Di meja kerjanya, Shada merenung. Bahkan lembar pekerjaannya belum selesai ia isi. Tatapannya lurus jauh ke depan seakan mampu menembus tebalnya monitor di hadapannya. Shada menopang dagu dengan tangan sebelah kanan.Ruth yang berada di samping Shada sesekali mengamati wanita tersebut. Di menit berikutnya, dering telepon di depan mereka langsung membuyarkan lamunan Shada.Sontak Shada langsung mengangkat telepon itu. Ruth hanya menggelengkan kepala seraya mengembuskan napas berat melihat Shada tak seperti biasanya."Halo? Oh iya.. eh? Ini kurang sedikit kok. Sebentar lagi aku kirim ke emailmu," tandas Shada lalu menutup teleponnya. Shada meraup udara sebanyak-banyaknya lantas segera melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai.Ruth mencondongkan tubuhnya ke samping ke arah tempat duduk Shada. "Telepon dari siapa?" tanyanya penasaran.Shada menjawab dengan mata yang masih terfokus pada layar monitor di depannya. Ia menghela napas sambil memutar bola mata malas. "Huft... biasa, Richard.
"Apa yang kalian lakukan di sana?!" tanya Max disertai kobaran api amarah.Max sangat kesal karena dua karyawannya telah berbuat mesum di perusahaan yang tengah ia perjuangkan demi kedua orang tuanya.Tadi Max berada di lantai 20 karena baru saja menemui Robert, ayahnya. Mereka membicarakan tentang Ell Food yang penjualannya semakin merajalela. Sampai Robert dan Max berdiskusi hendak mencontoh taktik perusahaan yang telah lama menjadi rivalnya dari dulu.Robert bahkan ingin Max melakukan kerja sama dengan pemiliknya, namun Max segera menolak demi harga diri. Selain itu, kabarnya pemilik asli Ell Food masih enggan untuk menunjukkan dirinya ke publik.Max berderap keluar dari ruangan ayahnya hendak kembali menuju ruangannya sendiri ketika ia mendengar keributan di ruang rapat di sisi kanannya.Karena pintu kayu ruang rapat di perusahaannya terdapat kaca persegi panjang kecil membujur vertikal, Max mencoba mengintipnya lewat situ. Betapa kaget Max saat dirinya melihat dua orang sedang me
Bel rumah berbunyi bersamaan dengan Shada yang berlari girang menuruni tiap anak tangga. Shada mempercepat langkahnya lalu segera membuka pintu.Begitu Shada bertatap muka dengan sosok pria di depannya, ia kembali terpukau. Paras tampan nyaris sempurna, pakaian rapi menggunakan setelan jas hitam formal. Bahkan tatanan rambut hitam legam yang tampak dipomade ke atas membuat Shada berbinar."Demian, ini beneran kau?" Shada terkejut. Ia kagum dan menikmati setiap detail penampilan Demian yang berbeda dari biasanya.Demian berdeham pelan lantas menunjukkan seringaiannya. "Jangan menatapku terlalu lama. Nanti jatuh cinta."Kini kedua pipi Shada muncul semburat kemerahan seperti cherry. Memandang pria tampan di depannya membuat dirinya lama-lama menjadi tersipu. Rasanya ingin sekali ia menampar pipinya sendiri karena dirinya harus ingat jika sudah memiliki tunangan.Lalu perhatian Shada teralihkan kepada mobil mewah hitam yang terparkir di depan rumahnya. Shada mengerjapkan kedua matanya ta
