Shada berdiri saking terkejutnya. Kedua matanya mengerjap cepat. Cahaya merah itu dari beberapa hari lalu sudah menakutinya. Dari mana asal sinar tersebut?Sontak Shada berlari memasuki kamarnya. Ia mencari Ruth. Setelah menuruni beberapa anak tangga dan melihat Ruth sedang memasak, Shada memberitahunya dengan wajah yang sudah pucat pasi."Ruth, aku melihat cahaya itu lagi!"Ruth menghentikan kegiatannya. Ia memutar tubuh sambil memasang wajah heran. "Cahaya apa?" tanyanya masih kebingungan.Shada tergegau, ia belum menceritakan hal itu sama sekali kepada Ruth. Dengan panik, Shada langsung menarik tangan Ruth."Sini aku tunjukkan kepadamu," ujarnya masih erat memegang tangan Ruth."Eh, tunggu. Aku sedang memasak, nanti gosong." Ruth melepas pegangan Shada, lantas menuruni tangga demi mematikan kompor.Setelahnya, ia berlari menyusul Shada yang masih menunggunya di tangga. Mereka berjalan beriringan menuju balkon. Seketika angin kencang menyambut mereka.Cahaya itu masih ada. Berpendar
Pagi ini cuaca sangat cerah. Diselingi oleh burung-burung yang melayang bebas di udara yang cukup sejuk. Sesekali terdengar burung-burung itu mencericip menyukakan hati.Mobil Demian melesat membelah jalanan kota Toronto. Pagi yang cukup ramai bersamaan dengan jam-jam orang bekerja. Entah kenapa Shada senang. Suasana pagi cerah yang tak terlalu panas membuatnya selalu bersemangat. Beberapa kali ia sempat menikmati daun pepohonan yang mulai kecokelatan lalu berguguran.Ini sudah 45 menit sejak mereka meninggalkan kota Toronto. Semakin lama, udara di sekitar mereka semakin dingin. Shada juga menyadari pepohonan tinggi yang mulai meranggas memenuhi sisi kanan dan kiri jalan.Demian mengemudikan mobilnya sangat cepat. Roda mobilnya menghasilkan angin setelah melewati jalan sehingga membuat daun-daun yang berguguran terhempas bebas.Dahi Shada berkerut. "Ini dimana?"Shada mengedarkan pandang menyapu alam yang berada di luar mobil. Tempat yang cukup indah, namun belum ia kenali. Shada belu
"Bra ungu?" papar Demian santai, membuatnya langsung mendapat sebuah tamparan keras di pipi kirinya.Sontak Shada membalikkan badan. Di wajahnya muncul semburat merah. Ia menekuk wajah, merutuki setiap perbuatannya tanpa alasan yang jelas.Ini sangat memalukan! Erangnya dalam hati.Demian mengusap wajahnya panik. Kedua pipinya juga memerah ikut menanggung malu.Keduanya menjadi bingung. Shada yang tak membawa pakaian ganti, sementara Demian akan membawa Shada ke dua tempat lagi. Tidak mungkin Shada ia bawa dalam kondisi seperti itu.Mereka hening selama beberapa detik karena pikiran masing-masing. Shada menggigit jari sambil mengerutkan dahinya.Demian lalu teringat di dalam mobilnya terdapat kaos. Namun, ia sempat ragu karena kaos itu merupakan kaos untuk promosi."Hmm, Shada. Sebenarnya di mobilku ada kaos. Tapi..."Shada membalikkan badan dan merapatkan jaketnya. Ia menaikkan kedua alis menunggu ucapan Demian yang sempat menggantung."Tapi apa?""Itu kaos milik temanku," jawab Demi
"Mom, tolong kendalikan dirimu," ucap Demian memperingatkan.Sementara itu, Demian dapat merasakan tubuh Shada yang bergetar ketakutan di belakangnya.Ellene tergegau. Ia berusaha untuk menguasai pikirannya. Maklum, sudah lama sekali ia tak bertemu dengan manusia. Terakhir kali saat ia menemukan Ruth di jalanan."Oh, ah, iya. Dia siapa?" tanyanya kemudian kepada Demian. Kedua alisnya terangkat menunggu penjelasan pria itu."Shada, temanku. Ngomong-ngomong, aku sudah menepati janjiku."Ellene langsung mengendurkan wajahnya. Ia paham apa yang dimaksud Demian. Ternyata wanita ini yang membuat anaknya banyak berkorban dan akhirnya berurusan dengan dunia manusia. Ellene mengangguk lalu menatap Shada lamat-lamat.Bulu kuduk Shada meremang. Dipandang seperti itu, dirinya justru semakin ketakutan. Dan tadi apa yang dikatakan Demian barusan? Menepati janji ibunya? Jangan-jangan ia menjadi tumbal di rumah ini."Kau jangan berpikir macam-macam. Kami tidak akan membuatmu menjadi santapan di sini,
