Pria itu menarik rambutnya frustasi. Kedua kakinya sudah berjalan ke sana ke mari, namun tetap saja tidak menemukan ketenangan. Sementara degup jantungnya berdetak cepat. Ia juga sempat memijat pelipisnya, pening dengan apa yang baru saja ia lihat.Max menatap layar monitor yang sudah terbelah sembari mengingat apa yang tadi sudah ditangkap oleh kedua indera penglihatannya. Max melihat seorang pria yang ia yakini Demian masuk ke kamar Shada lewat balkon minimalis di sana.Setelah itu, tak berapa lama kemudian, Shada terlihat mendatangi Demian. Meskipun Demian tidak terlalu kentara, Max bisa menilai bahwa mereka sedang berbincang, hingga akhirnya Demian bangkit.Max bahkan sudah tidak kuat menatap monitor saat Demian menarik tangan Shada mendekat ke tubuh pria tersebut. Setelahnya, Demian menggendong Shada dengan cepat.Bahkan kecepatan Demian tak terlalu bisa ditangkap oleh rekaman CCTV yang menyala. Max geram lalu segera melempar sebuah botol wine ke monitor sehingga layar itu langsu
"Apa maksudmu, Shada?" Ruth tidak percaya dengan indera pendengarannya sendiri. Apalagi ketika wanita di depannya menuduh Ruth adalah vampir. Ia memandangi Shada dengan gugup, mencari-cari pembenaran di pikirannya."Oh, ayolah. Kau pasti tahu maksudku. Apa kau benar-benar vampir?" ulang Shada dengan setengah berbisik. Shada menyelidiki secara penuh raut muka Ruth.Ruth menggelengkan kepalanya tegas. "Dari mana kau tahu tentang vampir? Aku bukan vampir," sangkal Ruth cepat. Demian pasti memberitahunya. Batin Ruth langsung menebak."Aku bertemu salah satunya. Jangan bohong padaku. Aku tidak suka ketidakjujuran." Kedua mata Shada tajam. Menunjukkan betapa serius dirinya.Ruth menghela napas. Ia memejamkan kedua matanya rapat, sampai-sampai di dahi pucatnya terlihat garis kerutan yang amat jelas."Yah, okay. Itu benar, kau tidak salah," akunya kemudian seraya mengangkat kedua tangan tanda menyerah. Ruth lalu sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan dan menatap Shada sungguh-sungguh."Rahas
Max semakin tidak bisa menahan semua rasa sakit yang merayap hingga ke saraf-saraf tubuhnya. Ia mulai menggeliat aneh. Max sempat melirik ke arah Richard yang mulai mabuk dan tak sadarkan diri. Saat ini, hanya Max yang bisa menolong dirinya sendiri.Max memutuskan untuk segera keluar ruangan ketika rasa gelisah mulai mencekik dan mendominasi tubuhnya. Ia berlari dengan keringat yang mulai bercucuran membasahi dahi putihnya. Napasnya tercekat, tapi melegakan bisa lekas menemukan sebuah papan bertuliskan toilet di sana. Meskipun tidak dengan kesadaran penuh.Namun saat Max akan memasuki toilet tersebut, ia justru menabrak seorang wanita."So-sorry," ujarnya berusaha memegang kendali tubuhnya. Kedua tangannya terangkat di depan dada tanda meminta maaf.Max tak dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas. Ia hendak melewatinya saja, tetapi tangan wanita tersebut berhasil mencegahnya."Pak, jangan masuk ke sana. Itu toilet wanita," bisik sosok perempuan yang kini mendekatinya, membuat gele