Ayah? Tadi itu beneran Ayah? Shada bertanya-tanya di dalam hati."Hah.. mana mungkin," lirihnya lagi. Sebenarnya ia tak tahu ayah dan ibunya masih di Toronto atau tidak setelah mengurus resmi perceraian mereka. Demian yang mengemudi dengan sangat cepat lantas membuat penglihatannya menjadi buruk.Pasti Shada salah melihatnya. Beberapa orang juga berdiri di dekat Jennifer hendak menyeberang. Orang tadi itu pasti hanya mirip dengan ayahnya. Batin Shada memutuskan.Di tengah mengemudi kilatnya, Demian sempat menoleh ke arah Shada yang tampak dibebani banyak pikiran. Demian berdeham keras demi memecah suasana lengang yang menggantung sejenak.Shada langsung tergegau kemudian memukul bahu Demian keras. "Huh, bikin kaget saja!" ucapnya sembari mengerucutkan bibirnya.Demian tertawa lebar. "Makanya jangan melamun di dalam mobil. Apalagi satu mobil dengan vampir," ejek Demian.Shada kesal. Ia melipat tangan di depan dada lantas memasang wajah jutek. Tak berapa lama, ia segera mengecek ponseln
Demian terpaku. Ia merasakan aliran hangat darahnya mengalir deras selaras dengan tawa beberapa pria di depannya. Semua tertawa melihat kekalahan Demian yang begitu mudah mereka kerjakan.Beberapa dari mereka juga membangkitkan temannya yang telah rebah. Menyaksikan bersama bagaimana rasa sakit yang hebat menyerang Demian. Demian terlihat begitu tersiksa.Namun, itu tak bertahan lama. Senyuman di bibir mereka pudar tatkala kedua mata Demian semakin menggelap dan tajam menusuk. Sambil memandang murka satu per satu pria yang ada di hadapannya, Demian mencabut sebilah pisau dari perutnya.Semua orang yang ada di sana melebarkan kedua mata dengan mulut menganga. Ada sesuatu yang berbeda juga bahaya yang tengah mereka hadapi malam ini karena Demian sekarang justru menyeringai bangga.Beberapa pria tersebut otomatis memundurkan tubuhnya ke belakang seraya memasang mimik waspada."Siapa yang menyuruh kalian? Cepat jawab!" teriak Demian kepada orang-orang itu.Hening. Mereka semua bungkam ta
Max mematikan ponsel lalu meletakkannya ke atas nakas yang berada di sebelah kanan. Kedua matanya tertuju kepada sesosok wanita yang meliuk mendekatinya.Tubuh wanita tersebut masih diselubungi oleh bathrobe putih. Baru setelahnya ia melepaskan bathrobe itu dengan sangat gemulai.Wanita tersebut kini mengenakan set bustier lingerie berbahan lace warna hitam transparan. Bahan korset yang menutupi tubuh bagian atasnya mendesak dada sehingga membuat kedua payudaranya seakan berontak dan menyembul keluar.Ia menyibakkan rambut gelombang cokelat peanutnya yang tergerai panjang demi memamerkan kedua asetnya itu. Dari rambutnya langsung menguar aroma segar bunga peony. Max langsung tergegau. Harus ia akui, dada wanita tersebut sangat besar dan menggoda."Kau harus memuaskan aku malam ini, Jennifer," tandas Max tak bisa mengalihkan perhatiannya dari tubuh seksi milik wanita di depan.Jennifer mendekat lalu memperhatikan kedua mata biru jernih milik Max. Ia mendesis setengah mengerang."Tentu,
Seorang wanita muda berusia dua puluh tahun yang tengah memakai jas putih memanjang dikagetkan oleh hasil objek yang baru saja ia teliti. Ia cukup terkejut dan menutup mulutnya sendiri.Setelah itu, ia memutuskan segera membawa hasil penelitiannya untuk kemudian dilaporkan kepada kepala laboratorium di tempatnya bekerja. Rambut hitam gadis tersebut dikuncir rapi. Kedua matanya yang sipit menggambarkan sebuah kegelisahan yang tercetak jelas.Langkahnya cepat dan tegas menuju salah satu ruang di tempat yang didominasi oleh warna putih ini. Ia berjalan melalui lorong panjang hingga tiba di depan sebuah pintu di sana. Perempuan tersebut lantas mengetuk pintu beberapa kali dengan keras sampai seorang pria paruh baya yang berparas tampan membukakan pintu."Ada apa? Ada sesuatu yang terjadi?" tanya pria di depannya. Pria tersebut bisa menerka dari guratan cemas gadis berkulit terang itu.Bahkan suaranya pun mengalun merdu. Kedua mata yang berwarna bronze terang pada pria tersebut terlihat te