Kedua telapak tangan Shada mulai berkeringat. Membayangkan wajah Mike tadi begitu menyeramkan di benaknya. Shada beringsut saat Mike melempar pandang ke arahnya lagi. Ia bergerak tak nyaman sambil memasang kewaspadaannya kembali.Hidung Mike kembang-kempis mencium aroma lezat yang menguar dari dapur. Lantas ia mengalihkan pandangnya ke arah Ellene di sampingnya."Wangi apa ini, Mom?"Ellene tergelak, sembari mencubit hidung mancung Mike. "Kau ini. Tahu bau makanan saja langsung bangun. Itu kakakmu sedang membuatkan makanan untuk kita."Mike mengernyit. "Benarkah Demian masak?" Ada rasa menaruh harap karena ia sangat merindukan masakan kakaknya tersebut.Ellene mengangguk mengiyakan. "Yups, benar. Kau tidak sabar untuk makan ya?" tebak Ellene penuh tawa."Sudah lama aku tidak merasakan masakan Demian, Mom." Kedua mata Mike berbinar. Shada yang menyaksikannya cukup terperanjat. Ternyata lelaki yang menyeramkan tadi ada sisi imutnya.Lalu setelah Shada amati kembali, Mike tampan dan lebi
"Maafkan aku, Mike. Aku tidak tahu." Demian mengangkat kedua tangannya. Ia sedang berdebat dengan Mike."Itu salahmu! Kau datang di waktu yang tidak tepat. Padahal aku cuma menyentuh kulitnya saja! Makanya kau tanya dulu jangan asal percaya dengan persepsimu sendiri!"Demian mendesah panjang. "Iya-iya, Mike. Jangan ngambek. Tadi aku datang hanya untuk mengabari kalian kalau makanan sudah siap."Demian tak henti-hentinya berusaha menjelaskan kepada Mike yang marah. Kini mereka berempat sedang menuju ruang makan. Ellene hanya menggeleng menyaksikan pertengkaran mereka. Sedang Shada diam karena lebih banyak terpukau dengan ornamen di sekelilingnya.Mereka lantas duduk di kursi masing-masing. Shada duduk tepat di samping Ellene, juga berseberangan dengan Demian. Demian dan Mike yang duduk bersebelahan masih sempat berdebat. Demian tak putus asa membujuk adiknya itu agar tidak marah lagi.Di tengah-tengah mereka, banyak sekali makanan yang tersaji oleh hasil karya tangan Demian. Beef steak
Jennifer memandang ke jendela. Kota Toronto belum juga istirahat meskipun menjelang petang. Setelah berhenti di sebuah hotel mewah bintang 5, ia turun dari taksi lalu menaikkan tasnya ke pundak.Dengan gontai ia berjalan menyusuri lorong panjang bernuansa emas, kemudian berdiri di depan sebuah pintu dengan kombinasi nomor yang terpampang di sana. Tanpa berpikir, Jennifer memasukkan sebuah kartu tipis sehingga pintu dapat dibukanya.Hening. Ruangan lebar itu temaram dengan pencahayaan minimalis. Sejujurnya ia heran kenapa Max menyukai pencahayaan redup seperti ini. Mungkinkah pria itu memang butuh ketenangan?Jennifer menajamkan telinganya. Ada suara shower bergemericik di dalam. Tanda Max mandi, batinnya. Ia lantas duduk di tepi ranjang sambil meletakkan tasnya.Tak berselang lama Max keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai balutan handuk putih menutupi tubuh bagian bawahnya. Pria tersebut keluar dengan santai, tidak terkejut sama sekali saat melihat Jennifer sudah ada di sana ke
