Mata Dewi melotot mendengar hal itu, ia mendorong Devi keluar agar tidak diam di pintu. Dia menatap murka adiknya. Sedangkan Devi yang melihat sang kakak seperti ini semakin menguatkan dugaannya benar. "Jaga bicaramu, Dev! Jangan membuat gosip yang gak bener. Gadis itu manggil Mama karna Mamanya dia udah gak ada, bukannya anakku yang main serong," sembur Dewi. Devi menyeringai dia bersidekapan, walau dia terkejut karena wanita itu yang menunjukan amarah. "Cih, paliangan Mbak mau lindungin dia, makanya bilang gitu," balas Devi. Lena yang baru sampai membulatkan mata lalu segera mendekati mereka. Terlihat wajah Dewi sangat merah bahkan urat leher nampak. "Udah Bu, sabar. Orang kaya Bibi mah gak usah diladenin, mereka mau menang sendiri, kita yang waras ngalah aja," celetuk Maira. Mendengar ucapan Maira mata Devi melotot sedangkan Lena mengiyakan perkataan perempuan itu. "Omonganmu jaga dong, gak punya etika banget sih, ngomong kasar sama yang lebih tua," cecar Devi. Wanita itu m
Hafiz menarik napasnya, dia melangkah melewati sang Ibu dan mendaratkan bokong di sofa. Wanita yang melihat kelakuan Hafiz, segera mendekat lalu mencubit paha lelaki tersebut. "Mama nanya lho, cepet jawab!" cecar wanita itu.Hafiz memekik karena merasakan nyeri akibat dicubit oleh wanita itu."Mama bisa gak sih gak maen cubit-cubit aja, iya sekarang Hafiz ceritain semuanya," seru lelaki itu.Dia mulai menceritakan semuanya, sang Ibu yang mendengar menganggukkan kepala."Oh ... Kirain itu cewek pilihan kamu, ternyata dia pilihan Hana."Pria tersebut menganggukkan kepala mengiyakan ucapan sang Mama. Lalu memilih memejamkan mata dengan kepala bersandar di sofa. "Kalau gitu Mama mau ketemu dia," kata perempuan itu.Hafiz yang mendengar langsung duduk tegak. Dia menatap sang Mama dengan tatapan tak percaya."Ngapain sih, Mah. Gak perlu kali, lagian buat apa," larang Hafiz.Larangan sang anak membuat dia kesal, wanita itu memilih pergi meninggalkan Hafiz tanpa sepatah katapun. Sedangkan p
Maira menoleh kala Hana berkata demikian. Dia hanya tersenyum kecil lalu menaruh pulpen dan buku di meja. Wanita itu membantu anak Hafiz untuk duduk di kursi."Hana udah bangun, oh iya. Hana jadi gak ikut ke pasar."Maira memilih mengalihkan topik, Hana dengan semangat mengangguk kepala. Lalu melihat pakaian yang di pake. "Tapi berangkatnya beli baju dulu ya, Mah. Masa Hana pake seragam sekolah," celetuk gadis itu.Wanita itu langsung menatap pakaian yang di pakai Hana lalu mengangguk sebagai jawaban. "Eum ... Di sini ada yang jualan baju Han, beli di deket sini aja yuk. Biar nanti mandi dulu sebelum berangkat ke pasar," lontar Maira.Hana terdiam, Wati yang mendengar hal itu segera mendekat dan duduk di kursi lain. "Boleh tuh, Ra. Ayo kita ke sana aja sekarang, soalnya kasian Nona Hana yang udah lama pake seragam, pasti gak betah banget," seru Wati.Maira menganggukkan kepala, ia langsung berdiri lalu merapikan buku dan pulpennya. Sedangkan Handphone dimasukan ke saku, segera menu