"Kau yakin akan menemuinya sekarang?" tanya Shada ragu. Ia juga agak kesal jika Demian meninggalkan tehnya begitu saja tanpa dihabiskan. Itu berarti Demian tidak menghargainya.Berkebalikan dari Shada, Demian justru semakin yakin. Mudah sekali melacak keberadaan Ruth di kota ini. Tetapi masalahnya, wanita itu juga bisa menghindarinya kapanpun tanpa kesulitan yang berarti."Aku yakin sekali," ucap Demian tegas. Mata kelamnya lurus menatap ke depan.Kemudian Demian menoleh ke arah Shada. "Kau mau ikut? Katamu ingin menguping pembicaraan kami," ledek Demian langsung disusul oleh tekukan wajah Shada."Tidak usah, tidak jadi. Aku sedang tidak mood." Shada membuang muka dan melipat tangan di depan dada. Demian yang mendengar dengusan halus dari sistem pernapasan wanita di sampingnya tersebut kini tertawa.Demian mengubah posisi tubuhnya menghadap Shada agar bisa memandangnya lebih teliti. Semakin dilihat, sikap Shada semakin lucu. Demian menyeringai, ingin menggodanya lebih. Ia lantas mengu
Napas Ruth tersendat di tenggorokannya. Dadanya mulai sesak. Kekuatan Demian berkumpul di tangan yang sedang mencekik lehernya sangat menyiksa bagi Ruth. Beberapa kali Ruth melenguh kesakitan."Le-lepaskan aku gila! Kau i-ngin membunuhku, hah?!" pekiknya di tengah napasnya yang nyaris terhenti.Demian menyeringai puas lalu segera melepaskan cengkraman tangannya. Ruth terlihat terbatuk-batuk, wajahnya merah seperti tomat."Lama tidak bertemu, Ruth. Apa kabar? Apa kau bahagia di kota barumu ini?" Demian mengulas senyumnya. Kedua alis tebalnya ia naik-turunkan, seperti sengaja mempermainkan Ruth."Iya, lama tidak bertemu, tapi kau tambah gila!" protes Ruth yang masih berupaya mengembalikan kondisi tubuhnya yang masih sakit karena dicekik Demian."Hahaha.." Demian tertawa membuat Ruth semakin kesal."Bagaimana kau menemukanku?" sungut Ruth. Kedua mata hitamnya memelototi Demian. Rasanya ingin sekali wanita tersebut menghujani Demian dengan tatapan geram agar Demian merasa bersalah. Tapi bu
Max menatap dengan teliti layar monitor yang baru saja diantar oleh orang suruhannya ke dalam ruangan di kantornya. Sesekali ia menonton seraya mengusap rahangnya dengan gelisah.Tangannya lalu terkepal erat saat melihat Shada dan Demian pagi ini. Mereka terlihat begitu dekat saat berbincang di depan balkon minimalis depan kamar Shada.Max memijat pelipisnya dan memejamkan kedua mata bersamaan dengan hembusan napas beratnya. Setelah memberanikan diri membuka mata untuk memandang layar monitor tangkapan CCTV lagi, dahinya mengerut dengan serius."Kau sudah tahu asal-usul pria itu?" lirih Max sambil melirik Tonny, orang suruhannya yang duduk bersama Max."Sampai sekarang kami masih mencari tahu, Tuan. Tapi pria bernama Demian tidak terdaftar dalam data kependudukan wilayah Toronto."Max langsung berpaling, menatap penuh perhatian lawan bicaranya. Mata birunya mengerjap cepat. "Lalu?""Menurut informasi yang kami temukan, Demian dan keluarganya bertempat tinggal di daerah barat daya, jau
Baik Max, Robert dan Morris langsung saling melempar pandang satu sama lain. Mereka bingung terhadap situasi yang tengah mereka hadapi ini.Morris memandang Shada dengan penuh rasa iba. Shada mengunyah makanannya kaku sembari menahan emosi. Wajahnya memerah. Begitu melihat George dan Malta di sini, nafsu makannya raib seketika.Tidak ada yang tahu dan tidak ada yang menyangka bahwa George dan Malta akan hadir juga di pertemuan keluarga hari ini. Mereka cukup terkejut karena George dan Malta datang bersama. Atau lebih tepatnya tidak sengaja tiba di sini di waktu yang sama, tidak ada yang tahu betul hal itu.Beberapa orang tersebut makan dengan canggung, sesekali bunyi denting sendok dan piring mengisi kesunyian di tengah mereka. Tidak ingin hening lebih lama, Robert berdeham."George, maksudku kalian, aku tidak menyangka kalian akan hadir hari ini. Hehehe.." ungkap Robert mengawali pembicaraan.George dan Malta tersenyum kaku tanpa melihat satu sama lain meskipun posisi duduk mereka be