"Apa yang kau lakukan?!" Pertanyaan itu lebih ditujukan kepada Max.Shada lalu diam terpaku, tetapi air hangat mengalir begitu saja dari pelupuknya. Sebuah pengkhianatan di depan mata membuat tubuhnya langsung panas dingin. Wajahnya sudah merah padam, sedang hatinya bagai tertusuk tombak panjang.Rasa kecewa, sedih, marah bercampur begitu saja. Leher Shada seperti tercekik, dadanya bagai dihantam batu kilangan. Shada bahkan tak bisa bernapas selama itu. Hanya bahunya yang naik turun cepat yang dapat ditangkap oleh Demian di belakangnya. Demian memalingkan muka, tak tega melihat Shada yang begitu kesakitan. Setengahnya, ia juga tak kuat menyaksikan kejadian yang sangat memalukan itu."Brengsek! Max, keluar!" Shada berteriak di tengah tangisnya.Pria yang sedang telanjang di atas ranjang kini terlihat kelimpungan memakai boxer dan celana panjangnya. "Shada, Shada! Tunggu! Aku ingin menje—""Apa! Hubungan kita sudah selesai!" potong Shada dengan emosi membuncah.Sambil menahan tangisnya
"Aku akan menamakannya Zendaya," ungkap Jennifer sembari memandangi bayi perempuan mungil bermata biru di rengkuhannya. "Zendaya yang berarti bersyukur. Aku sangat bersyukur punya kau, Sayang." Jennifer mencolek puncak hidung kecil sang bayi yang kemudian tertawa. Ariana yang berada di samping Jennifer hanya menghela napas. Hatinya agak nyeri mendapati bayi itu lebih mirip dengan si ayah. Apalagi kenyataan bahwa bayi itu lahir tanpa dampingan sosok ayah. Karena tak ada respon dari bibir Ariana lantas membuat Jennifer mendongak. Senyum di bibirnya hilang seketika tatkala mengerti arti guratan di wajah ibunya. Bagaimanapun, Jennifer berusaha tegar juga selama ini. Terutama saat mendengar berita tentang kematian Max tepat satu tahun yang lalu. "Pokoknya, aku akan menamainya Zendaya, Mom. Zendaya Painter," putusnya kemudian. "White," celetuk tiba-tiba sosok pria yang berderap masuk. "Kau harus memakai nama belakang White mulai sekarang." Baik Jennifer maupun Ariana sama-sama mendonga
"Apa yang terjadi?" Darwin berlari membantu memapah tubuh Demian.Begitu juga Ellene, Shada dan Ruth yang akhirnya mendekat. Mimik mereka tampak khawatir."Kita harus segera merawat Demian sebelum keadaannya semakin parah," cetus Ellene."Apa maksudmu?" Darwin mengerutkan keningnya."Darwin terkena virus manusia setengah vampir di tangannya." Ada kegugupan di dalam suaranya.Sontak wajah Darwin menegang. "Kenapa kau tidak bilang dari tadi?!" bentaknya dengan nada tinggi. "Kita bawa ke ruanganku sekarang juga! Ellene tolong segera siapkan ruanganku."Ellene meneguk ludah, kemudian buru-buru berlari mendahului langkah Darwin dan Mike. Shada dan Ruth saling bertukar pandang sekilas, lantas ikut menggiring kaki cepat mengikuti jejak mereka.Ruth lekas mengusap air mata yang sempat menggenang tadi. Sementara kecemasan melingkupi seluruh pikiran Shada saat ini.Sebenarnya apa efek yang ditimbulkan dari virus Leo terhadap tubuh Demian?Tatkala isi kepala Shada sibuk mempertanyakannya, tak te