Hana yang mendengar itu terkejut, apalagi nada suara Ghina lumayan tinggi. Dia bersembunyi di belakang Maira, sedangkan Wati segera mendekati Ghina. "Bukan, Mbak. Hana bukan anak Maira, dia anak majikan saya," jelas Wati.Ghina langsung menoleh melirik Wati lalu mengangguk kepala. Dia memilih segera bertanya pada Maira. "Ra, ngapain ke sini? Kan pesenanku udah dianterin. Atau uangnya kurang? Kan pas aku bayar pesenanku lagi lumayan rame," ujar Ghina.Maira melangkah masuk ke rumah Ghina. Terlihat banyak pakaian di sana. Wanita itu berkeliling mencari ukuran yang pas untuk Hana. "Baju sama celana yang pas buat ukuran Hana ada gak?" tanya Maira.Wanita itu diam sebentar lalu memandang Hana. Dia mengangguk sebagai jawaban lalu mengajak temannya untuk ikut. "Disini cari aja, kayanya semua pas sama ukuran gadis ini. Kalau celananya di ujung sana, oke, kalian pilih-pilih aja dulu aku buatin minuman buat kalian," tutur Ghina.Maira segera mengangguk, dia langsung mengajak Hana untuk memi
Maira hanya tersenyum kecil, dia menggeleng sebagai jawaban. Lalu melangkah mendekati Hana yang sudah lambaikan tangan, terlihat gadis itu selesai berbincang dengan Papanya."Gak perlu, lagian upah dari Tuan kemarin kebanyakan," balas Maira.Maira segera mendekati Hana, ia melambaikan tangan dibalas gadis itu. "Jangan, Ra. Itu emang udah rezeki kamu dapet upah segitu dari Tuan," seru Wati.Wati terus mengikuti langkah Maira. Wanita itu masih menggeleng, dia bahkan mengibaskan tangannya. "Ya udah, kalau gitu saya juga lagi pengen beliin pakaian buat Hana. Beres kan," sahut Maira.Wanita itu langsung bungkam dan menghela napas. Sedangkan Maira menggendong Hana, handphone Wati masih dalam genggaman sang anak majikan. "Ayo kita pulang, nanti mandinya mau dimandiin sama aku atau Bibi," seru Maira.Hana mengulas senyum sumringah, tangan gadis itu melingkar di leher Maira."Hana aku mandi sama Mama," pekik gadis itu.Maira segera menutup telinganya kala mendengar pekikan Hana. Sedangkan g
Maira meringis mendengar hal itu, ia memilih mencubit gemas hidung Hana."Akh ... Mama, kenapa hidung Hana dicubit," keluh gadis itu. Gadis itu kini memegang hidungnya, sedangkan Maira tertawa mendengar suara menggemaskan Hana. Perempuan tersebut sampai terpaku melihat tawa indah milik Maira. "Mama cantik banget kalau ketawa, Hana suka, banyakin ketawa ya, Mah," ucap Hana.Mendengar ucapan Hana Maira terdiam, lalu tak berselang lama senyuman merekah di bibir. Dia dengan gemas mengacak-acak rambut gadis itu. Wati yang melihat hal tersebut kaget, ia takut anak majikannya marah. Karena perempuan yang kini di hadapan anak Dewi sangat tidak suka kalau digituin."Udah, Ah. Emang gak dingin .... ayo Hana harus pake baju, pasti Hana cantik pake itu," ujar Maira. Maira dengan lembut menggenggam jemari Hana lalu menariknya agar ikut ke kamar. Sedangkan Wati mengerjapkan mata melihat anak majikannya yang tidak marah sama sekali. Bahkan kalau gak ngomel dia bakal cemberut terus. "Maira membaw
Hana langsung diam tidak mengoceh kala mendengar ucapan Maira. Sedangkan wanita itu segera tersadar atas perkataannya, dia berjongkok dan memegang tangan gadis tersebut."Eummm ... maafin aku ya, gak maksud buat Hana sedih," lontar Maira.Gadis itu masih memasang wajah masam. Dia mengangguk sebagai mengiyakan lontaran Maira. "Apa nunggu Papa buat Mama telat banget ya? Biasanya Papa gitu kalau kerja telat buru-buru banget," ujar Hana.Mendengar ucapan lemah Hana, Maira jadi tidak tega. Dia menggeleng lalau memegang pipi gadis itu agar menatapnya. "Enggak kok, ya udah. Ayo kita duduk di kursi sambil nunggu Papanya Hana," balas wanita itu.Senyuman sumringah langsung merekah di bibir Hana. Dia mengangguk lalu menggenggam jemari Maira, ia menarik wanita itu agar duduk sampingnya. "Mama duduk di samping Hana ya, kalau boleh Hana mau minta di pangku," celetuk perempuan tersebut.Wati mendengar celotehan Hana dia sampai tidak percaya. "Nona, Nona kalau mau dipangku sama Bibi aja yuk. Kas