"Kau tadi bilang apa, Ruth?" Shada mengernyit tak mengerti. Meskipun suara Ruth pelan, tapi Shada sempat menangkap apa yang dibicarakan oleh temannya itu.Ruth tercekat, tidak menyadari ucapan dari mulutnya yang baru saja keceplosan."Eh? Tidak, bukan apa-apa. Maksudku kau jangan mudah mengasihani orang lain, Shada. Apalagi Jennifer. Seperti yang pernah aku katakan dulu, kau harus hati-hati," tandas Ruth agak kelimpungan. Mendengar penjelasan Ruth, Shada menghela napas dengan berat."Aku tahu kau tidak suka Jennifer dan Richard. Tapi, Ruth.. Jennifer barusan mengalami musibah. Kau beneran harus mengatakan itu kepadaku?" Shada tidak percaya kebencian Ruth telah menutup mata hati wanita tersebut. Bahkan rasa pedulinya juga sudah tumpul."Kau tidak tahu tentang apa yang sedang kau hadapi, Shada. Percayalah padaku," sembur Ruth dengan penuh penekanan.Shada menekuk wajahnya. Ia muak dengan sikap Ruth yang selalu mewanti-wanti dan seakan semua orang di sekitar Shada perlu diwaspadai. Tapi,
"Aku akan menamakannya Zendaya," ungkap Jennifer sembari memandangi bayi perempuan mungil bermata biru di rengkuhannya. "Zendaya yang berarti bersyukur. Aku sangat bersyukur punya kau, Sayang." Jennifer mencolek puncak hidung kecil sang bayi yang kemudian tertawa. Ariana yang berada di samping Jennifer hanya menghela napas. Hatinya agak nyeri mendapati bayi itu lebih mirip dengan si ayah. Apalagi kenyataan bahwa bayi itu lahir tanpa dampingan sosok ayah. Karena tak ada respon dari bibir Ariana lantas membuat Jennifer mendongak. Senyum di bibirnya hilang seketika tatkala mengerti arti guratan di wajah ibunya. Bagaimanapun, Jennifer berusaha tegar juga selama ini. Terutama saat mendengar berita tentang kematian Max tepat satu tahun yang lalu. "Pokoknya, aku akan menamainya Zendaya, Mom. Zendaya Painter," putusnya kemudian. "White," celetuk tiba-tiba sosok pria yang berderap masuk. "Kau harus memakai nama belakang White mulai sekarang." Baik Jennifer maupun Ariana sama-sama mendonga
"Apa yang terjadi?" Darwin berlari membantu memapah tubuh Demian.Begitu juga Ellene, Shada dan Ruth yang akhirnya mendekat. Mimik mereka tampak khawatir."Kita harus segera merawat Demian sebelum keadaannya semakin parah," cetus Ellene."Apa maksudmu?" Darwin mengerutkan keningnya."Darwin terkena virus manusia setengah vampir di tangannya." Ada kegugupan di dalam suaranya.Sontak wajah Darwin menegang. "Kenapa kau tidak bilang dari tadi?!" bentaknya dengan nada tinggi. "Kita bawa ke ruanganku sekarang juga! Ellene tolong segera siapkan ruanganku."Ellene meneguk ludah, kemudian buru-buru berlari mendahului langkah Darwin dan Mike. Shada dan Ruth saling bertukar pandang sekilas, lantas ikut menggiring kaki cepat mengikuti jejak mereka.Ruth lekas mengusap air mata yang sempat menggenang tadi. Sementara kecemasan melingkupi seluruh pikiran Shada saat ini.Sebenarnya apa efek yang ditimbulkan dari virus Leo terhadap tubuh Demian?Tatkala isi kepala Shada sibuk mempertanyakannya, tak te