Tonny melangkah turun, lantas menutup pintu mobilnya. Ia melihat sekeliling sambil memasang kacamata hitam di kedua telinganya. Perumahan dengan gang sempit itu lumayan sepi. Biasanya ia menyaksikan satu atau dua anak kecil bersepeda di jalan di perumahan lain. Tetapi ia tak menemukan satu orang pun di sini.Lalu Tonny mulai menggiring kaki menuju suatu rumah yang telah didiktekan kemaren sore. Setelah menemukan rumah tersebut, ia memencet bel.Tak lama kemudian seorang pria muda dengan jaket berleher tinggi warna abu tua keluar. Rambut pria itu tampak tak rapi. Apalagi baju yang sedang dikenakan. Tonny hanya menelan pikirannya heran mengenai anak muda di depannya yang cukup berantakan dan sepertinya introvert. Tak seperti sebagian remaja yang bersenang-senang di usia mudanya.Tanpa basa-basi, pria muda tersebut langsung menyodorkan sebuah map cokelat. Mungkin ia kesal karena pandangan yang menginterogasi dari mata Tonny."Ini. Data yang kau butuhkan semua ada di sini," ucapnya dengan
Sosok yang ada di dalam ruang itu termangu sesaat, kemudian melepas sebuah seringaian yang menyebalkan. Sebelah tangan sisi kanannya langsung bergerak menyembunyikan sesuatu.Namun hal tersebut tak lepas dari pantauan kedua mata awas milik Demian. "Cepat jawab! Apa yang kau rencanakan di sini?!" murkanya.Demian marah memergoki orang lain yang bukan keluarganya masuk ke dalam ruang paling rahasia di rumah ini. Dan sadarlah ia bahwa orang itu pasti sengaja mendekati Ruth untuk tujuan hari ini. Sialnya, Demian tak bisa membaca apapun dari pria di hadapannya sekarang. Bagai sebuah kotak hitam yang tertutup rapat."Kau benar-benar akan mati di sini!" geram Demian tersulut emosi.Mula-mula Leo mengangkat kedua tangannya yang sudah kosong ke atas kepala. "Eitsss, santai dulu. Kita bisa bicarakan ini secara baik-baik, bukan?" Salah satu alisnya terangkat, membuat Demian semakin kesal."Langsung bicara intinya. Apa yang sudah kau curi dari ruang ini? Cepat kembalikan atau nyawamu akan melayan
Shada mengerjap cepat. Kedua matanya bergerak bingung dengan kehadiran Ruth di sana. Bukan hanya itu saja, Ruth juga membawa serta Leo di rumah keluarga Elliot.Bukannya Shada lupa jika Ruth juga merupakan anggota keluarga itu. Tetapi Ruth bahkan belum bercerita kalau wanita tersebut juga kemari.Tidak, Ruth tidak salah. Shada sendiri tidak cerita bahwa dirinya akan pergi ke rumah keluarga Elliot pagi ini.Dengan mulut yang masih ternganga, Shada menunjuk Ruth dan Leo secara bergantian. "Kalian…"Ruth tergelak, kemudian maju selangkah mendekati Shada yang masih mematung. Mula-mula ia melebarkan kedua tangannya riang."Ya, kami di sini! Hahaha, maaf telah mengejutkanmu, Shada!" kikik Ruth dengan mendaratkan sebuah tepukan di bahu Shada.Shada masih terpegun. Kemaren Ruth memang mengutarakan jika Leo dan wanita itu akhirnya resmi menjalin hubungan. Namun menyaksikan mereka berada di rumah Elliot pagi ini sangat mengejutkannya.Jangan bilang jika Ruth membawa Leo kemari karena akan melanj
"Kenapa kau ada di sini?!" Ruth menggeser tubuh menjauh, meski sekarang kedua kakinya hanya menapak pada lonjor besi yang melintang di pembatas balkon. Matanya melotot tak percaya."Sudah kubilang kan, aku mencintaimu." Ada getaran di suara pria tersebut.Buru-buru Ruth menggelengkan kepala. "Tidak! Tidak mungkin! Sekarang kau sudah tahu siapa aku sebenarnya! Menjauhlah dariku!"Leo yang ada di hadapannya justru mendesah berat. Ia menunduk singkat dan memperbaiki posisi kacamata, lantas mendongak menatap Ruth demi meyakinkan wanita itu."Lalu kenapa kalau kau vampir? Aku bahkan tidak peduli," lirihnya kemudian."Kau harusnya peduli! Aku tidak mungkin bisa bersama manusia, apalagi kau!" balas Ruth agak histeris. Maklum, ia masih terpukul dan terlewat sedih."Tidak. Kau juga belum mengenal baik aku. Mari kita hidup bersama, Ruth." Mula-mula Leo mengulurkan tangannya kepada Ruth.Ruth mengerjapkan kedua matanya cepat. Napasnya tiba-tiba sesak dan berat. Tidak, tidak mungkin semudah ini.
