat snag Mama menelepon."Kebiasaan banget," gerutu lelaki itu. Hafiz segera mengangkat t
Lima hari berlalu, keinginan Wati untuk pensiun tidak bisa dicegah. Kini mereka tengah mengantarkan wanita itu untuk kembali ke kampung. Hana yang mengetahui hal tersebut terus memeluk perempuan paruh baya ini. "Bibi ... kenapa Bibi pulang, apa Bibi gak sayang sama Hana. Apa Hana nakal bikin Bibi marah," cerocos gadis tersebut. Sesampai di kediaman wanita itu, Hana sudah terlelap karena kelelahan menangis. "Jaga kesehatan ya kalian," ucap Wati.Mereka menganggukan kepala sebagai jawaban, lalu segera pamit karena Hafiz hendak kembali ke kantor. "Maaf mengganggu waktu kalian jadinya," tutur wanita itu. Hafiz dan Maira langsung menggeleng, lalu wanita yang suka dipangil Neng oleh Wati itu memeluk perempuan tersebut."Pokoknya nanti Bibi harus angkat telepon aku," rengek Maira. Wati hanya menganggukan kepala pelan, lalu mereka segera pulang. Hana yang terbangun tidak mendapati perempuan yang menjaganya sangat lama itu menangis kembali. Maira berusaha menenangkan Hana.*** Waktu te
Maira bernapas lega setelah menaruh kue ulang tahun itu ke kulkas. Suara telepon terdengar, Wati terkejut karena hal tersebut. Ia mengelus dada sedangkan Hana tertawa melihat keterkejutan sang pengasuh. "Tuan Hafiz yang nelepon, Neng," lapor Wati. Maira menyuruh wanita ituhmengangkat telepon Hafiz. Sedangkan dia menyuruh sang supir untuk memarkirkan kendaraan di garasi. "Bi! Udah ditangkep belum hewan itu, pokoknya harus di tangkep ya, Bi!" seru lelaki itu. Terdengar suara lelaki itu sedikit gemetar. Wati merasa bersalah karena hal tersebut. "Udah ketangkep Tuan, Tuan bisa keluar sekarang. Nyonya Maira juga udah pulang nih," balas Wati.Hafiz langsung mematikan sambungan telepon, lalu tak lama lelaki itu keluar dari kamar. Tubuh pria tersebut masih gemetar. "Sini Mas, kamu takut banget ya."Lelaki itu menganggukan kepala, ia mendekati Maira dan duduk di tengah-tengah para perempuan. Mereka segera memeluk pria tersebut."Kita peluk nih, Pah. Papa jangan takut lagi ya," ucap Han
Maira menyipitkan mata mendengar suara Thania. "Beneran kamu Nia? Kok bisa kamu ngemis gini, emang harta Mas Reyhan habis?" tanya wanita itu. Mendengar deretan pertanyaan Maira, wanita itu langsung menatap sinis sang mantan teman."Gak usah pura-pura gak tau, kamu! Aku begini gara-gara kamu. Pasti kamu bilang kalau anakku bukan anak Mas Reyhan, kan! Kamu menghasut dia kan," sentak wanita itu.Alis Maira sampai menyatu mendengar sentakan wanita di hadapannya ini. "Dia tau kalau kamu bukan hamil anaknya? Lagian emang bukan anak Mas Reyhan, kan. Ngaku aja kamu, karena Mas Reyhan itu mandul.""Lagian main nuduh aja, aku gak pernah ketemu dia semenjak menikah. Hidupku udah bahagia, Nia, ngapain ngurusin kalian. Kita jalani masing-masing aja," lontar Maira. Setelah mengatakan hal itu semua mobil melaju, Maira segera menyuruh sang supir agar menjalankan kendaraan roda empat ini. Sedangkan Hana, gadis kecil tersebut mengeluarkan suara."Mah, Tante-Tante yang tadi itu yang pernah ngomelin
Mendapatkan notifikasi balasan dari istrinya, ia segera membaca lalu mengelus dada kala mendapatkan deretan permintaan istrinya lagi. "Kenapa gak minta beliin aja sih, Yang. Kamu demen banget buat aku nyobain hal baru," keluh lelaki itu."Untung cinta, kalau enggak. Huh ...."Hafiz langsung bangkit dari duduknya lalu melangkah menuju dapur. Wati yang mau keluar, terkejut dengan kedatangan sang majikan yang tiba-tiba."Kenapa jalan Tuan gak kedengaran suara," lontar wanita itu. Pria tersebut tidak menjawab, malah helaan napas yang terdengar. Wati mengerutkan kening kala sang majikan mengambil cobek dan ulekan. "Bi, ini gimana caranya buat sambel rujak?" tanya Hafiz. Mendengar pertanyaan Hafiz, Wati segera melihat kulkas mengambil bahan untuk membuat rujak. "Tuan pengen ngerujak? Sini biar saya aja yang bikinin," ucap Wati. Lelaki itu menggeleng, lalu menganggukan kepala saat paham. "Ini biar saya yang siapin ya, terus Tuan yang ulek," lontar perempuan tersebut. Hafiz hanya meng
Hafiz langsung menyuruh Wati untuk tidak mengatakan hal itu. Ia segera bangkit dan melangkah keluar, dia lekas menoleh menatap wanita tersebut. "Kamu ikut, Bi. Sekalian videoin sebagai bukti kalau aku yang beneran minta mangga itu ke pemiliknya," ajak pria tersebut. Wati langsung menganggukan kepala, ia segera mengeluarkan benda pipih miliknya dan menvideokan lelaki itu yang melangkah. Saat sampai di kediaman sang tetangga, Hafiz segera memencet bel. Pintu terbuka terlihat seorang wanita yang perkiraan lebih muda dari pengasuh Hana. "Boleh minta tolong panggilin pemilik rumah ini gak," pinta Hafiz. Wanita itu mengerutkan keningnya tetapi menganggukan kepala mengiyakan permintaan Hafiz. Dia pamit sebentar untuk memanggil sang majikan. Beberapa menit kemudian, keluar seorang wanita yang lebih tua dari perempuan tadi. "Ada apa ya, Hafiz?" tanya wanita itu. Hafiz menundukan kepala dan mengatur napasnya. Sedangkan wanita paruh baya itu mengerutkan kening melihat pembantu pria tersebu