Hafiz terkejut dia segera menghempaskan tangan yang dipegang Devi. Lelaki itu menatap tajam wanita tersebut. "Anda siapa! Jangan maen asal pegang-pegang saya!" hardik Hafiz.Devi langsung mundur mendengar omelan Hafiz. Dia juga kaget saat tangannya dihempaskan. "Saya cuma mau menyadarkan anda Tuan, apalagi dia sudah punya suami. Jangan percaya kalau dia ngaku janda atau masih perawan," lontar Devi.Pria tersebut melirik sinis Devi, dia mengusap tangannya di baju lalu pandangan lurus menatap Maira. "Ayo berangkat, kenapa diam disitu terus," seru Hafiz.Setelah berkata demikian, dia melirik sinis Devi lagi. Lalu melangkah membuka pintu dan memasukan sang anak, dia segera ikut masuk. "Ayo cepat! Kenapa kalian diem aja. Katanya mau ke pasar," sembur Hafiz. Lelaki itu sebelum menutup pintu kendaraan. Mendengar kata pasar dan Hafiz, Devi segera mendekati Maira. "Ra, ajak Bibi ke pasar dong. Bibi mau ikut naik mobil," pinta wanita itu.Maira menatap kesal ke arah Devi. Ia melepaskan ta
"Mas," panggil wanita itu.Dia tidak menanggapi, lelaki itu melangkah lebar dan mengambil kunci. Maira hendak mengejar tetapi sangat kesulitan. "Jangan tunggu aku! Aku gak bakal pulang," seru lelaki itu. Pria tersebut menutup pintu dengan kencang, Maira menatap nanar adegan di depannya. Lalu berusaha mendekati benda tersebut dan membuka, terlihat kendaraan roda empat milik Hafiz telah melaju."Mas ...."Anggrek segera mendekati menantunya lalu mengusap pundak wanita tersebut. "Sayang, tenangin diri kamu. Jangan begini, kamu lagi hamil lho," seru wanita itu.Maira langsung memeluk sang mertua dan menangis tersedu-sedu. Sedangkan Hana masih syok karena kemarahan Hafiz. Gadis kecil itu bergegas mendekati Maira dan memeluk wanita tersebut. "Mama, jangan nangis. Nanti biar Hana bantuin minta maaf sama Papa," ujar gadis itu.Wanita paling tua dari mereka langsung membelai puncuk kepala Hana. Sedangkan Maira segera memeluk anak sambungnya. Anggrek segera mengajak sang menantu untuk masuk
Setelah berkata demikian wanita itu langsung mematikan sambungan telepon, tanpa mendengarkan perkataan sang suami. Sedangkan Hafiz hanya menggelengkan kepala lalu mengetik pesan pada Maira. [Makanan udah mateng, kamu turun makan dulu. Susu juga udah aku buatin,] [Karna kamu gak mau ketemu, aku ke kantor aja kalau gitu ya.]Mata Maira melebar membaca deretan pesan sang suami. Dengan berusaha secepat mungkin ia turun dari ranjang lalu melangkah membuka pintu. Mulutnya baru saja hendak berteriak tetapi, terhenti kala seseorang menarik membuat wanita itu tertarik ke pelukan lalu terhalang perut. "Haha ... untung di depannya bantal, kalau bukan perutku pasti sakit."Lelaki itu ikut terbahak karena ucapan sang istri. Setelah melihat Maira memegang perut, pria tersebut menebak jika Maira merasa sakit akibat tertawa. Ia segera memperintah untuk berhenti."Udah, jangan ketawa mulu. Nanti perutmu sakit, mendingan ayo makan," ajak Hafiz.Dia menganggukan kepala lalu ikut melangkah bersama san