Max berjalan cepat menuju kantin. Lebih tepatnya ia sedang mencari seseorang di sana. Barusan ia mendatangi Leo di ruangan pria tersebut, namun hasilnya nihil. Max tak mendapati Leo.Setelah beberapa karyawan memberitahu jika Leo pergi bersama Ruth, amarah Max tersulut begitu saja. Ia yang tadinya fokus mencari Leo jadi terganggu setelah mendengar nama Ruth masuk ke dalam gendang telinganya. Kenyataan bahwa Ruth menghalangi rencananya dengan mengambil CCTV, apalagi wanita itu bukan manusia. Melainkan sosok monster seperti Demian yang paling ia benci.Sesudah kedua mata birunya berhasil menangkap orang yang ia cari, maka Max bertekad kuat melangkah menghampiri mereka.Lalu tiba-tiba netranya terganggu dengan adegan Ruth yang mencium sebelah pipi Leo. Langkah Max sempat terhenti karena terkejut.Apa mereka memiliki hubungan khusus? Batinnya bertanya-tanya.Max semakin mengeratkan kepalan tangan di sisi tubuhnya. Selama ini kinerja Leo baik dan ia sangat menyukai pekerjaan pegawainya itu
Shada mendongak, lalu berusaha menahan sikap ibunya tersebut. "Aku rasa apa yang dikatakan Demian pasti ada benarnya.""Mari kita dengarkan penjelasan Demian sampai akhir," imbuhnya sambil terisak.Malta sedikit mendengus kesal. Perkataannya dipotong seenaknya oleh anaknya sendiri. Shada dan Malta kemudian menatap Demian lagi. Memberi kesempatan pada pria itu untuk melanjutkan ceritanya.Sejenak Demian menyelisik mimik wajah dua wanita di hadapannya. Ia sedang mencari tahu apakah Shada dan Malta bisa percaya padanya."Aku dan nenek sempat mengalami perdebatan panjang. Aku menolak, sementara nenek bersikukuh dan selalu membujukku. Apalagi waktu itu aku adalah vampir baru, jadi butuh niat serta keyakinan yang kuat untuk menolaknya. Meskipun secara batin dan mental sangat menyiksa."Demian menggeleng, lantas meraup oksigen sebanyak-banyaknya dari sekitar. Kedua matanya sudah panas akibat air mata yang mendesak keluar lagi."Kemudian, tiba-tiba hatiku merasa iba melihat kesakitan yang ter
Demian melangkah mendekat. Dengan tatapan nanar, ia memandang Shada melalui kaca jendela dengan sedih."Shada, aku mau bicara," ucapnya.Meskipun keduanya sama-sama tak bisa mendengar dengan jelas akibat terhalang oleh kaca jendela yang membuatnya kedap suara, tetapi baik Shada maupun Demian dapat mengerti melalui membaca gerak mulut mereka masing-masing.Shada menggeleng kuat-kuat. Ia meyakinkan diri sendiri bahwa ia tak mau bertemu dengan si pembunuh neneknya. Shada masih kecewa dengan sikap Demian yang tidak terus terang kepadanya. Apalagi, pikirannya mengatakan bahwa Demian selama ini mendekatinya hanya karena rasa bersalah yang dipikul oleh pria itu.Padahal teh chamomile buatan Ruth telah sukses membuatnya lebih rileks. Namun, suara serta kemunculan Demian kembali membuat sekujur tubuhnya kaku dan membeku."Shada, please… kumohon. Sepertinya ada yang salah. Kenapa kau pergi dariku?" paparnya memelas.Shada hanya membisu, menggeleng dan menatap tajam ke arah Demian. Setelahnya wa