Tonny melangkah turun, lantas menutup pintu mobilnya. Ia melihat sekeliling sambil memasang kacamata hitam di kedua telinganya. Perumahan dengan gang sempit itu lumayan sepi. Biasanya ia menyaksikan satu atau dua anak kecil bersepeda di jalan di perumahan lain. Tetapi ia tak menemukan satu orang pun di sini.Lalu Tonny mulai menggiring kaki menuju suatu rumah yang telah didiktekan kemaren sore. Setelah menemukan rumah tersebut, ia memencet bel.Tak lama kemudian seorang pria muda dengan jaket berleher tinggi warna abu tua keluar. Rambut pria itu tampak tak rapi. Apalagi baju yang sedang dikenakan. Tonny hanya menelan pikirannya heran mengenai anak muda di depannya yang cukup berantakan dan sepertinya introvert. Tak seperti sebagian remaja yang bersenang-senang di usia mudanya.Tanpa basa-basi, pria muda tersebut langsung menyodorkan sebuah map cokelat. Mungkin ia kesal karena pandangan yang menginterogasi dari mata Tonny."Ini. Data yang kau butuhkan semua ada di sini," ucapnya dengan
Sosok yang ada di dalam ruang itu termangu sesaat, kemudian melepas sebuah seringaian yang menyebalkan. Sebelah tangan sisi kanannya langsung bergerak menyembunyikan sesuatu.Namun hal tersebut tak lepas dari pantauan kedua mata awas milik Demian. "Cepat jawab! Apa yang kau rencanakan di sini?!" murkanya.Demian marah memergoki orang lain yang bukan keluarganya masuk ke dalam ruang paling rahasia di rumah ini. Dan sadarlah ia bahwa orang itu pasti sengaja mendekati Ruth untuk tujuan hari ini. Sialnya, Demian tak bisa membaca apapun dari pria di hadapannya sekarang. Bagai sebuah kotak hitam yang tertutup rapat."Kau benar-benar akan mati di sini!" geram Demian tersulut emosi.Mula-mula Leo mengangkat kedua tangannya yang sudah kosong ke atas kepala. "Eitsss, santai dulu. Kita bisa bicarakan ini secara baik-baik, bukan?" Salah satu alisnya terangkat, membuat Demian semakin kesal."Langsung bicara intinya. Apa yang sudah kau curi dari ruang ini? Cepat kembalikan atau nyawamu akan melayan
Shada mengerjap cepat. Kedua matanya bergerak bingung dengan kehadiran Ruth di sana. Bukan hanya itu saja, Ruth juga membawa serta Leo di rumah keluarga Elliot.Bukannya Shada lupa jika Ruth juga merupakan anggota keluarga itu. Tetapi Ruth bahkan belum bercerita kalau wanita tersebut juga kemari.Tidak, Ruth tidak salah. Shada sendiri tidak cerita bahwa dirinya akan pergi ke rumah keluarga Elliot pagi ini.Dengan mulut yang masih ternganga, Shada menunjuk Ruth dan Leo secara bergantian. "Kalian…"Ruth tergelak, kemudian maju selangkah mendekati Shada yang masih mematung. Mula-mula ia melebarkan kedua tangannya riang."Ya, kami di sini! Hahaha, maaf telah mengejutkanmu, Shada!" kikik Ruth dengan mendaratkan sebuah tepukan di bahu Shada.Shada masih terpegun. Kemaren Ruth memang mengutarakan jika Leo dan wanita itu akhirnya resmi menjalin hubungan. Namun menyaksikan mereka berada di rumah Elliot pagi ini sangat mengejutkannya.Jangan bilang jika Ruth membawa Leo kemari karena akan melanj
"Kenapa kau ada di sini?!" Ruth menggeser tubuh menjauh, meski sekarang kedua kakinya hanya menapak pada lonjor besi yang melintang di pembatas balkon. Matanya melotot tak percaya."Sudah kubilang kan, aku mencintaimu." Ada getaran di suara pria tersebut.Buru-buru Ruth menggelengkan kepala. "Tidak! Tidak mungkin! Sekarang kau sudah tahu siapa aku sebenarnya! Menjauhlah dariku!"Leo yang ada di hadapannya justru mendesah berat. Ia menunduk singkat dan memperbaiki posisi kacamata, lantas mendongak menatap Ruth demi meyakinkan wanita itu."Lalu kenapa kalau kau vampir? Aku bahkan tidak peduli," lirihnya kemudian."Kau harusnya peduli! Aku tidak mungkin bisa bersama manusia, apalagi kau!" balas Ruth agak histeris. Maklum, ia masih terpukul dan terlewat sedih."Tidak. Kau juga belum mengenal baik aku. Mari kita hidup bersama, Ruth." Mula-mula Leo mengulurkan tangannya kepada Ruth.Ruth mengerjapkan kedua matanya cepat. Napasnya tiba-tiba sesak dan berat. Tidak, tidak mungkin semudah ini.