Seharian ini lelaki itu dikerjain sang istri, ia didandani seperti ibu hamil. Tetapi keletihan tersebut tergantikan dengan tawa bahagia sang istri."Yang ... udah ya, aku udah ngerasain kok ini. Capek banget baru beberapa jam juga, udah ya aku lepasin semua," pinta Hafiz. Maira yang tertawa langsung cemberut, wanita itu menggelengkan kepalanya. Membuat Hafiz mendapatkan tanggapan tersebut menghela napas. "Ya udah kalau gak boleh, sekarang kita makan yuk! Aku lapar nih," ajak lelaki itu.Wanita itu mengangguk lalu dibantu berdiri oleh sang suami. Ia menggenggam tangan lelaki tersebut kala terulur, dan melangkah bersama ke ruang makan. Terlihat meja yang hanya tersaji buah-buahan, Maira segera duduk di kursi dan Hafiz lekas melihat isi kulkas. "Mau makan apa, Yang?" tanya Hafiz.Semenjak Bi Wati sudah tidak bekerja, lelaki itu mulai belajar memasak kembali. Karena dia sangat sulit percaya dengan orang lain, dan hanya menyuruh pembantu membereskan kediaman saja. Kalau memasak itu ad
Maira akhirnya menelepon nomor handphone Maira, telepon langsung tersambung. Wanita itu segera bertanya pada tetapi ia terdiam kala jawaban dari yang mengangkat."Kamu bohong kan, padahal seminggu yang lalu aku telepon sama Bibi lho," pekik wanita itu. Anggrek yang mendengar teriakan Maira terkejut, bahkan Hana yang terlelap terbangun. Gadis kecil itu kaget kala melihat Mama sambungnya menangis sangat kencang."Ada apa, Ra? Siniin handphonenya!" pinta wanita itu.Dia langsung merebut handphone itu karena tak kunjung diberikan oleh Maira. Hana membantu menenangkan wanita tersebut yang terus menangis tersedu-sedu. Sedangkan Anggrek sekarang tau kenapa menantunya menangis sampai begini. "Makasih ya, kalau gitu saya matiin teleponnya."Setelah mematikan sambungan telepon tersebut, Anggrek segera menelepon handphone anaknya. Hafiz yang memilih bekerja melirik benda pipih itu lalu mengeryitkan alis saat snag Mama menelepon."Kebiasaan banget," gerutu lelaki itu. Hafiz segera mengangkat t
Lima hari berlalu, keinginan Wati untuk pensiun tidak bisa dicegah. Kini mereka tengah mengantarkan wanita itu untuk kembali ke kampung. Hana yang mengetahui hal tersebut terus memeluk perempuan paruh baya ini. "Bibi ... kenapa Bibi pulang, apa Bibi gak sayang sama Hana. Apa Hana nakal bikin Bibi marah," cerocos gadis tersebut. Sesampai di kediaman wanita itu, Hana sudah terlelap karena kelelahan menangis. "Jaga kesehatan ya kalian," ucap Wati.Mereka menganggukan kepala sebagai jawaban, lalu segera pamit karena Hafiz hendak kembali ke kantor. "Maaf mengganggu waktu kalian jadinya," tutur wanita itu. Hafiz dan Maira langsung menggeleng, lalu wanita yang suka dipangil Neng oleh Wati itu memeluk perempuan tersebut."Pokoknya nanti Bibi harus angkat telepon aku," rengek Maira. Wati hanya menganggukan kepala pelan, lalu mereka segera pulang. Hana yang terbangun tidak mendapati perempuan yang menjaganya sangat lama itu menangis kembali. Maira berusaha menenangkan Hana.*** Waktu te
Maira bernapas lega setelah menaruh kue ulang tahun itu ke kulkas. Suara telepon terdengar, Wati terkejut karena hal tersebut. Ia mengelus dada sedangkan Hana tertawa melihat keterkejutan sang pengasuh. "Tuan Hafiz yang nelepon, Neng," lapor Wati. Maira menyuruh wanita ituhmengangkat telepon Hafiz. Sedangkan dia menyuruh sang supir untuk memarkirkan kendaraan di garasi. "Bi! Udah ditangkep belum hewan itu, pokoknya harus di tangkep ya, Bi!" seru lelaki itu. Terdengar suara lelaki itu sedikit gemetar. Wati merasa bersalah karena hal tersebut. "Udah ketangkep Tuan, Tuan bisa keluar sekarang. Nyonya Maira juga udah pulang nih," balas Wati.Hafiz langsung mematikan sambungan telepon, lalu tak lama lelaki itu keluar dari kamar. Tubuh pria tersebut masih gemetar. "Sini Mas, kamu takut banget ya."Lelaki itu menganggukan kepala, ia mendekati Maira dan duduk di tengah-tengah para perempuan. Mereka segera memeluk pria tersebut."Kita peluk nih, Pah. Papa jangan takut lagi ya," ucap Han