"Stop, stop! Apa maksudmu? Kau di Sierra Madre? Kau siapa sebenarnya?" Shada tak sabar.Kepala Shada berdenyut. Ia lantas memukulinya dengan frustasi. Demian langsung menghentikan gerakan tangan wanita cantik tersebut."Sudah, Shada. Tenanglah! Kita bisa bicara pelan-pelan," sahut lembut Demian.Shada mengamati paras Demian. Kedua mata cokelat miliknya menjelajahi pria itu dari ujung kepala sampai kaki, berusaha mengingat beberapa orang yang ada di memori masa kecilnya dulu."Jelaskan padaku kalau begitu," pinta Shada dengan pasrah. Pasalnya, ia belum menemukan seseorang pun yang mirip dengan Demian yang sekarang ada di hadapannya.Sementara Demian terdiam. Ia terlihat menimbang-nimbang sembari melemparkan tatapan skeptis kepada Shada."Apa yang kau ingat dulu di Sierra Madre?" tanya Demian akhirnya. Ekspresinya terlihat putus asa.Shada mengerutkan dahinya. Ia menggelengkan kepala tak yakin, tapi sambil menyebutkan satu per satu ingatan yang menurutnya berakhir tak begitu menyenangka
"Aku akan menamakannya Zendaya," ungkap Jennifer sembari memandangi bayi perempuan mungil bermata biru di rengkuhannya. "Zendaya yang berarti bersyukur. Aku sangat bersyukur punya kau, Sayang." Jennifer mencolek puncak hidung kecil sang bayi yang kemudian tertawa. Ariana yang berada di samping Jennifer hanya menghela napas. Hatinya agak nyeri mendapati bayi itu lebih mirip dengan si ayah. Apalagi kenyataan bahwa bayi itu lahir tanpa dampingan sosok ayah. Karena tak ada respon dari bibir Ariana lantas membuat Jennifer mendongak. Senyum di bibirnya hilang seketika tatkala mengerti arti guratan di wajah ibunya. Bagaimanapun, Jennifer berusaha tegar juga selama ini. Terutama saat mendengar berita tentang kematian Max tepat satu tahun yang lalu. "Pokoknya, aku akan menamainya Zendaya, Mom. Zendaya Painter," putusnya kemudian. "White," celetuk tiba-tiba sosok pria yang berderap masuk. "Kau harus memakai nama belakang White mulai sekarang." Baik Jennifer maupun Ariana sama-sama mendonga
"Apa yang terjadi?" Darwin berlari membantu memapah tubuh Demian.Begitu juga Ellene, Shada dan Ruth yang akhirnya mendekat. Mimik mereka tampak khawatir."Kita harus segera merawat Demian sebelum keadaannya semakin parah," cetus Ellene."Apa maksudmu?" Darwin mengerutkan keningnya."Darwin terkena virus manusia setengah vampir di tangannya." Ada kegugupan di dalam suaranya.Sontak wajah Darwin menegang. "Kenapa kau tidak bilang dari tadi?!" bentaknya dengan nada tinggi. "Kita bawa ke ruanganku sekarang juga! Ellene tolong segera siapkan ruanganku."Ellene meneguk ludah, kemudian buru-buru berlari mendahului langkah Darwin dan Mike. Shada dan Ruth saling bertukar pandang sekilas, lantas ikut menggiring kaki cepat mengikuti jejak mereka.Ruth lekas mengusap air mata yang sempat menggenang tadi. Sementara kecemasan melingkupi seluruh pikiran Shada saat ini.Sebenarnya apa efek yang ditimbulkan dari virus Leo terhadap tubuh Demian?Tatkala isi kepala Shada sibuk mempertanyakannya, tak te