Max berjalan cepat menuju kantin. Lebih tepatnya ia sedang mencari seseorang di sana. Barusan ia mendatangi Leo di ruangan pria tersebut, namun hasilnya nihil. Max tak mendapati Leo.Setelah beberapa karyawan memberitahu jika Leo pergi bersama Ruth, amarah Max tersulut begitu saja. Ia yang tadinya fokus mencari Leo jadi terganggu setelah mendengar nama Ruth masuk ke dalam gendang telinganya. Kenyataan bahwa Ruth menghalangi rencananya dengan mengambil CCTV, apalagi wanita itu bukan manusia. Melainkan sosok monster seperti Demian yang paling ia benci.Sesudah kedua mata birunya berhasil menangkap orang yang ia cari, maka Max bertekad kuat melangkah menghampiri mereka.Lalu tiba-tiba netranya terganggu dengan adegan Ruth yang mencium sebelah pipi Leo. Langkah Max sempat terhenti karena terkejut.Apa mereka memiliki hubungan khusus? Batinnya bertanya-tanya.Max semakin mengeratkan kepalan tangan di sisi tubuhnya. Selama ini kinerja Leo baik dan ia sangat menyukai pekerjaan pegawainya itu
Shada mendongak, lalu berusaha menahan sikap ibunya tersebut. "Aku rasa apa yang dikatakan Demian pasti ada benarnya.""Mari kita dengarkan penjelasan Demian sampai akhir," imbuhnya sambil terisak.Malta sedikit mendengus kesal. Perkataannya dipotong seenaknya oleh anaknya sendiri. Shada dan Malta kemudian menatap Demian lagi. Memberi kesempatan pada pria itu untuk melanjutkan ceritanya.Sejenak Demian menyelisik mimik wajah dua wanita di hadapannya. Ia sedang mencari tahu apakah Shada dan Malta bisa percaya padanya."Aku dan nenek sempat mengalami perdebatan panjang. Aku menolak, sementara nenek bersikukuh dan selalu membujukku. Apalagi waktu itu aku adalah vampir baru, jadi butuh niat serta keyakinan yang kuat untuk menolaknya. Meskipun secara batin dan mental sangat menyiksa."Demian menggeleng, lantas meraup oksigen sebanyak-banyaknya dari sekitar. Kedua matanya sudah panas akibat air mata yang mendesak keluar lagi."Kemudian, tiba-tiba hatiku merasa iba melihat kesakitan yang ter
Demian melangkah mendekat. Dengan tatapan nanar, ia memandang Shada melalui kaca jendela dengan sedih."Shada, aku mau bicara," ucapnya.Meskipun keduanya sama-sama tak bisa mendengar dengan jelas akibat terhalang oleh kaca jendela yang membuatnya kedap suara, tetapi baik Shada maupun Demian dapat mengerti melalui membaca gerak mulut mereka masing-masing.Shada menggeleng kuat-kuat. Ia meyakinkan diri sendiri bahwa ia tak mau bertemu dengan si pembunuh neneknya. Shada masih kecewa dengan sikap Demian yang tidak terus terang kepadanya. Apalagi, pikirannya mengatakan bahwa Demian selama ini mendekatinya hanya karena rasa bersalah yang dipikul oleh pria itu.Padahal teh chamomile buatan Ruth telah sukses membuatnya lebih rileks. Namun, suara serta kemunculan Demian kembali membuat sekujur tubuhnya kaku dan membeku."Shada, please… kumohon. Sepertinya ada yang salah. Kenapa kau pergi dariku?" paparnya memelas.Shada hanya membisu, menggeleng dan menatap tajam ke arah Demian. Setelahnya wa