Maira menyipitkan mata mendengar suara Thania. "Beneran kamu Nia? Kok bisa kamu ngemis gini, emang harta Mas Reyhan habis?" tanya wanita itu. Mendengar deretan pertanyaan Maira, wanita itu langsung menatap sinis sang mantan teman."Gak usah pura-pura gak tau, kamu! Aku begini gara-gara kamu. Pasti kamu bilang kalau anakku bukan anak Mas Reyhan, kan! Kamu menghasut dia kan," sentak wanita itu.Alis Maira sampai menyatu mendengar sentakan wanita di hadapannya ini. "Dia tau kalau kamu bukan hamil anaknya? Lagian emang bukan anak Mas Reyhan, kan. Ngaku aja kamu, karena Mas Reyhan itu mandul.""Lagian main nuduh aja, aku gak pernah ketemu dia semenjak menikah. Hidupku udah bahagia, Nia, ngapain ngurusin kalian. Kita jalani masing-masing aja," lontar Maira. Setelah mengatakan hal itu semua mobil melaju, Maira segera menyuruh sang supir agar menjalankan kendaraan roda empat ini. Sedangkan Hana, gadis kecil tersebut mengeluarkan suara."Mah, Tante-Tante yang tadi itu yang pernah ngomelin
Mendapatkan notifikasi balasan dari istrinya, ia segera membaca lalu mengelus dada kala mendapatkan deretan permintaan istrinya lagi. "Kenapa gak minta beliin aja sih, Yang. Kamu demen banget buat aku nyobain hal baru," keluh lelaki itu."Untung cinta, kalau enggak. Huh ...."Hafiz langsung bangkit dari duduknya lalu melangkah menuju dapur. Wati yang mau keluar, terkejut dengan kedatangan sang majikan yang tiba-tiba."Kenapa jalan Tuan gak kedengaran suara," lontar wanita itu. Pria tersebut tidak menjawab, malah helaan napas yang terdengar. Wati mengerutkan kening kala sang majikan mengambil cobek dan ulekan. "Bi, ini gimana caranya buat sambel rujak?" tanya Hafiz. Mendengar pertanyaan Hafiz, Wati segera melihat kulkas mengambil bahan untuk membuat rujak. "Tuan pengen ngerujak? Sini biar saya aja yang bikinin," ucap Wati. Lelaki itu menggeleng, lalu menganggukan kepala saat paham. "Ini biar saya yang siapin ya, terus Tuan yang ulek," lontar perempuan tersebut. Hafiz hanya meng
Hafiz langsung menyuruh Wati untuk tidak mengatakan hal itu. Ia segera bangkit dan melangkah keluar, dia lekas menoleh menatap wanita tersebut. "Kamu ikut, Bi. Sekalian videoin sebagai bukti kalau aku yang beneran minta mangga itu ke pemiliknya," ajak pria tersebut. Wati langsung menganggukan kepala, ia segera mengeluarkan benda pipih miliknya dan menvideokan lelaki itu yang melangkah. Saat sampai di kediaman sang tetangga, Hafiz segera memencet bel. Pintu terbuka terlihat seorang wanita yang perkiraan lebih muda dari pengasuh Hana. "Boleh minta tolong panggilin pemilik rumah ini gak," pinta Hafiz. Wanita itu mengerutkan keningnya tetapi menganggukan kepala mengiyakan permintaan Hafiz. Dia pamit sebentar untuk memanggil sang majikan. Beberapa menit kemudian, keluar seorang wanita yang lebih tua dari perempuan tadi. "Ada apa ya, Hafiz?" tanya wanita itu. Hafiz menundukan kepala dan mengatur napasnya. Sedangkan wanita paruh baya itu mengerutkan kening melihat pembantu pria tersebu