Tonny melangkah turun, lantas menutup pintu mobilnya. Ia melihat sekeliling sambil memasang kacamata hitam di kedua telinganya. Perumahan dengan gang sempit itu lumayan sepi. Biasanya ia menyaksikan satu atau dua anak kecil bersepeda di jalan di perumahan lain. Tetapi ia tak menemukan satu orang pun di sini.Lalu Tonny mulai menggiring kaki menuju suatu rumah yang telah didiktekan kemaren sore. Setelah menemukan rumah tersebut, ia memencet bel.Tak lama kemudian seorang pria muda dengan jaket berleher tinggi warna abu tua keluar. Rambut pria itu tampak tak rapi. Apalagi baju yang sedang dikenakan. Tonny hanya menelan pikirannya heran mengenai anak muda di depannya yang cukup berantakan dan sepertinya introvert. Tak seperti sebagian remaja yang bersenang-senang di usia mudanya.Tanpa basa-basi, pria muda tersebut langsung menyodorkan sebuah map cokelat. Mungkin ia kesal karena pandangan yang menginterogasi dari mata Tonny."Ini. Data yang kau butuhkan semua ada di sini," ucapnya dengan
Sosok yang ada di dalam ruang itu termangu sesaat, kemudian melepas sebuah seringaian yang menyebalkan. Sebelah tangan sisi kanannya langsung bergerak menyembunyikan sesuatu.Namun hal tersebut tak lepas dari pantauan kedua mata awas milik Demian. "Cepat jawab! Apa yang kau rencanakan di sini?!" murkanya.Demian marah memergoki orang lain yang bukan keluarganya masuk ke dalam ruang paling rahasia di rumah ini. Dan sadarlah ia bahwa orang itu pasti sengaja mendekati Ruth untuk tujuan hari ini. Sialnya, Demian tak bisa membaca apapun dari pria di hadapannya sekarang. Bagai sebuah kotak hitam yang tertutup rapat."Kau benar-benar akan mati di sini!" geram Demian tersulut emosi.Mula-mula Leo mengangkat kedua tangannya yang sudah kosong ke atas kepala. "Eitsss, santai dulu. Kita bisa bicarakan ini secara baik-baik, bukan?" Salah satu alisnya terangkat, membuat Demian semakin kesal."Langsung bicara intinya. Apa yang sudah kau curi dari ruang ini? Cepat kembalikan atau nyawamu akan melayan
Shada mengerjap cepat. Kedua matanya bergerak bingung dengan kehadiran Ruth di sana. Bukan hanya itu saja, Ruth juga membawa serta Leo di rumah keluarga Elliot.Bukannya Shada lupa jika Ruth juga merupakan anggota keluarga itu. Tetapi Ruth bahkan belum bercerita kalau wanita tersebut juga kemari.Tidak, Ruth tidak salah. Shada sendiri tidak cerita bahwa dirinya akan pergi ke rumah keluarga Elliot pagi ini.Dengan mulut yang masih ternganga, Shada menunjuk Ruth dan Leo secara bergantian. "Kalian…"Ruth tergelak, kemudian maju selangkah mendekati Shada yang masih mematung. Mula-mula ia melebarkan kedua tangannya riang."Ya, kami di sini! Hahaha, maaf telah mengejutkanmu, Shada!" kikik Ruth dengan mendaratkan sebuah tepukan di bahu Shada.Shada masih terpegun. Kemaren Ruth memang mengutarakan jika Leo dan wanita itu akhirnya resmi menjalin hubungan. Namun menyaksikan mereka berada di rumah Elliot pagi ini sangat mengejutkannya.Jangan bilang jika Ruth membawa Leo kemari karena akan melanj
"Kenapa kau ada di sini?!" Ruth menggeser tubuh menjauh, meski sekarang kedua kakinya hanya menapak pada lonjor besi yang melintang di pembatas balkon. Matanya melotot tak percaya."Sudah kubilang kan, aku mencintaimu." Ada getaran di suara pria tersebut.Buru-buru Ruth menggelengkan kepala. "Tidak! Tidak mungkin! Sekarang kau sudah tahu siapa aku sebenarnya! Menjauhlah dariku!"Leo yang ada di hadapannya justru mendesah berat. Ia menunduk singkat dan memperbaiki posisi kacamata, lantas mendongak menatap Ruth demi meyakinkan wanita itu."Lalu kenapa kalau kau vampir? Aku bahkan tidak peduli," lirihnya kemudian."Kau harusnya peduli! Aku tidak mungkin bisa bersama manusia, apalagi kau!" balas Ruth agak histeris. Maklum, ia masih terpukul dan terlewat sedih."Tidak. Kau juga belum mengenal baik aku. Mari kita hidup bersama, Ruth." Mula-mula Leo mengulurkan tangannya kepada Ruth.Ruth mengerjapkan kedua matanya cepat. Napasnya tiba-tiba sesak dan berat. Tidak, tidak mungkin semudah ini.
Max berjalan cepat menuju kantin. Lebih tepatnya ia sedang mencari seseorang di sana. Barusan ia mendatangi Leo di ruangan pria tersebut, namun hasilnya nihil. Max tak mendapati Leo.Setelah beberapa karyawan memberitahu jika Leo pergi bersama Ruth, amarah Max tersulut begitu saja. Ia yang tadinya fokus mencari Leo jadi terganggu setelah mendengar nama Ruth masuk ke dalam gendang telinganya. Kenyataan bahwa Ruth menghalangi rencananya dengan mengambil CCTV, apalagi wanita itu bukan manusia. Melainkan sosok monster seperti Demian yang paling ia benci.Sesudah kedua mata birunya berhasil menangkap orang yang ia cari, maka Max bertekad kuat melangkah menghampiri mereka.Lalu tiba-tiba netranya terganggu dengan adegan Ruth yang mencium sebelah pipi Leo. Langkah Max sempat terhenti karena terkejut.Apa mereka memiliki hubungan khusus? Batinnya bertanya-tanya.Max semakin mengeratkan kepalan tangan di sisi tubuhnya. Selama ini kinerja Leo baik dan ia sangat menyukai pekerjaan pegawainya itu
Shada mendongak, lalu berusaha menahan sikap ibunya tersebut. "Aku rasa apa yang dikatakan Demian pasti ada benarnya.""Mari kita dengarkan penjelasan Demian sampai akhir," imbuhnya sambil terisak.Malta sedikit mendengus kesal. Perkataannya dipotong seenaknya oleh anaknya sendiri. Shada dan Malta kemudian menatap Demian lagi. Memberi kesempatan pada pria itu untuk melanjutkan ceritanya.Sejenak Demian menyelisik mimik wajah dua wanita di hadapannya. Ia sedang mencari tahu apakah Shada dan Malta bisa percaya padanya."Aku dan nenek sempat mengalami perdebatan panjang. Aku menolak, sementara nenek bersikukuh dan selalu membujukku. Apalagi waktu itu aku adalah vampir baru, jadi butuh niat serta keyakinan yang kuat untuk menolaknya. Meskipun secara batin dan mental sangat menyiksa."Demian menggeleng, lantas meraup oksigen sebanyak-banyaknya dari sekitar. Kedua matanya sudah panas akibat air mata yang mendesak keluar lagi."Kemudian, tiba-tiba hatiku merasa iba melihat kesakitan yang ter
Demian melangkah mendekat. Dengan tatapan nanar, ia memandang Shada melalui kaca jendela dengan sedih."Shada, aku mau bicara," ucapnya.Meskipun keduanya sama-sama tak bisa mendengar dengan jelas akibat terhalang oleh kaca jendela yang membuatnya kedap suara, tetapi baik Shada maupun Demian dapat mengerti melalui membaca gerak mulut mereka masing-masing.Shada menggeleng kuat-kuat. Ia meyakinkan diri sendiri bahwa ia tak mau bertemu dengan si pembunuh neneknya. Shada masih kecewa dengan sikap Demian yang tidak terus terang kepadanya. Apalagi, pikirannya mengatakan bahwa Demian selama ini mendekatinya hanya karena rasa bersalah yang dipikul oleh pria itu.Padahal teh chamomile buatan Ruth telah sukses membuatnya lebih rileks. Namun, suara serta kemunculan Demian kembali membuat sekujur tubuhnya kaku dan membeku."Shada, please… kumohon. Sepertinya ada yang salah. Kenapa kau pergi dariku?" paparnya memelas.Shada hanya membisu, menggeleng dan menatap tajam ke arah Demian. Setelahnya wa